yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Minggu, 31 Juli 2011

Refleksi Experiential Learning berbasis Audio Visual (bagian 1 dari 2)


Refleksi audio visual, apaan tuh?
Dalam suatu dinamika outbound, hal yang peanting diperhatikan pascadinamika adalah refleksi dan pemaknaan. Proses ini merupakan sayarat dari sebuah pembelajaran berbasis experiential learning; ada aksi, refleksi, pemaknaan, dan rencana tindak lanjut. Memang kita akan lihat konteks bagaimana dinamika tersebut dimainkan, apakah sekedar untuk sebuah ice breaking, atau dimaksudkan untuk menyampaikan nilai-nilai tertentu. Urgensi sebuah dinmanika dalam acara ice breaking atau keakraban tentu tak “seberat” jika masuk dalam suatu proses pembelajaran. Tulisan ini akan lebih mengupas teknis persiapan tahap refleksi dan pemaknaan kegiatan outbound menggunakan media audio visual. Apa itu maksudnya, kita simak segera setelah ini.
Pernah dalam suatu kesempatan saya mengamati, sekitar pukul 14 lebih 10 menit, peserta outbound yang baru saja menyelesaikan berbagai dinamika, telah usai makan siang dan bersih diri, kini mereka bergerak menuju aula. Ketika sudah terkumpul 80an peserta, dimulailah keagiatan yang dinamakan refleksi permainan outbound. Seorang fasilitator dengan gegap gempita mengulas semua permainan yang telah dilakukan peserta mulai dari pagi hingga siang. Sesekali dia minta komentar peserta yang menanggapinya dengan biasa-biasa saja. Setengah jam berlalu, si fasilitator masih tetap semangat bercerita tentang permainan-permainan, sekaligus makna yang bisa dipetik darinya. Namun saya perhatikan, daya tahan peserta untuk mengikuti ritme fasilitator mulai menurun. Ketika diminta pendapat, cenderung diam, pasif, apalagi ada yang inisiatif, boro-boro. Makin berlalu waktu menuju sore, makin kentara bahwa peserta dalam tahap menuju bosan. Beberapa terlihat menahan kantuk, satu dua orang tanpa sungkan menguap, untung saja belum sampai ada yang tertidur.
Agak ironis memang, ketika fasilitator asik “ngecipris” mengulas permainan, pesertanya malah berangsur apatis. Apa yang salah dengan kondisi ini? Tanpa perlu menyalahkan kondisi ini, baik jika kita tinjau dahulu suasana peserta saat menjalani tahap refleksi. Yakinlah, sebagian besar peserta sudah lelah usai menjalani rangkainan dinamika. Waktu sekitar pukul 14 sampai 16 merupakan jam yang mahaberat bagi kegiatan yang berbasis ceramah (melulu), maklum itu waktu paling yahud untuk istirahat bagi sebagian besar peserta. Namun kadang saat-saat tersebut tidak bisa kita tolak karena mungkin saja usai itu peserta sudah mau pulang. Jika tidak diberi refleksi, itu justru makin konyol bagi sebuah proses pembelajaran. Adakah metode refleksi yang lebih pas? Ini salah satu tawarannya.
Metode refleksi audio-visual adalah metode refleksi dan pemaknaan suatu dinamika menggunakan media audio dan visual sebagai alat bantu guna memberi gambaran tentang suasana yang pernah/ sudah dialami peserta ketika bermain. Audio-visual yang dimaksud tak lain adalah pemutaran film/ video permainan. Ada unsur “audio” karena akan terdengar kembali segala suara dan bunyi-bunyian. Unsur “visual” juga masuk sekali, karena jelas peserta akan melihat kembali adegan dimana mereka pernah menjalaninya (tadi). Hal ini cukup efektif membawa peserta masuk kembali pada suasana ketika mereka bermain (beberapa jam sebelumnya). Film dengan suara-suara yang mereka hasilkan sendiri, akan membawa pada ingatan saat mereka memainkannya. Disaat suasana peserta sudah masuk dalam suatu permainan, saat itulah fasilitator dapat memandu refleksi dan pemaknaan. Pengalaman kegagalan, keberhasilan, kerjasama, keputusasaan, kelucuan, dan sebagainya, yang terekam, sangat membantu proses pemaknaan.
Metode ini sangat membantu proses pemaknaan jika antara tahapan ini dengan saat permainan ada jeda cukup lama. Misalnya permainan dilaksankan pagi sampai siang, sedangkan proses refleksi dan pemaknaan dilaksanakan sore atau malam harinya. Jika antara dua proses itu diselingi kegiatan lain (istirahat, atau pemberian materi lain) akan juga membuat kaitan emosional antara permaian dan pemaknaan makin jauh. Ketika pemaknaan hanya dilakukan dengan metode ceramah yang hanya mengandalkan ingatan semata, tentu akan berbeda jika dibantu dengan penayangan film. Namun metode ini juga bagus jika pemaknaan langsung dilakukan seusai rangkaian permainan, malah lebih bagus itu. 
Mengenai teknis atau metode refleksi dan pemaknaan tidak aakan dibahas dalam tulisan ini, karena yang ingin saya sampaikan hanya sebatas bagaimana teknis mengambil film maupun gambar dinamika outbound untuk keperluan refleksi dan pemaknaan. Memangnya apa sulit sih, mengambil gambar/ foto dan film/ video suatu kegiatan outbound? Tinggal pencet sana pencet sini, apalagi dengan kamera/ handycam yang canggih, selesailah itu. Wah sulit atau tidak itu jadi relatif deh, namun sampai saya menuliskan hal ini, teknis yang tepat saya yakini akan menunjang proses pemaknaan. Sebaliknya, asal-asalan dalam mengambil foto dan film bisa membuat proses pemaknaan audio-visual kurang maksimal. Ada 2 jenis pengalaman yang saya gabung dalam tulisan ini. Pertama adalah ketika saya sendiri(an) beberapa kali melakukan pengambilan foto dan film dinamika outbound, untuk lalu ditayangkan dalam proses refleksi dan pemaknaan; yang juga saya bawakan sendiri. Kedua adalah ketika saya memberi petunjuk teknis pada seorang fasilitator yang akan mengambil adegan dinamika untuk pada akhirnya nanti dia tayangkan dalam proses refleksi dan pemaknaan, yang dia bawakan sendiri. Dalam jenis kedua ini, saya tidak terlibat dalam dinamika outbound yang dimaksud, jadi petunjuk teknis yang saya sampaikan diusahakan seefektif mungkin. Langsung saja yachhh.
Tahap Orientasi
Hal pertama yang perlu kita tahu sebelum melaksanakan kegiatan pengambilan adegan adalah jadwal kegiatan. Hal ini akan menentukan seberapa lama waktu kita untuk melakukan proses transfer dan persiapan penayangan foto/ film; langsung kita beri contoh, misalnya:
  • Dinamika dilakukan pagi pukul 08.00 sampai 11.00, lalu refleksi dan pemaknaan pukul 13.00 – 14.00, artinya ada waktu 2 jam untuk melakukan proses transfer dan persiapan.  
  • Dinamika dilakukan pagi pukul 08.00 sampai 12.00, lalu istirahat 30 menit, lalu langsung refleksi dan pemaknaan pukul 12.30; artinya hanya tersedia ada waktu 30 jam untuk melakukan proses transfer dan persiapan.
  • Pernah juga begini, waktu outbound pukul 13.00-15.00, istirahat 15 menit. Langsung refleksi dan pemaknaan pukul 15.15. Wah mepet sekali waktunya.
  • Kalau yang ini lebih leluasa, misal outbound pukul 08.30 – 12.00, sedangkan refleksi dan pemaknaan pukul 17.00-18.30, setelah peserta (juga fasilitator) istirahat.

Hal kedua yang perlu dicermati adalah jumlah peserta dengan pembagian kelompoknya, dikombinasi dengan jumlah dinamika yang direnanakan dan di mana saja tempat pelaksanaannya. Prinsip pengambilan  adegan adalah semerata mungkin antara tiap peserta/ kelompok, juga serata mungkin untuk tiap dinamika/ permainan. Beberapa contoh berikut menggambarkan tingkat kerumitan/ fleksibilitas yang berbeda:
  • Ketika ada 50 orang yang terbagi dalam 5 kelompok dan bermain bersamaan dalam satu halaman sekolah atau tempat yang berdekatan, kita akan lebih mudah mengambil foto dan film. Perpindahan (kita) Dari pos satu ke pos berikutnya sangat gampang, ibaratnya dengan bergerak 10 langkah saja, kita sudah sampai pos yang berbeda. Hal ini membuat lebih banyak hal/ kejadian bisa kita rekam, sehingga koleksi adegan bisa banyak.
  • Ketika ada 50 orang yang terbagi dalam 6 kelompok, main bersama-sama di 6 pos yang jarak antar pos jauh, misalnya sekitar 200an meter. Maka adegan yang bisa di rekam lebih sedikit (dari pada contoh sebelumnya).
  • Ada model jadwal outbound yang  berurutan, misalnya satu kelompok lebih dahulu main di pos ke-1, sementara 4 kelompok lainnya menunggu. Ketika kelompok pertama pindah dan main ke pos ke-2, maka kelompok kedua baru main di pos ke-1, sisa 3 kelompok masih menunggu, dan seterusnya. Nah, lebih repot sekarang, kita mau fokus ngambil adegan di pos mana? Atau bagaimana membuat tiap kelompok direkan semerata mungkin; apalagi jika antar pos jauh, lebih repot itu.  

Hal ketiga yang patut diperhatikan adalah sejauh mana kita mengerti karakter tiap dinamika/ permainan. Hal ini bisa dipelajarai secara instant (bila yang mengajari juga sudah tahu persis) namun akan lebih merasuk jika sudah pernah beberapa kali mengalami sendiri permainan tersebut. Ada jenis permainan yang sifat “ketegangannya” relatif datar, namun ada juga yang menjadi memuncak pada saat-saat tertentu. Kadang ada momen-momen tertentu yang bikin seru permainan; itu yang kita perlu tahu. 
Baik adanya jika kita juga mengenal dimana suatu permainan akan dilakukan; mengapa ini penting? Tingkat keseruan/ kesulitan suatu permainan dapat juga tergantung dari kondisi/ lokasi permainannya. Sebagai contoh, dalam suatu permainan pipa bocor, tentu berbeda keseruannya, ketika peserta mengambil air dari ember besar menggunakan gayung, dibandingkan dengan ketika peserta mengambil air dari kolam alami yang cukup curam lerengnya menggunakan timba.
Pengetahuan akan karakter dinamika ditambah pengenalan medan/ lokasi dinamika dapat membawa kita sensitif terhadap momen-momen tertentu yang menunjang refleksi dan pemaknaan. Sebagai salah satu contoh, sampai saat ini, saya selalu tertantang untuk membuat momen foto yang sip saat  peserta sedang flying fox. Tempat yang digunakan sama, dengan puluhan kali kegiatan yang berbeda. Namun hasil yang dicapai secara tipikal bisa beda-beda, tergantung dari kombinasi: dimana kita mengambil foto (dari ratusan titik alternatif); bagaimana cuaca hari itu? pagi, sore atau siang akan menentukan efek sinar matahari; mendung, terang, gelap, cerah, atau gerimis juga akan berpengaruh terhadap pencahayaan. Peserta memang hanya meluncur sekitar 10 detik, tapi pada tiap detik, peserta selalu berubah posisi/ ketinggian, di ketinggian mana paling sip untuk difoto? Ketika kombinasi beberapa hal tadi dirasa suah pas, giliran faktor peserta kini, ada yang bahsa tubuhnya menunjukkan dia takut, cengengesan, kaku, liar, gembira, stress, dan sebagainya. Namun hal itu nggak jadi masalah karena toh itulah potret nyata suasana yang dialami peserta.
Urusan keempat kita adalah mengenai perangkat perekam dan penayang foto dan film yang akan kita gunakan. Saran saya, kenali baik-baik perangkat kita itu, sebelum menggunakannya. Misalnya kita akan menggunakan kamera digital saku untuk merekam foto maupun film; maka beberapa hal yang patut diketahui adalah:
  • Bagaimana mengoperasikan kamera tersebut? Baik untuk memotret atau mengambil film.
  • Atur setelan/ pengaturan kamera untuk mendapatkan foto yang sesuai, hal ini biasa terkait dengan kartu memori yang digunakan/ ruang yang tersedia. Apakah untuk mengambil foto diperlukan resolusi atau kualitas yang paling tinggi, sehingga menghabiskan banyak ruang memori? Yha tergantung momen yang difoto. Mungkin untuk memotret adegan yang sulit kita dekati, bijaksana jika kita terapkan hal itu. Kita barangkali akan menampilkan foto cukup detail, sehingga pada saatnya nanti kita perlu memperbesar tampilannya, gambar tidak menjadi kabur/ pecah.  Namun untuk adegan biasa yang dapat kita dekati, kualitas sedang mungkin sudah cukup, toh kita tidak perlu untuk memperbesar tampilannya.
  • Seperti halnya dengan pengaturan foto, baik juga kita atur setelan untuk mengambil film dari kamera digital. Saya pernah punya pengalaman meng-enekkan (bikin enek) ketika mengambil film refleksi untuk outbound di lokasi yang eksotis dan baru sekali itulah saya kesana. Momennya pun istimewa, karena jarang terjadi, dengan jumlah peserta sekitar 15 x 12 orang. 15 adalah rata-rata jumlah peserta dalam 1 kelompok, sedangkan 12 adalah jumlah pos/ permainan yang akan dijalaninya. Jeprat-jepret, klik sana klik sini dari pagi hingga siang. Namun ketika film ditayangkan eeeee…. jadi kabur, sialan. Ternyata saya tidak memperhatikan pengaturan untuk film pada kamera digital, sehingga terbiarkan dalam posisi kualitas yang rendah. Momen-momen yang menarik menjadi kabur terlihat, bak melihat dari balik kaca yang selalu basah dialiri air. Masih untung fotonya bisa jelas dilihat, sehingga bisa menyelamatkan menyelamatkan momentum.
  • Ketahuilah, berapa lama daya tahan sumber daya/batere kamera dapat bertahan. Baik adanya jika selalu membawa batere cadangan, terutama jika kita bergerilya foto refleksi di tempat yang jauh dari sumber listrik. Saya sih selalu bawa satu set batere cadangan, tentunya yang sudah terisi dan siap pakai, juga sebuah alat catu daya/ charger.
  • Berapa sih kapasitas kartu memori kita? Itu hal penting yang perlu kita camkan. Lebih baik menghindari hal-hal konyol yang disebabkan karena kita mengabaikan hal itu. Misalnya untuk kasus membuat film, (satu-satunya) kartu memori kita hanya dapat merekam selama 24 menit, namun karena ketidaktahuan kita, semuanya sudah tergunakan hanya untuk merekam adegan di 3 pos saja, padahal masih ada 3 pos lagi yang menunggu. Lhah kalau itu terjadi khan bisa bikin repot. Saya punya pengalaman beberapa kali mengadakan outbound dengan jadwal, materi, dan jumlah peserta yang sama, hanya pesertanya saja yang berganti. 5 pos dan 5 kelompok adalah target bidikan saya, dan masa istirahat hanya 15 menit, setelah itu refleksi dan pemaknaan. Kamera diisi  memori 2 Gigabyte yang dapat merekam sampai 24 menit. Pada 3 outbound pertama saya merasa bahwa kapasitas memori segitu kurang, karena kayaknya banyak adegan menarik yang patut direkam. Namun pada perjalanan, saya berbalik merasa terbantu dengan kondisi itu, lho, mengapa? Karena ketika tahu bahwa kamera saya (dengan kartu memori itu) hanya dapat merekam selama 24 menit (saja), maka saya dituntut untuk memilih adegan yang kontekstual secara selektif. Jika ada momen yang menurut saya kurang sip, segera saja saya hapus dari memori. Dengan hal tersebut, jumlah file yang dihasilkan juga berkisar 20-30 file film saja untuk seluruh proses. Apa jadinya jika saya membekali dengan memori yang bisa merekam sampai misalnya 80 menit? Saya yakin akan tergoda untuk mengambil banyak sekali adegan (yang tentu di dalamnya ada yang favorit) namun kemudian akan lama dalam proses transfer, juga lama ketika memilih mana yang akan ditayangkan. Tentu tidak semua akan ditayangkan, karena acara kita kahn dalam rangka refleksi dan pemaknaan, bukan menonton “film perjuangan outbound.”

Itu tadi hal-hal yang patut dicamkan terkait perangkat kita. Mengapa saya mencontohkan kamera saku digital, bukan deangan handycam? Jawabannya sangat sederhan; karena selama ini saya hanya (punya dan) menggunakan kamera digital dengan kualitas sedang-sedang saja. Bagi saya, jenis kamera itu sudah memadahi; ingat… proses kita ini bukan untuk kontes/ lomba fotografi atau bikin film bioskop, tapi refleksi outbound. Bentuknya yang relatif kecil lebih memudahkan dibawa, digantung di ikat pinggang, masuk tas pinggang, bahkan harus sesekali masuk saku jaket atau celana. Ingat juga, kadang kita harus menjelajah medan outbound yang cukup menantang; mungkin naik turun lereng, panjat pohon (untuk mengambil sudut gambar yang oke), nyeberangi sungai, melintas halaman berpasir dengan angin kencangnya yang berbonus terbangan debu, dan kondisi-kondisi lain yang tantangannya bervariasi. Hal lain yang cukup menguntungkan adalah jenis kamera ini relatif mudah dioperasikan, sehingga ketika kita mau mengajak teman untuk membantu proses, maka penjelasan teknis penggunaannya tidak terlalu ruwet. Apakah jenis kamera lain, terutama yang lebih canggih tidak praktis untuk digunakan? Wah kalau saya sudah pernah nyoba, baru bisa kasih komentar deh.
Perangkat yang mutlak perlu juga komputer/ laptop, LCD proyektor dan sound system/ tata suara yang mendukung. Dari kartu memori kamera, file akan ditransfer ke komputer untuk dilihat, diolah, dan disusun. Dari komputer, gambar/ film akan ditayangkan melalui LCD proyektor, sementara audio/ suara akan dihubungkan ke sistem pengeras suara. Kita harus tahu bagaimana menggunaan semua perangkat tadi, mulai dari gimana menyalakannya, sampai mematikannya, termasuk bagaimana mengoperasikannya kembali jika tiba-tiba aliran listrik sempat mati. Memang semua perangkat tadi hanya bernasib sebagai alat, bukan tujuan; namun ketika kita bisa memanfaatkan peralatan yang tersedia secara maksimal, itu baru namanya bijaksana. Maksimalisasi penggunaan perangkat akan memperlancar, memudahkan, dan mengefektifkan proses, percayalah kawan.
bersambung.....................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar