yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Kamis, 23 Juni 2011

Api Kita Sudah Menyalaaaaa


Apa yang bisa dilakukan oleh peserta outbound/ pelatihan  ketika diminta menampilakan suatu pertunjukan/ atraksi/ penampilan? Dijawab “pertunjukan,” boleh, dijawab “atraksi” juga benar, apalagi dijawab "penampilan," ooo boleh saja. Barangkali jawaban terbanyak itu "pertunjukan seni."   Nah, saat ini, Saya mau cerita tentang betapa hebatnya tampilan yang diperagakan peserta outbound/ latihan kepemimpinan. Cerita, eh catatan ini saya rangkum dari pembayangan beberapa kegiatan outbound/ latihan kepemimpinan yang pernah saya libati maupun amati saja. Ada yang berpeserta siswa-siswi, manajer, remaja, karyawan kantoran, mahasiswa, teknisi, maupun pengangguran juga ada.
Pentas bakat, unjuk potensi

Aktualisasi Diri

Umumnya kegiatan pembinaan/ pelatihan/ outbound  yang pake acara nginep, diselipi dengan acara api unggun, presentasi, pentas bakat, kesenian, atraksi, atau apalah namanya. Dalam kesempatan tersebut (kelompok) peserta diminta menampilkan sesuatu untuk menghibur sesamanya. Namun saya yakin tidak semata acara hibur-menghibur yang ingin ditekankan penyelenggara, tetapi proses (kelompok) peserta beraktualisasi diri. Ada pengalaman saya menyaksikan tampilan yang menawan, tapi pernah pula saya (terpaksa) menyaksikan penampilan yang acak-acakan.

Pada satu kesempatan, pernah saya begitu terpana akan kreativitas para remaja yang menampilkan suatu atraksi teaterikal. Keterpanaan saya berdasarkan pada beberapa hal; pertama sebelum acara (latihan kepemimpinan selama 3 hari) para anggota kelompok relatif belum saling mengenal. Kedua, atraksi yang mereka tampilkan hanya dipersiapkan selama 6 jam saja; 6 jam itu waktu antara pemberian perintah sampai mereka tampil, tapi saya yakin tidak selama itu mereka latihan, khan ada dipotong waktu untuk mandi, makan malam, istirahat, serta 1 sesi materi lain. Hal ketiga berikut inilah yang paling membuat saya terpana. Ketika proses di kelas dalam dinamika kelompok yang cenderung satu arah, saya melihat para peserta itu “yach biasa-biasa saja, tak ada yang sangat menonjol; bahkan beberapa terlihat penakut, malu, dan kuper.” Namun ketika mereka diberi kesempatan untuk menampilkan bakat yang dibalut dengan kreativitas kelompok, hasilnya (bagi saya) mengagumkan.

Pantomim
Beberapa remaja yang saya curigai minderan ternyata punya potensi dan keberanian (atau kenekatan) untuk tampil. Ada yang pandai main musik, ada yang nglawaknya lucu, ada yang bernyanyi dengan suara merdu, ada yang menari-nari dengan girang, ada pula yang bermain peran dengan serius alias sungguh-sungguh. Terus terang saya sangat terhibur dengan penampilan mereka.

Pada kesempatan lain saya juga pernah merancang sebuah penampilan dalam suatu acara api unggun bagi para supervisor dan manajer sebuah perusahaan. Instruksi disampaikan siang hari menjelang sore dan penampilan akan dilakaukan malam hari sekitar pukul 8. Berbeda dari kisah pertama tadi, saya justru disuguhi penampilan yang asal-asalan. Ada yang idenya sebenarnya bagus, tapi ketika ditampilkan, para penampilnya malah lebih banyak cengengas-cengenges sendirian, trus ketawa-ketawa sendiri (karena nggak pede) Ada kelompok yang malah hanya menampilkan potongan lagu yang malah mirip yel-yel saja. Ada memang satu kelompok yang standar lah, bagus banget nggak, jelek juga nggak.
Lagi aksi, nih, Bro...
Kenapa bisa begitu? Selidik punya selidik, usut punya usut, kami para fasilitator curiga mungkin para peserta kurang persiapan. Kenapa bisa sampai kurang persiapan? Karena saat sore hari, ternyata mereka sibuk nyiapin makan malam mereka sendiri. Saat itu konsep pelatihannya adalah prestasi kelompok peserta dalam tiap tahap kegiatan akan dikompensasikan dengan makan, termasuk makan malam. Nah, kami nggak menyediakan prasmanan makan malam, tetapi cukup menyediakan bahan mentah dan peralatan makan. Ada 2 kelompok yang bisa dapat kompor, sedangkan 2 kelompok lainnya hanya bisa dapat kayu bakar untuk memasak. Pendek cerita, ternyata sepanjang sore dan malam mereka tiap kelompok sibuk menyiapkan makan malam. Kenapa tampak sibuk? Karena ternyata sebagian besar peserta adalah laki-laki yang gagap masak. Pantas saja mereka asyik sibuk mengolah beras dan bahan makanan mentah sampai siap dikunyah. Ooooo.... itulah kecurigaan kami atas kebelummaksimalan penampilan para peserta.

Proses juga Penting, Lho

Masih cerita tentang penampilan para staf kantoran, namun kali ini dalam kegiatan yang beda. Pada suatu hari (seperti mulai dongeng saja ya)  direncanakan sebuah perusahaan akan mengadakan sebuah pelatihan yang pake acara menginap. Beberapa hari sebelumnya sang  trainer memberi penugasan pada kelompok peserta. Pengelompokkan berdasarkan bagiannya; ada bagian Keuangan, Administrasi, Personalia, dan Umum. Apa tugasnya? Sederhana, kok. Pada satu sesi keakraban di malam hari, tiap bagian diminta menampilkan 2 jenis atraksi, yang pertama karaoke dengan lagu yang sudah ditentukan, salah tiganya adalah Madu dan Racun, Belah Duren, dan Boneka India. Dalam karaoke tersebut penampil juga sekaligus mengenakan busana yang terbuat dari kertas koran; terserah gimana disainnya. Atraksi kedua adalah tiap kelompok menampilkan semacam drama yang mirip-mirip acara Opera van Java di salah satu siaran televisi.

Apa yang terjadi? Selama beberapa hari menjelang “pentas” ternyata tiap bagian mempersiapkan dua atraksi tersebut dengan (sungguh) serius. Mulai dari latihan nyanyi, persiapan kostum, serta membuat skenario drama, dan tak lupa latihannya tentu saja. Ada antusiasme yang tinggi diperlihatkan oleh para peserta terhadap dua atraksi yang sebenarnya “menakutkan” bagi beberapa orang.
ceritanya bakar jagung, nih
Tibalah saat penampilan. Semua kelompok peserta menunjukkan performa terbaiknya. Nggak usah saya ceritakan lah kronologis atraksinya, karena yang menjadi salah satu kebanggaan adalah keterlibatan seluruh peserta. Ada yang ketika di kantor terlihat pendiam, malu-malu, tapi saat atraksi menjadi atraktif. Ada yang saat di kantor memang sudah terlihat “meriah” eee saat penampilan malah tambah dahsyat kehebohan atraksinya (coba bayangkan sudah dahsyat, ditambah heboh pula). Waktu sekian hari persiapan ternyata membuat kelompok peserta mau nggak mau, suka nggak suka untuk berkumpul, diskusi dalam memutuskan sesuatu. Momen kebersamaan itulah yang bisa membangun kekompakan dan kelebihsalingmengertian antarstaf. Atraksi yang peserta tampilkan hanyalah sebuah konsekuensi dari kreativitas, kebersamaan, dan semangat unjuk potensi.

Cerita terakhir ini baru saya alami minggu lalu ketika mendampingi kegiatan outbound mitra sebuah perusahaan. Dalam salah satu rangkaian kegiatan, (oleh permintaan manajemen perusahaan) ada sebuah game penjualan yang kami rancang sebagai sebuah role play atau bermain peran. Tema drama adalah “penjualan produk” Latar belakang peserta berasal dari belasan lokasi yang tentu saja berbeda. Hanya sebagian kecil yang saling mengenal, paling-paling yang selokasi saja. Soal dan tema drama diberikan menjelang siang sekitar pukul 10.40 sementara rencana pementasan pukul 16.00. Tak ada waktu khusus untuk latihan karena peserta sudah disibukkan mengikuti bermacam permainan. Jadi kapan mereka berlatih? Yha di sela-sela permainan atau saat istirahat makan siang.

Teknis penampilan adalah ketika dipanggil, kelompok masuk ke sebuah pendopo (terbuka) untuk tampil.  Di sana sudah menunggu 3 orang juri yang akan memberi komentar dan penilaian. 2 orang dari perusahaan tersebut  (satu dari pusat, satu dari daerah) dan satu orang teman fasilitator. Aspek yang dinilai ada 3, yaitu: keterlibatan seluruh peserta (1 kelompok sekitar 9 anggota), kreativitas tampilan, dan informasi produk yang disampaikan. 

Bagaimana kualitas atraksi mereka? Menurut penilaian saya sih bagus. 1 kelompok (yang tampil pertama pula) memang hanya bikin yel-yel terkait produk. Kelompok berikutnya mulai dengan drama singkat; ada yang berperan sebagai pemilik usaha, karyawan, calon konsumen, serta konsumen. Skenario tiap kelompok rata-rata sama, (lha wong temanya juga sama, kok) menjual atau mempromosikan produk. Tiap selesai tampil, saya persilahkan seluruh anggota kelompok berdiri di depan para juri untuk mendengarkan komentar dan saran. 3 juri saling mengisi, mengomentari tentang aspek kreativitas, keberanian, kebersamaan, pemeranan, teknik penjualan, serta tak lupa tentang informasi produk.

Pengamatan saya, dari 8 kelompok yang tampil, mereka yang tampil belakangan cenderung lebih kreatif, mengapa? Kecurigaan saya karena mereka sudah melihat contoh penampilan kelompok sebelumnya, termasuk masukan para juri. Penglihatan itu tentu saja memberi inspirasi bagi mereka dalam memperkaya dan menyempurnakan skenario yang sudah disusunnya.
Kelompok penampil yang sedang dikomentari
Pada cerita terakhir tadi, saya mencoba melihat game tersebut dari sudut pandang perusahaan. Mereka punya kepentingan untuk menjual produk sebanyak mungkin. Ketika para peserta outbound “dipaksa” main game penjualan, artinya (suka nggak suka dan mau nggak mau) mereka harus menyebut nama produk; baik dalam latihan maupun pementasan. Harapannya adalah ketika dalam kesempatan (outbound) tersebut mereka sudah menyebut-nyebut sebuah nama produk, dalam keseharian kerja mereka, tak canggung pula menyebut nama yang sama. “Oooooo pantesan saja klien ngotot pingin diadakan game penjualan” itu pikiran saya. Sempat juga dengan beberapa teman saat merancang skenario terbertik pertanyaan. Kalo mau game seperti itu, nggak usah pake outbound juga bisa. Namun saya kini memaklumi niat perusahaan yang memang salah satu tujuan mengadakan outbound adalah meningkatkan penjualan.

Pentas yang Bernas

Lalu sekarang, apa yang bisa kita maknai dari 4 pengalaman tersebut?
Tiap orang punya potensi yang kadang tidak bisa kita lihat secara langsung dalam tempo singkat. Menampilkan potensi, bagi seseorang adalah aktualisasi diri, yang merupakan salah satu bentuk kebutuhan alami manusia. Dalam keseharian dan rutinitas kantor atau pekerjaan, tidak semua potensi dapat dikeluarkan. Misal, mereka yang punya kebolehan menari tentu tidak serta merta berjoget di kantor, sekalipun pada jam istirahat. Bisa jadi, kegiatan api unggun atau sejenisnya yang memberi mereka media untuk unjuk potensi adalah kesempatan emas yang ditunggu-tunggu untuk berekspresi. Berdasarkan pengalaman saya, tak ada lagi kemaluan peserta ketika mereka menampilkan potensinya. Lain kalo misalnya seseorang berbakat nari jaipong, tapi diminta menampilkan orasi atau pidato, mungkin malah memalukan.

Proses dalam kelompok untuk mempersiapkan sebuah penampilan, secara langsung atau tidak langsung bisa mempererat keakraban. Selama tiap pribadi punya niat baik untuk menyukseskan misi yang sama, tentu komunikasi yang terjalin akan saling memperkaya tiap pribadi. Selain keakraban, bisa juga tiap orang lebih saling mengenal kepribadian yang lain, “Oooo dia orangnya seriusan, Oooo ternyata dia kocak juga yha, Ah dia agak sensitif orangnya, Hmmm... boleh juga tuh pemikiran-pemikiran dia.” Tentu banyak positifnya khan kalo kita lebih mengenal pribadi mereka yang sering berinteraksi dengan kita di kantor/ perusahaan?
apiiiiiii, eh, asyiiiikkkk...
Dalam berbagai kesempatan pelatihan yang menginap, saya amati semangat untuk begadang (terutama pada orang-orang muda) tinggi. Penampilan/ atraksi bukan sekedar formalitas untuk mengisi acara api unggun atau pentas bakat. Bukan pula sekedar pembunuh waktu malam hari sambil begadang tadi. Walau singkat, dan dengan peralatan terbatas, kita harus punya prinsip tiap atraksi harus ditampilkan semaksimal mungkin. Salah satu caranya adalah dengan memberikan waktu yang cukup bagi para penampil untuk mempersiapkan diri, termasuk latihan di dalamnya. Atraksi yang disiapkan dengan waktu memadahi, niscaya akan diapresiasi dengan positif, selain menghibur semuanya, para penampil juga pasti bangga dan puas. 

Jika memungkinkan, tiap penampil mendapatkan umpan balik terhadap apa yang baru saja ditampilkannya. Siapa yang memberi umpan balik? bisa penonton, juri, komentator, ataupun fasilitator. Tujuan utama umpan balik ini adalah mengapresiasi penampilan peserta, dalam semangat positifitas. Kalau memang bagus, yha jangan sungkan memuji, kalau kita rasa ada yang bisa ditingkatkan/ perbaiki lagi, yha sampaikanlah dengan bahasa positif. Kapan lagi kita bisa saling menghargai dan dihargai? Sebenarnya bisa dalam banyak kesempatan, salah satunya yha dalam acara semacam ini. Dengan penghargaan, yakinlah, seseorang bisa lebih berkembang.

Hmffhh.... ternyata di balik acara api unggun tersimpan suatu proses pengembangan diri. Maka marilah teman, ketika kita merancang acara semacam itu buat sekalian yang punya makna mendalam. Bukan sekedar formalitas  atau “biasanya kan memang begitu” tapi semangat untuk sama-sama berkembang dalam ekspresi yang kreatif.

Mari berapi unggun, “Api kita sudah menyalaaaaa, Api kita sudah menyalaaaaa, Api api api api aaaaaaapiiiiiiii, Api kita sudah menyala.”


Palembang, 24 Juni 2011
Salam,
Agustinus Susanta

Rabu, 22 Juni 2011

Outbound Gado-gado (2/2)


Pukul 07.15 peserta berangkat bersama-sama dari kantor perusahaan yang berjarak sekitar 15 kilometer dari lokasi outbound. Diinformasikan oleh petugas  registrasi bahwa  peserta yang hadir 80 orang. Pikir saya, “Ah, masih dalam toleransi jumlah peserta yang akan dibagi menjadi 10 kelompok.”

Pukul 08.00 Peserta datang sesuai jadwal, langsung dipersilahkan coffe break. Kayaknya istilah ini kurang tepat deh, namanya break itu khan memecah, tepat kalo diselipkan di antara 2 acara. Lha ini, acara belum mulai sudah di break, ah sudahlah, nggak usah mempermasalahkan itu. 

Pukul 08.15 mestinya sudah masuk acara “Motivasi,” namun ternyata acara pembukaan yang sebagian besar diisi sambutan dari pihak manajemen perusahaan belum selesai. Dalam acara pembukaan inilah setelah peserta dihitung ulang, ternyata yang hadir di lokasi hanya 69 orang. Dari 100 orang jadi 69 orang, weh, selisih 31 orang, lumayan juga. Yang lalu saya pikirkan adalah membuat skenario berdasar 8 kelompok peserta saja. 

Pukul 08.47 barulah dimulai sesi Motivasi (molor 32 menit dari jadwal) oleh motivator yang didatangkan pihak manajemen perusahaan. Ketika peserta asyik menikmati dinamika dan materi dalam sesi motivasi. Kami bergegas membagi peserta dalam 8 kelompok; disesuaikan dengan asal mereka. Peserta berasal dari belasan tempat yang masing-masing ada yang ngirim 2 sampai 9 orang; bervariasi. Dalam pembagian ini peserta yang berasal dari 1 tempat masuk dalam 1 kelompok, paling-paling ada yang digabung dengan peserta dari tempat lain.

Pukul 09.08 Pembagian kelompok sudah selesai. Namun salah satu pimpinan manajemen minta pembagian kelompok diacak saja antar tempat. Harapannya dalam 1 kelompok diisi peserta dari berbagai tempat untuk lebih saling mengenal dan mengakrabkan. Oke, deh, kami rubah lagi sesuai permintaan. 

Urusan membagi kelompok tidak berhenti sampai di situ. Kami harus mengubah lagi jadwal outbound yang sudah disiapkan untuk 10 kelompok. Urusan rubah-merubah itu sebenarnya bukan masalah besar, namun karena waktu terbatas, maka kami harus melakukannya dengan tempo sesingkat-singkatnya. Pos Menara Air yang sudah kami siapkan (perlengkapan dan fasilitatornya) akhirnya ditiadakan supaya kami pas membagi 8 kelompok dalam 4 sesi permainan. Saya buat jadwal baru secara manual, 8 rangkap, sementara seorang teman mengetiknya di komputer untuk dicetak. Rencananya sih kalo pas mau outbound cetakan sudah selesai, maka menggunakan yang itu (supaya lebih rapi) tapi jika belum, maka tulisan manual saya yang digunakan.

Pukul 10.20 sesi motivasi baru berakhir (itu pun) setelah kami memberi kode berkali-kali. Berarti molor lagi deh,  25 menit dari jadwal. Pembagian kelompok dan penjelasan proses dilakukan secepat kami bisa, setelah itu peserta istirahat sejenak sambil menyimpan segala sesuatu yang tidak diperlukan dibawa dalam outbound. Acara ice breaking akhirnya menjadi korban karena ditiadakan, apa boleh buat. Eee... masih ada pula acara sisipan yang tidak kami perhitungkan yaitu foto-foto. Setelah tiap kelompok berfoto, barulah seluruh peserta foto bersama.

Pukul 11.20 barulah outbound dilakukan, benar, molor 80 menit dari rancangan. 8 kelompok, 4 pos dan 4 sesi. Tidak perlulah diceritakan betapa heboh proses outbound tersebut. Kita khan mau fokus pada pewaktuan kegiatan.

Pukul 12.25 seluruh proses outbound selesai, artinya terlambat 25 menit dari jadwal. Kini waktu untuk istirahat dan makan; sambil diiringi orgen tunggal. Beberapa orang (entah karena kegirangan atau kepanasan) nyebur kolam. Yang langsung makan juga banyak; sementara yang lain ada yang milih istirahat, satu dua orang nyanyi diiringi orgen tunggal.

Pukul 13.30, setelah peserta istirahat sekitar 1 jam, acara dilanjutkan. Hayoooo ini molor berapa menit? Tantangan flying fox dan high rope dimulai dengan penjelasan teknis dan keselamatan peserta. Karena usai makan siang, dan istirahat, kami juga isi penjelasan tersebut dengan sedikit permainan ice breaking.

Pukul 13.50 barulah benar-benar dimulai pelayangan peserta dalam flying fox, itu molor 50 menit dari jadwal, lho. Maunya, kami membatasi permainan tersebut selama 1 jam saja, karena toh itu sifatnya tentatif, namun apa yang terjadi? Ternyata peserta tidak rela tidak main flying fox, maka kita selesaikan saja mereka yang memang mau main flying fox.

Pukul 15.26 barulah kami mulai sesi paint ball + hiburan, dan snack; terlambat 1 jam kurang 4 menit dari jadwal yang kami susun. Demi ketercapaian seluruh proses, maka kami rancang sementara kelompok 1, 2, 3, dan 4 main paint ball, kelompok 5, 6, 7, dan 8 langsung main game penjualan. Demikianlah, setelah kelompok 1 dan 2 main paint ball, mereka segera masuk game penjualan. Sedangkan kelompok 5 yang sudah selesai memainkan game penjualan, segera bergegas untuk persiapan main paint ball. Lalu di mana acara hiburan dan snacknya, yha di sela-sela seluruh kegiatan tersebut; nggak masalaaaah.

Pukul 17.10 berakirlah seluruh permainan, wah kini hanya selisih 10 menit lebih lambat dari jadwal. Tapi kami nggak bisa segera menutup acara, karena ternyata pihak manajemen membagikan tas, kaos, dan beberapa berkas lain pada para peserta.  Urusan bagi membagi ini perlu ketelitian lho, supaya tiap peserta mendapatkan jatah sesuai dengan haknya, jangan sampai ada yang kelebihan atau bahkan kekurangan.

Pukul 17.35 barulah kita mulai acara penutupan, molor lagi 35 menit, deh. Diisi dengan pengumuman dan penganugerahan hadiah bagi 2 kelompok berpoin tertinggi. Masih ada juga pembagian sekitar 25 hadiah door prize bagi peserta. Dan tentu saja ada kata penutup dari kami, serta sambutan dari pihak manajemen.
Pukul 17.55 barulah seluruh rangkaian acara bersama peserta  tuntas, tas, tas.

Selesai? Belum, karena saya belum membeberkan apa refleksi saya terhadap kegiatan tersebut. Kalo urusan ketidakpasan waktu pelaksanaan dengan jadwal, baik lebih lambat, atau lebih cepat, itu sih sebenarnya sudah lazim. Namun untuk merefleksikannya secara (agak) serius baru sekarang inilah. Beerkaca dari pengalaman tadi, hal apa sih yang bisa kita perbaiki untuk merancang kegiatan serupa kelak?

Dalam pembicaraan dengan pihak klien/ peserta outbound  di awal saat menyusun penjadwalan, alangkah sedapnya jika dikorek betul apa saja yang akan dilakukan, terutama oleh pihak klien/ peserta. Namun bisa saja lho, hal-hal tersebut saat pembicaraan awal memang belum terpikirkan oleh klien, maka kalau kita tahu, bisa dong disampaikan pada mereka. Kegiatan yang sifatnya seremonial, publikasi, atau penjelasan, ternyata sedikit demi sedikit bisa menggerogoti waktu kita lho. Kegiatan pembagian kelompok, foto, mengumuman doorprize, serta sambutan pihak pimpinan peserta, (berdasarkan pengalaman) punya potensi  memakan waktu berkepanjangan. Inti refleksi pertama adalah segala detail kejadian harus  diperhitungkan dalam jadwal.

Hal kedua yang bisa saya timba adalah kemampuan memodifikasi skenario secara cepat. 2 contoh modifikasi dalam cerita saya barusan adalah merubah jumlah kelompok dari 10 menjadi 8 kelompok (diiringi penghapusan 1 permainan) serta penggabungan 2 acara menjadi 1 (paint ball dan game penjualan.) Baik adanya jika kita tanggap membaca dan memprediksi situasi, terutama terkait pewaktuan. Kadang kita memang harus tega misalnya mempercepat waktu istirahat peserta, demi ketercapaian tujuan utama. Merancang dan mengeksekusi kegiatan outbound yang memadukan keinginan klien dan  ketercapaian tujuan dalam waktu yang terbatas adalah sebuah seni, yang bisa dicapai dengan kreativitas.

Sebelum menutup tulisan ini, mungkin ada teman-teman yang bertanya, apa saya selalu mencatat tiap jam pergantian waktu acara? Kok bisa-bisanya membuat kronologis pergantian acara dengan (mudah-mudahan) meyakinkan.  Bagi yang tidak bertanya-tanya, yha ndak usah melanjutkan membaca paragraf ini, he he he... Mencatat sih tidak, namun dalam (hampir semua) outbound saya selalu berbekal kamera digital. Dasar saya senang memoto (mana yang benar memoto atau memfoto?), maka pada banyak momen sering memotret (memoto saya ganti memotret saja lah), nah dari file foto-foto tersebutlah saya bisa mengetahui  kapan kejadian yang dipotret itu terjadi. Dan sedikit rahasia lagi, saya selalu merubah nama file foto menjadi tanggal dan waktu pengambilan foto. Dengan hal itu, tanpa melihat informasi (properties) file foto tersebut saya sudah langsung tahu tahun, bulan, tanggal, jam, menit, dan detik kapan adegan tersebut terjadi.
Semoga beberapa kelumit cerita ini menginspirasi teman-teman.

Agustinus Susanta
Palembang, 22 Juni 2011

Outbound Gado-gado (1/2)



Akhir bulan lalu, ketika saya sedang mendaki bukit dalam rangka survey lokasi outbound di Pulau Bangka, seorang teman menelepon. Bertanyalah dia apakah saya bisa memfasilitasi kegiatan outbound untuk sebuah perusahaan. Dalam kondisi ngos-ngosan karena memang sedang menanjaki bukit, saya menjawab telepon. Oh, yha, posisi teman saya saat itu di Palembang, Sumsel. Intinya bulan Juli ini saya sedang mengagendakan mendampingi kelompok lain untuk outbound di Pulau Bangka, (untuk itulah saya survey) maka pada sang teman saya bilang bahwa nanti seusai survey lokasi dan tanggal, akan diupayakan kepastian kapan saya bisa bekerjasama dengan sang teman tadi. Ceritanya selesai, hah! Maksudnya itu tadi pengantarnya saja. Pelajaran apa yang bisa saya petik dari peristiwa itu? Ternyata naik bukit/ gunung sambil teleponan bikin kita tambah ngos-ngosan. Nggak tahu bagi mereka yang memang sudah terbiasa.

Singkat cerita, minggu lalu saya akhirnya memfasilitasi outbound bersama teman saya tadi. Melalui beberapa kali koordinasi dengan tim, akhirnya dirancanglah sebuah skenario outbound, yang sebenarnya juga kegiatan gathering bagi mitra sebuah perusahaan. Saya sempat pening menyesuaikan permintaan klien dalam suatu jadwal dan skenario. Bayangkan, ayoooo bayangkan. Ada agenda untuk presentasi internal dari perusahaan selama 90 menit, trus ada ice breaking, 5 game di darat, 3 tantangan high rope, ditambah flying fox, masih ada juga game selling/ penjualan, trus jangan lupa juga ada hiburan orgen tunggal, plus terakhir penentuan tim pemenang, sekaligus pembagian door prize. Dengan peserta 100 orang, bagaimana itu akan dilakukan dalam waktu hanya 9 jam? mulai dari pukul 8 pagi sampai 5 sore; gleekk.

Untunglah pening saya tidak terlalu lama, karena toh harus segera diambil keputusan. Oh yha dalam kesempatan ini saya akan cerita saja pewaktuan kegiatan tersebut; fokus antara permintaan klien, rencana, jadwal, dan eksekusinya saja. Teknis-teknis permainan tak akan saya detilkan, oke? Pasti oke, dong, khan yang nulis saya, he he he....


 
Jadwal akhirnya dirancang sebagai berikut:

·         08.00 - 08.15       = Coffe break, pembukaan
·         08.15 - 09.45       = Motivasi
·         09.45 - 10.00       = Ice breaking
·         10.00 - 12.00       = Outbound
·         12.00 - 13.00       = Ishoma
·         13.00 - -14.30     = Flying Fox & High Rope
·         14.30 - 16.00       = Paint Ball, Hiburan, snack
·         16.00 - 17.00       = Game Penjualan
·         17.00 - 17.15       = Penutup

Itu pun dengan catatan sebagai berikut:
  • Peserta akan dibagi menjadi 10 kelompok
  • 5 Pos permainan Outbound adalah: Menara Air, Pipa Bocor, Sulur Maut, Lumpur Panas & Tapak Bumi
  • Dalam 1 pos akan bertemu 2 kelompok, sesuai jadwal; waktu main hanya 10 menit
  • Kompensasi tiap permainan adalah poin
  • Dalam Paint Ball, tiap kelompok hanya diwakili 5 orang saja; pemenang mendapat poin.
  •  Flying Fox dan High Rope bersifat tentatif bagi yang berminat saja; permainan ini juga dibatasi oleh waktu.
  • Kelompok dengan poin tertinggi akan mendapat hadiah.
Jadwal pergerakan outbound, tiap kelompok, tiap pos dan tiap sesi kami atur sebagai berikut:
 

Pos Pipa Bocor
Pos Tapak Bumi
Pos Menara Air
Pos Lumpur Panas
Pos Sulur Maut
sesi 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
sesi 2
4
9
1
6
3
8
5
10
2
7
sesi 3
6
7
8
9
1
10
2
3
4
5
sesi 4
5
8
7
10
2
9
1
4
3
6
sesi 5
3
10
2
5
4
7
6
9
1
8

Gimana cara membaca skema jadwal tersebut? begini, karena ada 10 kelompok, sedangkan pos yang disediakan hanya 5, maka supaya efektif dalam 1 pos permainan akan diisi 2 kelompok sekaligus. Contoh, dalam sesi ke-1 di Pos Pipa Bocor akan bertemu Kelompok 1 dan 2, sedangkan di Pos Lumpur Panas akan ketemuan Kelompok 7 dan 8. Nah, di sesi ke-2; Kelompok 7 akan pindah ke Pos Sulur Maut, ketemu Kelompok 2. Sedangkan Kelompok 8 akan pindah ke Pos Menara Air, bertemu Kelompok 3. Saya pikir mudah dimengerti, khan?

Sistem ini saya pilih terutama karena dari segi waktu paling efisien. 5 permainan pun sudah cukup untuk “sekedar” menjalin keakraban dan kekompakan. Hal lain yang tak kalah penting, adalah suasana rivalitas/ kompetisi antar kelompok di tiap pos pasti akan terjadi. Semangat saling mengungguli lawan tentu otomatis akan muncul ketika peserta berlomba secara langsung. Coba bayangkan jika dalam 1 pos hanya ada 1 kelompok yang main dalam 1 waktu, pasti suasana kurang seru dibandingkan ada 2 kelompok yang berkompetisi saling mengalahkan. Oh, yha, pada tiap Pos permainan, berapa pun nilainya, kelompok yang menang akan mendapat tambahan poin, lho.

Mengenai nama pos, saya duluuuuu menggunakan nama misalnya “Pos 1, Pos 2 dan seterusnya atau “Pos A, Pos B, Pos F, Pos L, dan seterusnya; namun kini saya cenderung menamai pos dengan permainan yang ada di sana. Hal ini akan memudahkan pemahaman, baik untuk peserta, maupun fasilitator. Alih-alih peserta/ fasilitator dalam kebingungannya berdebat Pos 2 itu main “Tapak Bumi” atau “Sulur Maut” lebih baik langsung menyebut pos yang bersangkutan dengan nama permainannya, beres, deh. Sempat ada juga yang bertanya, kalau disebutkan begitu, nanti peserta tahu dong semua permainannya. Memang betul itu, tapi… tidak semua peserta tahu betul bagaimana permainan itu dilakukan walau sudah tahu namanya. Namun hal yang sering saya jawabkan adalah, “Kalo peserta tahu jenis permainannya, emangnya kenapa?” kalo dijawab nanti jadi nggak seru lagi, ah, rasanya tidak juga tuh. Bagi saya malah, kalo peserta sudah tahu dan (dalam waktu singkat) mempersiapkannya, itu jauh lebih bagus. Artinya, permainan kita dimainkan oleh orang yang (minimal sudah agak) paham, dan itu akan meningkatkan prestasi peserta juga khan.

Jadwal pertemuan kelompok dalam permainan paint ball, kami rancang sebagai berikut:

main ke-1
main ke-2
main ke-3
main ke-4
main ke-5
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10











Diskusi tentang selling game/ permainan penjualan, yang bagi saya agak aneh diterapkan dalam suatu outbound, berlangsung hangat. Suka nggak suka, cocok nggak cocok, karena itu permintaan dari manajemen pusat, toh harus dijalankan. Saya sih ambil positifnya saja; itu suatu tantangan menarik, disamping saya yakin, pasti klien punya kepentingan terhadap hal tersebut.Yha jelas dong, salah satu tujuan perusahaan mengadakan outbound gathering khan untuk meningkatkan volume penjualan, maka bisa dimengerti bahwa dalam acara outbound tersebut juga dimasukkan unsur-unsur “peningkatan kemampuan menjual. Akhirnya, setelah (hanya) setengah jam diskusi antara tim fasilitator dengan perwakilan perusahaan, ditetapkanlah skenario game penjualan sebagai berikut”

·         Tiap kelompok melakukan role play/ penampilan bertema "penjualan produk "
  • Role play bisa berupa drama, lagu, operet, pantun, puisi, yel-yel, presentasi, lawak, atau gabungannya.
  • Waktu game penjualan tiap kelompok @ 5 menit; dilakukan seusai kelompok main paint ball.
  • Waktu mempersiapkan/ latihan game  dilakukan di sela-sela outbound/ snack/ makan/ istirahat
  • 3 Aspek penilaian game penjualan adalah:

1.       Keterlibatan semua anggota kelompok; makin semua terlibat = makin bagus
2.       Kreativitas tampilan; makin kreatif = makin bagus
3.       Informasi produk; makin lengkap dan informatif = makin bagus
Nah, informasi jadwal acara, jadwal pergerakan kelompok, serta ketentuan sistem outbound termasuk game penjualan tadi disampaikan pada tiap kelompok secara tertulis. Biarlah mereka membawa keterangan yang memang diperlukan tersebut selama proses. Salah satu prinsip yang selama ini saya anut adalah berikan penjelasan seinformatif mungkin pada peserta tentang kemana dan kapan mereka harus bergerak. Mengenai apa yang akan terjadi di tiap tempat tadi, biarlah mereka mengetahuinya saat pelaksanaan nanti.

Sekarang kita akan masuk pada menit-per menit eksekusi kegiatan, apakah sesuai dengan jadwal? Kita simak sebentar lagi.

bersambung, bung bunggggg

Rabu, 15 Juni 2011

Kesan Pertama Begitu Menggoda, Selanjutnya, Ada Apa?



Kisah ini merupakan catatan dari beberapa pengalaman saya sendiri, ditingkahi dengan pengalaman beberapa teman. Bukan menjadi satu-satunya petunjuk terefektif, tapi semoga dapat menginspirasi dalam pengelolaan kegiatan (semacam) pelatihan atau pengembangan diri. Fokus bahasan adalah pada acara serah terima peserta pelatihan, di mana kita (dan tim) bertindak sebagai pengelola kegiatan, atau pihak yang bertanggung jawab mengatur jalannya kegiatan. Konteksnya kita sebagai pihak pengisi/ penyelenggara kegiatan, di luar internal peserta dari perusahaan/ sekolah. Penceritaan berikut ini juga makin pas jika kegiatan yang dilaksanakan relatif lama, misalnya sampai 3 hari.

Standar yang biasa kita lalui dalam permulaan sebuah pelatihan (kepemimpinan) termasuk yang berbasis experiential learning atau outbound adalah penyerahan peserta kegiatan/ pelatihan kepada tim fasilitator. Kalau peserta adalah siswa, biasanya yang menyerahkan adalah kepala sekolah/ guru bidang kesiswaan/ guru pendamping kepada tim fasilitator. Kalau peserta adalah karyawan perusahaan, yang menyerahkan bisa direkturnya, pimpinan, atau manager HRD/ SDM atau sejenisnya. Setelah acara pembukaan dan kata pengantar dari kepala sekolah/ pimpinan perusahaan, tibalah saat serah terima. Contoh kalimat standar yang biasa disampaikan adalah, “Dengan ini kami serahkan seluruh peserta pelatihan pada pihak fasilitator untuk dilatih selama 3 hari 2 malam sehingga pada akhirnya nanti tujuan kegiatan ini dapat tercapai.” 

Setelah diserahkan, maka biasanya kita juga memberi kata penyambut, misalnya, “Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan perusahaan pada kami sebagai tim fasilitator. Dengan ini kami terima peserta pelatihan untuk diproses dalam pelatihan.” Kadang kita juga memberi tambahan yang agak “menakut-nakuti peserta” seperti, “Karena sudah diserahkan sepenuhnya pada kami oleh pihak perusahaan, maka artinya kami bebas melakukan apa saja terhadap peserta, termasuk jika nanti peserta  harus makan cacing,” Hiiii…. seram sekali. Nah biasanya dari pihak perusahaan/ sekolah malah tersenyum mendengarnya. Kalau pemimpinnya punya selera humor tinggi, dia bisa menambahi, “Ya, betul, terserah fasilitator, kalau perlu lebih berat lagi juga tidak apa-apa,” hah?

Setelah acara serah terima (kalau saya, selalu diiringi dengan doa pembukaan juga) maka acara sepenuhnya kita kendalikan. Perwakilan dari pihak sekolah/ perusahaan bisa tinggal di lokasi untuk mengamati, atau sebaliknya meninggalkan kami, untuk kemudian datang lagi ketika proses selesai untuk acara penutupan. Acara pertama biasanya perkenalan, ice breaking, atau sejenisnya. Baru dilanjut dengan konten pelatihan; entah ceramah, permainan, outbound, simulasi, diskusi atau apa lah. Kita tak akan cerita proses pelatihan, karena, masih ingat khan, fokus kita adalah pada acara serah terima peserta pada kita, yang biasanya berlangsung cenderung administratif, simbolis, seremonial, atau formalitas.

Dulu, saya berpikir acara serah terima atau pembukaan kegiatan pelatihan hanyalah sebuah seremonial saja. Namun seiring dengan banyaknya (refleksi) kegiatan yang saya fasilitasi, maka pemikiran tersebut kemudian berkembang sehingga acara tersebut bisa lebih bernas dimaknai oleh pihak perusahaan/ sekolah juga pada peserta, sekaligus kita sang fasilitator. 

Alur pikirnya sederhana, ketika ada satu pihak mempercayai kita untuk melatih karyawan/ muridnya dalam suatu proses pelatihan pengembangan diri, maka artinya mereka percaya pada kompetensi kita untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Bagi kita, apa arti kepercayaan tersebut? jika pola pikir kita hanya “Ah, pelatihan ini seperti biasanya, sekedar aktivitas bisnis belaka; mereka butuh, kami bisa melakukannya” berarti kita masih perlu merenungkan lebih lanjut arti pembelajaran. Kita bisa berpikir ketika kita diberi kepercayaan, maka kita terpanggil untuk membalas kepercayaan tersebut dengan cara mengelola proses sebaik mungkin sehingga tujuan yang diharapkan tercapai. 9 kata terakhir tadilah yang selalu menjadi acuan saya dalam merancang skenario kegiatan pelatihan.

“Mengelola proses sebaik mungkin sehingga tujuan yang diharapkan tercapai” sebenarnya dapat dilakukan mulai saat “upacara” serah terima dan pembukaan/ pengantar pelatihan. Ada momentum ketika pihak yang menyerahkan peserta pada kita, masih berada di tempat, dalam suasana formal pula. Walau pimpinan sudah menyerahkan peserta pada kami, namun  sering kami tidak langsung menerima penyerahan peserta; apa maksudnya? Inti pemikirannya adalah kami tidak otomatis menerima peserta untuk berproses, kami juga ingin tahu sejauh mana peserta siap untuk berproses. Tentu pelaksanaan di lapangan kita lakukan dengan dialog dengan peserta, maupun pimpinannya. 

Hanya peserta yang siap mengikuti proses dengan sepenuh hatilah yang bisa kami terima. Jika ada peserta yang tidak siap, berarti siap-siap juga dipulangkan. Biasanya sih peserta menyatakan dirinya siap, kenapa? Karena di situ khan masih ada pimpinan/ kepala sekolahnya, mana berani mereka menyatakan belum siap berproses. Yang ada adalah siap, siap, dan siap melaksanakan seluruh proses, apa pun itu nanti. Ketika kita sudah mendengar langsung kesiapan semua peserta untuk berproses, termasuk dengan segala resiko dan konsekuensinya, barulah kita nyatakan pada pimpinan/ kepala sekolah bahwa kita menerima mereka sebagai peserta pelatihan. 

Hal berikut ini bisa dilakukan ketika pimpinan/ kepala sekolah masih ada di lokasi atau (ketika kondisi tidak memungkinkan) tanpa mereka. Namun ketika kita bisa mengajak pimpinan untuk mengikuti proses ini, tentu lebih baik. Proses apa sih kok, sepertinya penting. Ah, sebut saja acara orientasi; kenapa penting? Karena kesan pertama begitu menggoda. Hal yang perlu dilakukan adalah kepastian pemosisian peserta dalam konteks kegiatan pelatihan, terutama terkait relasi antara peserta dan fasilitator. Orientasi menjadi penting karena kita ingin seluruh peserta punya persepsi yang sama, sesuai kondisi tertentu untuk memulai proses pelatihan. 

Tahukah kita apa yang dipikirkan/ dirasakan peserta ketika memulai kegiatan pelatihan? Kemungkinannya bisa bermacam-macam, misal:
·         Menurut cerita kakak kelas, acara latihan kepemimpinan ini menyeramkan, aku takutttt.
·         Asyiiik, aku akan dilatih menjadi pemimpin selama 3 hari, aku semangat.
·         Whaduuuuh, mau diapakan aku ini?
·         Ah, perusahaan hanya buang-buang uang saja, ngapain juga diadakan kegiatan semacam ini, nggak ada gunanya.
·         Wah, fasilitator yang itu kayaknya nantang banget, tunggu saja, akan kubikin gara-gara nanti.
·         Wah, bisa nggak yha aku yang belum bisa apa-apa ini menyelesaikan latihan ini?
·         Ini kali ketiga aku ikut outbound semacam ini, semua permainan sudah kukuasai, pasti membosankan deh, acara ini.
·         Wah, ada tantangan baru nih, aku siap untuk berkembang!

Kita tidak bisa mencegah peserta berpikir atau merasa apa. Oh yha, saya membedakan antara “berpikir” dan “merasa”; walau keduanya beda, tapi sama-sama akan memengaruhi peserta dalam berproses. Yang bisa kita lakukan adalah kita mengondisikan (pikiran) peserta sehingga bisa berpikir dan berperasaan yang kondusif untuk menyongsong proses pelatihan.

Salah satu konsep yang sering kami sampaikan pada peserta dalam acara orientasi adalah bahwa kegiatan pelatihan (ini) punya target tertentu, yaitu tujuan yang hendak dicapai. Sebutkan atau tuliskan saja tujuannya. Maka segala sesuatu yang terjadi dalam proses adalah demi peserta mencapai tujuan tersebut. Gambarkan (di papan tulis, kalau ada) posisi peserta saat ini, misalnya di garis “start” lalu posisi “tujuan” kegiatan di garis “finish.” Lintasan antara 2 garis itu adalah proses yang harus dilalui peserta. Boleh disampaikan juga bahwa laju peserta tidak selalu lurus, namun kadang perlu belok, menanjak, tiarap, berhenti, meloncat, dan sebagainya, jadi penuh variasi. Kalau peserta diibaratkan “pelari” lalu dimana atau sebagai apa posisi fasilitator?

Fasilitator adalah pihak yang memastikan peserta akan mencapai garis finish atau mencapai tujuan pelatihan dalam waktu yang disediakan. Bisa jadi dalam proses nanti fasilitator menarik atau mendorong peserta yang dipandang perlu bantuan. Mungkin juga nanti fasilitator “menyeret” peserta yang berpotensi keluar jalur. Penegasan utamanya adalah bahwa fasilitator (dengan segala metode pelaksanaan proses) ada di pihak peserta untuk mencapai target/ tujuan kegiatan. Jadi yang perlu dipahami peserta adalah bahwa mereka didukung untuk mencapai tujuan, bukan malah “dihalang-halangi atau dihadang” untuk mencapai “finish.” Nah, untuk itu perlu ada sinergi antara fasilitator dan peserta demi ketercapaian tujuan. Apa jadinya jika hanya salah satu pihak, entah peserta atau fasilitator yang ngotot untuk mencapai tujuan? Jadinya yha nggak jadi-jadi; atau yang tercapai tujuan jadi-jadian, hiiiii… Akhirnya, ketika pemahaman ini sudah dimengerti peserta, biasanya proses akan berjalan lebih ayik dan kondusif. 

Kita tanyakan pada peserta, adakah hal-hal yang bisa dilakukan peserta untuk menunjang pencapaian target? Biasanya lalu muncul hal-hal positif yang sebaiknya kita catat untuk penegasan. Ada keseriusan peserta sebagai salah satu penunjang, lalu ada keaktifan peserta dalam seluruh proses, berani bertanya, berani menjawab, berinisiatif, tolong-menolong, tepat waktu, memperhatikan materi, disiplin, proaktif, selalu maksimal dalam tiap acara, dan sebagainya. Nah, kini sudah ditemukan dari peserta hal-hal yang perlu dihayati selama proses, karena disadari itu akan mendukung peserta sendiri dalam mencapai tujuan kegiatan. Alih-alih kita membeberkan berbagai  larangan, jangan ini, dilarang itu, dan sebagainya, kenapa tidak dicoba menggali hal-hal yang perlu diupayakan. Saya pikir kalimat-kalimat positif lebih “membentuk” dan menginspirasi peserta daripada larangan.

Sekarang kita cerita tentang hukuman atau sanksi. Konsep hukuman atau sanksi bagi kita yang berpikiran pendek hanyalah sebatas ketika ada peserta melanggar aturan (apalagi yang ditetapkan secara spihak oleh kita) maka perlu mendapat hukuman, titik. Ketika ditanya apa tujuan hukuman itu, tidak bisa menjelaskan, gubrak. Wah kalo hanya segitu pemikiran kita, kacian deh, kita. Memang dalam banyak hal dan kondisi (yang sebenarnya kurang sehat) kita sudah familiar dengan yang namanya hukuman atau sanksi. Namun ketika kita punya “kuasa” untuk mewarnai suatu proses pengembangan diri, maka kalau kita masih waras, sebenarnya terbuka peluang untuk mengkaji segala proses yang kita rancang, termasuk konsep hukuman. Kalau dikaitkan dengan konteks bahwa kegiatan pelatihan harus mencapai target, maka apa pun kejadian selama proses mestinya mengarah pada ketercapaian tujuan; termasuk yang mungkin kita sebut “hukuman” atau sanksi.

Dalam sebuah latihan kepemimpinan, bisa kita terapkan konsep bahwa “hukuman” (kita tidak menyebutnya hukuman) adalah perwujudan kesadaran sekaligus penyesalan seseorang karena melakukan tindakan yang bisa menghambat ketercapaian tujuan. Pada kesempatan tersebut tidak ada yang namanya fasilitator bilang, “Karena kamu sudah melanggar aturan nomor tujuh, yaitu “tidak boleh membiarkan kran air kamar mandi terbuka jika kita meninggalkan kamar” maka sebagai hukumannya kamu harus bla bla bla.” Yang ada adalah (jika diperlukan setelah diskusi sejenak dengan “pelanggar”) peserta pelanggar aturan main bilang, “Pak, karena saya tadi saya lupa mematikan kran air di kamar mandi, yang itu artinya saya kurang teliti, maka  saya akan memunguti sampah dedaunan di halaman.” Setelah itu kita hanya bilang “Terima kasih atas kesadaranmu, laksanakan!”

Ada satu lagi konsep “hukuman” yang menggelitik saya, terutama dalam konteks kegiatan latihan kepemimpinan. Berawal dari penamaan “latihan kepemimpinan” yang secara harafiah diartikan peserta dilatih untuk menjadi pemimpin, tentu saja dengan paradigma dan prilaku kepemimpinan. Dalam kehidupan nyata, jika ada anak buah/ karyawan/ murid yang melanggar aturan atau membuat kesalahan, lazim untuk dihukum. Tapi ketika pemimpin yang melakukan kesalahan, siapa yang mau/ berani menghukum? Nah, hal  itu menjadi menarik ketika diterapkan dalam konteks “latihan kepemimpinan.” Ketika kita memosisikan bahwa tiap peserta adalah seorang pemimpin (minimal bagi dirinya sendiri), jika dia melanggar aturan main, siapa yang paling patut memberi hukuman? kalau kita menjawab si fasilitator, itu berarti kita masih berfaham “kekuasaan” karena apa pun yang dilakukan fasilitator dianggap benar, mulai dari memberi hukuman sampai memberi hadiah. Menurut saya, yang paling patut untuk segera berubah atau memperbaiki diri adalah si pelanggar. Kita sebagai fasilitator cukuplah memfasilitasi yang bersangkutan untuk sampai pada kesadaran itu.

Sudah adakah kini gambaran yang lebih jernih tentang konsep “hukuman” dalam kisah tadi? Intinya bahwa segala pelanggaran aturan main yang berpotensi menghambat pencapaian tujuan (individu maupun kelompok) perlu disadari oleh yang bersangkutan, untuk kemudian dilakukan sebuah perwujudan penyesalannya. Wah kelihatannya idealis, memang, tapi itu memungkinkan, kok, kita lakukan. Syaratnya yha kita sebagai fasilitator punya konsep yang jernih (dan sehat) serta pengondisian aplikasi konsep tersebut pada peserta secara tepat sehingga iklim pelatihan yang terbentuk sangat kondusif, penuh kesadaran.

Orientasi atau sesi pembuka dalam suatu pelatihan, terutama yang berjangka panjang, berefek sangat menggoda. Orientasi yang baik bukanlah ajang sepihak dari fasilitator untuk menjelaskan larangan-larangan sekaligus hukumannya bagi pelanggar tata tertib. Kadang demi alasan mempercepat proses, sehingga lebih cepat juga masuk ke materi utama, kita kurang mengolah sesi orientasi ini dengan maksimal. Padahal ketika kita bisa memberi pendasaran yang tepat pada peserta terhadap konteks kegiatan, materi, dan fasilitator, itu akan sangat mempengaruhi cara pandang peserta terhadap proses, termasuk jika nanti ada metode yang dianggap aneh-aneh. Ketika peserta sudah berpandangan positif terhadap fasilitator dan aturan main yang dirumuskan bersama, maka artinya peserta dan fasilitator  sudah pada jalur yang benar untuk mencapai sasaran dengan efektif dan efisien. Memang kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya, …

Selamat menggoda.

Agustinus Susanta,
Palembang, 15 Juni 2011