yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Minggu, 15 November 2015

Perlukah Saya Ikut Sertifikasi? (bagian 1 dari 2)

BINGUNG, AH....
Seorang  teman sedang bingung, apakah dia perlu mengambil uji kompetensi profesi fasel (fasilitator experiential learning) pada akhir bulan ini. Kebingungan tersebut seakan menjadi wabah yang menular pada rekan lain yang juga ikut bingung, baik secara terencana maupun takterencana. Lho, bingung kok direncanakan sih, bikin bingung saja. Lebih bingung lagi, antar dua teman tadi sebenarnya tidak ada hubungan langsung selain bingung mau ambil sertifikasi atau tidak. Oh, ya, supaya tidak kepanjangan, istilah “uji kompetensi profesi fasilitator experiential learning” dalam konteks tulisan ini, kita singkat saja menjadi “sertifikasi.”



Celakanya, wabah itu juga menular pada saya. Saya menulis ini dalam rangka menularkan kebingungan juga nih. Saya bingung bagaimana cara mengatasi kebingungan beberapa teman tadi. Pokok kebingungan saya adalah bagaimana cara yang efektif dan (terlihat agak) ilmiah untuk menuntaskan kebingungan tersebut. Ah… muter-muter, tambah bingung saja.
Semoga anda, pembaca, tak tertular virus bingung tersebut. Seandainya tertular pun, ya gimana ya… bingung juga saya.

5 Level Kebingungan

Jika diurai, sejatinya akar kebingungan itu adalah jawab atas pertanyaan, “Apakah saya perlu ikut sertifikasi”. Ya, akarnya perbingungan itu adalah itu.

Sandainya sudah ada jawaban atas kebingungan tersebut pun, yaitu TIDAK PERLU IKUT, maka selesai sudah urusan kita. Namun seandainya jawabnya adalah PERLU ikut, bukan berarti kebingungan kita tuntas; ternyata masih ada kebingungan level 2 lho, yaitu  “Apakah saya perlu ikut sertifikasi tahun 2015 ini, atau nanti tahun 2016 atau setelahnya?

Seandainya juga bingung level 2 tadi sudah lewat dengan jawaban, “ya saya akan ikut sertifikasi tahun 2015 ini.” Ternyata masih ada lagi lho bingung versi tiganya, yaitu. “Pada level mana saya akan sertifikasi? Muda, Madya, atau Utama?”

Hfhhhh….. yuk berandai-andai saja…. Semisal terjawab sudah kategorinya, yakni tingkat MADYA, sudah terbebaskah kita dari segala kebingungan sertifikasi? O’o’ jangan lega dahulu, masih ada level lanjutannya, yaitu bingung  tahap 4 yakni, “Bagaimana saya harus memersiapkan diri untuk sertifikasi?”
Alamakkkk…. masih berlanjut lagi…

Namun saya punya kabar gembira, teman-teman; karena justru bingung level 4 ini sudah ada obat penawarnya, yaitu catatan saya yang berjudul “Ribet nggak Ribet Uji Kompetensi Fasel.”.

Tautannya ada di sini nih, tak perlu bingung lagi

Maka bagi yang tidak mengalami, atau sudah melewati 3 level bingungnya, bisa langsung meluncur ke “sana” untuk mencari obat penawar bingung tingkat 4.  Pada catatan tersebut sudah dijlentrehkan serba serbi memersiapkan diri ikut sertifikasi, mulai dari persyaratan sampai berkas yang harus disertakan dalam sertifikasi.

Sebagai bentuk keseimbangan, maka selain ada kabar gembira, biasanya juga ada kabar getir yang ternyata menjelma menjadi kebingungan tingkat 5, yaitu, “Bagaimana sih jalannya sertifikasi itu?” Nah, looo.

Tapi sebenarnya nih, sebenarnya kita nggak perlu bingung sih tentang bagaimana jalannya sertifikasi itu. Justru yang lebih berhak bingung itu sebenarnya teman-teman di LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi), Asesor/ penguji, serta panitia lokal di TUK (Tempat Uji Kompetensi). Namun saya yakin, mereka memilih tidak bingung lagi dalam menyiapkan dan menjalankan sertifikasi ini. Seandainya pun pernah ada sejarah bingung dalam proses membebaskan kebingungan dalam internal tiap pihak, biarlah itu menjadi memori manis mereka yang tak perlu kita bingungkan. Lha wong bingung kita saja sudah mencapai level 5, kok ya masih mau bingung ngurus kebingungan milik orang lain yang sekarang sudah tak bingung lagi.

Yakinlah, pihak LSP, Asesor, dan Panitia Lokal akan dengan senang hati dan sambil menyunggingkan senyum di mulut (emang ada lagi tempat selain mulut untuk disungginggi senyum) menyambut kita para asesi (peserta yang akan diuji kompetensinya). Mungkin dalam hati kita justru khawatir, “Weh, mereka menyambut kedatangan kita para asesi dengan senyum merekah, padahal besok mereka akan menjadi penguji yang, hiiii…..”

Kembali pada kebingungan tingkat 5, yaitu, “Bagaimana sih jalannya sertifikasi itu?” sebenarnya klaim itu sebagai pernyataan kegetiran dan pesimistis nggak valid juga, cenderung absurd malah, karena apa? Karena saya sesungguhnya punya bocoran bagaimana sebetulnya proses sertifikasi tersebut. Nah, apakah nanti bocoran tersebut akan saya tuliskan di sini atau entah di mana, itu urusan yang lain lagi. Nanti kita lihat lah setelah saya coba tawarkan obat penawar kebingungan level 1 sampai 3 dahulu.

Yuk kita kembali ke kebingungan mendasar teman saya tadi. Apa tadi kebingungan tingkat pertama? Ya, “Apakah saya perlu ikut sertifikasi?”

Imajinasi Mulia yang Buyar

Nah, ceritanya saya mau bikin semacam kuisioner untuk mengatasi kebingungan level pertama ini. Pengalaman saya yang kebetulan jadi dosen arsitek sejak tahun 2001 dan sudah pernah bikin ratusan tes/ soal ujian menambah Pede pada niatan mulia ini. Niat membantu mengentaskan kebingungan teman-teman. Imajinasi saya sih akan ada sekian penyataan/ pernyataan dengan beberapa jawaban tertutup tentang “Apakah saya perlu ikut sertifikasi?” Jika kuisioner itu dijawab/ diisi, maka akan ada perhitungan skor yang  menunjukkan apakah si pengisi perlu ikut sertifikasi atau tidak. Atau model lainnya, akan keluar prosentase seberapa perlu yang bersangkutan ikut sertifikasi. Cieee…. Hebat nian ya imajinasinya. Hanya dengan mengisi kuisioner, seseorang bisa mendapat panduan paten apakah dia perlu ikut sertifikasi atau tidak.

Sayang semilyar sayang, imajinasi tersebut tak kunjung terwujud karena ternyata saya malah bingung gimana cara bikinnya. Suer, saya sudah seminggu terakhir ini saya memikirkan pernyataan/ pertanyaan untuk kuisioner tersebut. Namun apa lacur, nggak ada formasi pernyataan/ pertanyaan dan jawaban yang memuaskan hati saya sendiri. Daripada saya ikut parah terlanda virus bingung, saya menyadarkan diri dan memasukkan mindset bahwa saat ini mustahil motivasi seseorang untuk ikut sertifikasi diukur secara kuantitatif dengan angka-angka.

Ya sudahlah, setelah saya insyaf; untuk mengobati kebingungan saya sekaligus kebingungan teman saya tersebut, saya coba bikin obat bingung dengan uraian-uraian yang saya coba singkat-singkatkan saja. Lho, gimana sih, uraian kok malah singkat. Sudahlah jangan ikut bingung akan hal itu, biarlah cukup saya yang bingung akan hal itu. Semoga catatan saya nanti bisa menginspirasi para pembaca yang menderita bingung level satu tadi. Sukur-sukur bisa sampai mengobati kebingungan level 2,3,4, dan 5, siapa tahuuuuu….


F,A,S,E,L; Obat Bingung nan Mujarab

Gini, pertanyaan “Apakah saya perlu ikut sertifikasi?” Hanya memunyai 2 jawaban final, yaitu PERLU atau TIDAK PERLU, setuju? Setujuuuuu….. Bagi mereka yang menjawab YA pada kesempatan pertama pertanyaan ini terngiang, sebetulnya sudah bisa loncat ke paragraf selanjutnya, untuk menikmati kebingungan berikutya. Bagi yang langsung mantap bilang NGGAK PERLU, sebenarnya juga nggak usah diteruskan mbaca artikel ini, buang-buang waktu saja.

Nah yang bikin bingung itu khan ketika pertanyaan yang sama terngiang makin lantang dari hari ke hari di benak, sementara hati dan pikiran tak kunjung dapat jawaban, perlu tidak perlu tidak perlu tidak perlu tidak perlu tidak…... Kalo lagu itu ada yang berjudul “Antara Anyer dan Jakarta,” nah dalam kasus ini ada lagunya juga, “Antara perlu atau tidak perlu.” Atau “Antara bingung dan sangat bingung,” nah lo.

Sekarang mulai serius nih… dari tadi bahas bingang bingung melulu tanpa ada solusi yang tak membingungkan. Saya tawarkan obat antibingung level 1 nih, tentang “Apakah saya perlu ikut sertifikasi,” dengan format F-A-S-E-L. Yuk, segera saja kita nikmati seperti apa itu formula F,A,S,E,L?  Benarkah itu berkhasiat menghilangkan kebingungan kita?

FAHAMI

Yuk, kita fahami, apa itu profesi fasel. Ya, fasel ini sudah resmi disahkan pemerintah menjadi suatu profesi sejak bergulirnya Uji Kompetensi Profesi Fasel angkatan I, pada 24 Maret 2015 lalu.

Apa itu profesi? Menilik dari pengertiannya, "Profesi" mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya dari "sekedar pekerjaan" lainnya, yaitu:
  1. Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis; Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar pada pengetahuan tersebut, dan bisa diterapkan dalam praktik.
  2. Pendidikan yang ekstensif; Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi.
  3. Asosiasi profesional; Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisir oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya. Organisasi profesi tersebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.
  4. Pelatihan institutional; Selain ujian, juga biasanya calon peserta harus ikut pelatihan/ orientasi institusional untuk mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi tersebut. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.
  5. Ujian kompetensi; Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.
  6. Lisensi; Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi, sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.
  7. Otonomi kerja; Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar dari intervensi pihak luar.
  8. Kode etik; Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.
  9. Mengatur diri; Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.
  10. Layanan publik dan altruisme; Pendapatan/ penghasilan dari kerja profesi dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, misalnya layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat, atau layanan guru yang berkontribusi terhadap pendidikan masyarakat.
  11. Status dan imbalan yang tinggi; Profesi yang sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi masyarakat.


Profesi FASEL jelas berdasar pada pengetahuan teoritis dan ketrampilannya dalam bidang pembelajaran bisa dipraktikkan. Fasel ini mirip guru yang membelajarkan siswa. Jika guru membelajarkan siswa dengan metode konvensional di jalur formal, sekolah, maka fasel membelajarkan dengan metode “pengalaman” dengan tempat yang lebih fleksibel.

Memang, di Indonesia profesi fasel relatif masih baru belum mantap mendapat porsi pembelajaran dalam pendidikan formal, khusunya di tingkat perguruan tinggi. Namun, di negara-negara maju, aktivitas experiential learning sudah melahirkan banyak master dan doktor di bidangnya. Artinya secara holistik, sudah ada jenjang pendidikan yang mendukung profesi fasel.

Apakah fasel memunyai organisasi profesi? Mari kita tengok sekelumit profesi lainnya sebagai contoh. Dokter punya IDI, Ikatan Dokter Indonesia, Arsitek punya IAI, Ikatan Arsitek Indonesia. Bidan punya IBI, Ikatan Bidan Indonesia. Ahli konstruksi punya ATAKI, Asosiasi Tenaga Ahli Konstruksi Indonesia. Ahli Boga punya IKABOGA, Ikatan Ahli Boga Indonesia, Akuntan punya IAI, Ikatan Akuntan Indonesia. Fasel pun demikian, AELI/ Asosiasi Experiential Learning Indonesia adalah organisasi profesi para fasel.

Tak sembarang lembaga/ orang bisa menjadi anggotanya, lho. Syarat utama anggota asosiasi ini adalah minat pada experiential learning. Syarat lanjutan sebelum dikukuhkan menjadi anggota organisasi profesional fasel adalah kewajiban mengikuti pelatihan/ orientasi tentang experiential learning. Dalam programnya, AELI pun merencanakan pelatihan secara berjenjang guna mendukung fasel makin professional dalam berkarya. Pokoknya, seru deh, cara mengembangkan diri sebagai fasel melalui AELI.


Wah, ternyata secara legal, administratif dan normatif, fasel memang sudah berada pada jalur yang tepat dan mantap menjadi suatu profesi. Yang jelas, sebagaimana profesi lain yang prestisius, menjadi fasel yang professional bukanlah proses yang instan, apalagi bisa dibeli. Jika ada yang berpikir sertifikat fasel itu bisa dibeli, maka saya sarankan langsung saja masuk ke tahap akhir formula F,A,S,E,L dengan jurusan “Lupakan.”

------------bersambung ke bagian 2---------------

Perlukah Saya Ikut Sertifikasi? (bagian 2 dari 2)

--------bagian kedua dari catatan berjudul "Perlukah Saya Ikut Sertifikasi? ---------


ANGAN


Nyaris semua pekerjaan atau profesi dimulai dari motivasi pelakunya. Bahwa ada yang direncanakan dan dipersiapkan secara serius dalam waktu panjang, atau sekedar “kecelakaan nasib,” itu sangat jamak terjadi. Yang jelas ada motivasi atau angan yang dikelola di sana ketika seseorang memilih atau menjalani suatu pekerjaan atau profesi.
Sebelum kita masuk lebih jauh dalam sertifikasi ini, baiklah kita berangan-angan atas diri kita dengan pertanyaan sederhana. “Apa sih yang saya angankan usai ikut sertifikasi?” berbagai alternatif jawabnya misalnya:

  • Sekedar ikut trend atau dipaksa, saya tidak tahu sebenarnya untuk apa saya ikut sertifikasi. Lho.
  • Supaya menaikkan nilai jual saya sebagai instruktur outbound.  Honornya lebih besar khan? Apa iya?
  • Saya takut provider saya ditutup pemerintah gara-gara tidak punya sertifikasi; kalau punya khan amaaaannn. Oh ya?
  • Supaya tahu kualitas diri saya saja, kalau digunakannya sih nggak tahu juga. Halllah.
  • Saya takut ditolak klien gara-gara tidak menyertakan salinan sertifikat saat mengajukan penawaran/ proposal. Klien khan sudah diedukasi AELI supaya pake fasel yang bersertifikat saat outbound. Takuuuttt…
  • Saya sungguh-sungguh ingin mengembangkan diri dengan berprofesi sebagai seorang fasel, maka saya selalu ingin mengembangkan kemampuan diri, salah satunya dengan program sertifikasi. Ah, alangkah mulianya diriku.
Yakinlah, masih banyak kemungkinan jawab yang lain, baik yang masuk akal, maupun yang masuk angin, alias ngaco. Ya namanya angan atau motivasi ya boleh saja beda-beda tiap orang. Maka mari kita sederhanakan saja urusan motivasi dan angan kita.

Ijinkan saya mengutip 4 kuadran Kiyosaki untuk menempatkan posisi profesi fasel dikaitkan dengan sertifikasi.


Posisi fasel ada di 2 kemungkinan kuadran, yaitu E/ Employee, atau S/ Self Employed. Ketika berada di E, maka, fasel (termasuk yang bersertifikat) hanyalah seorang pekerja/ karyawan/ pegawai yang bekerja pada pihak lain (orang/ lembaga). Jika ada di kuadran S, fasel sejenis dengan profesi lainnya, misal: dokter, pengacara, arsitek, atau akuntan. Dokter, dia punya keahlian dan bisa buka praktik sendiri. Fasel punya kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat; maka sebenarnya dia bisa “buka praktik” atau menawarkan jasanya pada pihak yang akan secara langsung menggunakan kompetensinya, misalnya pada perusahaan yang hendak melakukan pelatihan berbasis experiential learning. Namun jika entah itu dokter, arsitek, penacara, juga fasel bekerja untuk sebuah institusi, maka pada saat itu mereka sedang masuk ke kuadran E/ employee. Tak perlu bingung ya, bahwa seseorang bisa masuk dalam lebih dari 1 kuadran.

Bukankah tanpa sertifikasi, seorang instruktur outbound bisa saja masuk ke kuadran S, B, atau I? iya bisa juga sih, tetapi yang lagi kita omongkan khan tentang sertifikasi. Jadi, maksudnya sejauh mana atau sedekat apa sih sertifikasi itu bisa menginspirasi angan kita dalam berkarya.

Pendeknya begini, ketika punya sertifikat fasel, maka:
  • Seorang fasel yang berada di kuadran E, akan makin dihargai oleh perusahaannya, dalam arti sempit, honor/ gajinya semestinya akan beda dengan tenaga yang belum tersertifikasi.
  • Seorang fasel yang berada di kuadran S, semestinya akan makin percaya diri dalam “berpraktik,” dan semestinya juga berhonor lebih tinggi dari instruktur yang belum berlisensi.
  • Seorang fasel yang berada di kuadran B, semestinya akan makin dihargai staf, kolega, dan klien, karena dia memang ternyata kompeten dalam bidang yang diusahakannya.
  • Seorang fasel yang berada di kuadran I, bisa makin tenang dan diperhitungkan saat berinvestasi dalam bisnis experiential learning, kenapa? Karena sebaiknya investor memodali bisnis yang seluk beluknya dia pahami prinsipnya.

Memang  semua tadi itu hitung-hitungan di atas kertas atau di atas layar laptop, apakah kenyataannya begitu? Oh, itu tergantung pada banyak hal, namun hal yang paling menentukan adalah bagaimana kita berpikir dan bersikap, dan itu juga berlaku untuk semua profesi. Kompeten tetapi pasif, tidak kreatif lagi, biasanya ya sulit berkembang. Namun jika sudah kompeten, kreatif, aktif lagi, niscaya deh kita akan bersukacita menikmati hidup ini, walau harus dengan kerja keras yang ditimpa kerja cerdas.

Nah, kita sekarang ada di kuadran mana? Dan angan kita mengijinkan kita akan bagaimana? Yang jelas, jika ada yang berpikir bahwa dengan sertifikat fasel kita bisa ujug-ujug sukses di Kuadran E, atau bahkan B, apalagi I, bisa meraup sekian banyak rupiah dengan mudah, maka saya sarankan langsung saja masuk ke tahap akhir formula F,A,S,E,L dengan jurusan “Lupakan.”

STANDAR


Tak masalah jika ada seorang guru, psikolog, dosen, atau bahkan mahasiswa yang ambil  sertifikasi profesi fasel.  Tak masalah pula jika saat ini bukanlah “apa-apa” dalam sebuah profesi/ pekerjaan tertentu. Yang berpotensi jadi masalah adalah ketika si fasel tadi tak punya lisensi, alias surat keterangan berkarya. “Ah, itu khan urusan legalitas saja, yang penting khan kualitasnya, nggak usah dibuat bingung lah.” Barangkali semacam itulah pernyataan sinis dari sebagian pegiat experiential learning yang abai dengan lisensi.

Benar, lisensi itu “hanyalah” selembar kertas sertifikat atau kartu anggota. Namun ingat, yang kita bicarakan ini adalah profesi lho, yang terikat dengan berbagai ketentuan yang di dalamnya juga melibatkan peran pemerintah dan asosiasi profesi.

Apakah fasel punya lisensi? Jelas dong. Hal inilah yang kita kenal sebagai uji kompetensi profesi fasel. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI melalui  keputusan nomor : KEP 329/MEN/XII/2011, sudah menetapkan  Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Pariwisata bidang kepemanduan outbound / fasilitator experiential learning, menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia / SKKNI. Inilah yang menjadi dasar penerbitan lisensi fasel. 9 kompetensi yang diatur di dalamnya adalah:

  1. Merencanakan Kegiatan Program Rekreasi
  2. Merencanakan Kegiatan Program Pembelajaran
  3. Mengatur Sumber Daya Program
  4. Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Rekreasi
  5. Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Pembelajaran
  6. Melakukan Pemanduan Kegiatan Tali Rendah
  7. Melakukan Pemanduan Kegiatan Tali Tinggi
  8. Menganalisa Resiko dalam Kegiatan
  9. Menolong Korban

Sembilan kompetensi tadi harus dikuasai oleh fasel yang berlisensi Utama, sedangkan untuk fasel tingkat  Madya, tanpa kompetensi Merencanakan Kegiatan Program Rekreasi & Merencanakan Kegiatan Program Pembelajaran. Bagi Fasel Muda, kompetensinya dikurangi lagi dengan Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Pembelajaran.

Nah, sebelum kita menguji diri dengan 9 kompetensi tadi, maka AELI menetapkan standar normatif bagi calon asesi, yaitu minimal lulus SMA/ Sederajat, atau lulusan SMP dengan pengalaman bekerja minimal 10 tahun.
Untuk mengambil tingkatan fasel, juga ada syaratnya, yaitu:
-          Fasel Muda: Pengalaman 2 tahun dan 10 kegiatan.
-          Fasel Madya: pengalaman 5 tahun dan 10 kegiatan pelatihan.
-          Fasel Utama: pengalaman 7 tahun dan 10 kegiatan pelatihan sebagai pembuat program.

Fasel yang sudah lolos sertifikasi akan mendapat sertifikat dari pemerintah melalui BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi), juga kartu “ijin operasional”nya. Sertifikat ini perlu diperbaharui setiap 3 tahun.

“Sesederhana” itulah standar asesi dan kompetensi seorang fasel. Yang jelas, jika ada yang berpikir bahwa dengan sertifikat fasel kita bisa “mempermainkan” kualitas program experiential learning, maka saya sarankan langsung saja masuk ke tahap akhir formula F,A,S,E,L dengan jurusan “Lupakan.”


ETIKET


Tahapan E, atau Etiket ini menjadi tahap keempat sebelum kita mengambil keputusan di tahap akhir. Sebagaimana profesi prestisius lainnya, fasel pun harus punya tatanan etiket yang sering disebut sebagai kode etik. Apa itu kode etik? Kode etik adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan kehidupan sehari-hari. Secara umum, kode etik suatu profesi akan menjadi pedoman prilaku/ etiket anggotanya supaya hidup selaras dengan keluhuran dan kemanfaatan profesinya.

Apakah fasel sudah memunyai kode etik? Tenang saja, saat ini, AELI sedang menggodok kode etik fasel, dan saya yakin tahun depan kode etik tersebut sudah diundangkan.
Sebagai perbandingan saja, kita bisa menengok kode etik profesi yang mendekati karakter fasel, yaitu guru dan dosen. Saya ngeri untuk mencupliknya di sini karena begitu luhur dan mulia kode etik tersebut. Saya salinkan saja salah satu turunannya berupa 20 poin “tata tertib guru mengajar,” yang dipampangkan dengan jelas di dinding sebuah sekolah. Salah duanya berbunyi, “Bersikap dan berperilaku sebagai pendidik” dan “Tidak diperbolehkan merokok di dalam kelas/ tatap muka.”

Saya tak tahu apakah tata tertib tersebut berlaku secara nasional, atau hanya milik SD tersebut saja. Saya tak tahu juga apakah kode etik guru/ dosen kerap berganti seiring pergantian menteri yang mengurus pendidikan di negeri ini. Namun yang saya tahu, kode etik, seberapa pun terasa berat aplikasinya, dibuat untuk dilaksanakan guna memuliakan profesi. Sanggup nggak ya, kita nanti menjalankan kode etik fasel?

Yang jelas, jika ada yang berpikir bahwa dengan sertifikat fasel kita bisa bertindak semaunya hantam sana sini seenak jidatnya tanpa memedulikan kode etik, maka saya sarankan langsung saja masuk ke tahap akhir formula F,A,S,E,L dengan jurusan “Lupakan.”



LUPAKAN! atau LANJUTKAN! 

Ayo, bagi yang sedang memelihara bingungnya, makin jelas ya, bahwa ikut sertifikasi adalah gerbang menuju sebuah profesi (baru) bagi kita. Karena namanya sudah profesi, bukan sekedar “pekerjaan,” maka tentu saja ada berbagai konsekuensi atas keprofesian kita tadi. Sebagian sudah kita bahas khan, jadi janganlah berbingung ria lagi.

Setelah menimbang masak-masak 4 proses sebelumnya dalam formula F,A,S,E,L; Fahami, Angan, Standar, dan Etiket, tibalah kita pada tahap terakhir pemutus kebingungan kita. L. tanpa uraian, langsung saja saya sediakan 2 pilihan akhir yang juga diawali dengan “L”, yaitu Lupakan, atau Lanjutkan.

Aihhh…. Ternyata sudah panjang saya menorehkan catatan hanya untuk mengobati berbagai kebingungan teman-teman saya. Sebagai penutup catatan ini, mari kita koleksi kembali 5 tingkat kebingungan kita, dengan pertanyaan pembingung sebagai berikut:
  1. Perlukah saya ikut sertifikasi?
  2. Apakah saya perlu ikut sertifikasi tahun 2015 ini, atau nanti tahun 2016 atau setelahnya?
  3. Pada level mana saya akan sertifikasi? Muda, Madya, atau Utama?
  4. Bagaimana saya harus memersiapkan diri untuk sertifikasi?
  5. Bagaimana sih jalannya sertifikasi itu?
Semoga catatan saya ini bisa menginspirasi para pembaca yang menderita bingung level satu tadi; Sukur-sukur bisa sampai mengobati kebingungan level 2,3,4, dan 5, siapa tahuuuuu….

Bagaimana dengan kemungkinan saya membocorkan rahasia besar nomor lima? Ah saya jadi bingung jadinya. Daripada bingung-bingung, mending saya akhiri catatan edisi ini.



Palembang, 16 November 2015



Jumat, 06 November 2015

PLAYON; Pelatihan berbasis Permainan

Serius, sudah bosan dengan pelatihan yang kelewat serius?

Jangan main-main, ah, itu tentu hal yang perlu dicarikan solusi secara serius.

Pada dasarnya, manusia adalah homo ludens atau makhluk bermain.
Aktivitas pekerjaan yang rutin dilakukan sering membuat karyawan jenuh, bosan, dan pada akhirnya menurunkan kontribusi bagi perusahaan. Pelatihan adalah salah satu solusi terumum untuk mengatasinya. 
Namun, jelas suatu pemborosan, jika pelatihan yang bertujuan mulia meningkatkan kinerja dan motivasi tadi, justru dilakukan secara menjemukan nan membosankan.

Tak perlu khawatir,
Kami menyajikan berbagai inspirasi pelatihan yang menarik bin bermakna dalam catatan-catatan di blog ini, silakan dipelajari dan dipraktikkan.

Masih belum pas dengan karakter dan kebutuhan perusahaan?
Jangan pula khawatir, PLAYON siap untuk berbagi konsep pelatihan yang berbasis permainan; indoor/ inhouse maupun outdoor; disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. 

Pelatihan yang asyik karena serius bermain-main
Tema-tema favorit yang sering kami mainkan, eh, latihkan pada puluhan perusahaan besar klien kami misalnya: KERJASAMA, KOMUNIKASI EFEKTIF, KEPEMIMPINAN, dan KREATIVITAS.

Karena salah satu prinsip kami adalah bermain-main dengan serius, maka kami tak main-main dalam memersiapkan suatu pelatihan walau berbasis main-main.

Penggagas PLAYON merupakan Seorang Fasilitator Experiential Learning tingkat UTAMA yang sudah berpengalaman memfasilitasi lebih dari 340 event dengan lebih dari 22 Ribu peserta di lebih dari 40 tempat di Jawa, Sumatera dan Bangka Belitung. Segudang pengalamannya tersebut dituangkan dalam 5 buku bertema permainan/ pelatihan/ experiential learning/ outbound, yang sudah diterbitkan secara nasional.
 
Kolase 5 cover buku penggagas PLAYON

Puluhan contoh-contoh permainannyapun sudah ditayangkan melalui  aneka video permainan untuk pelatihan ini

Sekedar contoh pelatihan yang kami konsep misalnya:
atau
dan masih banyak lainnya yang bisa tertemukan dalam blog ini

Bagi yang serius untuk mengadakan pelatihan dengan format yang lebih asyik, silakan hubungi kami melalui.
08127397697/ playonsriwijaya@gmail.com

Kenapa? 
Karena pada dasarnya, manusia adalah homo ludens atau makhluk bermain.

Minggu, 01 November 2015

PELABUHAN BIRU; Tempat 7 Khasiat AELI Berawal


PELABUHAN BIRU; Tempat 7 Khasiat AELI Berawal.

Pelabuhan biru; ah, tempat yang eksotis cenderung romantis. Berada di bibir waduk Jatiluhur dengan dermaga kayu yang kokoh, dibalut kabut tipis yang menyelimutinya. Irama hempasan riak ombak menghempas teratur membuat suasana tambah syahdu. Sesekali satu dua orang melintas di kekokohan dermaga kayu itu menikmati suasana, sambil sesekali melempar pandangan pada pasangan yang duduk berdua di teras kedai kopi sebrang jalan dermaga. Tenang, damai, namun bertenaga. Itulah gambaran saya tentang Pelabuhan Biru. Tempat saya akan transit sebelum menyeberang ke Tanjung Astap untuk bertemu kawan-kawan dalam suatu acara AELI, 8 Juni 2013 lalu.

Bertolak dari Pelabuhan Biru; Serunya ya Rame-rame gini
Usai berganti moda transportasi dari Bus Damri Bandara –Purwakarta ke angutan desa, sampailah saya ke kompleks waduk Jatiluhur yang nan melegenda tersebut. Ini kali pertama saya ke sana akibat “terprovokasi” undangan dari AELI untuk obrolan tentang mengombinasikan metode experiential learning dan militer dalam suatu pelatihan. Ya, saat itu AELI rutin menyelenggarakan seminar series yang bertujuan pembagian pengalaman dalam berkegiatan berbasis experiential learning.

Masuk kompleks Waduk Jatiluhur sedikit mengobati kepenasaranan saya yang sudah lama mendengar dan membaca bahwa di lokasi tersebut menjadi pusat perkembangan training berbasis experiential learning di Indonesia. Saya sempatkan telpon ke Mas Ega sang sekjen AELI yang ternyata masih di perjalanan dari Bogor, namun mengonfirmasi bahwa sudah ada beberapa teman yang menunggu di Pelabuhan Biru. Hmmm…. Selama air waduk belum terlihat dan saya menyedokkan airnya, belum sah rasanya kunjungan ke Waduk Jatiluhur ini.

Berkat jasa pak sopir angkutan desa yang baik, sampailah saya di suatu perhentian tepi waduk. Ada kehebohan bak pasar malam di sana, walaupun itu siang hari bolong. Belasan bus besar terparkir di jalanan menumpahkan para penumpangnya yang berkegiatan di arena sekitar waduk. Suara musik organ tunggal menggebu-gebu menyeruak pendengaran ditimpa celotehan peserta yang riuh saat memainkan suatu dinamika kelompok. Agak maju lagi, ada arena permainan anak yang diseliweri puluhan anak tentunya. Dan jangan ditanya, di mana ada keramaian semacam itu, maka bapak ibu pedagang kecil pun bergerilya di sana.

Riuh, heboh, dan semarak. Ternyata, seperti itulah Pelabuhan Biru; meleset dari ekspektasi saya sebagai pendatang sangat baru. Oh… dimana dermaga kayunya?... Namun itu tak jadi soal, lagian ngapain memersoalkan perasaan yang nggak signifikan tersebut. Bukankah kita empu dari segala perasaan diri? Konyol khan kalo kita sedih gara-gara antarperasaan kita sendiri nggak akor?
Saya menyelami kehebohan suasana di Pelabuhan Biru tersebut dengan berjalan-jalan, melihat-lihat, namun tak tergoda untuk ikut main mobil-mobilan yang dipasang semi permanen di bibir waduk tersebut. Yang jelas menyedok air waduk adalah ritual yang krusial sebagai inisiasi bahwa saya sudah sampai di waduk yang legendaris tersebut.


Berdasarkan informasi Mas Ega sang sahabat setengah lama saya, bertemulah saya dengan beberapa penunggu acara di suatu warung. Lho kok sabahat setengah lama, ya iya sih, dibilang lama sekali nggak juga, dibilang baru kenal nggak juga. Di warung tersebut sudah ada beberapa teman yang rata-rata baru saya jumpai, namun sudah jadi teman, hebat khan, he he he…. Ada yang tinggi kurus, ada yang cenderung berkulit hitam, ada yang berambut gondrong, ada juga yang berkacamata lucu. Ada yang dari Depok, Jogja, Jakarta, Solo, Surabaya, dan ternyata saya yang paling jauh, dari Palembang.
Setelah perkenalan standar, maka bergabunglah saya dalam acara penantian teman-teman yang lain sambil tentu saja membaurkan obrolan dengan mereka. Rupanya beberapa orang sudah pernah bahkan sering bertemu dalam suatu program acara, termasuk di seputaran Waduk Jatiluhur. Pantaslah, kadang mereka tergelak ketika menceritakan kejadian lucu atau ironis yang pernah dilaluinya. Saya hanya bisa ikut menikmati perbincangan dan perkelakaran hangat tersebut.

Singkat cerita, rombongan Mas Ega datang, dan kami dijamu di salah satu warung sop yang katanya paling enak se Waduk Jatiluhur. Memang enak sih, panas, kemebul, dan aromanya menyeruak menggelitik rongga hidung dan menghantam lambung yang kosong. Namun yang lebih mengasyikkan adalah pertemuan dan perkelakaran dengan teman-teman baru yang sungguh akrab. Padahal saya baru ketemuan belum sampai 3 jam lho, namun kok sepertinya mereka kawan lama saja yang baru bersua kembali. Saya menduga karena kami bergerak di bidang yang sama, pelatihan, khususnya yang bermetodekan pengalaman/ petualangan/ permainan. Itulah yang membuat kami punya persamaan yang mendasar; sama-sama fasilitator experiential learning. Maka, ketika ada suatu obrolan yang secara sejarah saya tidak terlibat di dalamnya, namun secara konteks saya bisa memahaminya. Seru khan perjumpaan model gitu?

" Belum ke Jatiluhur kalo belum menikmati sop ini" ujar Mbak Dina.


Sore menjelang; setelah kami berjalan-jalan di kompleks Waduk Jatiluhur, dan tak lupa fota-foto dengan gaya narsis eksotis, maka acara penyeberangan pun dimulai; tentu saja dari pelabuhan biru yang  tenang, eh, ramai, dan ternyata tanpa dermaga kayu. Othok othock Othok othock Othok othock…. perahu melaju di punggung air Waduk Jatiluhur yang tenang beriak. Sungguh suasana yang mengagumkan diberi kesempatan untuk menikmatinya, tentu saja ditingkah cerita teman-teman baru tentang pengalaman mereka berkegiatan di situ. Asyik.

Setelah sekitar 40 menit berperahu, sampailah kami di Batu Cikapinis, lokasi pindahan tempat seminar series akhirnya digelar. Tim tuan rumah sudah menyambut kami dengan mendirikan tenda sebagai tempat beracara dan bermalam. Terimakasih ya Mas Robby Seahan, yang sudah menyiapkan itu semua.

Apa yang kami lakukan pertama kali di sana? Ya jalan-jalan lagi dengan fokus menaklukkan batu superbesar yang teronggok manis di sekitar lokasi. Duduk dan berbaring diatas batu mahabesar sambil memandang keluasan Waduk Jatiluhur yang ditebari keramba-keramba dan dibingkai bukit dan gunung di sekelilingnya sungguh pengalaman tak terbayangkan sebelumnya. Damai.
Singkat cerita, beberapa peserta seminar datang menyusul, dan setelah ritual mandi sore dan makan, dimulailah AELI seminar series. Mas Robby sebagai tuan rumah, dan kebetulan saat itu menjabat ketua AELI bertindak sebagai pemateri. Didampingi oleh Mas Inong, mereka memaparkan tips konseptual maupun tips praktis bagaimana bekerjasama dengan pihak militer dalam mengelola suatu pelatihan. Kebetulan pula saat itu Mas Robby sedang menangani pelatihan bagi pramuragi Garuda Indonesia selama 2 mingguan di Waduk Jatiluhur.

Batu Cikapinis nan legendaris, bikin para turis pengen narsis


Seminar dan diskusi berlangsung seru ditingkahi tanya jawab dan pembagian pengalaman dari peserta. Mas Arif berbagi pengalamannya dalam memfasilitasi berbagai pelatihan di seputaran Jawa Timur. Bang Gondrong yang dari Jogja memaparkan lika-liku kegiatan experiential learningnya. Kang Bije si kacamata lucu lebih banyak diam, namun sebenarnya dia menyimpan banyak cerita juga. Mas Bol yang asal Solo namun kerap bertualang di Jabodetabek tak kalah seru memprihatinkan kondisi dunia peroutboundan Indonesia. Pokoknya gayeng.

Suasana diskusi yang bersahaja namun bernas

Foto bareng fasel dari berbagai provinsi; hanya bisa di AELI nih.


Usai sesi materi resmi, obrolan dilanjut ke luar tenda dengan tema yang lebih beragam namun tetap seputaran kiprah AELI dan anggota-anggotanya. Camilan makanan tradisional mengiringi kegayengan obrolan kami yang berasal dari berbagai kota dan provinsi itu. Cicit serangga malam melengkapi latar belakang kedamaian waduk malam itu.

Lewat tengah malam, karena kami membatasi diri, sepakatlah kami untuk istirahat, zzzz… zzz…. Zzz….

Pagi hari, kami bertolak menuju Tanjung Astap, tempat Mas Robby berkegiatan dengan para pramugarinya. Kembali kami menikmati keindahan Waduk Jatiluhur dari atas perahu.

Di lokasi pelatihan, Mas Robby kembali seru bercerita tentang proses pelatihan. Kami diajaknya masuk ke tempat pelatihan, sekretariat, bahkan dapur pelatihan. Kami pun berkesempatan melihat peserta yang sedang berproses, sekaligus ngobrol dengan bapak-bapak tentara yang menjadi fasilitator.

Terus terang, saya takjub, eh, emangnya dalam cerita ini ada yang terus gelapkah? Ya, terus terang saya takjub karena sebelum kenal dengan AELI, tidak membayangkan bisa dibawa masuk ke salah satu provider terbesar di Indonesia yang bercokol di seputaran Waduk Jatiluhur yang legendaris. Tak sekedar masuk dan melihat-lihat lokasi, namun oleh sang pemilik malah diberi kesempatan untuk menyambangi pelatihan tingkat elite yang sedang berlangsung. Melihat peserta, bahkan berbincang langsung dengan para trainernya. Sungguh anugerah yang indah bagi seorang fasel dari daerah seperti saya.

Mas Marinir, sigap mengawasi pelatihan.

Ngopi ngopi...... ngobrol dan kelakar lagi tentunya


Saya menyadari, hal seperti itu hanya  bisa terwujud karena saya mengenal dan terlibat dalam beberapa kegiatan yang diselenggarakan AELI. Bagi fasel biasa, apalagi yang tidak tergabung dalam AELI, kayaknya itu hal mustahil deh. Cerita Kejayaan dan kesaktian pelatihan di Jatiluhur paling-paling didapat hanya dari cerita (mantan) instruktur, atau paling banter mantan peserta. AELI bisa mewujudkan impian itu karena memang hal yang disasar adalah pendidikan experiential learning bagi anggotanya. Pertemuan-pertemuan yang diadakan pertama-tama ditujukan untuk mengembangkan experiential learning sesuai dengan misi AELI.

Bagi yang belum mengenal AELI, sesuai pasal 3 Anggaran Dasarnya, asosiasi ini bertujuan:
  • Menjadi wadah dan mitra yang berkualitas bagi seluruh lembaga atau perorangan pengguna metode pelatihan berbasis pengalaman di Indonesia.
  • Sebagai Asosiasi pelaku pendidikan berbasis pengalaman yang terkemuka dan bertanggung jawab terhadap pengembangan kualitas masyarakat Indonesia;
  • Memasyarakatkan pelatihan berbasis pengalaman kepada masyarakat Indonesia;
  • Meningkatkan kualitas pelatihan pelatihan dan pendidikan berbasis pengalaman, sehingga menjadi metode pelatihan yang efektif dan diakui di Indonesia;
  • Meningkatkan kualitas pelaksana pelatihan berbasis pengalaman sehingga menjadi pelaksana pelatihan yang bertanggung jawab terhadap pengembangan manusia


Kita lanjut ceritanya yach.. Puas menyambangi pelatihan sembari dijamu ngopi di tepi waduk oleh Mas Robby, tibalah saatnya bagi kami untuk bertolak ke “daratan.” Ada kejadian unik yang dialami oleh kami yang sebagian besar sudah akrab dengan pelatihan di Jatiluhur. Saat semua peserta sudah masuk dalam perahu, spontan kami melajukannya ke perairan. Namun ternyata sang tukang perahu yang bantu mendorong kami dari darat malah ketinggalan. Eeeee….. masak yang punya perahu malah mau ditinggal? Ada-ada saja kami itu.

Kami bertolak menuju markas Pelopor Adventure Camp yang juga salah satu provider experiential learning terbesar di Indonesia. Di sana kami berkeliling menikmati camp yang bersebelahan dengan base camp Outward Bound Indonesia.

Lepas dari PAC, kembalilah kami meluncur dan merapat ke Pelabuhan Biru yang siang itu masih juga ramai, maklum, akhir pekan. Kami lalu “berziarah” ke markas lama Outward Bound Indonesia yang saat itu digunakan oleh ELF; Experiential Learning Facilitator, salah satu lembaga besar juga di kancah per-experiential learning-an Indonesia. Di sana kami lanjutkan obrolan penuh kelakar yang berbalutkan memori sebagian peserta akan kenangan di tempat tersebut. Seru, terimakasih Mas Indra dan Mbak Dina.

"Ziarah" Fasel

Menunggu diselesaikan tuh

Tak perlu diceritakanlah ya, jamuan dari ELF yang sangat mengenyangkan kami dengan santap siang dan kelapa mudanya. Lho ini sudah diceritakan….

Sore menjelang, tibalah bagi kami para peserta seminar dari berbagai provinsi untuk berpisah. Dua hari yang sangat mengesankan dan penuh makna serta manfaat. Mas Ega yang baik hati mengantar sebagian peserta keluar dari kompleks Waduk Jatiluhur yang segera menjadi kenangan, Daaaa….
Dalam perjalanan pulang, pun sampai saat ini, saya merenung-renung bahwa betapa beruntungnya saya berkenalan dengan Asosiasi Experiential Learning Indonesia. Beberapa manfaat ketika kita terlibat aktif dalam kegiatannya antara lain:
  1. Kita bisa belajar experiential learning dengan pengetahuan yang paten, dari sumber-sumber yang kompeten; mulai urusan yang filosofis nan konseptual sampai urusan teknis nan operasional.
  2. Kita bisa memerluas jaringan pertemanan akibat perjumpaan dengan teman-teman “seperjuangan” dari kota/ provinsi lain. Karena perjumpaan tersebut, maka …
  3. Kita, terutama yang dari daerah, bisa mendapat suntikan moral dan tambahan motivasi dalam menjalankan “bisnis” experiential learning, karena ternyata ada juga rekan yang “senasib” dengan kita. Akibat lanjutannya adalah….
  4. Kita bisa mendapat inspirasi, akan berbagai inovasi/ solusi dalam mengembangkan “bisnis” kepelatihan kita. Tak bisa dipungkiri, sebagian besar pendiri AELI dan generasi-generasi awal barisan DPP dan DPDnya adalah pembuat “tren” pelatihan berbasis experiential learning di Indonesia.
  5. Dalam era sertifkasi profesi fasel, menjadi anggota AELI berarti kita berada dalam gerbong terdepan dalam memeroleh informasi terkini terkait proses sertifikasi. Sebagai satu-satunya organisasi profesi fasilitator experiential learning di Indonesia, maka AELI pun dipercaya oleh pemerintah untuk menelurkan para asesor atau penguji uji sertifikasi fasel. Walaupun secara formal tim asesor itu tidak sama dengan AELI, namun  sejarah mencatat, bahwa para asesor lahir dari rahim AELI.
  6. AELI bisa menjadi tempat penyaluran dan pertukaran ide/gagasan/ pemikiran kita, khususnya dalam bidang experiential learning. Contoh sederhananya gini; kita misalnya punya suatu gagasan/ konsep pelatihan berbasis petualangan. Walau menurut kita sudah bagus, cobalah “lempar” gagasan tersebut pada rekan-rekan pegiat experiential learning yang tergabung dalam AELI, niscaya kita akan mendapat umpan balik untuk memerkaya atau memerdalam konsep kita tersebut.
  7. AELI menyediakan sarana untuk kita belajar dan mengembangkan kemampuan berorganisasi. Struktur organisasi AELI jelas, baik yang DPP maupun DPD; ada ketua umum, sekjen, bendahara, anggota. Rekrutmen anggota juga selalu dilakukan, dan itu pasti melibatkan relasi dengan banyak pihak dan lembaga-lembaga di daerah. Sungguh suatu wadah yang sehat untuk berorganisasi, dengan tujuan yang mulia.


7 manfaat itu bukan tanpa alasan saya kemukakan; yang jelas, pengalaman saya menyimpulkan demikian. Teman-teman yang ingin tahu lebih lanjut tentang 7 khasiat aktif di AELI, terutama dikaitkan dengan pengalaman pribadi saya sebagai fasel, silakan ikuti tulisan saya berikutnya, “Pelabuhan Baru.”

d a m a i


Untuk sementara kita tinggalkan Pelabuhan Biru, tempat para pioneer fasilitator experiential learning biasa bertolak ketika membuat tren pelatihan berbasis experiential learning di Jatiluhur. Tempat inspirasi sinergi para pegiat experiential learning di Indonesia berawal. 

Entah kini apakah sudah ada dermaga kayu nan kokoh di sana.


Palembang, 2 November 2015.
Agustinus Susanta, Fasel Utama No. Reg. PAR.103.00649.2015, Ketua DPD AELI Sumatera Selatan.