yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Minggu, 31 Juli 2011

Pemeranan Fasilitator Outbound



PERAN UMUM


1.     Perancang program/ konseptor
  • Membuat konsep kegiatan sesuai tujuan.
  • Menerjemahkan tujuan dan konsep kegiatan dalam materi-materi/ aktivitas turunannya, dengan mempertimbangkan lokasi, waktu, karakter peserta, jumlah peserta, dan hal-hal terkait lainnya.
  • Pengaluran dan penjadwalan kegiatan.
  • Menetapkan kualifikasi pelaksana program (instruktur, pendamping, pengamat)
  • Menetapkan parameter evaluasi dan tingkat keberhasilan program.

2.     Dirigen/ playmaker/ konduktor/ moderator
(jika diperlukan, terutama untuk program yang panjang dan kompleks)
  • Mengatur tempo kegiatan, terutama terkait dengan kondisi aktual peserta, supaya tetap dapat mencapai target parsial/ alur program.
  • Berwenang melakukan intervensi pada peserta, baik secara langsung atau melalui pendamping kelompok supaya alur program tetap terjaga.
  • Menarik benang merah antar materi/ dinamika/ permainan sehingga dapat dipahami dan diikuti peserta.

3.     Instruktur dinamika/ permainan
  • Pemandu suatu dinamika/ permainan.
  • “Tuan rumah” bagi peserta dalam aktivitas yang dibawakannya, meliputi sisi materi dan keselamatan proses.
  • Memberi penilaian teknis terhadap kelompok/ peserta , sesuai prestasi yang dicapainya.
Proses pemaknaan outbound

4.     Pemateri (jika ada materi khusus)

5.     Pendamping kelompok
  • Mendampingi kelompok peserta secara aktif saat menjalani proses pendidikan pengalaman.
  • Berinteraksi dengan peserta (evaluasi/ diskusi/ sharing) untuk mengkondisikan peserta mampu mengikuti dan memaknai semua tahapan proses.
  • Membuat catatan perkembangan peserta berdasarkan interaksi.

6.     Pengamat (jika diperlukan)
  • Mengamati kelompok peserta/ seluruh peserta  saat menjalani proses pendidikan pengalaman.
  • Membuat catatan perkembangan kelompok/ peserta berdasarkan pengamatan/ interpretasi pengamat.

7.     Tim Operasional (perlengkapan, kesehatan, akomodasi, administrasi, dan lain-lain)

PERAN SPESIFIK
 
1.     Pelatih
Melatih ketrampilan baru/ spesifik , misal: melatih ketrampilan mendirikan tenda
  • Berorientasi pada peserta
  • Relevan dengan proses/ kebutuhan saat itu
  • Menjadi role model
  • Suasana gembira
  •  “Menantang”

2.     Translator pengalaman
Apa kata dunia, Jika fasilitator yang melatih cara mendirikan kemah, tidak terlihat antusias dan menikmati suasana berkemah?
  • Pengalaman dan nilai-nilai yang pernah dialami fasilitator perlu ditransfer pada peserta.
  • Transfer ketrampilan saja tidak cukup jika tidak diikuti antusiasme dan keterlibatan penuh, buatlah atmosfer yang kondusif.

3.     Perancang program
  • Fasilitator yang pernah belajar/ berperan merancang program tentu akan lebih komplet pemahaman terhadap konteks program.
  • Ketika dia berperan menjadi pendamping kelompok, instruktur dinamika, pengamat, dirigen, maupun tim teknis, dipastikan lebih menghayati peran tersebut, dengan pandangan-pandangan yang lebih obyektif dan menyeluruh.

4.     Konselor
Dalam proses outbound kadang-kadang, peserta mengalami kondisi di luar kenyamanan, suasana takpasti, dan berbagai resiko dan tantangan, maka, siap-siaplah menjadi konselor?
  • Sebagai pilihan pertama peserta yang sedang “limbung” untuk diskusi/ sharing/ curhat konselor harus menghadapi secara dewasa, tetap ingat peran sebagai fasilitator terhadap peserta.
  • Perlu berbagai ilmu “mengenai manusia” selain ketrampilan teknis dan konseptual program.

5.     Fasilitator grup/ pendamping Kelompok
Porsi terbesar program pendidikan pengalaman adalah proses pengolahan pribadi dalam suatu grup/ kelompok, sehingga untuk memfasilitasi hal tersebut diperlukan fasilitator yang handal.
  •  Perlu pengetahuan dan ketrampilan mengelola, menstimulus, memotivasi, bahkan jika diperlukan menintervensi  kelompok, khususnya dalam sebuah proses pembelajaran.
  • Obyektif melihat perkembangan antara individu, kelompok kecil, dan kelompok besar.

6.     Presenter
Kadang diperlukan kemampuan fasilitator untuk mempresentasikan sesuatu pada peserta, misal:
  1. Menjelaskan kondisi sosial kemasyarakatan daerah yang akan digunakan untuk lokasi kegiatan,
  2. Menjelaskan tentang “manajemen keselamatan kerja di pabrik” sebagai salah satu bagian materi pendukung program.
Memang bukan peran utama fasilitator, namun baik jika menguasai dasar-dasar komunikasi/ public speaking.

7.     Entertainer
Ada kala diperlukan suasana heboh/ menghibur dalam sebuah kelompok demi menjaga stabilitas, atau menaikkan semangat kelompok yang melesu.
  • Memancing salah satu peserta untuk menjadi “entertainer”, sesuai kemampuan yang dikuasainya
  • Menjadi “entertainer” bagi kelompoknya.
  • Humoris, dan cerdas memancing tawa, terutama sesuai konteks proses.
Namun tetap diingat, jangan sampai aktivitas ini justru mengaburkan proses secara umum.

Jembatan Transfer dalam Experiential Learning/ Outbound


Setujukah Kita jika tiap peserta punya latar belakang yang bervariasi? setujuuuuu Sependapatkah  Kita jika tiap peserta punya dan daya tangkap yang berbeda-beda? Sependapaaaaat.  Kalo gitu, wajarkah Kita jika suatu dinamika bisa dimaknai secara berbeda/ beragam oleh tiap peserta, walau pun sudah bersama-sama menjalaninya? Wajaaaaarrrr. Kalo wajar, setujukah jika hal itu bisa bikin pusing seorang fasilitator? Set……, setuju atau nggak? Setuju kalau fasilitatornya amatiran, tidak setuju jika fasilitatornya profesional. Arti amatir itu jika kita belum tahu persis (atau tidak mau tahu) seluk beluk teknik pendampingan, sebaliknya, mereka yang mau belajar dan berusaha, akan menjadi fasilitator yang profesional, khususnya dalam hal pendampingan pemaknaan. Mari Kita diskusikan!
rel kayu
Antara pelaksanaan suatu dinamika, refleksi, dan pemaknaan, ada sesuatu yang hendak ditransfer, yaitu suatu nilai/ konsep/ makna. Tidak serta-merta peserta tahu dengan gamblang apa makna suatu dinamika, maka untuk menanggulanginya diperlukan sebuah “jembatan” yang akan memudahkan proses transfer makna. Ada 3 jenis jembatan transfer, yaitu: Transfer Spesifik, Transfer Nonspesifik, dan Transfer Metaforik; apa lagi ini?
Transfer Spesifik, bisa Kita analogikan dengan pemaknaan hal-hal yang bersifat teknis dinamika, Transfer Nonspesifik identik dengan hal-hal  yang terkait dengan manajemen dinamika, dan Transfer Metaforik mengacu pada suatu asosiasi/ metafora manfaat dinamika, biasanya pada level kepemimpinan. Untuk memperjelasnya, kita langsung simak 3 contoh berikut ini. 
Dalam suatu permainan  Pipa Bocor,Transfer Spesifik, misalnya:    belajar menutup lubang dengan sebanyak mungkin jari tangan, pengalaman menggunakan kaki dan pipi dalam menutup lubang, pengalaman menuangkan air secara baik dari ember ke dalam pipa. Transfer Nonspesifik misalnya: belajar merencanakan dan membagi tugas, belajar berkomunikasi efektif, melatih kreativitas. Transfer Metaforik, misalnya:  dalam suatu organisasi, kelemahan tiap orang dalam dapat ditutupi oleh orang lain, atau, kerja keras belum tentu membawa keberhasilan jika tidak diimbangi kerja cerdas, atau, dalam mencapai tujuan diperlukan kerjasama dari semua pihak.
Dalam suatu permainan  Spider Web, Transfer Spesifik, misalnya: belajar mengangkat teman dengan aman, belajar konsentrasi saat diangkat, tenang/ diam saat dipandu teman. Transfer Nonspesifik misalnya: belajar merencanakan, belajar mengevaluasi kegagalam, pengalaman bekerjasama. Transfer Metaforik, misalnya:  Untuk mencapai target perlu kepemimpinan partisipatif, atau, selalu ada manfaat yang bisa diambil dari tiap kegagalan, atau, kerja keras dan kerja keras akan membawa keberhasilan.
Kini contoh terakhir, tahu permainan  Bola Olala? Jika belum, beginilah. Tujuan permainan adalah memasukkan bola dalam suatu wadah, dimana bola tersebut digelindingkan secara estafet pada media yang dipegang oleh beberapa orang. Ketakstabilan gerakan/ pegangan dapat membuat bola menggelinding nggak karuan, bahkan jatuh bukan pada tempatnya. Transfer Spesifik yang bisa terjadi, misalnya: belajar memegang media secara mantap, belajar keseimbangan, membuat bola meluncur pelan. Transfer Nonspesifik misalnya: belajar merencanakan, mengevaluasi, bekerjasama, komunikasi efektif. Transfer Metaforik, misalnya:  Untuk mempertahankan pelanggan (bola dianalogikan pelanggan/ konsumen) perlu kerja keras, atau, kinerja sebuah tim ditentukan banyak faktor.

Nah, mudah-mudahan 3 contoh tadi bisa memperjelas pemahaman kita tentang 3 jenis jembatan transfer makna. Mengapa Kita perlu tahu segala rupa jembatan tadi? Ingat, daya tangkap peserta terhadap suatu dinamika berbeda-beda. Daya jelajah fasilitator, mungkin juga terbatas, misalnya dia hanya berpikir bahwa makna suatu dinamika hanya pada jenis transfer nonspesifik saja, sehingga ketika ketemu peserta yang menjelaskan secara spesifik, atau metaforik, dia tidak siap. Pengetahuan akan 3 jenis jembatan ini dapat membuat fasilitator selalu siap dengan segala kondisi pemaknaan. Jika ada peserta yang hanya mampu mentrasfer dinamika secara spesifik saja, peran fasilitator untuk mengarahkan ke transfer nonspesifik, lalu baru metaforik.

Refleksi Experiential Learning berbasis Audio Visual (bagian 2 dari 2)


Prinsip
Nah, setelah tahu empat hal yang saling terkait dalam proses pengambilan adegan outbound tadi, kini kita beranjak pada 2 prinsip audiovisual yang mampu menunjang proses refleksi dan pemaknaan:
1.       Penayangan foto dan film merupakan sarana pembantu fasilitator untuk membawakan refleksid dan pemaknaan, jadi bukan menu utama acara. Maka, Komposisi antara waktu penayangan dan waktu refleksi-pemaknaan hendaklah proporsional. 
2.       Tayangkan adegan tiap permainan, sehingga dapat memberi gambaran suatu proses. Hendaklah menghindari hanya menayangkan adegan yang seru-seru saja tapi kurang menggambarkan dengan konteks permainan secara keseluruhan. Tayangan yang baik mencakup:
·         Proses perjuangan suatu peserta/ kelompok dalam menyelesaikan tantangan, (ini pasti selalu ada)
·         Pengalaman kegagalan penyelesaian suatu dinamika (jika ada)
·         Pengalaman keberhasilan (langsung) dalam penyelesaian dinamika, (jika ada)
·         Pengalaman perjuangan, gagal, lalu berhasil dalam suatu proses.
Kemungkinan besar, rangkaian pengalaman tadi tidak bisa diperoleh dari satu kelompok saja, jadi nggak masalah jika misalnya pengalaman perjuangan diambil dari kelompok A, pengalaman gagal dari kelompok C, dan pengalaman berhasil dari kelompok E. Namun bisa saja ketemu adegan yang memperlihatkan satu kelompok mengalami kegagalan berulang kali, namun akhirnya berkat perjuangan dan perubahan strategi bisa berhasil menyelesaikan tugas. Macem-macem deh variasinya, yang jelas apa pun yang ditampilkan hendaknya membantu peserta masuk ke pemaknaan secara efektif.

Berburu Adegan
Nah, berdasar 2 prinsip tadi, gimana tips saat kita berburu foto/ film yang pas? Oh ya, saya lebih sering menggunakan film untuk proses, sedangkan foto untuk dokumentasi saja.
  1. Semaksimal mungkin merekam contoh pengalaman berjuang, gagal, dan berhasil dalam suatu permainan, walau tidak dilakukan satu kelompok.
  2. Terus rekam sesering mungkin, karena kadang kita menemukan hal seru/ lucu/ hebat tanpa terencana.
  3. Tetap ingat, bikin semerata mungkin tiap pos dalam tiap kesempatan, namun jangan kelewat lincah. Misalnya di satu pos belum ketemu adegan kunci, sudah loncat ke pos berikutnya, baru rekam 10 detik, pindah lagi ke pos yang lain, bengong nunggu adegan yang diprediksi akan seru, eh ketika adegan itu berlalu malah tidak terekam, lalu loncat lagi ke pos yang lain, ngrekam hal yang nggak perlu, lalu sigap pindah ke pos pertama tadi dengan harapan dapat momen kunci, eee ternyata di sana sudah selesai.
  4. Jika ada keterbatasan kapasitas memori kamera, jangan ragu menghapus file film yang dianggap kurang afdol atu tidak signifikan. Di awal menggunakan metode ini, saya agak sayang membuang file, namun ketika ditega-tegakan, toh semua malah jadi lebih ringkas. Namun jangan terlalu semangat menghapus file  sehingga malah kekurangan stok, padahal di akhir proses masis tersisa banyak kapasitas memori, itu konyol namanya
  5. Selalu cek, berapa kapasitas memori tersisa untuk diperhitungkan dengan rekaman seluruh proses.
  6. Ingat waktu yang tersedia untuk proses transfer, edit, dan penyusunannya. Jika waktu yang ada mepet, kita juga harus disiplin waktu. Jangan sampai kita lupa waktu, sehingga (memang kita dapat banyak adegan bagus (juga yang ngak bagus), namun) waktu untuk transfer jadi lama, atau malah sudah waktunya refleksi dan pemaknaan, kita masih sibuk transfer. Kembali ke kisah saya dulu, ketika akan membuat refleksi audio visual untuk 5 kelompok yang bermain dalam 5 sesi untuk 5 permainan, sedangkan waktu jeda hanya 15 menit. Strategi saya, cukup berburu adegan pada sesi ke-1 sampai ke-4, sedangkan ketika peserta main di sesi ke-5, saya sudah transfer file ke laptop. Ketika peserta selesai outbound dan istirahat 15 menit, saya lagi proses pilih dan susun file. Ketika peserta masuk ruangan untuk proses refleksi dan pemaknaan, sudah siaplah saya untuk membawakannya. Pengorbanannya yach makan snack dan istirahat sambil nunggu transfer file. Hasrat untuk melihat seluruh proses outbound sampai akhir (5 sesi) tak perlu dituruti karena kita juga melakukan hal yang justru signifikan bagi peserta, jadi ndak perlu ditangisi.


Transfer File
Itu tadi beberapa tips saat berburu film. Setelah itu apa? Yha segera ditransfer. Ini dia beberapa kelakuan saya ketika proses transfer:
1.       Transfer file dari kamera ke komputer/ laptop. Bisa langsung dari kartu memori, atau dari kamera menggunakan kabel data. Semuanya ditransfer tanpa pilih-pilih supaya proses lebih cepat.
2.       Pisahkan mana file foto dan file film, lalu buatkan subfolder yang membedakannya.
3.       Lihat tampilan file film (dengan thumbnails) lalu rubah sesuai nama dinamika. Misalnya pilih mana yang adegan di rakit, pilih klik, klik, klik, lalu rename dengan nama “rakit” maka nanti akan berubah jadi rakit, rakit 1, rakit 2, rakit 3 dan seterusnya. 
4.       Setelah semua file berganti nama, kelompokkan, mana yang file rakit diurutkan, file flying fox juga diurutkan, file pipa bocor juga sama nasibnya, dan seterusnya.
5.       Kini lihat filmnya per permainan, lalu atur posisi mana yang ditayangkan lebih dahulu; masih ingat prinsip urutannya? Yah, pengalaman berjuang, gagal, dan diakhiri pengalaman berhasil. Kalo pengalaman lucu gimana? Wah itu relatif, ndak perlu dikhususkan karena kadang ada di sesi perjuangan, gagal, maupun berhasil. Mungkin setelah diurutkan akan jadi berturut-turut yang akan ditayangkan adalah file rakit 3, rakit 5, rakit 6, lalu rakit  1. Lho rakit 2 dan rakit 4 kemana? tidak ditayangkan karena relatif sudah terwakili oleh adegan yang lain. Jangan ragu untuk meninggalkannya, daripada jika ditampilkan semua malah bikin bosen.
6.       Saat melihat kombinasi urutan adegan, kita buat catatan khusus untuk petunjuk saat “show” nanti. Catatan itu berisi hal-hal menarik selama durasi suatu film berlangsung;  kurang lebih contoh isinya begini.
·         Rakit 3 (00.33 menit), penjelasan, menit ke 00.09 ada yang pilih pelampung terlalu kecil.
·         Rakit 5 (01.12 menit), proses naik rakit dan takut-takut masuk kolam; 00.40 ada yang kecebur, lucu; 00.56 kecebur lagi
·         Rakit 6 (03.55) upaya mengarungi kolam, 01.22 ada peserta bertengkar di atas rakit; 02.08 yang tadi bertengkar sudah akur dan kompak; potong/ hentikan di 03.05 karena stl itu biasa-biasa saja.
·         Rakit 1 (01.28) 00.19 ada yang kecebur saat ambil bendera, 00.45 bisa menyelesaikan target; 01.20 waktu permainan selesai, kelompok melebihi target dan berhasil ambil bonus lalu seluruh anggota tim kegirangan
Saya memang tidak menulis rapi dg format seperti itu, namun dengan kode grafis, garis, angka, dan kadang sketsa; namun intinya seperti tadi. Yang penting kita tahu (karena sudah melihat dan bikin catatan) adegan apa yang akan kita tayangkan nanti, temasuk pada detik ke berapa kita akan mengulang-ulang adegan yang seru/ lucu atau mengharukan/ membanggakan.

7.       Setelah semua file terpilih disusun dan catatan kita selesai. Pindahkan file tersebut dalam media pemutar (media player/ winamp/ nero/ lainnya). Jika ada beberapa dinamika yang punya adegan lucu/ seru biasanya saya pisah sehingga ada yang lucu di awal, tengah, dan akhir; mengapa? Lucu di awal akan menarik perhatian peserta sehingga mau mengikuti proses dengan antusias dan penasaran (ada lucu-lucu apalagi nanti?) lucu di tengah untuk menjaga antusiasme sekaligus menjawab kepenasaranan peserta, dan lucu di akhir demikian juga. Namun tetap ingat lho, kita bukan nonton film lucu-lucuan atau film adegan konyol, tapi lagi refleksi dan pemaknaan suatu permainan dalam outbound.
8.       Cobalah mainkan beberapa file yang sudah dirangkai dalam media pemutar tersebut sehingga kita tidak kagok dalam aplikasinya. Pelajari bagaimana perpindahan antar file, otomatis kah atau perlu di “klik,” juga gimana jika mau mengulang (-ulang) suatu adegan. Percobaan akan lebih afdol lagi jika komputer/ laptop kita sudah dirangkaikan dengan mesin proyektor dan pengeras suara. Cari setelan pengaturan yang paling pas dalam tampilan (visual) maupun volume suara (audio), pokoke coba-coba deh, istilah kerennya gladi bersih gitu loh. Ketika proses ini sudah kita lalui, maka semestinya kita siap untuk memfasilitasi proses refleksi dan pemaknaan.


Eksekusi
Hal terakhir kini saat eksekusi proses refleksi dan pemaknaan. Intinya ya, lakukan pemutaran foto/ film sesuai catatan yang sudah kita buat. Ketika sudah cerita tentang teknis refleksi-pemaknaan, memang berkait erat dengan gaya seorang fasilitator dalam membawakannya. Mungkin ada yang minimalis, ketika sudah ditayangkan suatu film cuma bertanya, “Ayoooo, apa makna yang bisa kita ambil dari permainan tadi?” wah kalo model itu sebaiknya Berikut ini tips yang biasa saya lakukan;
  1. Tiap dinamika/ permainan tuntaskan satu atau beberapa makna, baru berpindah ke permainan lainnya.
  2. Dalam tiap dinamika, putar dahulu tayangan; hentikan/ pause pada adegan yang menarik/ kontekstual dengan refleksi/ pemaknaan. Sementara film diam, kita gantian ngomong atau ngajak peserta diskusi/ tanya jawab. Setelah itu putar lanjutkan kembali adegan, stop lagi pada bagian yang mendukung refleksi/ pemaknaan. Begitu seterusnya dengan tetap mengingat, jangan sampai terlalu banyak stopnya cukup 2-5 kali saja tiap permainan. Sebisa mungkin hindari kita ngomong ketika film masih diputar karena suara kita menjadi nggak terdengar jelas, dan lebih penting lagi, peserta bisa bingung, mau ndengerin kita atau mau dengerin film.
  3. Bagus juga jika sesekali kita stop pada tayangan yang memperlihatkan (close up) ekspresi atau bahasa tubuh satu atau beberapa orang ketika bermain, misal ekspresi khawatir, senang, takut, penasaran, menahan beban, ngotot, dan sebagainya. Hal itu dipadu dengan penjelasan betapa suatu dinamika dapat membuat seseorang begitu emosional, ekspresif dan sungguh-sungguh dalam menjalankannya.

Secara teknis, cukup itu saja yang perlu kita lakukan, selebihnya serahkan pada kompetensi fasilitator. Dengan materi audio-visual yang sama, saya yakin fasilitator yang berbeda dapat memfasilitasi proses refleksi dan pemaknaan secara lain pula, terutama pada tingkat kedalaman dan efektifitas pemaknaan permainan. Namun berdasarkan pengalaman, materi audio-visual ini akan sangat membantu kita dalam memberikan pemaknaan, terutama bagi para fasilitator pemula.

Kisah Penutup
Sebagai penutup, saya ceritakan sebuah kisah lain tentang refleksi-pemaknaan audio visual, yang bikin repot. Alkisah karena keterbatasan fasilitator, maka saya sebagai seorang yang berperan membawakan tahap refleksi dan pemaknaan, turut juga menjadi instruktur permainan di salah satu pos kegiatan outbound. Seperti biasa, saya menenteng kamera, walaupun sebenarnya sudah ada petugas khusus dokumentasi yang mengambil foto dan film menggunakan handycam. Untunglah pada sesi kedua, sudah ada fasilitator yang menggantikan saya di pos. Singkat cerita, saya sempat mengambil film untuk beberapa permainan, sementara si seksi dokumentasi juga tak kalah banyak mengambil foto dan film.
Saya sejak awal memang sudah minta pada seksi dokumentasi untuk bisa mentransfer potongan film dalam laptop panitia, namun saya curiga dia tidak begitu paham apa yang saya maksud. Ketika masa refleksi yang hanya diberi jeda setengah jam dari proses outbound, belum semua proses ideal persiapan refleksi audio-visual saya lakukan. Lebih parah lagi, saya mesti menggunakan dua buah laptop dalam membawakannya. Kenapa? Ternyata film dari handycam belum bisa/ sempat ditransfer ke laptop sehingga laptop masih harus disambungkan dengan handycam untuk melihat hasilnya. Diperparah kenyatan bahwa semua film di handycam itu sambung menyambung, walau pengambilannya terputus-putus. Laptop kedua untuk menampilkan film yang sudah berhasil saya transfer dari kamera saya. Saya “terpaksa” menampilkan film dari handycam karena ada beberapa adegan di sana yang lebih pas untuk proses refleksi, dibandingkan film yang tadi saya buat dengan kamera.
Repot, itulah yang terjadi. Ketika berpindah dari laptop kamera ke laptop handycam, mesti juga pindah saluran ke LCD proyektor, juga ke pengeras suaranya. Belum lagi saya sebenarnya hanya ingin menampilkan total sekitar 2 menit saja adegan dari handycam, sementara ada 50an menit film terekam di dalamnya. Toh akhirnya walau dengan agak termehek-mehek usai juga proses refleksi dan pemaknaan. Dalam hati saya bertekad, biarlah ini menjadi pengalamn pertama dan terakhir direpotkan karena peralatan.
Itulah beberapa hal yang bisa saya bagikan terkait persiapan rtrefleksi outboiund secara audio visual. Ingat, foto dan film hanya sebagai sarana, jembatan, bukan tujuan akhir. Materi foto dan film yang dipersiapkan dengan matang, dikombinasikan dengan kemumpunian fasilitator membawakan proses, akan membuat dinamika dan permainan dalam outbound menemukan nilai manfaatnya. 

Selamat mencoba refleksi dan pemaknaan outbound secara audio-visual.

Usai.

Refleksi Experiential Learning berbasis Audio Visual (bagian 1 dari 2)


Refleksi audio visual, apaan tuh?
Dalam suatu dinamika outbound, hal yang peanting diperhatikan pascadinamika adalah refleksi dan pemaknaan. Proses ini merupakan sayarat dari sebuah pembelajaran berbasis experiential learning; ada aksi, refleksi, pemaknaan, dan rencana tindak lanjut. Memang kita akan lihat konteks bagaimana dinamika tersebut dimainkan, apakah sekedar untuk sebuah ice breaking, atau dimaksudkan untuk menyampaikan nilai-nilai tertentu. Urgensi sebuah dinmanika dalam acara ice breaking atau keakraban tentu tak “seberat” jika masuk dalam suatu proses pembelajaran. Tulisan ini akan lebih mengupas teknis persiapan tahap refleksi dan pemaknaan kegiatan outbound menggunakan media audio visual. Apa itu maksudnya, kita simak segera setelah ini.
Pernah dalam suatu kesempatan saya mengamati, sekitar pukul 14 lebih 10 menit, peserta outbound yang baru saja menyelesaikan berbagai dinamika, telah usai makan siang dan bersih diri, kini mereka bergerak menuju aula. Ketika sudah terkumpul 80an peserta, dimulailah keagiatan yang dinamakan refleksi permainan outbound. Seorang fasilitator dengan gegap gempita mengulas semua permainan yang telah dilakukan peserta mulai dari pagi hingga siang. Sesekali dia minta komentar peserta yang menanggapinya dengan biasa-biasa saja. Setengah jam berlalu, si fasilitator masih tetap semangat bercerita tentang permainan-permainan, sekaligus makna yang bisa dipetik darinya. Namun saya perhatikan, daya tahan peserta untuk mengikuti ritme fasilitator mulai menurun. Ketika diminta pendapat, cenderung diam, pasif, apalagi ada yang inisiatif, boro-boro. Makin berlalu waktu menuju sore, makin kentara bahwa peserta dalam tahap menuju bosan. Beberapa terlihat menahan kantuk, satu dua orang tanpa sungkan menguap, untung saja belum sampai ada yang tertidur.
Agak ironis memang, ketika fasilitator asik “ngecipris” mengulas permainan, pesertanya malah berangsur apatis. Apa yang salah dengan kondisi ini? Tanpa perlu menyalahkan kondisi ini, baik jika kita tinjau dahulu suasana peserta saat menjalani tahap refleksi. Yakinlah, sebagian besar peserta sudah lelah usai menjalani rangkainan dinamika. Waktu sekitar pukul 14 sampai 16 merupakan jam yang mahaberat bagi kegiatan yang berbasis ceramah (melulu), maklum itu waktu paling yahud untuk istirahat bagi sebagian besar peserta. Namun kadang saat-saat tersebut tidak bisa kita tolak karena mungkin saja usai itu peserta sudah mau pulang. Jika tidak diberi refleksi, itu justru makin konyol bagi sebuah proses pembelajaran. Adakah metode refleksi yang lebih pas? Ini salah satu tawarannya.
Metode refleksi audio-visual adalah metode refleksi dan pemaknaan suatu dinamika menggunakan media audio dan visual sebagai alat bantu guna memberi gambaran tentang suasana yang pernah/ sudah dialami peserta ketika bermain. Audio-visual yang dimaksud tak lain adalah pemutaran film/ video permainan. Ada unsur “audio” karena akan terdengar kembali segala suara dan bunyi-bunyian. Unsur “visual” juga masuk sekali, karena jelas peserta akan melihat kembali adegan dimana mereka pernah menjalaninya (tadi). Hal ini cukup efektif membawa peserta masuk kembali pada suasana ketika mereka bermain (beberapa jam sebelumnya). Film dengan suara-suara yang mereka hasilkan sendiri, akan membawa pada ingatan saat mereka memainkannya. Disaat suasana peserta sudah masuk dalam suatu permainan, saat itulah fasilitator dapat memandu refleksi dan pemaknaan. Pengalaman kegagalan, keberhasilan, kerjasama, keputusasaan, kelucuan, dan sebagainya, yang terekam, sangat membantu proses pemaknaan.
Metode ini sangat membantu proses pemaknaan jika antara tahapan ini dengan saat permainan ada jeda cukup lama. Misalnya permainan dilaksankan pagi sampai siang, sedangkan proses refleksi dan pemaknaan dilaksanakan sore atau malam harinya. Jika antara dua proses itu diselingi kegiatan lain (istirahat, atau pemberian materi lain) akan juga membuat kaitan emosional antara permaian dan pemaknaan makin jauh. Ketika pemaknaan hanya dilakukan dengan metode ceramah yang hanya mengandalkan ingatan semata, tentu akan berbeda jika dibantu dengan penayangan film. Namun metode ini juga bagus jika pemaknaan langsung dilakukan seusai rangkaian permainan, malah lebih bagus itu. 
Mengenai teknis atau metode refleksi dan pemaknaan tidak aakan dibahas dalam tulisan ini, karena yang ingin saya sampaikan hanya sebatas bagaimana teknis mengambil film maupun gambar dinamika outbound untuk keperluan refleksi dan pemaknaan. Memangnya apa sulit sih, mengambil gambar/ foto dan film/ video suatu kegiatan outbound? Tinggal pencet sana pencet sini, apalagi dengan kamera/ handycam yang canggih, selesailah itu. Wah sulit atau tidak itu jadi relatif deh, namun sampai saya menuliskan hal ini, teknis yang tepat saya yakini akan menunjang proses pemaknaan. Sebaliknya, asal-asalan dalam mengambil foto dan film bisa membuat proses pemaknaan audio-visual kurang maksimal. Ada 2 jenis pengalaman yang saya gabung dalam tulisan ini. Pertama adalah ketika saya sendiri(an) beberapa kali melakukan pengambilan foto dan film dinamika outbound, untuk lalu ditayangkan dalam proses refleksi dan pemaknaan; yang juga saya bawakan sendiri. Kedua adalah ketika saya memberi petunjuk teknis pada seorang fasilitator yang akan mengambil adegan dinamika untuk pada akhirnya nanti dia tayangkan dalam proses refleksi dan pemaknaan, yang dia bawakan sendiri. Dalam jenis kedua ini, saya tidak terlibat dalam dinamika outbound yang dimaksud, jadi petunjuk teknis yang saya sampaikan diusahakan seefektif mungkin. Langsung saja yachhh.
Tahap Orientasi
Hal pertama yang perlu kita tahu sebelum melaksanakan kegiatan pengambilan adegan adalah jadwal kegiatan. Hal ini akan menentukan seberapa lama waktu kita untuk melakukan proses transfer dan persiapan penayangan foto/ film; langsung kita beri contoh, misalnya:
  • Dinamika dilakukan pagi pukul 08.00 sampai 11.00, lalu refleksi dan pemaknaan pukul 13.00 – 14.00, artinya ada waktu 2 jam untuk melakukan proses transfer dan persiapan.  
  • Dinamika dilakukan pagi pukul 08.00 sampai 12.00, lalu istirahat 30 menit, lalu langsung refleksi dan pemaknaan pukul 12.30; artinya hanya tersedia ada waktu 30 jam untuk melakukan proses transfer dan persiapan.
  • Pernah juga begini, waktu outbound pukul 13.00-15.00, istirahat 15 menit. Langsung refleksi dan pemaknaan pukul 15.15. Wah mepet sekali waktunya.
  • Kalau yang ini lebih leluasa, misal outbound pukul 08.30 – 12.00, sedangkan refleksi dan pemaknaan pukul 17.00-18.30, setelah peserta (juga fasilitator) istirahat.

Hal kedua yang perlu dicermati adalah jumlah peserta dengan pembagian kelompoknya, dikombinasi dengan jumlah dinamika yang direnanakan dan di mana saja tempat pelaksanaannya. Prinsip pengambilan  adegan adalah semerata mungkin antara tiap peserta/ kelompok, juga serata mungkin untuk tiap dinamika/ permainan. Beberapa contoh berikut menggambarkan tingkat kerumitan/ fleksibilitas yang berbeda:
  • Ketika ada 50 orang yang terbagi dalam 5 kelompok dan bermain bersamaan dalam satu halaman sekolah atau tempat yang berdekatan, kita akan lebih mudah mengambil foto dan film. Perpindahan (kita) Dari pos satu ke pos berikutnya sangat gampang, ibaratnya dengan bergerak 10 langkah saja, kita sudah sampai pos yang berbeda. Hal ini membuat lebih banyak hal/ kejadian bisa kita rekam, sehingga koleksi adegan bisa banyak.
  • Ketika ada 50 orang yang terbagi dalam 6 kelompok, main bersama-sama di 6 pos yang jarak antar pos jauh, misalnya sekitar 200an meter. Maka adegan yang bisa di rekam lebih sedikit (dari pada contoh sebelumnya).
  • Ada model jadwal outbound yang  berurutan, misalnya satu kelompok lebih dahulu main di pos ke-1, sementara 4 kelompok lainnya menunggu. Ketika kelompok pertama pindah dan main ke pos ke-2, maka kelompok kedua baru main di pos ke-1, sisa 3 kelompok masih menunggu, dan seterusnya. Nah, lebih repot sekarang, kita mau fokus ngambil adegan di pos mana? Atau bagaimana membuat tiap kelompok direkan semerata mungkin; apalagi jika antar pos jauh, lebih repot itu.  

Hal ketiga yang patut diperhatikan adalah sejauh mana kita mengerti karakter tiap dinamika/ permainan. Hal ini bisa dipelajarai secara instant (bila yang mengajari juga sudah tahu persis) namun akan lebih merasuk jika sudah pernah beberapa kali mengalami sendiri permainan tersebut. Ada jenis permainan yang sifat “ketegangannya” relatif datar, namun ada juga yang menjadi memuncak pada saat-saat tertentu. Kadang ada momen-momen tertentu yang bikin seru permainan; itu yang kita perlu tahu. 
Baik adanya jika kita juga mengenal dimana suatu permainan akan dilakukan; mengapa ini penting? Tingkat keseruan/ kesulitan suatu permainan dapat juga tergantung dari kondisi/ lokasi permainannya. Sebagai contoh, dalam suatu permainan pipa bocor, tentu berbeda keseruannya, ketika peserta mengambil air dari ember besar menggunakan gayung, dibandingkan dengan ketika peserta mengambil air dari kolam alami yang cukup curam lerengnya menggunakan timba.
Pengetahuan akan karakter dinamika ditambah pengenalan medan/ lokasi dinamika dapat membawa kita sensitif terhadap momen-momen tertentu yang menunjang refleksi dan pemaknaan. Sebagai salah satu contoh, sampai saat ini, saya selalu tertantang untuk membuat momen foto yang sip saat  peserta sedang flying fox. Tempat yang digunakan sama, dengan puluhan kali kegiatan yang berbeda. Namun hasil yang dicapai secara tipikal bisa beda-beda, tergantung dari kombinasi: dimana kita mengambil foto (dari ratusan titik alternatif); bagaimana cuaca hari itu? pagi, sore atau siang akan menentukan efek sinar matahari; mendung, terang, gelap, cerah, atau gerimis juga akan berpengaruh terhadap pencahayaan. Peserta memang hanya meluncur sekitar 10 detik, tapi pada tiap detik, peserta selalu berubah posisi/ ketinggian, di ketinggian mana paling sip untuk difoto? Ketika kombinasi beberapa hal tadi dirasa suah pas, giliran faktor peserta kini, ada yang bahsa tubuhnya menunjukkan dia takut, cengengesan, kaku, liar, gembira, stress, dan sebagainya. Namun hal itu nggak jadi masalah karena toh itulah potret nyata suasana yang dialami peserta.
Urusan keempat kita adalah mengenai perangkat perekam dan penayang foto dan film yang akan kita gunakan. Saran saya, kenali baik-baik perangkat kita itu, sebelum menggunakannya. Misalnya kita akan menggunakan kamera digital saku untuk merekam foto maupun film; maka beberapa hal yang patut diketahui adalah:
  • Bagaimana mengoperasikan kamera tersebut? Baik untuk memotret atau mengambil film.
  • Atur setelan/ pengaturan kamera untuk mendapatkan foto yang sesuai, hal ini biasa terkait dengan kartu memori yang digunakan/ ruang yang tersedia. Apakah untuk mengambil foto diperlukan resolusi atau kualitas yang paling tinggi, sehingga menghabiskan banyak ruang memori? Yha tergantung momen yang difoto. Mungkin untuk memotret adegan yang sulit kita dekati, bijaksana jika kita terapkan hal itu. Kita barangkali akan menampilkan foto cukup detail, sehingga pada saatnya nanti kita perlu memperbesar tampilannya, gambar tidak menjadi kabur/ pecah.  Namun untuk adegan biasa yang dapat kita dekati, kualitas sedang mungkin sudah cukup, toh kita tidak perlu untuk memperbesar tampilannya.
  • Seperti halnya dengan pengaturan foto, baik juga kita atur setelan untuk mengambil film dari kamera digital. Saya pernah punya pengalaman meng-enekkan (bikin enek) ketika mengambil film refleksi untuk outbound di lokasi yang eksotis dan baru sekali itulah saya kesana. Momennya pun istimewa, karena jarang terjadi, dengan jumlah peserta sekitar 15 x 12 orang. 15 adalah rata-rata jumlah peserta dalam 1 kelompok, sedangkan 12 adalah jumlah pos/ permainan yang akan dijalaninya. Jeprat-jepret, klik sana klik sini dari pagi hingga siang. Namun ketika film ditayangkan eeeee…. jadi kabur, sialan. Ternyata saya tidak memperhatikan pengaturan untuk film pada kamera digital, sehingga terbiarkan dalam posisi kualitas yang rendah. Momen-momen yang menarik menjadi kabur terlihat, bak melihat dari balik kaca yang selalu basah dialiri air. Masih untung fotonya bisa jelas dilihat, sehingga bisa menyelamatkan menyelamatkan momentum.
  • Ketahuilah, berapa lama daya tahan sumber daya/batere kamera dapat bertahan. Baik adanya jika selalu membawa batere cadangan, terutama jika kita bergerilya foto refleksi di tempat yang jauh dari sumber listrik. Saya sih selalu bawa satu set batere cadangan, tentunya yang sudah terisi dan siap pakai, juga sebuah alat catu daya/ charger.
  • Berapa sih kapasitas kartu memori kita? Itu hal penting yang perlu kita camkan. Lebih baik menghindari hal-hal konyol yang disebabkan karena kita mengabaikan hal itu. Misalnya untuk kasus membuat film, (satu-satunya) kartu memori kita hanya dapat merekam selama 24 menit, namun karena ketidaktahuan kita, semuanya sudah tergunakan hanya untuk merekam adegan di 3 pos saja, padahal masih ada 3 pos lagi yang menunggu. Lhah kalau itu terjadi khan bisa bikin repot. Saya punya pengalaman beberapa kali mengadakan outbound dengan jadwal, materi, dan jumlah peserta yang sama, hanya pesertanya saja yang berganti. 5 pos dan 5 kelompok adalah target bidikan saya, dan masa istirahat hanya 15 menit, setelah itu refleksi dan pemaknaan. Kamera diisi  memori 2 Gigabyte yang dapat merekam sampai 24 menit. Pada 3 outbound pertama saya merasa bahwa kapasitas memori segitu kurang, karena kayaknya banyak adegan menarik yang patut direkam. Namun pada perjalanan, saya berbalik merasa terbantu dengan kondisi itu, lho, mengapa? Karena ketika tahu bahwa kamera saya (dengan kartu memori itu) hanya dapat merekam selama 24 menit (saja), maka saya dituntut untuk memilih adegan yang kontekstual secara selektif. Jika ada momen yang menurut saya kurang sip, segera saja saya hapus dari memori. Dengan hal tersebut, jumlah file yang dihasilkan juga berkisar 20-30 file film saja untuk seluruh proses. Apa jadinya jika saya membekali dengan memori yang bisa merekam sampai misalnya 80 menit? Saya yakin akan tergoda untuk mengambil banyak sekali adegan (yang tentu di dalamnya ada yang favorit) namun kemudian akan lama dalam proses transfer, juga lama ketika memilih mana yang akan ditayangkan. Tentu tidak semua akan ditayangkan, karena acara kita kahn dalam rangka refleksi dan pemaknaan, bukan menonton “film perjuangan outbound.”

Itu tadi hal-hal yang patut dicamkan terkait perangkat kita. Mengapa saya mencontohkan kamera saku digital, bukan deangan handycam? Jawabannya sangat sederhan; karena selama ini saya hanya (punya dan) menggunakan kamera digital dengan kualitas sedang-sedang saja. Bagi saya, jenis kamera itu sudah memadahi; ingat… proses kita ini bukan untuk kontes/ lomba fotografi atau bikin film bioskop, tapi refleksi outbound. Bentuknya yang relatif kecil lebih memudahkan dibawa, digantung di ikat pinggang, masuk tas pinggang, bahkan harus sesekali masuk saku jaket atau celana. Ingat juga, kadang kita harus menjelajah medan outbound yang cukup menantang; mungkin naik turun lereng, panjat pohon (untuk mengambil sudut gambar yang oke), nyeberangi sungai, melintas halaman berpasir dengan angin kencangnya yang berbonus terbangan debu, dan kondisi-kondisi lain yang tantangannya bervariasi. Hal lain yang cukup menguntungkan adalah jenis kamera ini relatif mudah dioperasikan, sehingga ketika kita mau mengajak teman untuk membantu proses, maka penjelasan teknis penggunaannya tidak terlalu ruwet. Apakah jenis kamera lain, terutama yang lebih canggih tidak praktis untuk digunakan? Wah kalau saya sudah pernah nyoba, baru bisa kasih komentar deh.
Perangkat yang mutlak perlu juga komputer/ laptop, LCD proyektor dan sound system/ tata suara yang mendukung. Dari kartu memori kamera, file akan ditransfer ke komputer untuk dilihat, diolah, dan disusun. Dari komputer, gambar/ film akan ditayangkan melalui LCD proyektor, sementara audio/ suara akan dihubungkan ke sistem pengeras suara. Kita harus tahu bagaimana menggunaan semua perangkat tadi, mulai dari gimana menyalakannya, sampai mematikannya, termasuk bagaimana mengoperasikannya kembali jika tiba-tiba aliran listrik sempat mati. Memang semua perangkat tadi hanya bernasib sebagai alat, bukan tujuan; namun ketika kita bisa memanfaatkan peralatan yang tersedia secara maksimal, itu baru namanya bijaksana. Maksimalisasi penggunaan perangkat akan memperlancar, memudahkan, dan mengefektifkan proses, percayalah kawan.
bersambung.....................

Sabtu, 30 Juli 2011

Berbondong-bondong Outbound


Dalam 3 minggu terakhir, saya sudah menempuh petualangan yang luar biasa; dalam waktu 10 hari, jarak yang diarungi lebih dari 2 ribu kilometer, waktu perjalanan darat 80an jam. Hitungan itu hanya dalam 3 kegiatan pendampingan outbound dan 1 survey lokasi. Selain itu, masih ada 2 pendampingan outbound di dalam kota yang energinya saja ikut diperhitungkan, namun waktu dan jarak tempuhnya relatif singkat. Belum lagi nanti sore selama 3 hari masih mendampingi satu kegiatan seleksi karyawan bank melalui metode outbound. 3 hari lagi disambung perjalanan ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan experiential learning (untunglah yang ini naik pesawat). Eh, satu lagi kegiatan yang saya pilih tidak ikuti karena waktu yang bersamaan, itu juga keluar dari kota Palembang sejauh 8 jam perlanan darat. Hmmmmm.

Apa maksud saya mengungkap rahasia ini, cieeee…. Bukan ingin dianggap orang yang hebat, justru kalau orang hebat mestinya bisa jalan udara alih-alih jalan darat lebih dari 8 jam. Namun jika dipandang rela naik bus selama 10 jam-an itu sebagai perwujudan orang hebat, yha boleh-boleh saja. Hal yang mau saya bagikan adalah tentang kebugaran fisik dan proses aksi-refleksi pribadi terhadap segala kegiatan tadi. Yuk kita masuki satu persatu.

Dalam bulan November dan Desember memang banyak kelompok-kelompok yang ingin didampingai dalam kegiatan outbound atau semacamnya. Entah karena “menghabiskan” anggaran kantor/ perusahaan, atau bertepatan dengan acara tutup tahun dengan evaluasinya. Saya yang bergerak sebagai penggiat outbound mendapat beberapa kepercayaan untuk menyelenggarakan atau pun sekedar mendampingi kegiatan-kegiatan tersebut (yang sebagian bertempat di lokasi yang  jauuuuuhhhh dari Palembang tempat tinggal saya). Sebagai seorang dosen maka saya harus mengatur kembali waktu untuk mengajar dan mendampingi kegiatan outbound, dan untunglah itu bukan jadi kendala. 

Menyelenggarakan kegiatan outbound mesti dilihat sejak suatu ide/ tema dipikirkan, lalu didiskusikan, dirumuskan, dan dieksekusi dalam pelaksanaan. Bisa jadi pelaksanaan hanya 1 atau 2 hari saja, namun tentu sebelum itu ada persiapan-persiapan yang harus dilakukan. Masih beruntung segala persiapan tadi dapat dilakukan dengan efektif, walau sebagian dilakukan via telepon. Efektivitas tersebut juga ditunjang faktor kebiasaaan, artinya karena sudah beberapa kali melakukan kegiatan serupa, maka tim kami dapat melakukan koordinasi pada hal-hal prinsip saja. 

Nah, urusan menarik kini justru berpusat pada bagaimana saya menyikapi segala kepadatan acara tersebut, khususnya bagaimana menjaga kebugaran badan. Mengapa urusan fisik dan kesehatan menjadi penting? Gimana nggak penting jika misalnya kita sudah menyepakati suatu pendampingan outbound, lalu tiba-tiba sehari menjelang beraksi kita teler karena sakit. Konyolnya lagi jika sakit itu akibat kita kurang pandai menjaga kesehatan ketika beraktivitas pada pendampingan outbound (beberapa hari) sebelumnya. Intinya, ketika kita sudah tahu jadwal kegiatan kita dengan segala konsekuensi waktu, jarak, dan energi yang diperlukan, maka seyogyanya kita juga bisa mengatur ritme tubuh kita sehingga dapat selalu maksimal dalam menjalaninya.

Saya pernah menyaksikan sendiri, seorang teman yang sedang presentasi suatu materi, tiba-tiba berhenti, matanya berkunang-kunang dan badannya sempoyongan nyaris tumbang. Sontak presentasi terhenti karena si presenter perlu duduk ditenangkan, diberi minum, diurut, dan sebagainya supaya tidak pingsan. Alhasil presentasi terhenti. Nah ternyata setelah diselidiki, teman tersebut sebelumnya begadang dan mungkin memang kebiasaan dia suka begadang. Ditambah lagi hobinya merokok yang tak kunjung henti. Mungkin saat itu hari sial bagi dia, saat energinya diperlukan untuk mempresentasikan sesuatu, eeee malah KO, tragis khan.
Berkaca dari satu kejadian itu, maka saya mencoba bisa menjaga kesehatan supaya dapat selalu sehat dalam berbagai kegiatan, khususnya kegiatan outbound yang memang membutuhkan fisik prima dalam tiap menitnya. Kesehatan dapat ditinjau dari 2 aspek, yaitu kesehatan mental dan fisik. Tanpa banyak berteori, saya cerita saja apa maksudnya.

Mental yang waras, membuat kita memandang bahwa segala kepadatan jadwal pendampingan bukanlah suatu beban. Toh sebenarnya kita punya kuasa untuk menerima atau pun menolak tawaran suatu kegiatan. Ketika kita sudah menerima artinya kita siap dengan segala konsekuensi dan resikonya. Jika berpikir nggak sanggup (mungkin terkait waktu, jarak, dan energi) yha ditolak dong, jangan memaksanakn diri diterima. Lucu sebenarnya jika kita belum apa-apa sudah merasa sangaaaat tertekan dengan jadwal yang kita buat sendiri. Menjadi nggak lucu lagi jika itu membuat semangat kita loyo (sebelum pelaksanaan) yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketahanan fisik kita. Gimana fisik nggak terpengaruh, jika selama persiapan maupun pelaksanaan, yang ada di kepala kita hanya bergaung negativitas: beban, berat, jauh, lama, sulit, tegang, repot, padat, capek, pening, dan sebagainya.

Salah satu trik jitu untuk menyingkirkan segala negativitas itu adalah berpikir cerdas untuk mempersiapkan dan melaksanakan suatu kegiatan pendampingan outbound (atau kegiatan pengembangan diri lainnya) secara efektif dan efisien. Efektif artinya materi, metode, maupun pilihan permainan/ dinamika dipilih sedemikian rupa sehingga tepat sasaran, tidak bertele-tele. Efisien artinya melaksanakan segala rencana kita tadi dengan energi secukupnya. Hal ini memang tidak datang dengan tiba-tiba, namun dapat dilatih dan akan terasah seiring frekuensi kekerapan kegiatan kita.

Dulu, 5 tahun lalu, untuk menyelenggarakan kegiatan serupa, saya sampai harus pulang-pergi naik kereta api, survey selama 2 hari dan diskusi intens dengan tim lokal hampir seharian untuk mematangkan rencana sesuai konsep. Untuk mengonsep kegiatan selama 3 hari pun diperlukan waktu 1 bulanan dengan porsi perdebatan yang lebih banyak. Namun kini ketika ada permintaan sejenis, tim cukup berbagi peran saja, ketemu sekali untuk koordinasi, langsung berangkat. Koordinasi dengan tim lokal hanya melalui telepon, demikian juga untuk ngurus transportasi, konsumsi, dan akomodasinya. Segala efektivitas tadi akan membuat kita ringan dalam bertindak sehingga energi kita tidak tersedot habis dalam urusan teknis, namun dapat lebih dicurahkan untuk proses pendampingannya itu sendiri.

Masih tentang urusan mental, saya memandang segala “kesibukkan” pendampingan haruslah menghasilkan suatu refleksi yang inspiratif. Contoh nyatanya adalah tulisan ini. Saya sempat menggugat diri sendiri ketika kebiasaan menulis jadi tersendat karena berbagai aktivitas, terutama ke luar kota. Sebenarnya, banyaknya petualangan pendampingan malah menjadi bahan baku tulisan yang lebih variatif. Akan sangat sayang sekali jika segala pengalaman pendampingan outbound kita, baik secara teknis maupun materi tidak terdokumentasi, minimal evaluasinya. Bagi saya, tinjauan kegiatan dalam rupa tulisan akan membantu untuk menyelenggarakan kegiatan sejenis dengan lebih baik lagi. Maka jangan heran jika 2 buku outbound saya didominasi kisah-kisah nyata refleksi kegiatan pendampingan outbound.

Ketika kita memandang banyaknya aktivitas justru akan memperkaya (perbendaharan materi, metode dan operasional) kita, maka kita akan mempersiapkan dan melaksanakannya dengan suka hati, bukan malah jadi beban. Memang tidak tiap orang punya talenta (berusaha mau) menulis, walau kalau mau dilatih pasti bisa. Menulis adalah salah satu bentuk refleksi kita terhadap kegiatan dan pengalaman yang sudah kita lakukan. Lebih penting lagi adalah semangat mengembangkan diri sendiri. Dalam pendampingan outbound, kita dituntut mengembangkan orang lain melalui experiential learning, masak kita sebagai fasilitator tidak tergerak untuk mengembangkan diri? khan konyol itu. Bagi saya salah satu wujud pengembangan diri yha melalui tulisan reflektif tentang kegiatan yang baru saja dieksekusi; baik aspek kekurangberhasilan maupun kesuksesannya.
Nah, sekarang waktu untuk meninjau hal-hal kesehatan badan. 

Segala gagasan cerdas, konsep yang menarik, permainan yang menantang, juga dinamika-dinamika atraktif hanya akan maksimal dieksekusi oleh fasilitator yang juga secara fisik sehat. Masih ingat cerita teman saya yang sempoyongan ketika presentasi suatu materi? Nah, tentu kita ingin menghindari kejadian konyol semacam itu dalam suatu kegiatan pendampingan pelatihan pengembangan diri. 

Salah satu hal penting yang diperlukan peserta dalam kegiatan outbound adalah antusiasme fasilitator/ instruktur.  Sebagus apa pun materi yang hendak disampaikan, jika fasilitator tidak antusias, maka hasilnya juga kurang maksimal diterima peserta. Selain kewarasan mindset, kebugaran atau kesehatan si fasilitator berperan penting dalam proses keantusiasmean suatu pelatihan. Pilihan logisnya adalah bagaimana kita dapat selalu menjaga kesehatan supaya dalam tiap sesi/ pendampingan dapat tampil segar dan mampu menyegarkan peserta. Ingat, peserta pelatihan berhak mendapatkan  yang terbaik dalam tiap jam kegiatan yang diikutinya.
Jika pernah membaca konsep 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif ala Stephen Covey, maka ada kebiasaan ketujuh yang cocok dengan urusan menjaga kesehatan. Kebiasaan itu disebut “asah gergaji”  yang rumusan sederhananya adalah bagaimana kita selalu memperkaya diri dengan segala pengetahuan yang relevan, serta bagaimana kita menjaga kesehatan kita sehingga dapat selalu melaksanakan kegiatan (kebiasaan-kebiasaan lain) dengan konsisten. Bagi saya, kebiasaan ketujuh itu sangat masuk akal; ibarat penggergaji kayu yang secara rutin mengasah gergajinya, maka dia kan dapat selalu memotong/ menggergaji kayu dengan hasil maksimal. Apa jadinya jika si penggergaji membiarkan gergajinya tumpul hari demi hari? Pasti akhirnya dia stress karena kian hari aktivitas menggergajinya dipikir makin berat dan susah. Padahal jika dia mau menyempatkan diri  rutin mengasah gergajinya, urusan akan jauh lebih mudah.

Lalu sekarang, bagaimana cara menjaga kebugaran dan kesehatan? Wah sebenarnya ini kiat-kiat yang sangat umum; mungkin saking umumnya malah kerap diabaikan. Merasa hebat dengan aktivitas yang bejibun, maka mengurus kesehatan diri menjadi prioritas papan bawah, wah ironis itu. Sebenarnya  gampang kok. Olahragalah dengan teratur, itu salah satu yang pokok. Terkait dengan segala perencanaan kegiatan kita, jangan paksakan kita begadang, lembur untuk mengerjakan suatu tugas. Ingat, jangan-jangan kita merasa sah untuk begadang karena berpikir kerjaan/ tugas belum selesai. Jangan-jangan lagi, tugas belum selesai karena kita belum tahu mengerjakannya dengan efektif dan efisien. Jika itu yang terjadi, maka cari tahulah gimana cara yang lebih cerdas dalam bekerja.

Kiat lain menjaga kebugaran adalah mengonsumsi makanan yang bergizi secara teratur. Mungkin sering kita jumpai kepadatan acara membuat kita makan seadanya dengan jadwal yang tertunda-tunda. Atau sebaliknya kelewat sering mengonsumsi makanan berkolesterol tinggi, maklum, kadang sebagai seorang fasilitator/ pembicara mendapat jatah makanan yang (dipandang) enak-enak, walau sebenarnya jika dikonsumsi secara berlebihan berpotensi mengganggu kesehatan.

Satu lagi pesan saya untuk menjaga kesehatan adalah hindari merokok. Satu hal yang pasti, merokok itu tidak baik bagi kesehatan; saya tidak akan memperjelas itu. Hal lainnya tentang himbauan tidak merokok bagi fasilitator adalah urusan role model atau pencontohan. Pendamping/ fasilitator outbound termasuk pembicara juga trainer akan menjadi seorang model yang kerap dicontoh oleh peserta pelatihan. Ketika seorang fasilitator/ pendamping  dengan santainya merokok (di antara/ di depan peserta pula) maka itu sama saja mengampanyekan, “Wahai peserta,  merokoklah, seperti saya.” Jika belum bisa menghentikan kebiasaan buruk itu, minimal merokoklah tanpa diketahui peserta.

Wah, sudah lumayan panjang nih oleh-oleh saya dari kepadatan acara 3 minggu terakhir ini. Semoga hasil refleksi ini dapat menginspirasi teman-teman lain menuju fasilitator atau pendamping kegiatan pengembangan diri secara lebih cerdas, dan sehat tentunya.

Agustinus Susanta, Palembang, 10 Desember 2010

Jumat, 22 Juli 2011

Outbound Toba Ceria


Direkayasa di Palembang pada 15 Oktober 2010, lalu secara prinsip dilaksanakan di Pesisir Danau Toba pada 22-24 Oktober 2010 

sumber foto: http://www.facebook.com/note.php?note_id=175172969165681  

Tantangan Kepemimpinan dari Danau Toba

Melalui ef be, seorang teman menyapa saya, dan (ini yang penting) ingin berbagi ide tentang sebuah konsep outbound. Saat disapa, saya tentu senang, saat diajak berbagi ide, tentu lebih senang lagi. Singkat cerita, dia bertanya, apakah saya bisa memberinya suatu inspirasi tentang outbound bagi 250 orang remaja selama 3 jam. Kebetulan dialah yang salah satu fasilitator yang akan terlibat merancangnya, kurang lebih begitulah awalannya. Oh ya, kegiatan akan dilakukan di pesisir Pulau Samosir, itu lho yang di tengah danau Toba Sumatera Utara. Suatu hal yang menarik, sebenarnya, jika hanya itu, hah?

Saya segera membayangkan sebuah pantai dengan ratusan remaja asik bermain di beberapa pos, tentu saja demi keakraban. Mau bikin apa lagi jika 250 orang hanya main selama 3 jam saja, selain menjalin persatuan dan kesatuan. (celakanya, he he he…) teman saya itu minta ada muatan leadership, atau kalau saya bahasaindonesiakan kepemimpinan. Glleekk, ini dia yang bikin  menantang. Huh, ternyata dia menyapa saya hanya untuk memulai menyodorkan tantangan itu, hmmmm boleh juga dia?

Boleh dibilang dalam banyak permainan kelompok, selalu ada unsur kepemimpinan, dan tentu saja kerjasama kelompok. Namun saya mau lebih dari sekedar peserta “dimainkan” lalu dalam refleksinya bilang, “Sodara-sodara, ayo kita refleksi, tadi dalam tiap permainan kelompok, tentu ada unsur kepemimpinannya, hayooo benar apa benar?” Menurut saya, itu pendekatan yang baik adanya, walau terlalu umum. Emang ada pendekatan lain yang khusus? Itulah yang ingin saya bagikan, menjabarkan apa yang pernah saya sarikan pada teman saya via ef be lalu. Kebetulan, konsep rahasia ini pernah saya gunakan beberapa bulan lalu, hanya pesertanya nggak nyampe 250 orang, hanya 110an remaja saja saat itu.

Kepemimpinan, dalam konteks outbound Toba Ceria ini (demikian saya menamakannya)  disempitkan dalam kepemimpinan diri memimpin diri sendiri, atau nanti kita sebut saja kepemimpinan diri. Lho, gimana dalam kelompok (sangat) besar bisa mengelola kepemimpinan diri, dalam waktu 3 jam pula. Sabar, sabar…. Sebentar lagi kita baca uraiannya. Nah, kita mulai dari skenario outbound.
ceriaaaaaa...

Skenario

Tujuan tiap peserta (ingat bukan tiap kelompok) mengumpulkan poin sebanyak mungkin dengan cara bermain di sebanyak mungkin pos. Tiap poin didapat melalui permainan di tiap pos, sesuai prestasinya, lalu diakumulasikan. Peserta dengan nilai tertinggi bolehlah disebut menjadi juara.
Tiap pos/ permainan mensyaratkan jumlah pemain/ anggota kelompok, misalnya:
·         Pos Danau, diisi permainan Pipa Bocor, dimainkan 1 kelompok dengan jumlah anggota  12-15 orang.
·         Pos Toba, diisi permainan Menara Air, dimainkan 1 kelompok dengan jumlah anggota  14-18 orang,
·         Pos Pulau, diisi permainan Dayung Sampan, dimainkan 4 kelompok yang berlomba dengan jumlah anggota  masing-masing 8 orang,
·         Pos Samosir, diisi permainan Rumput Laut, dimainkan 1 kelompok, dengan jumlah anggota 16-20 orang,
·         Pos Ceria, diisi permainan Berenang secara individu/ 1 orang.
·         Dan seterusnya… Saya hanya memberi contoh nama permainan tanpa mendetailkan permainan ini itu gimana dimainkan, gimana kompensasinya. Yakinlah, kita punya kemampuan untuk mengembangkan sesuai konteks jumlah peserta, waktu permainan, ketersediaan alat, jumlah fasilitator, cuaca, dan karakter lokasi permainan 

Gimana jadwal atau rute permainannya? Tak ada rute khusus dan ketentuan jadwal permainan, bebas, siapa cepat dia dapat. Artinya tiap individu bebas memilih siapa saja yang mau untuk diajak bermain bersama di suatu pos. Mau pos yang mana lebih dahulu dimasuki, bebas, yang penting jumlah anggota kelompok (sementara) itu sesuai syarat. Instruktur bisa menolak permohonan kelompok untuk bermain jika ketentuan jumlah anggota tidak terpenuhi. Misalnya di Pos Toba, yang diisi permainan Menara Air, dan semestinya dimainkan 1 kelompok dengan jumlah anggota  14-18; ada 1 kelompok beranggotakan 20 orang yang ingin main di pos tersebut, kita tentu saja menolak permintaan itu. Atau kelompok lain yang beranggota 13 orang bermain, tentu saja kita tolak juga. Apa solusinya? Yha aturannya jelas, tinggal kepemimpinan atau manajemen kelompok tersebut menambah atau mengurangi jumlah peserta, itulah kuncinya. Bisa bikin kacau deh, NHAH, di situlah kepemimpinan diri tiap peserta diuji, nanti kita bahas deh setelah urusan-urusan teknis ini kelar. Jika pada 1 pos yang dituju masih ada kelompok yang bermain, silahkan tunggu, atau cari pos yang kosong

Usai bermaian, tiap kelompok mendapat poin sesuai prestasinya. Sebaiknya prestasi tersebut diwujudkan dalam bentuk sesuatu yang kecil sehingga mudah dibawa. Misalnya karet-karet gelang, potongan pipet, kulit kerang, dan semacamnya. Jadi jika misalnya suatu kelompok beranggotakan 13 orang dapat poin 31, maka berikanlah langsung, tunai, pada mereka 31 buah karet gelang. Kelompok harus segera membagi poin tersebut pada tiap anggota, terserah bagaimana metode pembagiannya. Setelah pembagian selesai (adil atau belum adil itu urusan kelompok tadi) kini tiap anggota kelompok menjadi peserta yang bebas, dan siap untuk mencari teman lain untuk bermain di pos lain.  

Jika waktu bersih yang disediakan untuk bermain hanya 2,5 jam, maka selama itulah tiap peserta berusaha main di sebanyak mungkin pos untuk meraih poin setinggi mungkin. Pada akhir masa permainan, hitunglah, siapa yang dapat poin tertinggi, dia layak diberi ganjaran juara.

Nah, urusan teknis skenario sudah selesai, mudah-mudahan mudah dimengerti. Jika ada yang belum dimengerti, segera lapor saya supaya dapat segera disederhanakan  lagi bahasanya. Hayooo, pasti sudah paham khan? Kini kita beralih pada tema “Kepemimpinan Diri” yang menjadi tujuan konseptual Outbound Toba Ceria ini. Konsep ini diinternalisasikan pada peserta melalui sesi sharing/ refleksi dan pemaknaan permainan. Bagi saya ini wajib dilakukan dengan baik, alih-alih outbound bertema keakraban semata. Dalam penyampaian muatan ini, mutlak diperlukan tim fasilitator yang dapat memahami konsep dan menyampaikannya dengan tepat pada seluruh peserta.

Refleksi

Inti dari sesi refleksi dan pemaknaan adalah…. Eit, sudah tahu belum, beda refleksi dan pemaknaan? Kalo belum, saya beri tahu, minimal versi saya, he he he… Refleksi itu kegiatan dimana peserta menceritakan pengalaman saat bermain, boleh yang lucu, berkesan, menyebalkan, ataupun membanggakan. Refleksi bisa dalam kelompok besar atau kelompok-kelompok kecil dengan dipandu seorang fasilitator. Dalam format lain, sesi refleksi juga dapat diwujudkan dalam bentuk tertulis.
Kembali ke…. Refleksi. Beberapa hal yang mungin dialami peserta saat outbound, misalnya:
·         Ada peserta yang cekatan untuk mencari peluang, gesit bermain dan pindah dari pos satu ke yang lainnya.
·         Ada peserta yang dapat mempengaruhi dan mengorganisir teman-temannya untuk melakukan suatu permainan di pos,
·         Ada peserta yang sering ragu dan takut untuk mencari teman main, akibatnya kesempatan baginya untuk main jadi terbatas,
·         Ada peserta yang tanpa ampun menyingkirkan sisa anggota kelompok demi dapat main di suatu pos,
·         Dalam permainan, tentu banyak juga cerita-cerita terkait teknis permainan itu sendiri, baik yang membanggakan atau sebaliknya, memprihatinkan.

Berbagai pengalaman tadi diarahkan pada refleksi pribadi, melalui proses permainan tadi kira-kira memberi cerminan bagaimana pilihan keputusan tindakan peserta ketika menghadapi peluang, sekaligus konflik. Bagaimana tiap peserta punya macam-macam strategi untuk mencapai tujuannya. Mungkin ada strategi yang turut membantu peserta lain, namun sebaliknya ada pilihan yang merugikan peserta lain. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana tiap peserta memimpin dirinya sendiri dalam mencapai tujuan dengan segala dinamikanya.  Kadang-kadang apa yang kita maui tidak sejalan dengan kondisi riil, maka berubahlah rencana, atau terdiam pasrah?

Melalui sesi Pemaknaan, peserta diajak untuk mengambil hikmah dari apa yang sudah dilakukan, baik tentang diri, maupun dari apa yang dilakukan oleh sesama peserta. Segala tingkah polah seluruh peserta saat outbound tadi sebenarnya mencerminkan kehidupan nyata, dimana tiap orang punya tujuan atau kepentingan, yang kadang sama, namun kadang juga berbeda. Selalu ada hal-hal yang bisa disinergikan, sementara ada juga yang berebut kepentingan. Ketika kita sudah sedikit mengenal pola tindakan kita, kini saatnya untuk mengembangkan yang positif. Peningkatan kapasitas kepemimpinan diri, itulah salah satu faktor yang patut dihidupi dan diperjuangkan.

Selesai sudah, urusan kita… semoga konsep outbound TOBA CERIA ini, memberi inspirasi. Semoga juga saya bisa lekas menjejakkan kaki di Pulau Samosir, setelah 2 bulan lalu hanya menikmati secuil keindahan Danau Toba dari Balige.

Akan bersambung untuk sekedar saran-saran praktis demi sukses konsep outbound semacam ini
Palembang, 15 Oktober 2010

Hal-hal Teknis Penyukses Konsep Outbound Toba Ceria.

Sambungan Outbound Toba Ceria, 17 Oktober 2010
Walau nama outbound ini Toba Ceria, tapi konteks kita adalah disaat peserta berdinamika dalam mengambil keputusan saat outbound. Ini dia beberapa hal teknis yang baik jika dicamkan dan dilaksanakan:

Relativitas Poin

Dalam suatu outbound, pada akhir proses, Jamiprot, seorang peserta heran akan pencapaian temannya, “Lho, kamu hanya main di 3 pos kok bisa dapat poin 870, sedangkan aku yang main bagus di 6 pos kok cuman dapat 550,” Sudoli, yang ditanya nggak tahu banyak urusannya, “Lho, nggak tahu tuh, aku tadi main-main saja, trus tiap selesai main dikasih poin, trus langsung dibagi-bagi. Yha seginilah dapetnya, 870 poin” lalu Jamiprot makin merepet, “Wah kalo gini panitia tuh yang nggak bener bikin pembagian poin. Aku mau protes, ah.” Sudoli juga nimpali, “Iya, proteslah sana, tapi aku nggak mau nanti kalo poinku ini dikurangi panitia, lho.” 

Mengapa hal itu dapat terjadi? Karena perhitungan kompres/ kompensasi prestasi  nggak pake standar relatif. Semestinya kompres/ kompensasi prestasi  tiap dinamika dibuat dinamika sedemikian rupa sehingga relatif adil. Contoh ekstrimnya gini, (memperjelas kasus si Jamiprot dan Sudoli tadi,) seorang yang bagus main di hanya 3 permainan tertentu bisa dapat poin jauh lebih tinggi daripada peserta yang main bagus juga di 6 permainan  yang lainnya. Bagaimana mensiasati hal ini? Gampang, caranya mudah, hanya dengan membuat perhitungan yang realistis terhadap kemungkinan prestasi tiap peserta ketika main. Mau contoh? 

Gini, katakanlah dalam tiap permainan, prestasi terbaik akan mendapat poin 100, berturut-turut sampai yang paling jelek dapat 40. Hal ini tentu akan beda efeknya jika ada permainan yang kompresnya nyeleneh, dengan prestasi terbaik diberi ganjaran poin 500 dan yang jelek sekali pun diberi 100. Percayalah, saat bermain, peserta tidak akan banyak protes dengan ketentuan kompres ini, karena (berdasarkan pengalaman) mereka lebih fokus untuk bisa main sebanyak mungkin permainan dan dilakukan sebaik mungkin. Protes akan muncul belakangan setelah mereka saling membandingkan poin saat akhir proses. Mari hindari dengan cerdas protes-protes dari Jamiprot-Jamiprot yang lain. Memang sih, akan lebih mudah jika kita pernah memainkan dinamika sejenis sebelumnya, sehingga bisa tahu gambaran prestasi peserta. Namun jika belum pernah main, yha selamat memprediksi, deh.

Koefisien Jumlah Permainan

Ada satu sistem untuk melengkapi sistem penilaian yang relatif adil seperti sudah dipaparkan sebelum ini. Sistem itu bolehlah kita sebut dengan “koefisien jumlah permainan,” apa pula maksudnya? Gini, koefisien ini adalah jumlah permainan yang sudah dijalani seorang peserta selama outbound. Akumulasi poin yang diperoleh peserta akan dikalikan dengan koefisien ini. Misal:
·         Jayeng main di 5 pos dengan total poin 500, maka nilai akhir dia jadi 5 x 500 = 2.500.
·         Harahap main di 6 pos dengan total nilai 450, maka nilai akhir dia jadi 6 x 450 = 2.700.
Lho, adilkah itu? Wah urusan adil-adilan memang bisa jadi relatif tergantung sudut pikir kita. Namuuuun, ketika seorang peserta memang punya kemampuan rata-rata bagus untuk bermain di semua pos, tentu dia akan mendulang poin lebih banyak dari teman-temannya, saya rasa itu adil. Hal ini juga akan mendorong peserta untuk merasakan seluruh permainan yang kita sediakan, dengan “iming-iming” akan mendapat koefisien yang besar pula.
Asiknya main di Danau Toba

Urusan berikutnya adalah bagaimana mengetahui seorang peserta sudah main berapa permainan/ pos? Ah, bisa dibuat sistem begini, tiap peserta dibekali satu kartu yang akan diberi tanda oleh instruktur tiap dia selesai bermain di suatu pos. Oh yha urusan kartu ini akan dibahas lebih komplet dalam catatan selanjutnya, sabar yach.. namun kalau mau, boleh dicoba juga berdasarkan kejujuran peserta. Apa pula ini? Artinya biar peserta sendiri menghitung, berapa kali dia sudah main, itulah koefisiennya. Lho, kalo dia menggelembungkan koefisiennya gimana? Yha itu urusan di sesi refleksi dan pemaknaan setelahnya. Ketika untuk mendapat poin lebih dia sendiri tidak jujur terhadap diri dan orang lain,  itulah memang mentalitas dia. Mungkin orang lain tak ada yang tahu, tapi dia sendiri pasti tahu. Diurus di refleksi dan pemaknaan deh itu.

Kartu Prestasi

Pemoinan dapat dilakukan dengan memberi langsung perwujudan poin secara fisik (kerikil, potongan pipet, kulit kerang, kancing baju, manik-manik, biji pohon, dan sebagainya) atau secara tertulis. Hal yang galib saya lakukan adalah membuat kartu prestasi untuk tiap peserta outbound, dimana di dalamnya terkandung:
·         Penjelasan teknis apa tujuan outbound dan bagaimana mencapainya,
·         Penjelasan jadwal atau rute
·         Daftar isian kompensasi prestasi
Nah, dalam konteks outbound Toba Ceria, dalam selembar kertas, bisa kita buat daftar isian kompres yang berisi:
1.      Nilai/ poin yang diperoleh peserta yang bersangkutan (hasil pembagian nilai kelompok dengan jumlah anggota yang main)
2.      Peserta tersebut main di pos tersebut pada urutan keberapa (diisi instruktur, untuk bahan evaluasi fasilitator)
3.      Paraf instruktur sebagai legalisasi/ pengesahan.
Peserta tidak perlu membawa pena, cukup selembar kertas itu. Ketika bertemu dengan beberapa teman yang sepakat dan memenuhi syarat untuk bermain di suatu pos, serahkan seluruh kartu prestasi pada instruktur. Usai bermain, instruktur akan mengisi dan mengembalikan kartu tersebut pada tiap peserta. Begitu seterusnya sampai waktu outbound berakhir.
Kita bisa juga mengombinasikan kartu prestasi dengan kompres fisik. Artinya kartu prestasi hanya untuk cek-lis koefisien jumlah permainan yang dijalani, sedangkan kompres tetap berbentuk fisik. Saya sih lebih suka model ini, mengapa? Karena justru sumber konflik kerap terjadi saat pembagian poin. Misal 15 anggota kelompok dapat poin 25 yang diwujudkan dalam 25 kancing baju (yang tidak bisa dipecah-pecah) coba gimana mbaginya? Yha itulah seni outbound, bagaimana kelompok berdiskusi untuk memutuskan siapa saja 10 orang yang dapat 2 kancing, dan siapa 5 orang yang hanya dapat 1 kancing.

Kedekatan Pos

Suatu ketika saya pernah terapkan konsep outbound Toba Ceria ini dengan 10 pos. 9 pos saling mudah terlihat, dan 1 lagi agak jauh dan sulit terlihat. Dalam 1/3 pertama waktu permainan, 1 pos yang tersembunyi itu (walau sudah diberi tahu sebelumnya semua posisi pos) minim peminat. Namun setelah dipindah di lokasi yang mudah terlihat, dia jadi ramai juga. Saat itu pertimbangannya, wah kalau pos-pos dibuat berdekatan, khan peserta bisa saling melihat dan mempelajari teknik bermain di pos itu? Namun refleksi saya balik bertanya, “Emangnya kalo bisa saling lihat dan mempelajari kenapa?” Toh itu pilihan bebas peserta untuk berstrategi, termasuk strategi menghabiskan sekian waktu untuk melihat orang-orang lain bermain.
Kedekatan dan keterlihatan pos-pos baik digunakan jika jumlah peserta banyak dan waktu yang digunakan relatif singkat. Berbeda dengan model outbound yang kelompoknya tetap dari awal sampai akhir dan sudah dibuatkan rute perjalanan, itu lebih jelas dan pasti dalam hal waktu dan menjalani permainan. Kita tentu tidak ingin melihat banyak peserta hanya hilir mudik nggak keruan hanya karena kesulitan menemukan pos, sementara ada beberapa  pos yang  instrukturnya nganggur. Akibatnya bisa fatal, waktu yang disediakan selesai, namun peserta hanya bisa main di sedikit pos saja, sayang khan. Ingat pula, sering peserta memerlukan waktu cukup lama untuk mencari teman-teman yang jumlahnya sesuai untuk main di suatu pos. Ada nego-nego disana, baik untuk merayu beberapa orang untuk bergabung, atau memohon beberapa orang untuk mengeliminasi diri dari kelompok itu karena kebanyakan orang. Itulah salah satu seni outbound metode ini kawan, namun jangan khawatir, kita punya tawaran menarik bagi peserta.

Biaya Administrasi

Hah? Apa-apan ini? Tenang, tenang. Biaya administrasi ini untuk ditawarkan pada kelompok peserta yang jumlahnya belum memenuhi syarat. Misal  permainan Pipa Bocor, mestinya dimainkan 1 kelompok, dengan jumlah anggota 10-13 orang, tapi ada 9 orang atau 15 orang yang (ngotot) mau main. Boleh-boleh saja, tapiiii mau nggak bayar “biaya administrasi” yang bentuknya misalnya:
·         Kelompok tersebut setor sejumlah poin (terutama poin dalam bentuk fisik), kalo 9 orang mau main, hayoo setor dulu 20 poin. Terserah mereka gimana mendapatkan 20 poin dari 9 anggotanya.
·         “Boleh, kalian ber-15 main disini, namun dengan syarat, berapa pun kompensasi prestasi kalian nanti, dipotong 10% untuk biaya administrasi, mau?” jadi misalnya suatu kelompok (yang tidak memenuhi syarat jumlah pemain tadi) mendapat poin 100, maka hanya diberi 90 saja; kalo dapat 75, berarti dipotong 8 poin.
·         Model lain adalah dengan memodifikasi teknis atau target permainan. Misalnya dalam contoh main pipa bocor, kalau target normal mengeluarkan 10 bola dalam waktu sekian menit, maka sebagai “biaya administrasi” targetnya jadi 12 bola; gitu deh permisalannya, mudah dipahami khan?
Fleksibilitas biaya administrasi ini bisa diterapkan, terutama mempertimbangkan waktu outbound  yang singkat, sementara peserta (sangat) banyak. Ingat lagi, kadang waktu peserta cari pos, dan bernego dengan sesama peserta untuk main bisa lebih lama dari waktu untuk memainkan permainannya. Maka “kejam” menolak kelompok peserta yang tidak memenuhi syarat disatu sisi memang bagus, tapi dalam saat bersamaan juga membuang peluang peserta untuk segera bermain, atau istilah kerennya buang-buang waktu. Emangnya siapa kita? Bisa “buang-buang waktu?”
Namun, dalam konteks bahwa konsep Toba Ceria ini dilakukan dengan waktu yang leluasa, apalagi dalam suatu kegiatan “latihan kepemimpinan,” bagus juga kita tegas menolak permohonan kelompok yang tidak memenuhi syarat. Ada urusan-urusan yang tertutup dinegosiasikan dengan fasilitator. Maka kembali ke aturan dasar, diantara mereka lah negosiasi dilakukan.

Voucher Bebas

Apa lagi ini, pake voucher-voucheran segala, emangnya mau belanja? Ada-ada saja saya ini. Sabar-sabar, kita khan memang lagi bikin peserta belanja poin di pos-pos outbound, jadi boleh dong dibuat sistem voucher. Voucher adalah kupon yang bisa dimiliki peserta supaya dia dapat bermain di suatu pos yang pernah dia masuki. Terutama dalam proses yang menggunakan kartu prestasi dimana daftar dia sudah ditandai masuk dalam pos tertentu, dia dapat masuk lagi ke situ dengan menunjukkan voucher bebas.
Terbuka kemungkinan (saya lagi getol bikin kalimat positif, alih-alih menulis “tidak menutup kemungkinan”) seorang peserta diajak untuk main lagi di pos yang dia sudah mainkan tadi. Silahkan saja, asal yang bersangkutan  punya voucher bebas. Pertanyaannya kini adalah “Dimana peserta bisa mendapatkan voucher bebas ini?” Oh, bisa gini caranya:
·         Dibagi beberapa secara acak sebelum proses outbound, anggaplah jadi kupon keberuntungan bagi beberapa peserta. Kadang hidup ini juga diisi keberuntungan khan? Khaaaaaannn.
·         Lebih “intelek” dari sekedar dibagi-bagi, buat dinamika sederhana dimana mereka yang berprestasi berhak mendapatkan voucher bebas ini. Saya pikir tak perlu dijelaskan yach contoh dinamikanya, yakinlah banyak sekali modelnya.
·         Buat satu pos khusus untuk mendapatkan voucher ini, dan biasanya dilakukan secara individu. Misalnya pada pos dimana peserta (yang mau dapat voucher) harus berenang dalam jarak tertentu. Bisa juga kegiatan di pos ini bukan bersifat fisik, tapi adu pengetahuan.
·         Bisa dicoba suatu pos dimana fasilitator menanyakan beberapa hal yang terkait dengan kelompok peserta. Jika peserta itu Pramuka yha bertanyalah tentang kepramukaan, jika peserta dari suatu perusahaan, boleh ditanya tentang seluk beluk perusahaan tersebut. Benar menjawab sekian pertanyaan berarti boleh membawa 1 voucher bebas.
Ah, cukup deh, sambungan tentang Outbound Toba Ceria, kayaknya malah sambungannya lebih panjangan dari uraian awalnya. Karena saya anggap teman-teman sudah cukup memahami catatan ini, maka mudah-mudahan saya tidak sampai kasih contoh format detail kertas kerja outbound yang pernah saya rancang. Kecuali ada yang masih perlu lebih detail lagi sampai titik komanya, yha apa boleh buat, bisa diupayakan untuk disambung lagi cerita kita ini.

Selamat berceria dalam outbound rame-rame ini, tak hanya di Danau Toba, tapi bisa ceria di mana saja. Da da……