yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Rabu, 10 Desember 2014

SKKNI BIDANG KEPEMANDUAN OTBOUND_1




LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR  KEP.329/MEN/XII/2011

TENTANG
PENETAPAN RANCANGAN STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA SEKTOR PARIWISATA
BIDANG KEPEMANDUAN OTBOUND / FASILITATOR EXPERIENTIAL LEARNING
MENJADI STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Era globalisasi dalam lingkup perdagangan bebas antar Negara, membawa dampak ganda, di satu sisi membuka peluang untuk melakukan kerjasama yang seluas-luasnya namun di sisi lain akan menimbulkan persaingan yang semakin tajam dan oleh karena itu untuk mengantisipasinya perlu ditingkatkan mutu daya saing dan keunggulan kompetitif pada semua sektor industri dan jasa dengan mengandalkan keunggulan sumber daya manusia (SDM), teknologi serta manajemen termasuk di dalam sektor pariwisata.
Di tingkat ASEAN sudah dilakukan kesepakatan untuk mobilitas tenaga profesional yang disebut MRA (Mutual Recognition Arrangement), paling lambat pada tahun 2014, sebagai bentuk pengakuan standar kompetensi kerja di bidang pariwisata. Dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang handal dan berkualitas sesuai tuntutan pasar atau industri pariwisata, diperlukan suatu standar kompetensi bagi SDM pariwisata di Indonesia, di antaranya yang bekerja di bidang Kepemanduan Otbound.
Dalam perkembangannya sekarang, muncul jenis aktifitas yang menarik dan menyenangkan, dimana kegiatan ini melibatkan langsung peserta/tamu untuk beraktifitas. Kegiatan ini mampu memunculkan sikap-sikap yang semakin mendukung perkembangan peserta. Seperti menjadi lebih berani, mampu keluar dari batasan diri, lebih ekspresif, serta sikap-sikap positif lainnya. Kegiatan ini awalnya memang digunakan untuk metode pelatihan. Namun karena ada beberapa bagian aktifitas yang bersifat fun & menantang, maka hal tersebut yang paling mudah diadaptasi dan semakin meluas.
Aktifitas ini bernama OUTWARD BOUND. Deskripsi (secara kamus bahasa) adalah; sebuah kapal layar yang bersiap mengangkat jangkar & meninggalkan pelabuhan untuk menuju ke tempat tertentu. Dalam penjabarannya pada sebuah program pelatihan, diambil filosofinya. Dimana sebuah kapal layar yang akan meninggalkan pelabuhan, tentu awak buah kapal mempersiapkan segala sesuatunya. Baik perbekalan, peralatan, logistik, serta mental. Karena yang akan mereka hadapi dalam pengarungan di laut berbagai macam tantangan. Mulai dari cuaca, gelombang besar, serta dinamika dalam kelompok/tim ABK sendiri. Hal tersebut diambil sebagai konsep pelatihan untuk pengembangan & perubahan mental supaya lebih positif.
Dalam konsep OUTWARD BOUND juga ditelaah mengenai cara supaya peserta bisa merasakan sendiri pengalaman serta mampu mengambil hikmah atau manfaatnya, sehingga lebih berguna diterapkan pada pekerjaan atau tujuan selanjutnya setelah mengikuti program kegiatan ini.
Untuk itu diberikan kesempatan atau momen yang menyenangkan bagi peserta, sehingga mereka merasa tidak dipaksa dan mampu menemukan sendiri potensinya. Hal ini dikemas dalam bentuk aktifitas permainan (games) serta beberapa kegiatan ketinggian (salah satunya adalah Low-High Ropes). Dalam perkembangannya sekarang, permainan-permainan ini dikemas dalam program kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta (dalam hal ini peserta dari berbagai usia, level, & kelompok). Baik dalam jumlah kecil maupun dalam jumlah besar.
Untuk bisa melaksanakan program tersebut dengan baik dibutuhkan personal-personal yang memiliki kemampuan membawakan aktifitas dengan tepat, aman, serta bermanfaat. Dimana orang – orang yang bertugas untuk hal tersebut lebih bersifat MEMFASILITASI.
Untuk istilah OUTWARD BOUND, sampai saat ini sudah dipatenkan oleh salah satu perusahaan pelatihan di Indonesia. Hal lain yang juga mempengaruhi perkembangan istilah terseebut karena pengucapannya yang tidak mudah bagi lidah masyarakat Indonesia. Lebih cepat & mudah diingat penyebutannya dengan istilah OUTBOUND atau disebut juga Fasilitator Experiential learning.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu disusun  Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Sektor Pariwisata Bidang Kepemanduan Outbound / Fasilitator Experiential learning (FASEL). Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) ini disusun sebagai suatu pedoman yang baku dan dapat diaplikasikan dalam rangka memenuhi kebutuhan SDM yang kompeten, baik bagi lembaga maupun industri pariwisata.
.
B.   Tujuan
Penyusunan Standar kompetensi bidang kepemanduan Otboundmempunyai tujuan yaitu pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang bergerak dalam bidang keahlian tersebut di atas sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak diantaranya :
1.    Institusi pendidikan dan pelatihan
·         Memberikan informasi untuk pengembangan program kurikulum
·         Sebagai acuan dalam penyelenggaraan pelatihan, penilaian dan sertifikasi
2.    Dunia usaha/industri dan pengguna tenaga kerja
·         Membantu dalam rekruitmen tenaga kerja
·         Membantu penilaian unjuk kerja
·         Mengembangkan program pelatihan bagi karyawan berdasarkan kebutuhan
·         Untuk membuat uraian jabatan
3.    Institusi penyelenggara pengujian dan sertifikasi
·         Sebagai acuan dalam merumuskan paket-paket program sertifikasi sesuai dengan kualifikasi dan levelnya
·         Sebagai acuan dalam penyelenggaraan pelatihan, penilaian dan sertifikasi
Selain tujuan tersebut di atas, tujuan lain dari penyusunan standar ini adalah untuk mendapatkan pengakuan secara nasional maupun internasional. Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan pengakuan tersebut adalah :
1.    Menyesuaikan penyusunan standar kompetensi tersebut dengan kebutuhan industri/usaha, dengan melakukan eksplorasi data primer dan sekunder secara komprehensif
2.    Menggunakan referensi dan rujukan dari standar – standar sejenis yang digunakan oleh negara lain atau standar internasional, agar dikemudian hari dapat dilakukan proses saling pengakuan (Mutual Recognition Agreement – MRA)
3.    Dilakukan bersama dengan representatif dari asosiasi pekerja, asosiasi industri/usaha secara institusional, dan asosiasi lembaga pendidikan dan pelatihan profesi atau para pakar dibidangnya agar memudahkan dalam pencapaian konsesus dan pemberlakuan secara nasional

C.   Pengertian SKKNI
Pengertian SKKNI diuraikan sebagai berikut :
1.      Kompetensi
Berdasarkan pada arti estimologi, kompetensi diartikan sebagai kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan atau melaksanakan pekerjaan yang dilandasi oleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja.
Sehingga dapat dirumuskan bahwa kompetensi diartikan sebagai kemampuan seseorang yang dapat terobservasi mencakup atas pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas sesuai dengan standar performa yang ditetapkan.


2.    Standar Kompetensi
Standar kompetensi terbentuk atas kata standar dan kompetensi. Standar diartikan sebagai ”Ukuran” yang disepakati, sedangkan kompetensi telah didefinisikan sebagai kemampuan seseorang yang dapat terobservasi mencakup atas pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja dalam menyelesaikan dalam suatu pekerjaan atau tugas sesuai dengan standar performa yang ditetapkan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan standar kompetensi adalah rumusan tentang kemampuan yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang didasari atas pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja sesuai dengan unjuk kerja yang dipersyaratkan.

3.    Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan dikuasainya standar kompetensi tersebut oleh seseorang, maka yang bersangkutan mampu :
a)         Bagaimana mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan.
b)         Bagaimana mengorganisasikannya agar pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan
c)         Apa yang harus dilakukan bilamana terjadi sesuatu yang berbeda dengan rencana semula
d)         Bagaimana menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah atau melaksanakan tugas dengan kondisi yang berbeda.

4.    Program Rekreasi : program yang bersifat rekreasi, seperti Outing, Gathering, kompetisi, wisata alam, dan sebagainya yang berdurasi tidak lebih dari 1 hari.

5.    Faktor yang mempengaruhi program kegiatan : dapat berupa faktor lingkungan (misalnya cuaca hujan, suhu udara panas, dingin), peserta (motivasi, dinami kakelompok,  kondisi atau stamina fisik, kondisi mental, kemampuan peserta melakukan kegiatan atau menyelesaikan tugas), Ketersediaan peralatan, sumber daya manusia pendukung, durasi waktu, dampak terhadap lingkungan dalam berkegiatan, tingkat keamanan berkegiatan, dan sebagainya


6.    Dampak negatif terhadap lingkungan : dapat berupa pengaruh terhadap pepohonan atau tumbuhan, air, udara, tanah, di sekitar wilayah kegiatan, lingkungan sosial di sekitar wilayah kegiatan (kebisingan, memakai / memasuki wilayah di luar otoritas penyelenggara atau penyedia kegiatan), dan sebagainya.

7.    Tempat untuk berkegiatan : Dapat berupa dan tidak terbatas pada dalam ruang, luar ruang, lapangan bermain, kolam air, lingkungan perkotaan, lingkungan alam, dan sebagainya

8.    Peralatan dan sumber daya : Dapat berupa dan tidak terbatas pada : peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk berkegiatan (peralatan untuk setting kegiatan permainan, perlengkapan individu untuk peserta), peralatan keamanan untuk berkegiatan, lokasi kegiatan (lapangan, ruangan), konsumsi (makanan dan minuman), toilet, anggaran, transportasi, sound system, seragam berkegiatan (t-shirt, topi, bandana), dukungan medis (peralatan P3K, tim medis, ambulans), pendukung teknis, peralatan administrasi, dan sebagainya

9.    Tujuan Program : Dapat berupa : Pengembangan karakter, pengembangan pola pikir, pencapaian pengetahuan atau keterampilan, perubahan perilaku,  seleksi, penilaian unjuk kerja, dan sebagainya

10.  Gangguan psikologis : Dapat berupa : phobia, trauma, kemarahan, kesedihan, resistensi, demotivasi, perilaku merusak (destruktif), rendah diri, panic

11.  Gangguan fisik : Dapat berupa :  cedera fisik (misalnya patah tulang, luka), perdarahan, kelainan pada fungsi organ dalam (jantung, paru-paru, lambung, otak), cedera atau gangguan pada alat indera, dan sebagainya

12.  Kegiatan fasilitasi : dapat berupa Learning by Doing, Learning by Telling (speaking for the experience), Learning through Reflection (debriefing), Direction with Reflection (direct frontloading), Metaphoric Framing

13.  Kebutuhan belajar : Dapat meliputi attributes (pengetahuan  dan keterampilan yang relevan dengan kegiatan, pengembangan diri, pengaturan emosi), hal-hal lainnya baik yang diungkapkan secara langsung oleh peserta maupun yang tidak terungkapkan, gaya pembelajaran individu (learning styles), tehnik untuk menilai keberhasilan atau kegagalan, dan sebagainya


14.  Hasil belajar : dapat berupa nilai-nilai pembelajaran, refreshing, perubahan mind-set, perubahan tingkah laku dan sikap, bertambahnya pengetahuan atau keterampilan, kebersamaan, dan sebagainya

15.  Variasi elemen : merupakan rangkaian kegiatan tali tinggi yang terdiri lebih dari 1 elemen lintasan dan terhubung satu sama lain, misalnya lintasan Elvis Walk, Burma Bridge, dan Flying Fox

16.  Dampak kegiatan tali tinggi terhadap lingkungan : dapat berupa kerusakan pada pohon, tumbuhan, pengaruh pada  daya resap tanah terhadap air hujan (pengerasan tanah, tanah berlumpur, kerusakan rumput lapangan), gangguan pada kehidupan fauna sekitarnya, kebisingan dan mengganggu lingkungan sosial lain yang ada di sekitar wilayah kegiatan tali tinggi, dampak terhadap nilai estetika lingkungan, dan sebagainya

17.  Angkur (anchor) : berupa tambatan utama dari sistem pemasangan lintasan dan pengamanan tali tinggi, dapat berupa tambatan alam (misalnya pohon, batu) atau buatan (misalnya staple, eye bolts, shackles, dsb)

18.  Sistem belay : sistem pengamanan bagi individu yang melakukan kegiatan di ketinggian, dapat berupa system Belay Statis (misalnya cowstail, crab claws, dsb), atau Belay Dinamis (menggunakan peralatan belay dan personil pendukung/ belayer)

19.  Situasi tidak terduga atau gawat darurat : dapat berupa kondisi peserta baik secara fisik atau psikis (kelelahan, terluka, keseleo, trauma, phobia, histeris, dsb), kerusakan atau disfungsi alat (pulley macet ditengah penggunaan, peserta lupa mengunci karabiner di tengah berkegiatan, sistem belay macet, dsb), atau perubahan kondisi alam yang dapat membahayakan peserta dalam berkegiatan (misalnya petir, angin kencang, hujan yang mengakibatkan tanah menjadi licin dan berlumpur, dsb)

20.  Resiko : Kesempatan terjadinya sesuatu hal yang memiliki dampak pada suatu obyek. Biasanya dilihat sebagai sebab dan akibat. Dapat juga berarti potensi hilangnya suatu hal yang bernilai. Kehilangan tersebut dapat berupa kehilangan fisik (luka, kematian, kerusakan alat), kehilangan mental (trauma, stress, konflik antar individu), sosial (kehilangan nama baik atau kredibilitas di masyarakat), dan finansial (ganti rugi, kehilangan investasi)
21.  Analisis Resiko : Proses pengumpulan informasi, dan pemeriksaan informasi untuk menentukan seberapa sering suatu peristiwa dapat mungkin terjadi dan mengukur konsekuensi yang mungkin muncul dari peristiwa tersebut. Analisis Resiko dilakukan terhadap : peralatan pendukung, keselamatan personil (peserta, pemandu, staff pendukung, orang lain), dampak dari dan terhadap lingkungan, dan proses berkegiatan

22.  Penilaian tingkat resiko : dapat meliputi penilaian kualitatif (seberapa parah potensi resiko dapat terjadi: parah sekali, parah, masih dapat diterima, rendah, termasuk konsekuensinya), penilaian kuantitatif (seberapa sering potensi resiko tersebut akan muncul,  dan seberapa sering kemungkinan kecelakaan akan terjadi), atau mengkombinasikan 2 penilaian di atas

23.  Kriteria Evaluasi Resiko : Meliputi standar-standar yang sudah disusun, tingkat resiko, dsb. Kriteria evaluasi resiko dapat ditentukan lewat regulasi yang berlaku umum, Standar Nasional (SNI), kebijakan dan prosedur di organisasi, atau buku petunjuk penggunaan alat

24.  Kategori Resiko : Dapat berupa Ancaman pada kehidupan (luka, cedera, wabah yang menyerang manusia, bianatang, atau tumbuhan), ancaman ekonomis dan finansial (biaya operasional yang tinggi, biaya pengobatan, biaya perbaikan), ancaman akan krebilitas (nama baik organisasi, kepercayaan klien), ancaman pada properti (kerusakan konstruksi, alat, db)

25.  Bahaya Fisik bagi korban dan pemberi pertolongan : dapat berupa : bahaya dari lokasi atau lingkungan alam (di lembah, jurang, lereng, aliran air deras, bianatang, dsb), peralatan di sekitar korban yang tidak aman (misalnya mesin yang sedang beroperasi, peralatan atau perlengkapan yang sedang dikenakan oleh korban), gangguan dari kerumunan orang banyak, dan bahaya-bahaya baru lainnya yang mungkin muncul pada saat akan memberikan penanganan korban atau pada saat proses penanganan korban

26.  Kondisi Korban :  dapar berupa luka terbuka, pendarahan luar dan dalam, terbakar (benda panas, kimia, listrik, friksi), cedera pada tulang atau joint (dislokasi, patah tulang, cedera pada tulang leher atau tulang belakang), cedera kepala, luka tertusuk, reaksi alergi, , gigitan binatang (ular, serangga, dsb), keracunan (zat, yang terhirup, makanan, minuman, obat-obatan), gangguan pernafasan, kondisi medis (epilepsy, asma, gangguan jantung, diabetes, darah tinggi, tersedak, tenggelam, shock, cedera pada jaringan lunak (kram, keseleo), pengaruh akibat lingkungan (hypothermia, hyperthermia, heat stroke, sun burn, dehidrasi) kondisi tidak sadar/ pingsan (termasuk tidak terdeteksi adanya pernafasan dan denyut nadi), dan sebagainya

27.  Pengelolaan pertolongan pertama ; harus mempertimbangkan: Kebijakan dan Prosedur yang berlaku di organisasi, regulasi yang berlaku nasional, memenuhi persyaratan kesehatan dan keamanan kerja, kondisi alergi dari korban terhadap suatu penanganan, lingkungan sekitar kejadian yang berbahaya, ketersediaan dan penggunaan peralatan P3K yang dibawa dan daya dukung personil, dan kemampuan dari si pemberi pertolongan itu sendiri dalam menangani jenis kondisi korban

28.  Prinsip dan prosedur pertolongan pertama : meliputi Danger, Respitory, Airway, Breathing, dan Circulation (D – R – A – B – C), membuat nyaman korban, meminimalisir cedera atau kemungkinan munculnya kondisi gangguan lainnya terhadap korban

29.  Vital sign : meliputi penilaian kondisi pernafasan, denyut nadi, kondisi suhu tubuh, dan tingkat kesadaran. Proses monitoring dan pecatatan vital sign dan kondisi korban dilakukan setelah pemberian pertolongan pertama dan membutuhkan penanganan yang lebih lanjut oleh pihak lain yang lebih ahli (misalnya dokter)

30.  Tehnik Spotting : Tehnik menjaga pelaku yang sedang melakukan kegiatan dengan cara merentangkan 2 tangan ke arah pelaku dengan maksud untuk menopang si pelaku ketika terjatuh. Tehnik spotting dilakukan minimal oleh 2 orang yang masing-masing berada di sisi kiri dan kanan pelaku dan berjalan sejajar dengan pergerakan si pelaku


--------------- bersambung-------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar