LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR KEP.329/MEN/XII/2011
TENTANG
PENETAPAN RANCANGAN STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL
INDONESIA SEKTOR PARIWISATA
BIDANG KEPEMANDUAN OTBOUND / FASILITATOR EXPERIENTIAL LEARNING
MENJADI STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era globalisasi dalam lingkup perdagangan
bebas antar Negara, membawa dampak ganda, di satu sisi membuka peluang untuk
melakukan kerjasama yang seluas-luasnya namun di sisi lain akan menimbulkan
persaingan yang semakin tajam dan oleh karena itu untuk mengantisipasinya perlu
ditingkatkan mutu daya saing dan keunggulan kompetitif pada semua sektor
industri dan jasa dengan mengandalkan keunggulan sumber daya manusia (SDM),
teknologi serta manajemen termasuk di dalam sektor pariwisata.
Di tingkat ASEAN sudah dilakukan kesepakatan
untuk mobilitas tenaga profesional yang disebut MRA (Mutual Recognition Arrangement), paling lambat pada tahun 2014,
sebagai bentuk pengakuan standar kompetensi kerja di bidang pariwisata. Dalam
rangka menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang handal dan berkualitas sesuai
tuntutan pasar atau industri pariwisata, diperlukan suatu standar kompetensi
bagi SDM pariwisata di Indonesia, di antaranya yang bekerja di bidang
Kepemanduan Otbound.
Dalam perkembangannya sekarang, muncul jenis
aktifitas yang menarik dan menyenangkan, dimana kegiatan ini melibatkan
langsung peserta/tamu untuk beraktifitas. Kegiatan ini mampu memunculkan
sikap-sikap yang semakin mendukung perkembangan peserta. Seperti menjadi lebih
berani, mampu keluar dari batasan diri, lebih ekspresif, serta sikap-sikap
positif lainnya. Kegiatan ini awalnya memang digunakan untuk metode pelatihan.
Namun karena ada beberapa bagian aktifitas yang bersifat fun & menantang,
maka hal tersebut yang paling mudah diadaptasi dan semakin meluas.
Aktifitas ini bernama OUTWARD BOUND. Deskripsi (secara kamus bahasa) adalah; sebuah kapal
layar yang bersiap mengangkat jangkar & meninggalkan pelabuhan untuk menuju
ke tempat tertentu. Dalam penjabarannya pada sebuah program pelatihan, diambil
filosofinya. Dimana sebuah kapal layar yang akan meninggalkan pelabuhan, tentu
awak buah kapal mempersiapkan segala sesuatunya. Baik perbekalan, peralatan,
logistik, serta mental. Karena yang akan mereka hadapi dalam pengarungan di
laut berbagai macam tantangan. Mulai dari cuaca, gelombang besar, serta
dinamika dalam kelompok/tim ABK sendiri. Hal tersebut diambil sebagai konsep
pelatihan untuk pengembangan & perubahan mental supaya lebih positif.
Dalam konsep OUTWARD BOUND juga ditelaah mengenai cara supaya peserta bisa
merasakan sendiri pengalaman serta mampu mengambil hikmah atau manfaatnya,
sehingga lebih berguna diterapkan pada pekerjaan atau tujuan selanjutnya setelah
mengikuti program kegiatan ini.
Untuk itu diberikan kesempatan atau momen
yang menyenangkan bagi peserta, sehingga mereka merasa tidak dipaksa dan mampu
menemukan sendiri potensinya. Hal ini dikemas dalam bentuk aktifitas permainan
(games) serta beberapa kegiatan ketinggian (salah satunya adalah Low-High
Ropes). Dalam perkembangannya sekarang, permainan-permainan ini dikemas dalam
program kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta (dalam hal ini
peserta dari berbagai usia, level, & kelompok). Baik dalam jumlah kecil
maupun dalam jumlah besar.
Untuk bisa melaksanakan program tersebut
dengan baik dibutuhkan personal-personal yang memiliki kemampuan membawakan
aktifitas dengan tepat, aman, serta bermanfaat. Dimana orang – orang yang
bertugas untuk hal tersebut lebih bersifat MEMFASILITASI.
Untuk istilah OUTWARD BOUND, sampai saat ini sudah dipatenkan oleh salah satu
perusahaan pelatihan di Indonesia. Hal lain yang juga mempengaruhi perkembangan
istilah terseebut karena pengucapannya yang tidak mudah bagi lidah masyarakat
Indonesia. Lebih cepat & mudah diingat penyebutannya dengan istilah
OUTBOUND atau disebut juga Fasilitator Experiential
learning.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu
disusun Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Sektor Pariwisata
Bidang Kepemanduan Outbound / Fasilitator Experiential learning (FASEL). Standar Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia (SKKNI) ini disusun sebagai suatu pedoman yang baku dan dapat
diaplikasikan dalam rangka memenuhi kebutuhan SDM yang kompeten, baik bagi
lembaga maupun industri pariwisata.
.
B. Tujuan
Penyusunan Standar kompetensi bidang kepemanduan
Otboundmempunyai tujuan yaitu pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
bergerak dalam bidang keahlian tersebut di atas sesuai dengan kebutuhan
masing-masing pihak diantaranya :
1. Institusi pendidikan dan pelatihan
·
Memberikan informasi untuk pengembangan program kurikulum
·
Sebagai acuan dalam penyelenggaraan pelatihan, penilaian dan sertifikasi
2. Dunia usaha/industri dan pengguna tenaga kerja
·
Membantu dalam
rekruitmen tenaga kerja
·
Membantu penilaian unjuk kerja
·
Mengembangkan program pelatihan bagi karyawan berdasarkan kebutuhan
·
Untuk membuat uraian
jabatan
3. Institusi penyelenggara pengujian dan
sertifikasi
·
Sebagai acuan dalam
merumuskan paket-paket program sertifikasi sesuai dengan kualifikasi dan
levelnya
·
Sebagai acuan dalam
penyelenggaraan pelatihan, penilaian dan sertifikasi
Selain
tujuan tersebut di atas, tujuan lain dari penyusunan standar ini adalah untuk mendapatkan pengakuan secara nasional maupun internasional. Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk
mendapatkan pengakuan tersebut adalah :
1.
Menyesuaikan penyusunan standar kompetensi tersebut dengan kebutuhan
industri/usaha, dengan melakukan eksplorasi data primer dan sekunder secara
komprehensif
2.
Menggunakan referensi dan rujukan dari standar – standar sejenis yang
digunakan oleh negara lain atau standar internasional, agar dikemudian hari
dapat dilakukan proses saling pengakuan (Mutual Recognition Agreement – MRA)
3.
Dilakukan bersama dengan representatif dari asosiasi pekerja, asosiasi
industri/usaha secara institusional, dan asosiasi lembaga pendidikan dan
pelatihan profesi atau para pakar dibidangnya agar memudahkan dalam pencapaian
konsesus dan pemberlakuan secara nasional
C. Pengertian SKKNI
Pengertian SKKNI diuraikan sebagai berikut :
1.
Kompetensi
Berdasarkan pada arti estimologi, kompetensi diartikan
sebagai kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan atau melaksanakan pekerjaan
yang dilandasi oleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja.
Sehingga dapat dirumuskan bahwa kompetensi diartikan
sebagai kemampuan seseorang yang dapat terobservasi mencakup atas pengetahuan,
keterampilan dan sikap kerja dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas
sesuai dengan standar performa yang ditetapkan.
2.
Standar Kompetensi
Standar kompetensi terbentuk atas kata standar dan
kompetensi. Standar diartikan sebagai ”Ukuran” yang disepakati, sedangkan
kompetensi telah didefinisikan sebagai kemampuan seseorang yang dapat
terobservasi mencakup atas pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja dalam
menyelesaikan dalam suatu pekerjaan atau tugas sesuai dengan standar performa
yang ditetapkan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan standar kompetensi
adalah rumusan tentang kemampuan yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan
suatu tugas atau pekerjaan yang didasari atas pengetahuan, keterampilan dan
sikap kerja sesuai dengan unjuk kerja yang dipersyaratkan.
3.
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang
selanjutnya disingkat SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan
dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan dikuasainya standar kompetensi tersebut oleh
seseorang, maka yang bersangkutan mampu :
a)
Bagaimana
mengerjakan suatu tugas atau
pekerjaan.
b)
Bagaimana
mengorganisasikannya agar pekerjaan
tersebut dapat dilaksanakan
c)
Apa yang harus dilakukan bilamana terjadi sesuatu yang berbeda dengan rencana
semula
d)
Bagaimana
menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan
masalah atau melaksanakan tugas dengan kondisi yang berbeda.
4. Program Rekreasi :
program yang bersifat rekreasi,
seperti Outing, Gathering, kompetisi, wisata alam, dan sebagainya yang
berdurasi tidak lebih dari 1 hari.
5. Faktor yang mempengaruhi program
kegiatan : dapat berupa faktor lingkungan (misalnya cuaca hujan,
suhu udara panas, dingin), peserta (motivasi, dinami kakelompok, kondisi atau stamina fisik, kondisi mental,
kemampuan peserta melakukan kegiatan atau menyelesaikan tugas), Ketersediaan
peralatan, sumber daya manusia pendukung, durasi waktu, dampak terhadap
lingkungan dalam berkegiatan, tingkat keamanan berkegiatan, dan sebagainya
6. Dampak negatif terhadap lingkungan :
dapat berupa pengaruh terhadap pepohonan atau tumbuhan, air, udara, tanah, di
sekitar wilayah kegiatan, lingkungan sosial di sekitar wilayah kegiatan
(kebisingan, memakai / memasuki wilayah di luar otoritas penyelenggara atau
penyedia kegiatan), dan sebagainya.
7. Tempat untuk berkegiatan :
Dapat berupa dan tidak terbatas pada dalam ruang, luar ruang, lapangan bermain,
kolam air, lingkungan perkotaan, lingkungan alam, dan sebagainya
8. Peralatan dan sumber daya :
Dapat berupa dan tidak terbatas pada : peralatan dan perlengkapan yang
dibutuhkan untuk berkegiatan (peralatan untuk setting kegiatan permainan,
perlengkapan individu untuk peserta), peralatan keamanan untuk berkegiatan,
lokasi kegiatan (lapangan, ruangan), konsumsi (makanan dan minuman), toilet,
anggaran, transportasi, sound system, seragam berkegiatan (t-shirt, topi,
bandana), dukungan medis (peralatan P3K, tim medis, ambulans), pendukung
teknis, peralatan administrasi, dan sebagainya
9. Tujuan Program : Dapat berupa : Pengembangan
karakter, pengembangan pola pikir, pencapaian pengetahuan atau keterampilan,
perubahan perilaku, seleksi, penilaian
unjuk kerja, dan sebagainya
10. Gangguan psikologis : Dapat
berupa : phobia, trauma, kemarahan, kesedihan, resistensi, demotivasi, perilaku
merusak (destruktif), rendah diri, panic
11. Gangguan fisik : Dapat berupa : cedera fisik (misalnya patah tulang, luka),
perdarahan, kelainan pada fungsi organ dalam (jantung, paru-paru, lambung, otak), cedera
atau gangguan pada alat indera, dan sebagainya
12.
Kegiatan
fasilitasi : dapat berupa Learning by Doing, Learning by Telling (speaking
for the experience), Learning through
Reflection (debriefing), Direction
with Reflection (direct frontloading),
Metaphoric Framing
13. Kebutuhan
belajar : Dapat meliputi
attributes (pengetahuan dan keterampilan
yang relevan dengan kegiatan, pengembangan diri, pengaturan emosi), hal-hal
lainnya baik yang diungkapkan secara langsung oleh peserta maupun yang tidak
terungkapkan, gaya pembelajaran individu (learning
styles), tehnik untuk menilai keberhasilan atau kegagalan, dan sebagainya
14. Hasil
belajar : dapat berupa
nilai-nilai pembelajaran, refreshing, perubahan mind-set, perubahan tingkah
laku dan sikap, bertambahnya pengetahuan atau keterampilan, kebersamaan, dan
sebagainya
15. Variasi elemen :
merupakan rangkaian kegiatan tali tinggi yang terdiri lebih dari 1 elemen
lintasan dan terhubung satu sama lain, misalnya lintasan Elvis Walk, Burma
Bridge, dan Flying Fox
16. Dampak kegiatan tali tinggi terhadap
lingkungan :
dapat berupa kerusakan pada pohon, tumbuhan, pengaruh pada daya resap tanah terhadap air hujan
(pengerasan tanah, tanah berlumpur, kerusakan rumput lapangan), gangguan pada
kehidupan fauna sekitarnya, kebisingan dan mengganggu lingkungan sosial lain yang
ada di sekitar wilayah kegiatan tali tinggi, dampak terhadap nilai estetika
lingkungan, dan sebagainya
17. Angkur (anchor) : berupa tambatan utama dari sistem pemasangan
lintasan dan pengamanan tali tinggi, dapat berupa tambatan alam (misalnya
pohon, batu) atau buatan (misalnya staple, eye bolts, shackles, dsb)
18. Sistem belay :
sistem pengamanan bagi individu yang melakukan kegiatan di ketinggian, dapat
berupa system Belay Statis (misalnya cowstail, crab claws, dsb), atau Belay
Dinamis (menggunakan peralatan belay dan personil pendukung/ belayer)
19. Situasi tidak terduga atau gawat darurat : dapat berupa kondisi peserta baik secara fisik atau psikis
(kelelahan, terluka, keseleo, trauma, phobia, histeris, dsb), kerusakan atau
disfungsi alat (pulley macet ditengah penggunaan, peserta lupa mengunci
karabiner di tengah
berkegiatan, sistem belay macet, dsb), atau perubahan kondisi alam yang dapat membahayakan
peserta dalam berkegiatan (misalnya petir, angin kencang, hujan yang
mengakibatkan tanah menjadi licin dan berlumpur, dsb)
20.
Resiko : Kesempatan terjadinya sesuatu hal yang memiliki dampak
pada suatu obyek. Biasanya dilihat sebagai sebab dan akibat. Dapat juga berarti
potensi hilangnya suatu hal yang bernilai. Kehilangan tersebut dapat berupa
kehilangan fisik (luka, kematian, kerusakan alat), kehilangan mental (trauma,
stress, konflik antar individu), sosial (kehilangan nama baik atau kredibilitas
di masyarakat), dan finansial (ganti rugi, kehilangan investasi)
21. Analisis Resiko : Proses pengumpulan informasi, dan pemeriksaan
informasi untuk menentukan seberapa sering suatu peristiwa dapat mungkin
terjadi dan mengukur konsekuensi yang mungkin muncul dari peristiwa tersebut. Analisis
Resiko dilakukan terhadap : peralatan pendukung, keselamatan personil (peserta,
pemandu, staff pendukung, orang lain), dampak dari dan terhadap lingkungan, dan
proses berkegiatan
22.
Penilaian tingkat resiko : dapat meliputi penilaian kualitatif (seberapa parah
potensi resiko dapat terjadi: parah sekali, parah, masih dapat diterima,
rendah, termasuk konsekuensinya), penilaian kuantitatif (seberapa sering
potensi resiko tersebut akan muncul, dan
seberapa sering kemungkinan kecelakaan akan terjadi), atau mengkombinasikan 2
penilaian di atas
23.
Kriteria Evaluasi Resiko : Meliputi standar-standar yang sudah disusun, tingkat
resiko, dsb. Kriteria evaluasi resiko dapat ditentukan lewat regulasi yang
berlaku umum, Standar Nasional (SNI), kebijakan dan prosedur di organisasi,
atau buku petunjuk penggunaan alat
24.
Kategori Resiko : Dapat berupa Ancaman pada kehidupan (luka, cedera, wabah yang menyerang
manusia, bianatang, atau tumbuhan), ancaman ekonomis dan finansial (biaya
operasional yang tinggi, biaya pengobatan, biaya perbaikan), ancaman akan
krebilitas (nama baik organisasi, kepercayaan klien), ancaman pada properti
(kerusakan konstruksi, alat, db)
25. Bahaya
Fisik bagi korban dan pemberi pertolongan : dapat berupa : bahaya dari lokasi atau lingkungan alam
(di lembah, jurang, lereng, aliran air deras, bianatang, dsb), peralatan di
sekitar korban yang tidak aman (misalnya mesin yang sedang beroperasi,
peralatan atau perlengkapan yang sedang dikenakan oleh korban), gangguan dari
kerumunan orang banyak, dan bahaya-bahaya baru lainnya yang mungkin muncul pada
saat akan memberikan penanganan korban atau pada saat proses penanganan korban
26.
Kondisi
Korban : dapar berupa luka terbuka, pendarahan luar dan dalam, terbakar (benda panas,
kimia, listrik, friksi), cedera pada tulang atau joint (dislokasi, patah
tulang, cedera pada tulang leher atau tulang belakang), cedera kepala, luka
tertusuk, reaksi alergi, , gigitan binatang (ular, serangga, dsb), keracunan
(zat, yang terhirup, makanan, minuman, obat-obatan), gangguan pernafasan,
kondisi medis (epilepsy, asma, gangguan jantung, diabetes, darah tinggi,
tersedak, tenggelam, shock, cedera pada jaringan lunak (kram, keseleo),
pengaruh akibat lingkungan (hypothermia, hyperthermia, heat stroke, sun burn,
dehidrasi) kondisi tidak sadar/ pingsan (termasuk tidak terdeteksi adanya
pernafasan dan denyut nadi), dan sebagainya
27.
Pengelolaan pertolongan pertama ; harus mempertimbangkan: Kebijakan dan Prosedur yang
berlaku di organisasi, regulasi yang berlaku nasional, memenuhi persyaratan
kesehatan dan keamanan kerja, kondisi alergi dari korban terhadap suatu
penanganan, lingkungan sekitar kejadian yang berbahaya, ketersediaan dan
penggunaan peralatan P3K yang dibawa dan daya dukung personil, dan kemampuan
dari si pemberi pertolongan itu sendiri dalam menangani jenis kondisi korban
28. Prinsip
dan prosedur pertolongan pertama :
meliputi Danger, Respitory, Airway, Breathing, dan Circulation (D – R – A – B – C), membuat nyaman korban,
meminimalisir cedera atau kemungkinan munculnya kondisi gangguan lainnya
terhadap korban
29. Vital
sign : meliputi penilaian
kondisi pernafasan, denyut nadi, kondisi suhu tubuh, dan tingkat kesadaran.
Proses monitoring dan pecatatan vital sign dan kondisi korban dilakukan setelah
pemberian pertolongan pertama dan membutuhkan penanganan yang lebih lanjut oleh
pihak lain yang lebih ahli (misalnya dokter)
30. Tehnik Spotting : Tehnik menjaga pelaku yang
sedang melakukan kegiatan dengan cara merentangkan 2 tangan ke arah pelaku dengan
maksud untuk menopang si pelaku ketika terjatuh. Tehnik spotting dilakukan
minimal oleh 2 orang yang masing-masing berada di sisi kiri dan kanan pelaku
dan berjalan sejajar dengan pergerakan si pelaku
--------------- bersambung-------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar