yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Minggu, 15 November 2015

Perlukah Saya Ikut Sertifikasi? (bagian 1 dari 2)

BINGUNG, AH....
Seorang  teman sedang bingung, apakah dia perlu mengambil uji kompetensi profesi fasel (fasilitator experiential learning) pada akhir bulan ini. Kebingungan tersebut seakan menjadi wabah yang menular pada rekan lain yang juga ikut bingung, baik secara terencana maupun takterencana. Lho, bingung kok direncanakan sih, bikin bingung saja. Lebih bingung lagi, antar dua teman tadi sebenarnya tidak ada hubungan langsung selain bingung mau ambil sertifikasi atau tidak. Oh, ya, supaya tidak kepanjangan, istilah “uji kompetensi profesi fasilitator experiential learning” dalam konteks tulisan ini, kita singkat saja menjadi “sertifikasi.”



Celakanya, wabah itu juga menular pada saya. Saya menulis ini dalam rangka menularkan kebingungan juga nih. Saya bingung bagaimana cara mengatasi kebingungan beberapa teman tadi. Pokok kebingungan saya adalah bagaimana cara yang efektif dan (terlihat agak) ilmiah untuk menuntaskan kebingungan tersebut. Ah… muter-muter, tambah bingung saja.
Semoga anda, pembaca, tak tertular virus bingung tersebut. Seandainya tertular pun, ya gimana ya… bingung juga saya.

5 Level Kebingungan

Jika diurai, sejatinya akar kebingungan itu adalah jawab atas pertanyaan, “Apakah saya perlu ikut sertifikasi”. Ya, akarnya perbingungan itu adalah itu.

Sandainya sudah ada jawaban atas kebingungan tersebut pun, yaitu TIDAK PERLU IKUT, maka selesai sudah urusan kita. Namun seandainya jawabnya adalah PERLU ikut, bukan berarti kebingungan kita tuntas; ternyata masih ada kebingungan level 2 lho, yaitu  “Apakah saya perlu ikut sertifikasi tahun 2015 ini, atau nanti tahun 2016 atau setelahnya?

Seandainya juga bingung level 2 tadi sudah lewat dengan jawaban, “ya saya akan ikut sertifikasi tahun 2015 ini.” Ternyata masih ada lagi lho bingung versi tiganya, yaitu. “Pada level mana saya akan sertifikasi? Muda, Madya, atau Utama?”

Hfhhhh….. yuk berandai-andai saja…. Semisal terjawab sudah kategorinya, yakni tingkat MADYA, sudah terbebaskah kita dari segala kebingungan sertifikasi? O’o’ jangan lega dahulu, masih ada level lanjutannya, yaitu bingung  tahap 4 yakni, “Bagaimana saya harus memersiapkan diri untuk sertifikasi?”
Alamakkkk…. masih berlanjut lagi…

Namun saya punya kabar gembira, teman-teman; karena justru bingung level 4 ini sudah ada obat penawarnya, yaitu catatan saya yang berjudul “Ribet nggak Ribet Uji Kompetensi Fasel.”.

Tautannya ada di sini nih, tak perlu bingung lagi

Maka bagi yang tidak mengalami, atau sudah melewati 3 level bingungnya, bisa langsung meluncur ke “sana” untuk mencari obat penawar bingung tingkat 4.  Pada catatan tersebut sudah dijlentrehkan serba serbi memersiapkan diri ikut sertifikasi, mulai dari persyaratan sampai berkas yang harus disertakan dalam sertifikasi.

Sebagai bentuk keseimbangan, maka selain ada kabar gembira, biasanya juga ada kabar getir yang ternyata menjelma menjadi kebingungan tingkat 5, yaitu, “Bagaimana sih jalannya sertifikasi itu?” Nah, looo.

Tapi sebenarnya nih, sebenarnya kita nggak perlu bingung sih tentang bagaimana jalannya sertifikasi itu. Justru yang lebih berhak bingung itu sebenarnya teman-teman di LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi), Asesor/ penguji, serta panitia lokal di TUK (Tempat Uji Kompetensi). Namun saya yakin, mereka memilih tidak bingung lagi dalam menyiapkan dan menjalankan sertifikasi ini. Seandainya pun pernah ada sejarah bingung dalam proses membebaskan kebingungan dalam internal tiap pihak, biarlah itu menjadi memori manis mereka yang tak perlu kita bingungkan. Lha wong bingung kita saja sudah mencapai level 5, kok ya masih mau bingung ngurus kebingungan milik orang lain yang sekarang sudah tak bingung lagi.

Yakinlah, pihak LSP, Asesor, dan Panitia Lokal akan dengan senang hati dan sambil menyunggingkan senyum di mulut (emang ada lagi tempat selain mulut untuk disungginggi senyum) menyambut kita para asesi (peserta yang akan diuji kompetensinya). Mungkin dalam hati kita justru khawatir, “Weh, mereka menyambut kedatangan kita para asesi dengan senyum merekah, padahal besok mereka akan menjadi penguji yang, hiiii…..”

Kembali pada kebingungan tingkat 5, yaitu, “Bagaimana sih jalannya sertifikasi itu?” sebenarnya klaim itu sebagai pernyataan kegetiran dan pesimistis nggak valid juga, cenderung absurd malah, karena apa? Karena saya sesungguhnya punya bocoran bagaimana sebetulnya proses sertifikasi tersebut. Nah, apakah nanti bocoran tersebut akan saya tuliskan di sini atau entah di mana, itu urusan yang lain lagi. Nanti kita lihat lah setelah saya coba tawarkan obat penawar kebingungan level 1 sampai 3 dahulu.

Yuk kita kembali ke kebingungan mendasar teman saya tadi. Apa tadi kebingungan tingkat pertama? Ya, “Apakah saya perlu ikut sertifikasi?”

Imajinasi Mulia yang Buyar

Nah, ceritanya saya mau bikin semacam kuisioner untuk mengatasi kebingungan level pertama ini. Pengalaman saya yang kebetulan jadi dosen arsitek sejak tahun 2001 dan sudah pernah bikin ratusan tes/ soal ujian menambah Pede pada niatan mulia ini. Niat membantu mengentaskan kebingungan teman-teman. Imajinasi saya sih akan ada sekian penyataan/ pernyataan dengan beberapa jawaban tertutup tentang “Apakah saya perlu ikut sertifikasi?” Jika kuisioner itu dijawab/ diisi, maka akan ada perhitungan skor yang  menunjukkan apakah si pengisi perlu ikut sertifikasi atau tidak. Atau model lainnya, akan keluar prosentase seberapa perlu yang bersangkutan ikut sertifikasi. Cieee…. Hebat nian ya imajinasinya. Hanya dengan mengisi kuisioner, seseorang bisa mendapat panduan paten apakah dia perlu ikut sertifikasi atau tidak.

Sayang semilyar sayang, imajinasi tersebut tak kunjung terwujud karena ternyata saya malah bingung gimana cara bikinnya. Suer, saya sudah seminggu terakhir ini saya memikirkan pernyataan/ pertanyaan untuk kuisioner tersebut. Namun apa lacur, nggak ada formasi pernyataan/ pertanyaan dan jawaban yang memuaskan hati saya sendiri. Daripada saya ikut parah terlanda virus bingung, saya menyadarkan diri dan memasukkan mindset bahwa saat ini mustahil motivasi seseorang untuk ikut sertifikasi diukur secara kuantitatif dengan angka-angka.

Ya sudahlah, setelah saya insyaf; untuk mengobati kebingungan saya sekaligus kebingungan teman saya tersebut, saya coba bikin obat bingung dengan uraian-uraian yang saya coba singkat-singkatkan saja. Lho, gimana sih, uraian kok malah singkat. Sudahlah jangan ikut bingung akan hal itu, biarlah cukup saya yang bingung akan hal itu. Semoga catatan saya nanti bisa menginspirasi para pembaca yang menderita bingung level satu tadi. Sukur-sukur bisa sampai mengobati kebingungan level 2,3,4, dan 5, siapa tahuuuuu….


F,A,S,E,L; Obat Bingung nan Mujarab

Gini, pertanyaan “Apakah saya perlu ikut sertifikasi?” Hanya memunyai 2 jawaban final, yaitu PERLU atau TIDAK PERLU, setuju? Setujuuuuu….. Bagi mereka yang menjawab YA pada kesempatan pertama pertanyaan ini terngiang, sebetulnya sudah bisa loncat ke paragraf selanjutnya, untuk menikmati kebingungan berikutya. Bagi yang langsung mantap bilang NGGAK PERLU, sebenarnya juga nggak usah diteruskan mbaca artikel ini, buang-buang waktu saja.

Nah yang bikin bingung itu khan ketika pertanyaan yang sama terngiang makin lantang dari hari ke hari di benak, sementara hati dan pikiran tak kunjung dapat jawaban, perlu tidak perlu tidak perlu tidak perlu tidak perlu tidak…... Kalo lagu itu ada yang berjudul “Antara Anyer dan Jakarta,” nah dalam kasus ini ada lagunya juga, “Antara perlu atau tidak perlu.” Atau “Antara bingung dan sangat bingung,” nah lo.

Sekarang mulai serius nih… dari tadi bahas bingang bingung melulu tanpa ada solusi yang tak membingungkan. Saya tawarkan obat antibingung level 1 nih, tentang “Apakah saya perlu ikut sertifikasi,” dengan format F-A-S-E-L. Yuk, segera saja kita nikmati seperti apa itu formula F,A,S,E,L?  Benarkah itu berkhasiat menghilangkan kebingungan kita?

FAHAMI

Yuk, kita fahami, apa itu profesi fasel. Ya, fasel ini sudah resmi disahkan pemerintah menjadi suatu profesi sejak bergulirnya Uji Kompetensi Profesi Fasel angkatan I, pada 24 Maret 2015 lalu.

Apa itu profesi? Menilik dari pengertiannya, "Profesi" mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya dari "sekedar pekerjaan" lainnya, yaitu:
  1. Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis; Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar pada pengetahuan tersebut, dan bisa diterapkan dalam praktik.
  2. Pendidikan yang ekstensif; Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi.
  3. Asosiasi profesional; Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisir oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya. Organisasi profesi tersebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.
  4. Pelatihan institutional; Selain ujian, juga biasanya calon peserta harus ikut pelatihan/ orientasi institusional untuk mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi tersebut. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.
  5. Ujian kompetensi; Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.
  6. Lisensi; Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi, sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.
  7. Otonomi kerja; Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar dari intervensi pihak luar.
  8. Kode etik; Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.
  9. Mengatur diri; Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.
  10. Layanan publik dan altruisme; Pendapatan/ penghasilan dari kerja profesi dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, misalnya layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat, atau layanan guru yang berkontribusi terhadap pendidikan masyarakat.
  11. Status dan imbalan yang tinggi; Profesi yang sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi masyarakat.


Profesi FASEL jelas berdasar pada pengetahuan teoritis dan ketrampilannya dalam bidang pembelajaran bisa dipraktikkan. Fasel ini mirip guru yang membelajarkan siswa. Jika guru membelajarkan siswa dengan metode konvensional di jalur formal, sekolah, maka fasel membelajarkan dengan metode “pengalaman” dengan tempat yang lebih fleksibel.

Memang, di Indonesia profesi fasel relatif masih baru belum mantap mendapat porsi pembelajaran dalam pendidikan formal, khusunya di tingkat perguruan tinggi. Namun, di negara-negara maju, aktivitas experiential learning sudah melahirkan banyak master dan doktor di bidangnya. Artinya secara holistik, sudah ada jenjang pendidikan yang mendukung profesi fasel.

Apakah fasel memunyai organisasi profesi? Mari kita tengok sekelumit profesi lainnya sebagai contoh. Dokter punya IDI, Ikatan Dokter Indonesia, Arsitek punya IAI, Ikatan Arsitek Indonesia. Bidan punya IBI, Ikatan Bidan Indonesia. Ahli konstruksi punya ATAKI, Asosiasi Tenaga Ahli Konstruksi Indonesia. Ahli Boga punya IKABOGA, Ikatan Ahli Boga Indonesia, Akuntan punya IAI, Ikatan Akuntan Indonesia. Fasel pun demikian, AELI/ Asosiasi Experiential Learning Indonesia adalah organisasi profesi para fasel.

Tak sembarang lembaga/ orang bisa menjadi anggotanya, lho. Syarat utama anggota asosiasi ini adalah minat pada experiential learning. Syarat lanjutan sebelum dikukuhkan menjadi anggota organisasi profesional fasel adalah kewajiban mengikuti pelatihan/ orientasi tentang experiential learning. Dalam programnya, AELI pun merencanakan pelatihan secara berjenjang guna mendukung fasel makin professional dalam berkarya. Pokoknya, seru deh, cara mengembangkan diri sebagai fasel melalui AELI.


Wah, ternyata secara legal, administratif dan normatif, fasel memang sudah berada pada jalur yang tepat dan mantap menjadi suatu profesi. Yang jelas, sebagaimana profesi lain yang prestisius, menjadi fasel yang professional bukanlah proses yang instan, apalagi bisa dibeli. Jika ada yang berpikir sertifikat fasel itu bisa dibeli, maka saya sarankan langsung saja masuk ke tahap akhir formula F,A,S,E,L dengan jurusan “Lupakan.”

------------bersambung ke bagian 2---------------

1 komentar: