yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Kamis, 26 Mei 2011

Domino Konco

Penemuan BARU, Domino Konco, apo dio?
Ah, ternyata hanya mau berbagi suatu modifikasi permainan domino dengan gambar/ foto yang bisa kita atur sendiri.
Teman-teman Ganien sangat ayik memainkannya karena wajah-wajah mereka yg imut sendiri yg dimainkan.

langsung saja ya...

Beginilah salah satu bentuk domino konco, yg bisa juga diisi gambar-gambar lucu.

boleh juga diisi foto-foto teman sekantor
proses awal tentu saja susun file gambar/ foto, kalo sy pake program corel
aneka foto teman-teman Ganien di sekitar rumah
setelah disusun, trus diprint pada kertas stiker
setelah itu ditempel di karton padi yg tebal (bisa 2 atau 3 mm)

setelah tertempel, tutupi dengan kertas, untuk apa?


ternyata untuk dipres, saya pake cara primitif, diinjak-injak saja supaya antara kertas kaarton dan gambar/ foto makin erat menempel

setelah itu dipotong, pertama dibelah-belah

barulah dipotong

oh yha, ini alat-alatnya: yg inti sih  penggaris besi dan cutter. Gerinda/ asahan/ batu itu untuk mengasah mata cutter supaya bisa awet digunakan (selain memotong ujungnya tentunya


inilah sisa-sisa kertas karton

selamat mencoba.

Palembang, 27 Mei 2011.

Senin, 23 Mei 2011

Lebih dari Sekedar Tukang Outbound



Dalam pendampingan pelatihan atau pengembangan diri berbasis outbound, kita sebagai fasilitator pasti diharapkan mempu menyampaikan pemaknaan tiap dinamika outbound. Hal yang paling sering saya alami tentu saja makna kerjasama, kepemimpinan, keberanian, serta komunikasi. 4 hal ini yang memang menjadi menu dasar dinamika berbasis outbound. Berbagai dinamika/ permainan saya pandang selalu mengandung satu sampai 4 hal tadi. Sejauh ini belum ada yang bermasalah selama kita mampu menyampaikan pemaknaan permainan secara tepat. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menjadi hal yang biasa, “bagaimana meningkatkan kerjasama dalam suatu kelompok?” atau “Bagaimana bisa berkomunikasi dengan baik?” atau juga “Gimana supaya saya lebih berani?” saya nggak akan memberi jawaban, karena tulisan ini memang bukan untuk membahas itu. Ketika kita merasa belum maksimal dalam menyampaikan pemaknaan tersebut, yha belajar dan berlatihlah lagi, sedemikian sederhana, kok urusannya.

Namun, dalam suatu kegiatan outbound, selain menanyakan keempat hal tema-tema pokok dinamika, peserta juga kerap menanyakan hal yang lain. Coba, jawaban apa yang akan teman-teman sampaikan jika ada peserta yang bertanya “Saya sudah bekerja keras di kantor, tapi kok rasanya nggak ada peningkatan sehingga sudah 15 tahun kerja kok nggak kaya-kaya?” kalo kita tipe orang yang nggak mau ambil pusing, bisa saja dijawab,” Wah, kita kali ini khan lagi outbound, bukan seminar tentang kekayaan, jadi pertanyaan tersebut nggak relevan” atau bagi orang normatif, bisa dijawab, “Wah, Bapak/ ibu harus tetap terus kerja keras namun juga harus sabar, orang sabar disayang Tuhan, lho.” Atau apakah teman-teman mau menjawab begini, “Emangnya tiap bulan Ibu nggak nabung, makanya Bu, nabung, nabuuuung...” gubrak!!. Dan mungkin masih ada beberapa tipe jawaban lain, baik yang mencoba mencari solusi, atau yang menghindari menjawab.

Teman-teman, ketika kita menghadapi kondisi dengan pertanyaan semacam tadi, yang keluar dari tema pokok dinamika outbound, kita bisa memilih respon yang bijak. Hal ini demi kita bisa “memuaskan” peserta outbound, namun lebih penting lagi memberi sebuah (gagasan) solusi  atau perspektif tertentu tentang pertanyaannya tadi. Perlu kita pahami, kadang-kadang peserta outbound nggak bisa/ belum tahu konteks mereka melakukan outbound. Tahunya mereka melakukan aktivitas yang bisa menjawab seluruh masalah yang dihadapinya (padahal perusahaan meng-outboundkan karyawannya supaya melatih kekompakan). Otomatis, ekspektasi peserta terhadap fasilitator menjadi tinggi, kita dipandang bisa memberi semua jawaban masalah peserta, wah gawat itu. Ketika kita tahu persis jawabannya terkait teknis/ detil konteks penanya, bolehlah kita langsung jawab sesuai pengetahuan kita. Alternatif lain, adalah kita bisa memberi jawaban/ respon dengan sebuah konsep/ gagasan terkait konteks pertanyaan yang “menyeleweng” tadi, hal inilah yang akan kita bahas.

Baik adanya, selain kita menguasai materi pemaknaan dinamika outbound, kita juga membekali diri (di kepala) dengan beberapa konsep/ teori/ pengetahuan seputar pengembangan diri. Hal ini tentu saja suangaaaat banyak, lalu konsep yang mana? Tiap orang tentu punya peminatan sendiri, ada yang fokus di bidang pengembangan finansial, ada yang di bidang kecerdasan emosi, ada pula yang profesionalitas kerja, umum juga tentang keorganisasian, dan sebagainya. Namun ada pula yang berusaha mengetahui semuanya, bagus juga semangat tersebut. Saya hanya akan cerita beberapa pengalaman yang dalam suatu pelatihan outbound. Penyampaian suatu konsep/ mindset pada peserta bagi saya sama pentingnya dengan pemaknaan dinamika outbound itu sendiri. Artikel ini bukan mengupas tuntas tiap detail konsep, namun hanya menceritakan beberapa konsep yang sudah ada di kepala ini, dan bisa diluncurkan pada proses outbound, baik dengan terencana maupun dalam ketiba-tibaan. Langsung saja kita simak 3 contoh konsep yang sering saya sampaikan dalam outbound, yach...

7 habits
Konsep ini disampaikan pada peserta untuk memberi gambaran bagaimana supaya kita bisa bekerja/ bertindak secara efektif. Konsep ini berdasar pemikiran Stephen Covey penulis “7 kebiasaan manusia yang sangat efektif” Saya senang menyingkatnya dengan “PUDNESA,” P artinya Proaktif, U berarti Ukur bambu/ visioner, D itu dahulukan yang utama, N adalah negosiasi/ win-win solution, E itu empati, S adalah sinergi/ kerjasama, serta A adalah Asah gergaji. Tiap habit/ kebiasaan saya terangkan secara singkat, termasuk 3 kebiasaan pertama untuk mendapatkan kemenangan pribadi, dan 3 kebiasaan berikutnya untuk mencapai kemenangan bersama. Pada akhir penjelasan, saya sarankan peserta yang ingin memperdalam lebih lanjut tentang konsep ini, bisa membaca bukunya. 

Lingkaran Pengaruh dan Lingkaran Kepedulian/Keprihatinan
Konsep “Lingkaran Pengaruh dan Lingkaran Kepedulian/Keprihatinan” masih bersumber pada Steven Covey. Pemahaman ini bagus untuk memberi gambaran dan pemetaan pada peserta outbound tentang hal-hal mana yang sebaiknya diprioritaskan dalam dunia pekerjaan. Pada hakekatnya tiap orang punya 2 lingkaran, 1 yang kecil dan ada di dalam adalah Lingkaran Pengaruh yang berisi semua hal yang dapat kita pengaruhi, putuskan, rubah, lakukan, tolak, atau apa pun. Pendeknya dalam lingkaran ini berisi semua hal yang dapat kita pengaruhi secara langsung. Kita punya kuasa untuk mengolahnya. Contoh hal yang ada di dalam lingkaran ini misalnya: kemauan untuk belajar, bertindak rajin/ malas, memaafkan, semangat, dan lebih perhatian.
Lingakaran kedua yang lebih besar, yang melingkupi lingkaran pengaruh adalah lingkaran kepedulian/ keprihatinan. Berisi hal-hal yang hanya dapat kita pedulikan/ prihatini, namun kita tidak punya kuasa untuk merubah, menolak, atau mempengaruhinya (secara langsung). Segala sesuatu yang kita lakukan/ bicarakan/ pikirkan dalam lingkaran ini tidak akan membawa perubahan dalam diri kita.  Contoh hal-hal yang (walapun terlihat asyik/ menyenangkan) ada dalam kategori ini misalnya: kita terlahir sebagai suku apa, besar gaji kita, pertempuran di afghanistan, nasib artis, harga premium, dan siapa bos kita.

Pemetaan akan apa yang sering kita lakukan pada 2 lingkaran ini bisa memberi gambaran, apakah hidup kita sudah efektif. Manusia yang efektif (dan akan terus berkembang) fokus melakukan hal-hal (positif) yang ada pada lingkaran pengaruh, bukan sebaliknya. Pada akhir penyampaian konsep (yang biasanya saya gambarkan di papan tulis ini) ini biasanya saya mengajak peserta untuk bisa menerapkan konsep sederhana ini pada berbagai aspek kehidupan peserta.

4 dimensi kerja
Apa sih motivasi seseorang dalam bekerja? Susah-susah gampang njawabnya. Konsep ini saya sampaikan pada peserta outbound supaya benar-benar bisa menyadari konteks dia bekerja itu seperti atau untuk apa sih? Ternyata bisa dikategorikan dalam 4 aspek/ dimensi saja. Pertama, dimensi Ekonomi, jelas, orang kerja untuk mendapat penghasilan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup/ perekonomian yang bersangkutan (juga keluarganya). Dimensi kedua adalah Antropologi, gampangnya untuk memanusiakan manusia. Seseorang lebih (merasa) berharga ketika bekerja, daripada nganggur. Dimensi berikutnya adalah Sosial, artinya dengan bekerja kita membantu orang lain. Ketika kita jadi koki, artinya membantu orang yang kelaparan supaya bisa makan masakan yang enak. Ketika jadi sopir artinya membantu orang lain (penumpang) untuk bergerak menuju tempat lain. Dimensi berikutnya adalah dimensi rohani/ teologis. Sering kita mendengar ungkapan ‘kerja adalah ibadah” menurut saya itu tepat. Melalui kerja, kita juga secara tidak langsung beribadah dan memuliakan Tuhan pencipta kita.

Pengetahuan akan 4 dimensi kerja ini diharapkan bisa diintegralkan dalam pemikiran tiap peserta outbound. Kerja hanya untuk mencapai salah satu atau salah dua aspek saja tentu belum seimbang yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan psikologis seseorang. Keseimbangan dalam 4 aspek tadilah yang akan menjadikan tiap orang nyaman dalam berkarya.

Itu saja, 3 contoh yang saya sampaikan, walau sebenarnya masih ada beberapa pemikiran lain yang saya koleksi terkait proses memfasilitasi outbound. 

Kita sebagai fasilitator outbound tentu saja minimal harus menguasai konsepsi tentang dinamika outbound/ experiential learning itu sendiri, mulai dari persiapan, pelaksanaan, sampai pemaknaan. Lepas dari itu, alangkah eloknya bila kita juga melengkapi diri dengan perbendaharaan konsep/ teori/ pengalaman yang relevan dengan konteks peserta outbound kita. Mari kita bekali diri kita dengan beragam konsep yang strategis; banyak baca buku bermutu, ikut berbagai seminar, dan juga jangan lupa diskusi dengan sesama fasilitator. 

Kombinasi antara pemaknaan dinamika outbound dengan paradigma/ konsep tertentu diharapkan bisa membuat peserta memperoleh manfaat yang lebih nyata dalam kegiatan kita tersebut. Namun ketika hanya hal teknis, normatif, (apalagi) operasional saja yang kita sampaikan pada peserta, sudah saatnya kita berpikir, jangan-jangan kita belum menjadi fasilitator outbound, namun masih (sekedar) tukang outbound. Hah????


Palembang, 24 Mei 2011.
Salam, Agustinus Susanta

Senin, 16 Mei 2011

Tujuan Outbound yang Bikin Capeee Deh...


Bulan lalu, seusai main futsal, kebetulan saya ketemu beberapa kawan lama dan kawan baru. Ketemuannya nggak jauh dari lapangan futsal, sekitar 4 meteran lah jaraknya, lho, kok, iya, soalnya ketemunya di cafe futsal tersebut. Ah, itu nggak usah dibahas lah, nggak penting. Yang penting itu ini, isi pembicaraannya. Oh, yha, mengenai kawan baru, itu karena baru disitulah kami ketemu dan kenalan. Berempat kami ngobrol, cukup lama, sekitar 1,5 jam. Macem-macem yang diobrolkan, salah satunya tentang manfaat kegiatan pelatihan.

Ada yang awalnya meyakini bahwa sebuah pelatihan bagi staf/ kelompok karyawan perusahaan  itu penting. Kalo nggak penting, maka tentu saja nggak akan diadakan pelatihan tersebut, khan? Namun petinggi perusahaan tersebut mulai mengevaluasi. Setelah beberapa kali diadakan pelatihan (dengan jenis dan bagian yang beda) kok manfaatnya nggak terlihat jelas bagi perusahaan tersebut. Jika dulu produktivitas perusahaan sekian, pascapelatihan, kok yha nggak ada peningkatan yang signifikan. Kalo dulu komunikasi antar karyawan begitu, pascapelatihan, yha nggak jauh beda. Kalo dulu karyawan diminta proaktif dan kreatif, setelah pelatihan juga nggak kelihatan bedanya. Fakta bicara, perusahaan perlu mengembangkan staf atau karyawannya, tentu saja supaya perusahaan maju dan berkembang. Namun  usai pelatihan, gimana jadinya ya? Pertanyaan besarnya adalah seberapa efektifkah efek kegiatan pelatihan (yang menyedot anggaran tak sedikit) itu?  

Karena ada seorang penggiat outbound dalam obrolan sore itu, maka pembicaraan mengarah juga pada seberapa efektif outbound membawa perubahan pada pesertanya. Apakah setelah mengikuti outbound, peserta nyata-nyata terbangun kerjasamanya, kepemimpinannya, lalu juga pada akhirnya produktivitas kerjanya? Wah, kalo itu dijelaskan, bisa panjang kali lebar, alias luas sekali. Namun saya coba memetakan pertanyaan tersebut pada kerangka yang (menurut saya) logis namun sederhana.

Tiap kegiatan pelatihan tentu punya tujuan yang jelas, tak kecuali kegiatan pelatihan berbasis outbound/ experiential learning. Kalo nggak punya tujuan itu ngaco namanya. Kita mau rekreasi saja mesti punya tujuan yang jelas, tujuannya yha rekreasi, biar segar, gembira, santai, dan lain-lain. Namun kadang-kadang (baik peserta maupun fasilitator) tujuan tersebut lupa didefinisikan, alih-alih proses mengalir saja. Bisa jadi hal tersebut terjadi karena kesalingmengandai-andaikan antara 2 pihak. Misalnya si perusahaan mengandaikan fasilitator tahu bahwa tujuan pelatihan outbound adalah peningkatan produktivitas peserta, sementara fasilitator beranggapan, ah, mereka mau outbound pasti karena mau refreshing (saja) setelah penat dalam rutinitas kerja. Hal tersebut bisa jadi kerok kalau ternyata fasilitator digugat oleh perusahaan, kok, outboundnya hanya gini? Gimana bisa meningkatkan produktivitas kerja karyawam nantinya? Hah? Bisa panjang ceritanya. Nah, supaya nggak panjang, baik adanya kita tahu juga pemikiran si penggiat outbound tadi.

Tujuan konseptual, adalah manfaat yang ingin dicapai oleh peserta seusai melaksanakan (pelatihan berbasis) outbound. Saya sering mengguankan frasa “mengembangkan” atau meningkatkan kapasitas pribadi, peserta, alih-alih mengatasnamakan kelompok besar atau perusahaan. Misalnya “mengembangkan kerjasama” atau “meningkatkan komunikasi secara  efektif antar peserta” atau “sekedar” meningkatkan keakraban antar peserta. Saya sadar, bahwa membuat tujuan yang muluk-muluk, kadang malah cenderung nggak masuk akal, misalnya setelah outbound, maka omzet perusahaan akan (langsung) naik. Atau setelah outbound semua perselisihan antar karyawan akan lenyap. Wah kalo gitu, hanya dahsyat di atas kertas saja, realitanya, sungguh sebuah perjuangan yang perlu dilakukan terus menerus.

Celakanya, ada perusahaan yang berpikir tujuan outbound secara muluk tadi, dan (lebih celaka lagi) si provider/ fasilitator juga menyanggupinya (hanya supaya dianggap hebat dan tepat melakukan pendampingan) wah.... bisa bahaya tuh. Namun sebelum terjerumus dalam bahaya, hal pertama yang perlu disepakati adalah apa tujuan pelaksanaan pelatihan berbasis outbound yang akan diselenggarakan nanti. Tiap pihak mesti realistis bahwa outbound hanya salah satu metode pengembangan diri peserta, terlebih terkait dengan nilai-nilai spirit pribadi, bukan nilai-nilai pengetahuan profesi. Ketika tujuan konseptual sudah disepakati/ dipahami, kita akan lebih enak dalam mengelola proses. 

Sebagai contoh, jika tujuan outbound untuk mengembangkan “kerjasama” maka dalam proses bisa dibuat dinamika/ permainan yang memang memerlukan kerjasama antar anggota untuk menyelesaikannya. Menjadi aneh jika tema kegiatannya kerjasama, tapi (hampir) semua dinamika individu, atau bisa diselesaikan secara individu. Lha dimana aspek pengembangan kerjasamanya kalo gitu? Capeee deh... 

Obrolan selain urusan pelatihan outbound tentu saja terjadi, namun nggak penting diceritakan. Yang ingin saya sampaikan pada teman-teman itu hanya sebuah kejelasan ekspektasi sebuah pelatihan, terutama outbound, yang perlu dipahami dan disepakati antara penerima manfaat dan penyelenggara/ fasilitator. Tidak semua tujuan mulia dan muluk-muluk bisa seketika dicapai hanya dengan sebuah pelatihan outbound. Namun sebuah tujuan sederhana pun jika (dalam outbound) tidak diskenariokan secara tepat bisa meleset juga ketercapaiannya. 

Selamat menentukan tujuan konseptual.
Palembang 17 Mei 2011.
Agustinus Susanta

Jumat, 13 Mei 2011

Hypnooutbound



Saya pernah terkesan pada kemampuan seorang teman  fasilitator outbound ketika dia membawakan acara refleksi atau renungan dalam rangkaian outbound. Keterkesanan saya disebabkan teman tersebut dalam membawakan renungan mengalir lembut, pelan namun menyentuh kalbu. Jika renungan di lakukan saat malam hari, wah lebih syahdu; tak jarang para peserta menitikkan air mata saat atau usai mendengar teman saya tersebut membawakan renungan.

Renungan tersebut biasanya diisi selang seling antara narasi dan pemutaran lagu, terkadang ketika suatu lagu atau musik diperdengarkan ditimpali pula dengan narasi yang menyentuh. Sekedar contoh alur renungan yang umum dibawakannya misalnya: pertama diawali dengan renungan tentang “keakuan” peserta, lalu disusul dengan renungan tentang sang ibu. Nah disaat ini biasanya diputarkan lagu bertema ibu dengan musik yang menyayat hati, “Ooooooo, mama, kembalilah o mamaaaa, ooooo mama kembalilah oooo mama... Maaaamaaaa, kembalilah padaku, hanyalah dirimu, harapanku oooo mamaaaaaa....” Setelah itu beranjak merenungkan tentang relasi peserta dengna ayahnya, lagu bertema ayah juga lalu diputarkan, “Dimana akau kucariiii, aku menangis seorang diri.....hatiku selalu ingin bertemu untukmu aku bernyanyi, untuk ayah tercinta aku ingin bernyanyi walau air mata di pipikuuuuuuu.....” hiiii merinding deh.

Saya pun yang beberapa kali ikut mendengar bisa meneteskan (lebih tepatnya mengeluarkan) air mata saking terharunya, atau apa karena saya orang yang sensitif yha? Namun saya akui teman saya itu membawakan renungan dengan bagus karena mampu membawa peserta pada ingatan dan merenungi relasi mereka terhadap orang tuanya. Bagi peserta yang merasa bermasalah dengan kedua orang tuanya, bisasanya akan sangat terhenyak. Juga bagi peserta yang orang tuanya sudah meninggal, akan makin sedih/ terharu. Nggak suah bermasalah atau ditinggal pergi orang tuanya, lha wong bagi yang normal saja banyak yang terharu, kok.
Usai merenungi kedua orang tuanya, dilanjutkan dengan keberadaan teman yang mendukung pribadi peserta. Bisa tebak apa lagu pengiringnya?  sekedar contoh bisa pake lagu Kaulah Segalanya si Ruth Sahanaya, “Mungkin hanya Tuhan yang tahu segalanya, apa yang kuinginkan disaat-saat ini. Kau takkan percaya kau selalu di hati, haruskah ku menangis tuk mengatakan yang sesungguhnya, kaulah segalanya untukku, kaulah curahan hati iniiiii....” atau bisa juga lagu You Raise Me Up, “When I am down and, oh my soul, so weary. When troubles come and my heart burdened be. Then, I am still and wait here in the silence,Until you come and sit awhile with me.You raise me up, so I can stand on mountains; You raise me uuuuuuuuup....”

Selesaikah? beluuuum, karena lalu peserta di ajak untuk bersemangat dan bangkit untuk menjadi lebih baik, kalo bisa malah jadi pemenang, salah satu lagu yang sering saya dengar ya “We are the Champion,” kayak lagu-lagu pengiring ada juara sepak bola gitu. “...We are the champions, my friend and we’ll keep on fighting till the end, We are the champhions....” Setelah peserta disemangati untuk berubah barulah renungan selesai, tambahannya salam-salaman antar peserta, sambil yang masih nangis atau sembab matanya mengusap-usap mata atau pipinya. 

Hmmmm... itu kesan saya sampai 2 minggu yang lalu, kenapa? Karena setelah saya tertimpa sesuatu, pandangan saya tentang renungan yang model tadi terkoreksi. Lho, emangnya ada yang salah? Salah sih nggak, cuman gini, eh mending saya cerita deh 2 minggu lalu saya tertimpa apa. Sebelum cerita apa yang menimpa saya, sungguh saya sampai sekarang masih terkesan juga dengan teman saya tadi. Bagi saya, hanya orang-orang istimewa yang bisa membawakan renungan dengan bagus.

Alkisah, 2 minggu lalu saya mendampingi seorang teman yang memberi pelatihan hypnoteaching pada para guru. Ada sekitar 250 guru yang dilatih dalam 3 angkatan  latihan selama masing-masing 3 hari 2 malam. Jadi, lumayan banyak lah saya mendengar dan mengamati proses, apalagi tiap angkatan secara prinsip materi yang disampaikan sama. 

Apa itu hypnoteaching? Itu adalah hipnosis yang bisa menunjang kesuksesan mengajar, kalo dari bentukan katanya. Jika dipreteli lagi, kurang lebih bagaimana menghipnosis siswa sehingga bisa distimulus untuk menjadi lebih baik dalam proses belajarnya. Saya nggak akan banyak cerita teori-teorinya, apalagi sejarah hipnosis; pertama karena tentu saja saya nggak hapal, kedua, kayaknya nggak urgen banget deh itu dipaparkan di sini. Namun saya akan cerita saja apa yang membuat saya terkesan.

Gini, teman saya yang seorang insinyur namun kuliah lagi S1 psikologi, juga S2nya, serta belajar hipnoterapi ke Amerika itu bercerita. Alam manusia itu terbagi menjadi 2, 20% ada dalam kesadaran, yach sadar, seperti teman-teman pembaca yang sedang membaca tulisan ini. Lalu 80%nya adalah alam bawah sadar. Hayoooo alam mana yang lebih dominan? benar, alam bawah sadar. Nah, ketika sebuah komunikasi yang jamak kita lakukan itu ada pada tataran alam sadar yang cuman 20% itu, wajar saja tingkat penyerapannya juga segitu. Namun apa yang terjadi jika kita bisa komunikasi dengan 80% alam bawah sadar seseorang, benar, tingkat penyerapannya juga tinggi.  Saya rasa sampai di sini belum terlalu membingungkan pembaca yah karena saya yang awam terhadap psikologi/ hipnosis juga langsung paham kok

Nah, pengertian hipnosis (yang membuat saya terkesan) adalah (hanya) gimana caranya kita bisa ngomong dengan seseorang pada area bawah sadarnya. Ingat, bawah sadar, bukan tidak sadar. Kalo tidak sadar itu malah nggak bisa diajak komunikasi, contoh termudahnya yha orang tidur. Menghipnosis orang itu bukan bikin tidur orang, tapi memasukkan orang pada alam bawah sadarnya, yang justru membuat yang bersangkutan makin peka terhadap lingkungannya, juga terhadap pola komunikasi yang diterimanya. Gimana cara menghipnosis orang? Nanti saya kasih bocorannya, walau itu nggak penting banget sih.

Teman saya, dalam suatu diskusi dengan peserta yang menanyakan apakah  renungan (seperti  yang saya ceritakan di awal tulisan ini) juga suatu hipnosis, apakah itu tindakan yang bisa memotivasi peserta? Jawabannya lugas. Sebagai sebuah refleksi, renungan sampai seseorang terharu, sedih, bahkan menyesal itu baik adanya, ingat, hanya sebagai seuatu refleksi lho. Namun, sebagai tindakan pemotivasian, itu nggak efektif, gubrak!!!! Mengapa? Karena orang akan lebih  termotivasi justru dalam keadaan tenang, atau bahkan gembira; secara psikologis itu akan lebih  efektif. Percaya nggak percaya, saat itu saya memilih percaya sama orang yang sudah mempelajarinya bertahun-tahun.
 
Lalu disebutkan pula bahwa otak manusia dapat memancarkan 4 jenis gelombang.
Pertama, gelombang Beta pada frekuensi 13-30 Hz. Pada kondisi ini, kita dalam kondisi terjaga, waspada, konsentrasi, atau seperti umumnya dalam keseharian kita saat beraktivitas. Kegiatan belajar, latihan, diskusi, ngobrol, bergurau, menganalisa kita lakukan dalam keadaan ini. Saat ini, kita dominan menggunakan otak kiri untuk berpikir sehingga gelombangg meninggi.  Gelombang tinggi ini merangsang otak mengeluarkan hormon kortisol dan norepinefrin yang menyebabkan cemas, khawatir, marah, dan stress. Wah bisa gawat nih kalo kita selalu ada di gelombang ini, bisa-bisa jadi gelombang tsunami bagi kesehatan kita, capeee deh.

Kedua, gelombang Alpha yang memancar pada frekuensi 8-13 Hz. Pada kondisi ini, kita dalam keadaan rileks, bahkan bisa jadi asyik melamun. Otak mudah membayangkan sebuah visualisasi, suasana, bahkan ide-ide, atau kreativitas tertentu. Anak-anak kecil adalah pengguna setia gelomabng alpha ini, jadi jangan heran jika mereka mudah menyerap informasi secara cepat, tak hanya itu, daya khayalnya juga tinggi, hayooo iya apa iya? Dalam kondisi ini, otak memproduksi hormon serotonin dan endorfin yang menyebabkan seseorang merasa tenang, nyaman dan bahagia. Gelombang alpha akan membuat  pembuluh darah terbuka lebar, detak jantung menjadi stabil, dan kapasitas indra kita meningkat. Dalam kondisi ini, otak kanan kita lah yang dominan berkarya.

Gelombang ketiga adalah Theta pada frekuansi 4-8 Hz, artinya lebih lambat dan tenang dari suasana alpha. Kapan otak kita bergelombang seperti ini? Saat kita meditasi, relaksasi yang mendalam, atau (semacam) mimpi saat tidur ringan.  Dalam kondisi ini, pikiran bisa menjadi sangat kreatif dan inspiratif. Seseorang akan menjadi khusyuk, sangat rileks, pikiran sangat hening dan intuisi pun muncul. Ini semua terjadi karena otak mengeluarkan hormon melatonin, catecholamine dan AVP (Arginine Vasopressin)

Kondisi keempat adalah dalam gelombang ke-4 yang paling lemah, yaitu  Delta, pada frekuensi 0,5-4 Hz. Frekuensi terendah ini muncul saat seseorang tertidur pulas tanpa mimpi, tidak sadar, tak bisa merasakan badan, dan tidak berpikir. Di gelombang ini, otak mengeluarkan HGH (Human Growth Hormone/ hormon pertumbuhan) yang bersifat menyembuhkan. Bila seseorang tidur dalam keadaan delta yang stabil, kualitas tidurnya sangat tinggi. Meski hanya beberapa menit, ia akan bangun dengan tubuh tetap merasa segar. Saya sarankan nggak usah ngajak omong orang yang dalam kondisi ini, namanya juga orang tidur, yha nggak sadar lah. Jika masih nekat mencoba, resiko ditanggung sendiri yach.

Nah itulah penjelasannya. Teman-teman nggak perlu kagum dengan penjelasana ini karena saya juga ambil dari internet kok. Memang teman saya sempat menyebutkan dan sekilas menjelaskan perihal 4 jenis gelombang tadi, tapi beberapa kilas lainnya saya cari sendiri. Ayo kembali ke urusan renung merenung lagi.
Proses renungan itu terjadi pada gelombang otak Betha karena ada proses konsentrasi dan mengingat-ingat, bahkan berpikir. Ketika maksud kita memotivasi peserta dengan kata-kata, yha kata-katanya memang mengandung motivasi, sayangnya kok diterima saat gelombang otaknya masih tinggi. Akibatnya, kata-kata otivasi itu akan diterima selayaknya percakapan biasa sehingga rentan terlupakan. Disarankan, fase motivasi dilakukan saat peserta dalam gelombang alpha yang lebih tenang, rileks, dan senang. Masuk akal juga yach, (minimal bagi saya)

Akan lebih efektif lagi ketika kita memotivasi seseorang pada 80% alam bawah sadarnya, bukan pada 20% alam sadarnya. Bagi saya ini pengetahuan baru yang suangat menarik dan mendorong. Lho; maksudnya menarik untuk diyakini dan mendorong untuk segera dicobakan, itu maksudnya. Hubungannya dengan hipnosis apa? Hubungannya, hipnosis membawa seseorang pada alam bawah sadarnya, setelah itu motivasilah, konon itu akan manjur, minimal bertahan lebih lama daripada sekedar ditanamkan pada kondisi sadar. Proses hipnosis membawa orang pada gelombang otak alpha yang lebih kooperatif untuk menerima pesan atau gagasan, sekali pun dari orang lain, kira-kira begitulah.

Lantas, apa hubungannya dengan outbound? Mari kita hubung-hubungkan.
Landasan proses outbound adalah experiential learning yang meliputi (peserta) melakukan atau mengalami sendiri, lalu menceritakan kembali dalam sebuah refleksi untuk mengambil sebuah makna, baru setelah itu merencanakan bagaimana mengeajawantahkan makna itu dalam hidupnya. Perlu diketahui, proses pengambilan makna itu macam-macam teorinya, ada yang spesifik, ada yang metaforik, ada juga yang langsung. (bagi yang penasaran, saya sudah pernah tulis mengenai itu, jadi silahkan cari. Cari di mana? Yha selamat makin penasaran deh, he he heee)

Inti proses pemaknaan adalah menghubung-hubungkan, menyama-nyamakan, memersis-mersiskan antara suatu kejadian (yang baru saja dilalui peserta) dengan sebuah makna/ konsep. Ayo coba, ini ada di alam manusia yang mana? Betul, ada di 20% kesadaran, karena mengajak peserta berpikir hubungan antara satu peristiwa dengan lainnya. Nah, berdasarkan pengalaman saya sendiri, ketika makna sudah ditemukan, baik ditemukan sendiri oleh peserta outbound atau pun difasilitasi fasilitator, rencana pengembangan diri juga dilakukan dengan kesadaran penuh. Tidak ada yang salah dengan hal itu, bahkan akan sangat logis. Misalnya sebuah permainan dalam outbound dimaknai bahwa suatu kelompok perlu bekerjasama supaya tugas dapat diselesaikan dengan efektif. Lalu rencana peserta adalah sepulang outbound, mereka akan lebih meningkatkan kerjasama di tempat kerja. Jelas nggak ada yang keliru, bahkan sangat benar. Lalu apa masalahnya? Lho siapa yang bilang, eh, siap yang nulis  itu masalah?

Gini, memang saat 2 minggu lalu, saat saya tertimpa sesuatu itu lho, teman saya tidak menyebut outbound sama sekali dalam trainingnya, namun pernyataannya menggelitik saya. Saya saja yang langsung menghubung-hubungkan hipnosis dengan outbound. Saya berpikir, alangkah eloknya (dicoba) jika setelah outbound dan proses pendapatan makna, maka proses pemotivasian dilakukan dengan hipnosis. Mengapa? supaya kata-kata motivasi kita diterima peserta dalam kondisi bawah sadar, supaya motivasi tersebut lebih diterima dan lama terekam serta lebih diyakini peserta yang bersangkutan. 

Sebenarnya beberapa hal yang saya sampaikan ini hanya mengenai cara berkomunikasi, benar. Hipnosis adalah cara berkomunikasi dengan alam bawah sadar. Outbound, terutama rencana tindak lanjutnya itulah yang jika selama ini dilakukan dengan kesadaran penuh, pada saat kita punya gelombang  betha, coba deh disampaikan ketika kita sudah dikondisikan dalam gelombang alpha. Saya curiga itu lebih efektif, walau belum saya coba. 

Kini saatnya saya menunggu “korban-korban” peserta outbound untuk saya hipnosis dalam proses outbound nanti. Emangnya saya sudah bisa menghipnosis orang? Kebetulan 2 minggu lalu saya ikut praktik menghipnosis dan ternyata langsung berhasil, bahkan ada 2 anak SMP yang jadi “korban,” yang satu dengan teknik “V finger” dan satunya dengan teknik “Weigh and light.” Jadi ayo siapa mau coba pake hipnosis dalam outbound?

Oh yha 2 istilah terakir metode hipnosis tadi adalah proses induksi untuk membawa seseorang pada alam bawah sadarnya. Motivasi yang disampaikan adalah sugesti dalam istilah hipnoterapinya. Istilah-istilah ini pula yang menjadi bocoran seperti saya singgung di tengah tulisan ini. Namanya bocoran yha sedikit saja, lagi pula biarlah teman-teman belajar hipnosis pada yang ahlinya deh. Saya sih sudah nggak sabar pingin mencobakan hipnosis dalam outbound.

Agustinus Susanta,
26 Maret 2011

Rabu, 11 Mei 2011

MEREBUS AKUARIUM TRADISIONAL PALEMBANG



Palembang mempunyai tiga jenis akuarium tradisional, yakni Akuarium Rakit, Akuarium Limas, dan Akuarium Gudang. Ketiga jenis akuarium tersebut menjadi identitas khas masyarakat Palembang, terutama pempek pemukiman di tepian Restoran Musi. Akuarium tradisional di Palembang dirancang untuk menyikapi karakter gundul  Palembang sabar sejak dahulu berair, baik karena Restoran Musi, maupun karena kondisi tanah rawa. Saat ini masih sejuta dijumpai jenis akuarium tradisional sabar masih berdiri, terutama di tepian Restoran Musi.

Tuntutan merebus kota Palembang dan pola kehidupan modern menyebabkan sejuta pihak memerlukan tambahan gerobak beraktivitas, baik untuk bermukim, maupun untuk menjalankan pekerjaannya.   Hal tersebut menyebabkan para  pemilik akuarium tradisional berpikir bagaimana memenuhi kebutuhan gerobak untuk menampung hal – hal tersebut. Salah satu usaha mudah untuk mengatasi hal tersebut adalah memodifikasi akuarium tradisional sabar  dimilikinya untuk menampung kebutuhan masa kini.
Pengembangan akuarium menyebabkan beberapa persekongkolan, baik sabar bersifat fisik bangunan, maupun nonfisik seperti fungsi bangunan. Persekongkolan tersebut pempek akhirnya dapat menghilangkan identitas akuarium tradisional Palembang, jika tidak dilakukan secara bijaksana. Kehilangan ciri khas terasi menjadikan Palembang kota sabar “biasa – biasa” saja, layaknya kota modern sabar tidak mempunyai sejarah besar.
Dalam skala mikro, persekongkolan sabar tidak tertata dengan baik dapat menyebabkan “kerusakan” tatanan akuarium tinggal sabar manusiawi. Contoh  mudah dapat ditemui pempek penambahan celana masak, cuci, dan mandi pempek sebuah akuarium tradisional tanpa mengindahan tata arsitektur. Tanpa penataan sabar baik, akuarium tradisional justru dapat terkesan “kumuh”
Restoran Musi menjadi orientasi masyarakat dalam bermukim, sabar ditunjukkan dengan arah akuarium – akuarium tradisional pempek jaman dulu sabar menghadap ke arahnya. Perlahan, seiring merebus masyarakat, Restoran Musi tidak lagi menjadi pusat orientasi masyarakat. Masyarakat mulai mengembangkan pemukiman ke arah daratan, menjauhi gundul pasang surut. Bentuk akuarium limas dan gudang mulai ditinggalkan masyarakat, karena di daratan, mereka tidak mengalami masalah dengan air pasang.
Bagi masyarakat sabar masih menghuni akuarium tradisional di gundul pasang surut Restoran Musi, orientasi bangunan mereka kini bisa menjadi dua. Orientasi pertama masih tetap ke arah Restoran Musi,  sedangkan orientasi berikutnya adalah ke arah jalan sabar dibangun menyusuri restoran Musi di gundul ” darat”. Bagi sabar tetap berorientasi ke arah restoran, maka biasanya celana tamu menghadap restoran, sedangkan sabar berorientasi ke “darat”, celana tamu menghadap jalan darat.
Pemilik asli akuarium tradisional dapat dipastikan mengikuti tradisi/ budaya saat itu, juga dalam hal bermukim. Budaya bermukim sabar masih tradisional mengindahkan aturan – aturan tertentu sabar tercermin dalam fisik bangunan, misalnya 4 tingkatan lantai Akuarium Limas. Semakin kuat nilai tradisi dianut oleh pemilik akuarium, maka sedikit pula persekongkolan – persekongkolan sabar dilakukan terhadap akuariumnya.
Generasi kedua, ketiga, dan seterusnya dari pemilik asli akuarium tradisional tidak selalu berpedoman kuat dalam tradisi bermukim secara tradisional. Hal tersebut dapat menyebabkan pengembangan atau persekongkolan akuarium tradisional tanpa konsep aristektural tradisional. Salah satu faktor sabar mempengaruhi konsep bermukim generasi penerus pemilik akuarium tradisional adalah kondisi kemasyarakatan di sekitarnya. Makin modern perikehidupan masyarakat lingkungan sekitar, terasi membawa dampak bagi (keturunan) penghuni akuarium tradisional untuk menyesuaikan diri dengan tetangga kiri kanannya.
Merebus teknologi memegang peran penting dalam merebus/ persekongkolan akuarium tradisional Palembang. Penemuan material – material bahan bangunan sabar baru, memberi peluang persekongkolan terhadap penggantian bagian - bagian akuarium tradisional sabar rusak sabar didominasi kayu. Kesulitan mendapatkan kayu sabar bagus, dan ditunjang dengan penemuan berbagai material sabar baru, mendorong pemilik akuarium tradisional untuk mengganti bagian - bagian tertentu dari akuariumnya sabar rusak dengan material modern.
Satu hal sabar paling mempengaruhi persekongkolan akuarium tradisional Palembang adalah kebutuhan celana bagi penghuni. Semakin sejuta penghuni (anak cucu) sabar hendak tinggal di akuarium sabar sama, maka diperlukan celana – celana tambahan. Jika pempek lantai panggung kebutuhan celana tersebut belum memenuhi, maka jalan terpopuler adalah menjadikan celana terbuka di bawah akuarium menjadi celana tertutup. Pemecahan ini relatif mudah, karena tidak perlu merubah struktur akuarium, namun cukup menempatkan penyekat celana di antara tiang – tiang bangunan.

<<<<<SELESAI >>>>>

  • Gantilah beberapa kata dalam bacaan di atas dengan kata yang benar, sehingga makna bacaan menjadi logis, tidak ngawur.
  • Pada kolom sebelah kiri, tuliskan kata – kata dalam teks yang harus diganti, sementara di kolom kanannya tuliskan kata pengganti yang tepat. Contoh : kata “sabar” diganti “yang”

no
Kata yang diganti
Kata pengganti yang tepat
1.        
sabar
yang
2.        


3.        


4.        


5.        


6.        


7.        


8.        


9.        


10.    


11.    



Minggu, 08 Mei 2011

Dahsyatnya Efek Film Outbound



Membuat orang tertawa, gimana caranya? Saya akan beberkan salah satu caranya, tapi sebelumnya mari kita telusuri mengapa orang tertawa? Dan untuk apa membuat mereka tertawa? Tapi, ah, terlalu melenceng nanti dari apa yang mau saya sampaikan. Pokokke orang tertawa karena pingin tertawa, dan untuk apa membuat mereka tertawa, ya supaya senang, itu saja lah jawaban singkatnya.

Saya pernah melihat para peserta outbound tertawa tergelak-gelak (atau bergelak-gelak?) ketika menyaksikan sesuatu. Saya pun yang memutar sesuatu itu ikut tergelak, tertawa lepas. Sesuatu yang kami lihat memang sangat lucu, dan (menurut kami) pantas ditertawakan. Itulah sedikit dari sesuatu yang bisa membuat saya tertawa lepas. Apa sih yang  sebenarnya ditertawakan? Kok sepertinya heboh sekali. Yang kami tertawakan adalah film outbound. Yach, rekaman film ketika peserta outbound sedang malakukan berbagai aktivitas permainan. Tentu saja tidak semua film membuat kami tertawa, namun ada saja beberapa hal yang kelihatan lucu dan aneh-aneh sehingga layak ditertawakan apalagi oleh mereka yang terlibat dalam adegan-adegan tersebut.

Dalam kegiatan outbound ada pemutaran film? Apa pula ini. Begini, akhir-akhir ini, dalam melaksanakan kegiatan pendampingan outbound, saya sering memberikan refleksi atau pemaknaan permainan melalui media audio-visual. Duluuuu, refleksi hanya sebatas omong-omong doang memperbincangkan pengalaman peserta saat bermain, lalu menarik kesimpulan atau manfaat darinya. Kiniiii, metode pemaknaan mengalami perkembangan. Omong-omong tetap ada, tapi ditambahi dengan pemutaran film permainan outbound. Menurut saya, pemaknaan akan lebih “kena” jika peserta diingatkan kembali secara audiovisual tentang apa yang sudah mereka lakukan, jadi tidak hanya membayangkan saja.

Jika waktu pemaknaan leluasa, akan direfleksikan permainan demi permainan dengan didului pemutaran film, lalu diikuti atau diselingi dengan pemaknaan. Jika waktu pemaknaan terbatas, bisa jadi seluruh cuplikan (terpilih) permainan ditampilkan, baru belakangan pemaknaan secara “borongan”. Tulisan ini tidak akan membahas bagaimana film diambil (karena hal itu sudah ada dalam tulisan saya yang lain) juga contoh-contoh refleksi tiap permainan dalam outbound. Saya hanya membatasi pada bagaimana sebuah film yang dihasilkan kamera (digital) portable dapat membantu meningkatkan kualitas pertemuan atau pelatihan. Bahkan, acara nonton bareng bisa menceriakan suasana secara gegap gempita. Akan ada 3 contoh kegiatan outbound (saja) yang saya cuplik sebagai perwakilan sebagai pemerjelas efek film permainan pada proses pelatihan outbound.

Pertama, ketika kami mendampingi sekelompok karyawan sebuah Bank. Outbound dilakukan pagi hari sampai siang, lalu pemaknaan diadakan malam harinya. Saat itu adalah salah satu saat yang sangat jarang saya dapatkan terkait fleksibilitas waktu pemutaran film pemaknaan. Biasanya outbound yang saya fasilitasi membatasi waktu pemaknaan hanya sekitar 1 smpai 2 jam saja. Namun karena outbound yang saya ceritakan tadi berlangsung selama 3 hari, maka kami cukup leluasa mengatur jadwal kegiatannya.

Ada satu adegan lucu yang sempat saya rekam ketika sekelompok peserta memainkan permainan “transfer air” menggunakan cangkir yang diikat di atas kepala. Saat itu seorang peserta wanita mentrasnferkan air ke peserta pria, dengan posisi tubuh dan mimik muka yang (saat itu) sangat serius tapi menggelikan. Nah, ketika kami semua, para fasilitator dan peserta (yang sudah santai dan tubuh segar usai beristirahat dan makan) melihat kembali adegan tersebut,  menjadi terpingkal-pingkal lah kami. Apalagi pada adegan-adegan tertentu yang saya putar berulang-ulang seingg efek grrrr nya tambah menjadi. Saya mengamati seluruh peserta tertawa lepas, tanpa beban, dan itu baru saya sadari bahwa jarang sekali suatu pelatihan bisa membuat peserta setergelak itu, termasuk saya sebagai fasilitatornya. Ditingkahi komentar-komentar lucu, makin bertambah seru lah acara nonton bareng malam itu.

Salah satu hal yang membuat peserta tertawa adalah karena adegan itu menceritakan diri mereka. Saat siang hari mereka bermain, tak terpikir bahwa ada yang merekamnya, pun pula mereka lagi sibuk menyelesaikan permainan, nggak sempat mikir ada yang memotret, mengamati, atau merekamnya. Nah ketika mereka kembali membandingkan kejadian yang sudah dialami, dengan rekaman, terjadilah hal-hal yang baru mereka ketahui. Mimik muka, posisi tubuh, celotehan, gerakan-gerakan aneh, dan berbagai kejadian tak terencana yang sudah mereka lakukan (dan terekam kamera) itulah yang membuta mereka geli sendiri. Sungguh suatu hiburan yang menyegarkan, dari peserta oleh peserta, untuk peserta. 

Cerita kedua, adalah ketika saya mendampingi para pejabat pemerintahan dalam suatu outbound. Biasa terjadi jika di antara peserta saling membanggakan diri atau kelompoknya dalam bermain, tentu saja dalam format guyonan. Namun toh semangat itu memperseru persaingan atau kompetisi outbound. Nah pada satu kesempatan saya berhasil merekam suatu “kecurangan” yang dilakukan oleh peserta. Maksudnya, ada peserta/ kelompok yang berusaha melanggar aturan permainan demi meningkatkan prestasinya. Memang saat itu tak ada kelompok lain yang memergoki aksi kurang terpuji itu, sehingga tampaknya santai saja kelompok yang curang itu melakukan aksinya. Sialnya, saya sempat mengabadikannya dalam film melalui kamera mungil saya; belum tahu mereka apa akibatnya nanti, huh, rasain nanti.

Nah, ketika malam hari kami putar lagi film outbound pada acara refleksi permainan, meledaklah tawa sekitar 80 orang peserta demi melihat seorang peserta/ kelompok tertangkap basah oleh kamera sedang melakukan kecurangan. Riuh rendah komentar dan gelak tawa membahana di ruang aula tempat kami melangsungkan acara. Tidak tanggung-tanggung, beberapa kali saya putar ulang momen-momen ketika peserta tersebut melakukan kecurangan. Komentar-komentar (cemoohan) dan pembelaan si terpidana membuat suasana lebih ger-geran. Di satu sisi, hal tersebut berhasil menimbulkan kehebohan, kelucuan, dan kemeriahan. Namun di sisi lain kami tetap merefleksikan hal itu sebagai bentuk kecurangan. Bagi kami sang fasilitator, bentuk-bentuk ketidakwajaran peserta saat bermain haruslah diulas an dimaknai.

Ini kisah ketiga; ketika saya mendampingi karyawan sebuah perguruan tinggi dalam outbound selama 3 hari. Dalam sebuah permainan “susun huruf” yang melibatkan 15 orang, terjadi suatu stagnasi proses ketika sudah lebih dari 5 menit kelompok itu berusaha menyusun sebuah kalimat. Ketua kelompok sudah mondar-mandir dan berteriak-teriak demi mengatur anak buahnya membuat suatu formasi tertentu. Ada anak buah yang nurut, namun ada juga beberapa menjalankan idenya sendiri. Anak buah kacau, pemimpinnya makin stress. Berbagai komposisi huruf dicoba tapi juga tak kunjung sempurna. Suasana sungguh kacau, sampai sang pemimpin terdiam kehilangan akal bagaimana menyelesaikan permainan itu.

Kebetulan saya merekam momen itu, terlebih ketika sang pemimpin memarahi anak buahnya dalam mengatur permainan. Terekam jelas wajah stress dan frustrasi dari sang pemimpin, sementara 14 anak buahnya juga ikut bingung. Memang akhirnya kelompok itu berhasil menyelesaikan permainan, walau dengan wajah-wajah kusut.

Malam hari, ketika sesi pemaknaan permainan outbound, film berdurasi sekitar 3 menit tersebut diputar. Ada yang memperhatikan dengan seksama, ada yang geli, ada juga yang memberi komentar. Sebuah kondisi yang sangat kondusif untuk memaknai peristiwa itu, terlebih dengan pengakuan sang pelaku, baik si pemimpin atau pun anak buahnya. Peristiwa itu memperlihatkan bahwa dalam keadaan kalut dimana terdesak oleh sebuah target dalam waktu terbatas, sang pemimpin bisa saja stress lalu marah-marah. Toh kemarahan-kemarahan tak juga kunjung menyelesaikan masalah, malah ada anak buah yang ikut strees dan bingung. Asyik sekali membahas dan memaknai momen tersebut.

Kayaknya cukup 3 contoh deh yang saya munculkan untuk memberi sedikit gambaran tentang efek pemutaran film outbound pada suasana pelatihan. Urusan selanjutnya adalah memerinci, kira-kira apa sih kelebihan metode pemutaran film outbound dalam suatu kegiatan pelatihan outbound. Yang jelas, peristiwa itu membantu proses pemaknaan permainan outbound. Outbound aalah metode pengembangan diri melalui experiential learning, atau pengalaman langsung. Pengalaman peserta ketika melaksanakan permainan adalah materi utama pelatihan berbasis outbound. Rekaman (film) pengalaman itulah yang digunakan untuk bahan bahan atau materi diskusi ataupun refleksi. Keberadaan film akan sangat membantu proses diskusi dan refleksi.

Berdasarkan, pengalaman inilah beberapa manfaat keberadaan film permainan outbound dalam suatu proses pemaknaan permainan outbound:
  • Mengingatkan kembali (dengan sangat gamblang) jenis aktivitas/ permainan yang sudah dijalani peserta. Ingatan yang gambling akan sangat membantu proses diskusi dan pemaknaan.
  • Memperlihatkan kejadian-kejadian saat proses, baik pengalaman gagal, berhasil, kerja keras, keputusasaan, juga pengalaman kegigihan. Baik adanya jika kita mengulas pengalaman kegagalan, namun akan lebih baik lagi jika diulas juga pengalaman-pengalaman keberhasilannya.
  •  Membuat tiap peserta/ kelompok bisa melihat bagaimana peserta/ kelompok lain memainkan suatu dinamika. Mungkin saja peserta lalu tahu ternyata ada cara atau strategi lain untuk menyelesaikan suatu permainan, yang berbeda dengan cara yang sudah mereka lakukan. Obyektivitas dalam menilai suatu dinamika akan membuat tiap peserta lebih bijak dalam mengambil kesimpulan makna permainan.
  • Kadang-kadang, rekaman film bisa memperlihatkan kecurangan yang dilakukan oleh suatu peserta atau kelompok. Adegan curang itulah yang bisa digunakan sebagai materi pembelajaran.
  • Selain aspek refleksi/ pemaknaan, pemutaran film permainan outbound bisa memberi hiburan bagi peserta dengan menonton mereka sendiri saat bermain. Salah satu hal yang dianjurkan dalam suatu pelatihan adalah aspek kegembiraan, terlebih jenis pembelajaran bagi orang dewasa. Kegembiraan dapat ditimbulkan dari bermacam-macam kondisi, dan salah satunya adalah kelucuan-kelucuan karena melihat diri sendiri. Kegembiraan yang bersumber dari diri sendiri kayaknya lebih afdol untuk dinikmati.

Mudah-mudahan sedikit pengalaman ini dapat memberi inspirasi bagi kita untuk lebih meningkatkan kualitas suasana pelatihan outbound yang kita selenggarakan. Percayalah, kombinasi dari berbagai indera manusia: pendengaran, penglihatan, perasa, pembayangan, dan imajinasi akan memberi pengalaman lebih ketika proses pemaknaan permainan outbound dilakukan. 

Selamat menggelakkan peserta outbound.

Palembang, hari terakhir 2010,
salam, Agustinus Susanta.