yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Rabu, 21 Desember 2011

Perjalanan ini, terasa sangat me...


Kejadian tragis ini terjadi sekitar sebulan lalu, di saat saya hanya bisa menjadi pengamat saja. Pahit, tragis, menjengkelkan, juga melelahkan; barangkali itu yang dirasakan oleh mereka yang terkena “musibah ini.” 40 orang dilepas dengan perbekalan seadanya untuk menempuh jarak sekitar 9 kilometer. Siang hari, terik, padahal pagi sebelumnya mereka digenjot outbound yang cukup menguras energi, huh....  Eh, gimana sih persisnya kejadian tersebut? Gini....

Saat itu diadakan sebuah training selama sehari semalam bagi karyawan sebuah perusahaan. Training, enaknya kita ganti dengan “pelatihan” saja yach.... Pelatihan tersebut diselenggarakan di sebuah rumah besar yang bisa juga disebut villa, di pedalaman sebuah kampung berjarak sekitar 17 kilometer dari pusat Kota Palembang. Walaupun berjuluk villa, namun peserta ditidurkan di lantai dengan kasur-kasur lipat sebagai alasnya. Kenapa? Karena hanya ada 2 ranjang besar di tempat tersebut yang bisa digunakan, sementara bagian rumah lainnya sangat luas. 

Di villa itu makannya pasti enak, eit, tunggu dahulu. Enak nggaknya makanan itu sih relatif, karena ternyata peserta memasak sendiri makanannya. Cerita tentang tempat dan akomodasi kita cukupkan saja. Soalnya bukan hal itu yang menjadi fokus cerita saya.

Hari pertama dilalui dengan pemaparan materi diselingi dengan beberapa permainan yang mendukungnya. Memasak untuk makan siang dan makan malam dilakukan peserta sesuai jadwal. Malam hari ada acara api unggun dan pentas seni, ditutup dengan bakar sate dan jagung.... hmmm...

Hari kedua diisi dengan kegiatan outbound di luar ruangan yang diikuti dengan antusias oleh seluruh peserta. Seluruh proses dan prestasi peserta dihargai dengan sejumlah poin. Menjelang siang, kembali ada peserta yang bertugas masak untuk makan siang. Setelah makan siang, barulah peserta harus menghadapi “kenyataan pahit” yang tadi sudah disinggung di awal tulisan ini. 

Fasilitator membuka toko yang “menjual” berbagai jenis minuman yang bisa dibeli oleh kelompok peserta dengan poin-poin yang diperoleh selama proses pelatihan. Hanya dijelaskan bahwa minuman yang dibeli akan digunakan sebagai perbekalan yang akan digunakan oleh kelompok peserta untuk modal/ bekal mengarungi tantangan yang lebih berat dari outbound. Tentu saja para peserta bertanya-tanya, “tantangan apa lagi yang akan kami hadapi nanti?”

Namun tidak semua kelompok menghabiskan poinnya untuk berbelanja, karena mereka masih memperhitungkan jangan-jangan sisa poin juga masih akan digunakan lagi untuk sesuatu yang mereka sendiri juga belum ketahui. Singkat cerita, proses jual beli perbekalan selesai.

Tiba saatnya per kelompok diberi tantangan terakhir, mereka diminta pulang ke Palembang berjalan kaki atau terserah gimana caranya. Dalam kondisi tanpa membawa uang serupiah pun, tantangan itu sungguh mengguncang jiwa raga (cieee.... hiperbolik nian ungkapannya). Coba bayangkan.... ayo bayangkan. Para karyawan, sebagian besar cewek, yang biasa kerja di ruang berAC, berangkat pergi kantor naik kendaraan, kini tiba-tiba harus pulang dari tempat pelatihan berjalan kaki, berkilo-kilo meter pula; Gubraxkz!!!

Fasilitator melepas perjalanan perkelompok tiap 15 menit. 1 kilometer pertama peserta menapaki jalan tanah, berdebu, bergelombang, dan sesekali berlubang tergenang air. Mobil pribadi atau motor jarang ditemui. Untunglah selepas jalan kampung tersebut, peserta berjumpa dengan jalan besar, hmfhh... lega juga. Lebih lega lagi, pada pos pertama yang ditemui,  mereka mendapat petunjuk dari fasilitator untuk “hanya” menuju pos kedua yang “hanya” berjarak 8 kilometer jauhnya. Tak ada minuman, makanan, apalagi uang yang didapatkan peserta di pos transit itu. Namun minimal mereka sudah “ketemu” jalan besar yang kendaraan berbagai jenis bersliweran tak henti.

Cerita melompat ke 2  jam berikutnya ketika para peserta berdatangan di pos kedua untuk beristirahat dan berefleksi. Pos kedua adalah salah satu gedung yang dimiliki perusahaan penyelenggara pelatihan tersebut. Di tempat tersebut peserta beristirahat dan kemudian difasilitasi oleh fasilitator untuk merefleksikan apa yang baru saja mereka alami. Melalui pemaknaan peristiwa “perjalanan berat” itulah kami tahu gimana perjuangan 5 kelompok untuk sampai di sana.

Ada kelompok yang menumpang kendaraan umum. Ada kelompok yang menumpang kendaraan bak terbuka, itu pun setelah beberapa kali usaha memberhentikan kendaraan yang melaju. Ada kelompok yang sebelumnya mau nekat jalan kaki, tapi akhirnya di tengah perjalanan memilih nekat untuk menumpang kendaraan saja. Ada kelompok yang menumpang mobil pribadi, tentu saja dengan alasan yang kemudian bisa dimaklumi si pemilik mobil. Ada juga kelompok yang mampir ke salah satu kerabat anggota kelompok untuk pinjam (atau minta, ya?) uang yang digunakan untuk naik angkutan umum. 

Banyak pengalaman perjuangan yang tergali dari perjalanan “horor” tersebut, yang kalau dikategorikan jadi seperti ini: 

Ada pengalaman shock atau kaget berat ketika mereka “dipulangkan” dengan jalan kaki, tanpa dibekali uang untuk ongkos naik kendaraan umum. Dalam ke-shock-an tersebut tentu tiap pribadi dalam suatu kelompok punya respon masing-masing. Untunglah semua anggota kelompok akhirnya sepakat untuk menyelesaikan misi tersebut, tanpa merengek minta dikasihani fasilitator. Kemampuan mengatasi tekanan tentu sebuah semangat yang perlu terus dipelihara.

Pengalaman berikutnya adalah diskusi/ perdebatan tentang bagaimana tiap kelompok bisa menyelesaikan perjalanan. Apakah tetap jalan kaki, menumpang, jual minuman untuk ongkos, atau gimana? Tentu saja tiap pilihan punya resiko dan konsekuensi. Bahwa kemudian (entah dalam waktu singkat atau berlarut-larut) sebuah kelompok menyepakati sesuatu, tentu patut diapresiasi. Ada pengalaman keberhasilan menyepakati sesuatu untuk menyelesaikan misi bersama, sip.

Pengalaman yang tak kalah heboh, terutama bagi kelompok yang memilih menumpang kendaraan, adalah keberanian, (atau kenakatan yach?) untuk menyetop, atau dalam bahasa lain mencegat, atau memberhentikan kendaraan yang melintas kecang di jalan besar, untuk kemudian bermaksud menumpang.  Ada kelompok yang setelah usaha kedelapan baru berhasil memberhentikan kendaraan. Kenapa susah yha? Barangkali karena teknik awalnya yang kurang sip. Bayangkan kita jadi pengendara, terus di depan kita, di pinggir jalan, ada 8 orang muda bersama-sama dan sangat bernafsu mengacung-acungkan tangan, sebagian besar masih memegang botol minuman, berusaha menghentikan kendaraan kita, coba apa yang ada di benak kita? Bisa jadi ngeri, hah? Gawat, mau diapakan kita ini?

Pengalaman berani tentu saja meliputi pengalaman mengatasi rasa malu. Apa yang ada di benak sebagian besar peserta adalah , “Waduh, gimana pikiran orang-orang yang melihat kami ini, masih muda cantik-cantik dan ngganteng, tapi nggak punya uang sampai harus numpang kendaraan, wah malu-maluin deh.” Namun toh para peserta berhasil mengatasi rasa malunya, sesuatu yang sangat berharga. Kalo memilih tidak mau (merasa) malu sebenarnya gampang, jalan kaki saja sepanjang 8 kilometer, aman deh. Paling-paling capek, sudah “miskin” sombong pula, kurang lebih begitu prinsipnya.

Nah, segala pengalaman tadi pada intinya membawa peserta keluar dari zona nyamannya. Bukan sebuah perumpamaan, simulai, atau bahkan teori, tapi benar-benar dikondisikan. Proses dan pengalaman keberhasilan mengatasi kondisi tak nyaman tersebut  adalah pengalaman berharga yang tidak bisa ditransfer melalui kegiatan seminar atau apa pun sejenisnya. Fasilitator memandu penceritaan pengalaman dan pemaknaannya dengan memberi penegasan bahwa tiap pribadi, juga kelompok ternyata menyimpan potensi yang bisa mengatasi tantangan, yang dipandang berat sekali pun. Suka duka perjalanan hanyalah bumbu pemanis, namun fakta bahwa tiap pribadi punya pengalaman berhasil dalam mengatasi keadaan, itulah hal patut disyukuri dan diresapkan.

Usai pemaknaan perjalanan di pos kedua, seluruh peserta dipulangkan ke kota Palembang dengan menumpang bus kota, kali ini yang sudah disewa oleh fasilitator. 

Cerita selesai.

Sampai saat ini saya masih meyakini bahwa salah satu cara yang efektif untuk membelajarkan seseorang adalah dengan mengkondisikannya mengatasi  keadaan tidak nyaman di luar kebiasaannya. Namun perlu diingat, tiap pengalaman mesti dimaknai dengan pas sehingga proses pembelajaran memang bisa berlangsung baik.

Selamat mengondisikan peserta dalam zona tak nyaman.

Palembang 22 Desember 2011.
Salam, Agustinus Susanta.

Sabtu, 03 Desember 2011

Mengggugat Wasiat



Saya pernah didebat habis-habisan oleh peserta outbound pasal pengelompokan peserta dalam  suatu kegiatan outbound. Maksud habis-habisan itu ada beberapa makna; Habis pertama, mendebatkannya ketika outbound sudah habis alias kegiatan sudah selesai. Habis kedua adalah (saya duga) dia sampai kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan unek-uneknya. Habis ketiga adalah (mungkin) dia tak habis pikir, kenapa ada fasilitator yang merancang suatu kegiatan yang membuat dia begitu geregetan. Habis keempat, saya juga tak habis pikir kenapa ada peserta yang sampai selesai outbound masih memermasalahkan skenario outbound, padahal kegiatan sudah berlalu. Dan habis terakhir adalah habis itu saya yang melakukan refleksi kenapa hal tersebut bisa terjadi. 

Bagi saya, apa yang dirasakan oleh peserta, termasuk soal persepsi mengenai suatu dinamika/ permainan tidak ada yang keliru, lha faktanya begitu kok.  Bahwa persepsi yang diterima itu lain dengan yang kita, para fasilitator maksud, tentu keselisihan ada pada fasilitator, mungkin sisip dalam penyampaiannya. Yang jelas ada 2 kemungkinan, pertama proses transfer makna belum terjadi dengan mulus, sehingga peserta belum 100% menangkap makna dinamika. Kemungkinan kedua adalah peserta secara sadar memilih tidak menerima makna yang dia sudah ketahui dari proses transfer.  Nah mana yang sebenarnya terjadi... saya sih coba mengira-ira saja. Supaya debat habis-bahisan itu tidak habis begitu saja, maka saya coba merefleksikan tentang latar belakang dan latar depan kejadian menarik tersebut. Maka jadilah tulisan yang sedang teman-teman baca ini.

Dahulu kala, saya mendampingi karyawan sebuah perusahaan dalam sebuah outbound selama 2 hari. Bersama para fasilitator yang lain kami memutuskan untuk membagi kelompok peserta menjadi 6 di awal, dan menjadi 5 di akhir, nah, apa pula ini maksudnya. Begini ceritanya. Pada outbound hari pertama yang dinamikanya banyak berlangsung di dalam ruangan, kami membagi peserta dalam 5 kelompok yang masing-masing beranggotakan 8 orang. Tiap kelompok berlomba mendapatkan, eh memperebutkan sejumlah poin untuk tiap prestasi yang diraihnya dalam permainan-permainan. Yel-yel yang dikumandangkan pun mencerminkan betapa sengit persaingan antar kelompok (untuk mendapatkan poin/ nilai). Ada yel-yel  kelompok yang fokusnya mencerminkan bahwa kelompok yang bersangkutan paling hebat dan bisa mengalahkan kelompok lain. Ada juga yel-yel yang tidak menyinggung kelompok lain, namun fokus pada pernyataan bahwa kelompok yang bersangkutan adalah kelompok yang tangguh, kuat, dan kompak. Pada hari itu, kami juga menitipkan sebuah “surat wasiat” pada salah satu kelompok untuk selalu dijaga dan dibawa kemana pun mereka pergi, termasuk saat lintas alam outbound hari kedua. HaH? Apa urusannya surat wasiat dengan outbound? Sabaaaar...

Tanpa merinci lebih jauh, cukuplah saya ilustrasikan bahwa sejak siang sampai malam hari terjadilah dinamika yang sangat menarik dan kompetitif antar kelompok untuk mendapatkan poin.

Hari kedua, kami adakan outbound di luar ruangan, jauh dari aula pertemuan. Lintas alam, seperti itulah perjalanan yang kami lakukan. Naik turun bukit, melintas sungai, menembus ladang dan belukar, pokoknya seru dan asik deh. Di beberapa, tempat peserta berhenti untuk bermain, tentunya dengan tetap berkompetisi dengan kelompok lain, memperebutkan poin. Suasana hari kedua tambah seru dan “panas,” maklum prestise kelompok juga dipertaruhkan di sini, lebih dari sekedar mengumpulkan poin. 

Setelah melalu perjalanan yang rada melelahkan dengan selingan 6 permainan, tibalah kami di perhentian terakhir. Yel-yel dikumandangkan dan nilai semua kelompok direkap untuk diumumkan. Kelompok yang paling bagus dari sisi perolehan nilai melonjak kegirangan dan diminta sekali lagi mengumandangkan yelnya. Setelah itu, kini tibalah saat untuk membuka surat wasiat. Perihal isi surat wasiat inilah yang bikin geger.

Dalam surat wasiat yang dibacakan oleh salah satu peserta outbound disebutkan bahwa kelompok yang pada saat itu mempunyai nilai tertinggi, akan dipecah berikut poinnya, dan akan didistribusikan dalam 5 kelompok lainnya. 5 kelompok ranking 2 sampai 6 bersorak senang, sementara kelompok peringkat kesatu kaget dan tampak tidak menerima hal tersebut. Suasana sontak ribut terutama karena anggota kelompok pemenang protes akan hal itu. Protes mereka ternyata diprotes juga oleh kelima kelompok lainnya. Dinamika yang sangat menarik; terutama melihat kelompok pemenang yang tidak rela kelompoknya akan bubar, kekayaannya (poin) dibagikan pada kelompok lainnya. Mereka berpikir fasilitator tidak menghargai kerja keras mereka sampai bisa menjadi yang terbaik; kok malah dipecah, huh menyebalkan... lebih menarik lagi kelompok tersebut adalah yang punya yel-yel “merendahkan” kelompok lain. Wajar jika ada perasaan gimanaaaa, gitu, ketika malah harus bergabung pada kelompok yang baru saja direndahkannya.

Berbagai argumen berseliweran, Salah satunya adalah gugatan apakah sebagai kelompok/ tim terbaik, mereka punya kebesaran hati untuk “memperbaiki” atau meningkatkan kinerja kelompok lainnya yang masih kurang. Namun argumen tersebut tampaknya belum bisa membuat para anggota kelompok pemenang rela hati. Akhirnya berdasarkan diskusi para ketua kelompok, mau nggak mau, suka nggak suka kelompok pemenang akhirnya harus mau menjalankan isi surat wasiat tersebut.  Yha sebenarnya kelompok pemenang nggak rela, namun apa boleh buat. Lalu kelompok tersebut mulai membagi poin kekayaan dan anggotanya dibagi 5 untuk masuk dalam kelompok barunya. 

Kini proses berlanjut dari siang itu sampai sore hari dengan komposisi 5 kelompok yang berkompetisi. Walau suasana masih agak kagok, namun begitulah, para peserta juga harus belajar menerima kenyataan. Bagaikan mereka di perusahaan, ketika pimpinan menginstruksikan sesuatu, yha bawahan harus nurut, lepas dari instrukti tersebut diterima dengan senang, sukacita, atau sebaliknya dengan ketidaksetujuan dalam hati.
Kegiatan berlanjut sampai pada akhir outbound, kelompok yang mengumpulkan poin tertinggi dinyatakan menjadi pemenang permainan outbound. 

Cerita habis, namun tidak lantas menghabisi refleksi saya tentang kejadian tersebut.

Ide memecah kelompok terbaik untuk masuk dalam kelompok lainnya yang masih kurang, didasarkan pada pendekatan bahwa orang-orang terbaik juga perlu dites, apakah mereka juga bisa berbuat yang terbaik di kelompok barunya? Apakah mereka akan dengan sukacita bergabung dan mengembangkan kelompok barunya, atau sebaliknya, memilih menjadi pasif di kelompok barunya tersebut. Pendekatan tersebut juga didasarkan pada bahwa dalam kenyataannya, orang-orang terbaik kadang dikirim ke suatu tempat baru untuk merintis sebuah usaha pengembangan. Bagaimana mereka bisa beradaptasi dan menularkan kompetensinya adalah sebuah kecerdasan tertentu yang sebaiknya dimiliki oleh setiap karyawan. Kami mencoba mengumpamakan situasi tersebut dalam skenario outbound, dengan cerita yang teman-teman sudah simak tadi.

Skenario yang sudah kami susun secara teknis dapat berjalan dengan lancar, namun menyisakan hal-hal nonteknis. Apa itu? Ternyata kami masih kurang menyediakan kesempatan pemaknaan bagi tiap peserta, khususnya bagi kelompok yang harus dipecah. Tidak ada pembahasan khusus mengenai kejadian pemecahan kelompok, yang mestinya kami menyadari itu sangat mengecewakan kelompok yang dipecah. Akibat ketiadaan refleksi dan pemaknaan dinamika itulah maka ada salah seorang peserta yang terus kepikiran tentang apa yang sudah menimpa dia dan kelompoknya. Dugaan saya, dia tahu dan menangkap konsep pemecahan dan perutusan kelompok yang terbaik, tapi dia memilih tidak mau menerima hal tersebut.  Maka jadilah dia menggugat saya ketika outbound telah selesai. Inti gugatannya adalah mengapa justru kelompok yang terbaik malah dipecah, bukannya dipertahankan. Wah... kalo ini diteruskan bisa panjang deh, karena sebenarnya urusannya ada pada ketidakterimaan seseorang pada sebuah konsep ditimpakan pada dirinya, mengapa? Karena yang bersangkutan  punya, meyakini, dan berusaha memperjuangkan konsep lain yang berbeda. Hmmm...

Saya siih menerima saja bahwa ada peserta yang tidak terima dengan skenario outbound tersebut. Saya sampaikan terimakasih dan apresiasi atas masukannya. Tidak ada yang salah dalam hal ini, karena setiap respon dalam suatu proses outbound adalah fakta, seperti itulah yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan peserta. Bahwa respon tersebut tidak sesuai dengan alur pikir fasilitator, tentu hal itulah yang perlu disikapi dengan bijak. Intinya sih, tiap pihak boleh sepakat untuk tidak menyepakati suatu konsep. Apalagi outbound adalah sebuah simulasi atau perumpamaan, di mana diskusi dan pertukaran pandangan justru akan memperkaya khazanah pemikiran peserta. 

Nah, terinspirasi dari kejadian tersebut, pada kesempatan lain, saya menerapkan skenario yang mirip. Apa itu? Pada suatu outbound 2 hari sebuah perusahaan, pada awal proses kami membagi peserta dalam 5 kelompok, namun ¼ terakhirnya, peserta dijadikan 6 kelompok. Kalo skenario yang ini pendekatannya adalah bahwa kadang dalam pengembangan suatu unit baru di perusahaan, diperlukan pembentukan kelompok baru yang diambil dari beberapa unit yang sudah ada. Demi menunjukkan bahwa pembentukan kelompok baru bukan sekedar ide sesaat para fasilitator, maka kami sudah menitipkan “surat wasiat” pada peserta pada hari pertama. Sukurlah skenario ini dapat dieksekusi dengan lancar, dan tiap kelompok, termasuk kelompok yang baru pun diberi ruang untuk memaknai seluruh proses dengan difasilitasi seorang pendamping kelompok.

Satu pelajaran yang dapat kita petik melalui 2 skenario surat wasiat tadi adalah: ketika kita menyiapkan sebuah konsep untuk diterapkan dalam sebuah outbound, kita juga harus memersiapkan segala kemungkinan respon dari peserta. Urusan persiapan teknis, jelas perlu; maka nggak usah lah kita bahas di sini. Namun urusan pemaknaan proses/ konsep itu juga harus mendapat perhatian khusus. Penyediaan fasilitator/ pendamping kelompok yang mumpuni adalah salah satu solusi jitu jika kita akan mengeksekusi outbound yang skenarionya bisa menimbulkan pro-kontra pada peserta. Pengertian mumpuni di sini adalah bagaimana dengan segala respon pro atau kontra, peserta bisa difasilitasi untuk memahami sebuah konsep.

Nah, itulah beberapa kelumit pengalaman saya tentang eksekusi skenario outbound. Selamat membuat “surat wasiat” outbound, dan semoga tidak digugat oleh peserta.

Palembang, 3 Desember 2011; salam; Agustinus Susanta

Senin, 28 November 2011

Demam Pipet


toko kami

Tulisan kali ini akan membeberkan urusan pipet memipet lagi. Lagi? Yha karena sudah beberapa kali saya catatkan mengenai skenario outbound yang terkait dengan pipet. Ada yang ceritanya tentang membangun menara seluler, ada tentang tower e-banking, tentang bisnis (boleh klik di http://catatanpenggiatoutbound.blogspot.com/2011/04/outbound-menara-bisnis-bagian-1-dari.html),  dan yang terakhir ini tentang toko. Hah, apa pula maksudnya.... apa urusan pipet, outbound dengan segala yang tadi disebutkan itu? Inilah urusannya, kawan. Kita mulai secara runut saja yha....

Pada satu kesempatan saya dipercaya untuk mendampingi kegiatan pengembangan diri karyawan sebuah perusahaan retail, yang punya beberapa toko. Kegiatan ini berlangsung 2 hari di tempat yang berjarak 300an kilometer dari kantor pusat perusahaan. Begitu mendapat tawaran ini, saya sudah langsung mengunci (di pikiran) sebuah skenario outbound. Skenario? Kok ada skenario pada kegiatan outbound sih. Oh, yha, skenario itu sama saja dengan alur proses outbound, termasuk pilihan permainannya. Apa itu skenarionya? Sederhana, kok; mendirikan toko. Hah? Apa lagi itu mendirikan toko, sabar, sabar...

Outbound tersebut punya tujuan konseptual yang dimintakan dari direksi, yakni meningkatkan komunikasi yang efektif antar staff dan pengembangan jiwa kepemimpinan. Kok tidak ada kerjasamanya, padahal itu biasanya diminta dalam sebagian besar outbound. Yha memang direksi nggak minta, mau apa lagi, apalagi lagi, bagi saya, dalam tiap kegiatan outbound, kayaknya otomatis ada, deh muatan kerjasamanya. Sebenarnya muatan komunikasi itu juga otomatis ada, sih

Setelah mendapatkan tujuan konseptual, giliran kami merumuskan tujuan operasional,  yakni tujuan/ misi teknis yang harus dituntaskan peserta selama proses outbound. Tujuan oprerasional ini harus sesuatu yang terukur, dan tentu saja kelihatan. Apa itu tujuan operasionalnya, yha itu tadi, “mendirikan toko.” Bukan secara fisik peserta menjadi tukang bangunan yang mengaduk pasir, air dan semen untuk kemudian memasang batu bata menjadi dinding sebuah toko. Mendirikan toko di sini adalah sebuah perumpamaan.

Apakah setiap outbound selalu atau harus punya tujuan operasional? Bisa saja nggak pake sih, alias asal main-main saja; tapi kalo saya seringnya pake, supaya alur proses itu ada ceritanya; seru. Nah, perumpamaan mendirikan toko itu diwujudkan oleh tiap kelompok peserta dalam bentuk membuat menara dari pipet-pipet. Menara itu diumpamakan toko, dan pipet-pipet mengumpamakan sumber daya untuk mendirikan toko, seperti misalnya karyawan dan  modal.

Menara, eh, toko akan ditempatkan di suatu lokasi sesuai analisa peserta. Serunya, area permainan tempat meletakkan toko sudah dipenuhi dengan beberapa titik yang melambangkan populasi penduduk sebagai calon konsumen. Ada titik yang diumpamakan berisi 2000 konsumen, ada yang 3000, ada juga yang sampai 9000 orang.  Makin tinggi menara, eh, toko, maka makin luas pula radius/ daya jangkauannya; nah jika di dalam jangkauan tersebut ada sejumlah populasi penduduk, maka jumlah penduduk itu akan menjadi konsumen toko yang bersangkutan. Gimana, cukup bisa dimengerti, khan, teman-teman? Saya sudah mencoba menjelaskannya secara sederhana, lho.
populasi penduduk di titik "U" adalah 2000 orang


Bagi yang masih agak bingung, jangan khawatir, nanti saya lampirkan beberapa foto kegiatannya.  Oh yha, kami dua kali mengadakan outbound dengan konsep yang sama, untuk 2 gelombang yang berbeda. Kenapa harus dua gelombang? Yha jangan tanya saya dong, he he he... tapi yang jelas para peserta khan dari perusahaan retail, lha kalo para stafnya ikut outbound semua, siapa yang ngurus toko, gituuuu alasannya. Kini saya akan cerita saja poin-poin alur skenario outbound tersebut, ada yang diambil dari outbound gelombang pertama, ada yang dari gelombang kedua, begitu juga fotonya nanti, oke, mari kita mulai.

Saat perjalanan menuju lokasi outbound yang ditempuh dengan kereta malam, di dalam kereta peserta sudah mendapatkan kuis yang harus diselesaikan sebelum peserta turun di stasiun tujuan. Kayaknya nggak perlu lah diceritakan apa itu kuisnya, yang jelas itu tertulis, pertanyaannya sangat menarik, dan waktu penyelesaian cukup panjang, antara pukul 8 malam sampai pukul 5 pagi. Melalui kuis tersebut, tiap peserta jawaban yang benar mendapat sejumlah pipet; lumayan, untuk modal mendirikan menara, eh, toko.

Sesampai di lokasi outbound, kami tidak langsung bermain di luar ruangan, karena hari pertama diisi beberapa materi dan dinamika di dalam ruangan. Kami membagi-bagi pipet pada beberapa kesempatan di hari itu, tentu saja lewat beberapa permainan, baik yang bersifat individu maupun kelompok. Ada juga sih, beberapa peserta yang karena apes atau kalah permainan malahan harus menyetor/ mengembalikan pipetnya pada kami. Selain melalui beberapa permainan, kami juga membagi-bagikan pipet dengan beberapa cara yang (minimal menurut kami) antik, misalnya:
  • Bagi peserta yang berulang tahun pada bulan yang bersangkutan mendapat hadiah sekian pipet.
  • Kelompok yang bersedia memimpin olahraga pagi pada hari kedua, juga berhak mendapatkan sekian pipet.
  • Saat itu kebetulan ada peserta yang berulang tahun, bagi peserta yang bersedia memberi “perayaan” bagi yang ulang tahun, juga kami ganjar beberapa pipet.
  • 33 pipet kami sebar di sekitar aula tempat kami beraktivitas, dan perwakilan dari tiap kelompok berlomba mencarinya, lebih tepatnya sih berserabutan lari kesana kemari untuk berebutan mendapatkan pipet sebanyak  mungkin.
  • Saat itu kebetulan ada spanduk kegiatan yang copot (copot kok, kebetulan, itu sih kesalahan, mestinya) nah bagi kelompok yang bersedia manjat dan membetulkannya juga akan diberi pipet.
  • Kelompok yang personilnya datang lengkap tepat waktu untuk mengikuti acara, juga akan mendapatkan sejumlah pipet.


Malam hari, kami mengadakan cepat tepat, tentu saja berhadiah pipet. Pertanyaan pada cepat tepat adalah hal-hal terkait perusahaan dan dunia retail. Pada babak penyisihan, perwakilan peserta cukup mengisi 15 soal tertulis. 3 kelompok terbaik maju ke babak final yang semua soalnya bersifat rebutan. Tidak asal rebutan/ cepet-cepetan menjawab lho, karena tiap salah menjawab ada pipet yang melayang hilang, nah loooo... Suasana cepat tepat sangat meriah, selain karena hadiah pipet yang menggiurkan, juga dimeriahkan para anggota kelompok yang berperan sebagai pemandu sorak untuk menyemangati anggota kelompoknya.
 
Tak terasa, demam pipet melanda para peserta. Secara prinsip, dengan senang hati kami akan memberikan pipet bagi peserta/ kelompok yang punya prestasi tertentu. Namun jika ada kecerobohan yang dilakukan peserta, terutama dalam permainan, mereka juga harus mengembalikan sejumlah pipet pada kami. oh yha, kadang beberapa peserta/ kelompok berebut untuk menjalankan tugas yang kita tawarkan, maka kita harus pandai-pandai menyiasati. Itu baru hari pertama, karena demam pipet akan makin akut pada hari kedua saat peserta melakukan outbound dengan melintasi perbukitan dengan beberapa pos permainan yang harus diikuti.

Hari kedua diawali dengan olahraga dan pemanasan yang dipimpin oleh kelompok yang bersedia memimpinnya, maklum dapat pipet sih. Usai sarapan, perjalanan menembus kebun, ladang, sungai, lembah, semak, dan hutan dimulai. Ada 3 area yang kami siapkan sebagai ajang pemberhentian di tengah perjalanan. Di tiap area sudah disiapkan beberapa pos permainan. Apa kompensasi dari tiap permainan? saya yakin teman-teman pembaca sudah bisa menebaknya, benar, PIPET. Tanpa mendeskripsikan apa saja jenis permainannya langsung saja saya jelaskan sistem kompresnya, apa itu kompres, itu singkatan dari kompensasi prestasi. Ada 2 sistem yang berbeda antara outbound gelombang pertama dan kedua.
bikin rakit dengan materi pipet dan balon
·         Pada gelombang pertama yang diikuti 6 kelompok, di tiap area ada 3 permainan yang disiapkan. Kelompok diatur untuk main bersama di tiap pos permainan perdua-dua kelompok, artinya dalam saat bersamaan di 3 pos permainan ada 2 kelompok yang berlomba. Pada tiap perlombaan, kelompok yang menang telak akan dapat 4 pipet dan yang kalah tidak dapat apa-apa. Kelompok yang menang tipis dapat 3 pipet, sementara yang kalah tipis dapat 1 pipet. Jika draw/ seri maka tiap kelompok dapat 2 pipet. Usai bermain di 1 pos, 2 kelompok berpisah untuk menuju pos permainan yang berbeda untuk ketemu lawan yang beda. Begitulah sampai pada 1 area keenam kelompok memainkan 3 permainan.

·         Saat gelombang kedua yang diikuti 5 kelompok, di tiap area tetap diisi 3 pos permainan. Jadwal bermain tiap kelompok sama dengan gelombang pertama, hanya nanti akan ada kelompok yang bermain sendirian. Lha lombanya gimana? Maka itulah saya sebut berbeda sistemnya, kalo jadwalnya sih sama. Gini; secara prinsip tiap kelompok yang sudah menyelesaikan permainan, prestasinya akan dicatat oleh fasilitator. Setelah kelima kelompok selesai memainkan 3 permainan, kami akan memeringkat kelompok mana yang terbaik di tiap permainan. Juara 1 tiap permainan akan mendapat 4 pipet, juara 2 dapat 3 pipet, sampai pada akhirnya juara ke-5 alias yang paling jelek prestasinya tidak dapat apa-apa.

Pada area ketiga, hanya ada 1 permainan yang dilakukan bersama-sama oleh semua kelompok. Tentu saja pemenangnya akan mendapatkan pipet lebih banyak daripada yang kalah. Selesai dinamika tersebut, selesai sudah perjuangan untuk mendapatkan pipet, kini saat untuk menggunakannya se-sip mungkin. Mengapa istilahnya “sip” bukan seefektif mungkin, atau sebaik mungkin, ah, itu semata-mata karena selera tiap peserta adalah relatif dalam pemanfaatannya. Baik dan efektif  menurut 1 kelompok belum tentu diamini oleh kelompok lainnya.
Lokasi pendirian toko merangkap tempat penjemuran "korban" outbound
Usai outbound, mandi, lalu siap-siap makan siang. Istimewanya, siang itu peserta membeli makan siang dengan pipetnya. Tiap menu dihargai sekian pipet, sehingga tiap kelompok dipersilahkan untuk membelanjakan pipet se-sip mungkin, mengingat pipet itulah yang nanti akan digunakan untuk mendirikan toko.

Usai makan, diadakan lelang papan nama toko, selain 1 yang memang sudah menjadi jatah tiap kelompok. Papan nama tersebut akan dipasang di puncak menara. Kelompok yang punya 2 papan, berarti bisa bikin 2 toko, yang punya hanya 1 papan nama tersebut, yha hanya bisa 1 toko saja. Oh, yha papan nama toko itu terbuat dari botol minuman. Jika ada 6 kelompok, maka ada 4 papan nama tambahan yang bisa dilelang. Tanpa perlu saya jelaskan proses lelang yang pasti seru itu, kini kita langsung ke pendirian toko.

Tiap kelompok peserta mulai mendirikan toko dengan disain/ konstruksi yang beragam. Intinya sih mendirikan menara setinggi dan sekokoh mungkin. Kenapa  harus tinggi, sudah dijelaskan alasannya. Kenapa  harus kokoh? Karena pada botol papan nama akan diisi air sebagai sebuah beban/ tanggung jawab yang harus dipikul tiap toko. 
bersatu dalam kompetisi mendirikan toko

Strategi tiap kelompok untuk mendirikan toko macem-macem. Ada yang menggunakan seluruh pipet untuk bikin menara. Ada yang menyisakan pipet untuk lelang lokasi . Ada juga kejadian menarik ketika ada 3 kelompok yang berpikir pipet mereka sedikit sepakat untuk merger alias bersatu. 3 kelompok tersebut hanya membuat 1 menara, eh, toko yang tinggi menjulang. Bolehkan seperti itu? Boleh saja, kok.

Waktu untuk merangkai menara, eh, toko selesai. Kini saatnya untuk menentukan lokasi dimana toko akan ditempatkan.  Lelang (dengan pembayaran pipet) dilakukan untuk menentukan kelompok mana yang boleh lebih dulu memilih tempat dimana. Singkat cerita (lagi) setelah tiap kelompok mendapatkan titik lokasi toko, maka toko didirikan di sana. Tahap berikutnya adalah menghitung jumlah konsumen yang bisa dijangkau oleh tiap toko. Secara teknis, kelompok yang tokonya bisa mendapat konsumen terbanyak menjadi pemenang.

Cerita selesai..... Lalu apa yang bisa saya bagikan pada teman-teman terkait outbound bernuansa pipet ini?

Untuk menjaga emosi peserta outbound yang berlangsung selama 2 hari, perlu sarana yang efektif, alih-alih menasehati atau meneriaki peserta dengan “Apa kabaaaarrr... Luar Biasa” atau “Ayo kamu bisa” atau “Semangat! Semangat!” Sarana tersebut harus secara kontinyu digaungkan/  didinamikakan dengan sebuah seni sehingga dapat terus menggairahi peserta. Pada contoh ini, pipet sebenarnya dipandang sebagai sebuah prestasi/ poin/ nilai yang mewujud dalam rupa barang. Kebetulan barang ini juga secara teknis akan digunakan sebagai pencapai tujuan operasional outbound. Kenapa yha? Karena seumumnya orang cenderung suka jika diberi hadiah, dan berusaha/ takut mendapat sanksi/ hukuman. Maka wajar saja jika peserta bisa “demam” pipet; senang jika mendapat pipet, dan selalu waspada supaya tidak kecolongannya.
mengukur jumlah konsumen sebuah toko

Ternyata ada banyak metode bisa digunakan untuk mengapresiasi sekaligus memunculkan potensi peserta outbound, selain melalui permainan. Tentu saja kita harus kreatif untuk berselancar di atas keadaan sekitar, sehingga bisa memunculkan ide-ide segar untuk mendinamiskan peserta. Dinamika bia diciptakan dengan instruksi kita, kondisi alam, kondisi antar peserta,  juga termasuk bermain dengan mindset peserta.

Sistem kompres/ kompensasi prestasi di sisi lain bisa juga “meringankan” beberapa tugas kita dalam dinamika pendampingan. Contohnya, dengan ada kelompok peserta yang bersedia memimpin olahraga di pagi hari, maka kita tidak perlu bersusah payah pagi-pagi membangunkan  dan mengolahragakan peserta. Namun untuk hal ini kita perlu hati-hati lho, jangan seenak jidat sendiri, kita kasih penawaran, apalagi yang menakjubkan. Misal, siapa yang mau pijitin fasilitator, dapat sekian pipet/ sekian poin... wah kalo itu yang ditawarkan, berarti fasilitatornya yang sontoloyo.

Baiklah, saya pikir cukup sampai disini cerita tentang outbound bernuansa pipet ini, semoga menginspirasi.
Selamat mengompres peserta,

Salam, Agustinus Susanta, Palembang, 28 November 2011.