yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Minggu, 15 November 2015

Perlukah Saya Ikut Sertifikasi? (bagian 2 dari 2)

--------bagian kedua dari catatan berjudul "Perlukah Saya Ikut Sertifikasi? ---------


ANGAN


Nyaris semua pekerjaan atau profesi dimulai dari motivasi pelakunya. Bahwa ada yang direncanakan dan dipersiapkan secara serius dalam waktu panjang, atau sekedar “kecelakaan nasib,” itu sangat jamak terjadi. Yang jelas ada motivasi atau angan yang dikelola di sana ketika seseorang memilih atau menjalani suatu pekerjaan atau profesi.
Sebelum kita masuk lebih jauh dalam sertifikasi ini, baiklah kita berangan-angan atas diri kita dengan pertanyaan sederhana. “Apa sih yang saya angankan usai ikut sertifikasi?” berbagai alternatif jawabnya misalnya:

  • Sekedar ikut trend atau dipaksa, saya tidak tahu sebenarnya untuk apa saya ikut sertifikasi. Lho.
  • Supaya menaikkan nilai jual saya sebagai instruktur outbound.  Honornya lebih besar khan? Apa iya?
  • Saya takut provider saya ditutup pemerintah gara-gara tidak punya sertifikasi; kalau punya khan amaaaannn. Oh ya?
  • Supaya tahu kualitas diri saya saja, kalau digunakannya sih nggak tahu juga. Halllah.
  • Saya takut ditolak klien gara-gara tidak menyertakan salinan sertifikat saat mengajukan penawaran/ proposal. Klien khan sudah diedukasi AELI supaya pake fasel yang bersertifikat saat outbound. Takuuuttt…
  • Saya sungguh-sungguh ingin mengembangkan diri dengan berprofesi sebagai seorang fasel, maka saya selalu ingin mengembangkan kemampuan diri, salah satunya dengan program sertifikasi. Ah, alangkah mulianya diriku.
Yakinlah, masih banyak kemungkinan jawab yang lain, baik yang masuk akal, maupun yang masuk angin, alias ngaco. Ya namanya angan atau motivasi ya boleh saja beda-beda tiap orang. Maka mari kita sederhanakan saja urusan motivasi dan angan kita.

Ijinkan saya mengutip 4 kuadran Kiyosaki untuk menempatkan posisi profesi fasel dikaitkan dengan sertifikasi.


Posisi fasel ada di 2 kemungkinan kuadran, yaitu E/ Employee, atau S/ Self Employed. Ketika berada di E, maka, fasel (termasuk yang bersertifikat) hanyalah seorang pekerja/ karyawan/ pegawai yang bekerja pada pihak lain (orang/ lembaga). Jika ada di kuadran S, fasel sejenis dengan profesi lainnya, misal: dokter, pengacara, arsitek, atau akuntan. Dokter, dia punya keahlian dan bisa buka praktik sendiri. Fasel punya kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat; maka sebenarnya dia bisa “buka praktik” atau menawarkan jasanya pada pihak yang akan secara langsung menggunakan kompetensinya, misalnya pada perusahaan yang hendak melakukan pelatihan berbasis experiential learning. Namun jika entah itu dokter, arsitek, penacara, juga fasel bekerja untuk sebuah institusi, maka pada saat itu mereka sedang masuk ke kuadran E/ employee. Tak perlu bingung ya, bahwa seseorang bisa masuk dalam lebih dari 1 kuadran.

Bukankah tanpa sertifikasi, seorang instruktur outbound bisa saja masuk ke kuadran S, B, atau I? iya bisa juga sih, tetapi yang lagi kita omongkan khan tentang sertifikasi. Jadi, maksudnya sejauh mana atau sedekat apa sih sertifikasi itu bisa menginspirasi angan kita dalam berkarya.

Pendeknya begini, ketika punya sertifikat fasel, maka:
  • Seorang fasel yang berada di kuadran E, akan makin dihargai oleh perusahaannya, dalam arti sempit, honor/ gajinya semestinya akan beda dengan tenaga yang belum tersertifikasi.
  • Seorang fasel yang berada di kuadran S, semestinya akan makin percaya diri dalam “berpraktik,” dan semestinya juga berhonor lebih tinggi dari instruktur yang belum berlisensi.
  • Seorang fasel yang berada di kuadran B, semestinya akan makin dihargai staf, kolega, dan klien, karena dia memang ternyata kompeten dalam bidang yang diusahakannya.
  • Seorang fasel yang berada di kuadran I, bisa makin tenang dan diperhitungkan saat berinvestasi dalam bisnis experiential learning, kenapa? Karena sebaiknya investor memodali bisnis yang seluk beluknya dia pahami prinsipnya.

Memang  semua tadi itu hitung-hitungan di atas kertas atau di atas layar laptop, apakah kenyataannya begitu? Oh, itu tergantung pada banyak hal, namun hal yang paling menentukan adalah bagaimana kita berpikir dan bersikap, dan itu juga berlaku untuk semua profesi. Kompeten tetapi pasif, tidak kreatif lagi, biasanya ya sulit berkembang. Namun jika sudah kompeten, kreatif, aktif lagi, niscaya deh kita akan bersukacita menikmati hidup ini, walau harus dengan kerja keras yang ditimpa kerja cerdas.

Nah, kita sekarang ada di kuadran mana? Dan angan kita mengijinkan kita akan bagaimana? Yang jelas, jika ada yang berpikir bahwa dengan sertifikat fasel kita bisa ujug-ujug sukses di Kuadran E, atau bahkan B, apalagi I, bisa meraup sekian banyak rupiah dengan mudah, maka saya sarankan langsung saja masuk ke tahap akhir formula F,A,S,E,L dengan jurusan “Lupakan.”

STANDAR


Tak masalah jika ada seorang guru, psikolog, dosen, atau bahkan mahasiswa yang ambil  sertifikasi profesi fasel.  Tak masalah pula jika saat ini bukanlah “apa-apa” dalam sebuah profesi/ pekerjaan tertentu. Yang berpotensi jadi masalah adalah ketika si fasel tadi tak punya lisensi, alias surat keterangan berkarya. “Ah, itu khan urusan legalitas saja, yang penting khan kualitasnya, nggak usah dibuat bingung lah.” Barangkali semacam itulah pernyataan sinis dari sebagian pegiat experiential learning yang abai dengan lisensi.

Benar, lisensi itu “hanyalah” selembar kertas sertifikat atau kartu anggota. Namun ingat, yang kita bicarakan ini adalah profesi lho, yang terikat dengan berbagai ketentuan yang di dalamnya juga melibatkan peran pemerintah dan asosiasi profesi.

Apakah fasel punya lisensi? Jelas dong. Hal inilah yang kita kenal sebagai uji kompetensi profesi fasel. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI melalui  keputusan nomor : KEP 329/MEN/XII/2011, sudah menetapkan  Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Pariwisata bidang kepemanduan outbound / fasilitator experiential learning, menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia / SKKNI. Inilah yang menjadi dasar penerbitan lisensi fasel. 9 kompetensi yang diatur di dalamnya adalah:

  1. Merencanakan Kegiatan Program Rekreasi
  2. Merencanakan Kegiatan Program Pembelajaran
  3. Mengatur Sumber Daya Program
  4. Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Rekreasi
  5. Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Pembelajaran
  6. Melakukan Pemanduan Kegiatan Tali Rendah
  7. Melakukan Pemanduan Kegiatan Tali Tinggi
  8. Menganalisa Resiko dalam Kegiatan
  9. Menolong Korban

Sembilan kompetensi tadi harus dikuasai oleh fasel yang berlisensi Utama, sedangkan untuk fasel tingkat  Madya, tanpa kompetensi Merencanakan Kegiatan Program Rekreasi & Merencanakan Kegiatan Program Pembelajaran. Bagi Fasel Muda, kompetensinya dikurangi lagi dengan Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Pembelajaran.

Nah, sebelum kita menguji diri dengan 9 kompetensi tadi, maka AELI menetapkan standar normatif bagi calon asesi, yaitu minimal lulus SMA/ Sederajat, atau lulusan SMP dengan pengalaman bekerja minimal 10 tahun.
Untuk mengambil tingkatan fasel, juga ada syaratnya, yaitu:
-          Fasel Muda: Pengalaman 2 tahun dan 10 kegiatan.
-          Fasel Madya: pengalaman 5 tahun dan 10 kegiatan pelatihan.
-          Fasel Utama: pengalaman 7 tahun dan 10 kegiatan pelatihan sebagai pembuat program.

Fasel yang sudah lolos sertifikasi akan mendapat sertifikat dari pemerintah melalui BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi), juga kartu “ijin operasional”nya. Sertifikat ini perlu diperbaharui setiap 3 tahun.

“Sesederhana” itulah standar asesi dan kompetensi seorang fasel. Yang jelas, jika ada yang berpikir bahwa dengan sertifikat fasel kita bisa “mempermainkan” kualitas program experiential learning, maka saya sarankan langsung saja masuk ke tahap akhir formula F,A,S,E,L dengan jurusan “Lupakan.”


ETIKET


Tahapan E, atau Etiket ini menjadi tahap keempat sebelum kita mengambil keputusan di tahap akhir. Sebagaimana profesi prestisius lainnya, fasel pun harus punya tatanan etiket yang sering disebut sebagai kode etik. Apa itu kode etik? Kode etik adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan kehidupan sehari-hari. Secara umum, kode etik suatu profesi akan menjadi pedoman prilaku/ etiket anggotanya supaya hidup selaras dengan keluhuran dan kemanfaatan profesinya.

Apakah fasel sudah memunyai kode etik? Tenang saja, saat ini, AELI sedang menggodok kode etik fasel, dan saya yakin tahun depan kode etik tersebut sudah diundangkan.
Sebagai perbandingan saja, kita bisa menengok kode etik profesi yang mendekati karakter fasel, yaitu guru dan dosen. Saya ngeri untuk mencupliknya di sini karena begitu luhur dan mulia kode etik tersebut. Saya salinkan saja salah satu turunannya berupa 20 poin “tata tertib guru mengajar,” yang dipampangkan dengan jelas di dinding sebuah sekolah. Salah duanya berbunyi, “Bersikap dan berperilaku sebagai pendidik” dan “Tidak diperbolehkan merokok di dalam kelas/ tatap muka.”

Saya tak tahu apakah tata tertib tersebut berlaku secara nasional, atau hanya milik SD tersebut saja. Saya tak tahu juga apakah kode etik guru/ dosen kerap berganti seiring pergantian menteri yang mengurus pendidikan di negeri ini. Namun yang saya tahu, kode etik, seberapa pun terasa berat aplikasinya, dibuat untuk dilaksanakan guna memuliakan profesi. Sanggup nggak ya, kita nanti menjalankan kode etik fasel?

Yang jelas, jika ada yang berpikir bahwa dengan sertifikat fasel kita bisa bertindak semaunya hantam sana sini seenak jidatnya tanpa memedulikan kode etik, maka saya sarankan langsung saja masuk ke tahap akhir formula F,A,S,E,L dengan jurusan “Lupakan.”



LUPAKAN! atau LANJUTKAN! 

Ayo, bagi yang sedang memelihara bingungnya, makin jelas ya, bahwa ikut sertifikasi adalah gerbang menuju sebuah profesi (baru) bagi kita. Karena namanya sudah profesi, bukan sekedar “pekerjaan,” maka tentu saja ada berbagai konsekuensi atas keprofesian kita tadi. Sebagian sudah kita bahas khan, jadi janganlah berbingung ria lagi.

Setelah menimbang masak-masak 4 proses sebelumnya dalam formula F,A,S,E,L; Fahami, Angan, Standar, dan Etiket, tibalah kita pada tahap terakhir pemutus kebingungan kita. L. tanpa uraian, langsung saja saya sediakan 2 pilihan akhir yang juga diawali dengan “L”, yaitu Lupakan, atau Lanjutkan.

Aihhh…. Ternyata sudah panjang saya menorehkan catatan hanya untuk mengobati berbagai kebingungan teman-teman saya. Sebagai penutup catatan ini, mari kita koleksi kembali 5 tingkat kebingungan kita, dengan pertanyaan pembingung sebagai berikut:
  1. Perlukah saya ikut sertifikasi?
  2. Apakah saya perlu ikut sertifikasi tahun 2015 ini, atau nanti tahun 2016 atau setelahnya?
  3. Pada level mana saya akan sertifikasi? Muda, Madya, atau Utama?
  4. Bagaimana saya harus memersiapkan diri untuk sertifikasi?
  5. Bagaimana sih jalannya sertifikasi itu?
Semoga catatan saya ini bisa menginspirasi para pembaca yang menderita bingung level satu tadi; Sukur-sukur bisa sampai mengobati kebingungan level 2,3,4, dan 5, siapa tahuuuuu….

Bagaimana dengan kemungkinan saya membocorkan rahasia besar nomor lima? Ah saya jadi bingung jadinya. Daripada bingung-bingung, mending saya akhiri catatan edisi ini.



Palembang, 16 November 2015



Tidak ada komentar:

Posting Komentar