yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Senin, 28 November 2011

Demam Pipet


toko kami

Tulisan kali ini akan membeberkan urusan pipet memipet lagi. Lagi? Yha karena sudah beberapa kali saya catatkan mengenai skenario outbound yang terkait dengan pipet. Ada yang ceritanya tentang membangun menara seluler, ada tentang tower e-banking, tentang bisnis (boleh klik di http://catatanpenggiatoutbound.blogspot.com/2011/04/outbound-menara-bisnis-bagian-1-dari.html),  dan yang terakhir ini tentang toko. Hah, apa pula maksudnya.... apa urusan pipet, outbound dengan segala yang tadi disebutkan itu? Inilah urusannya, kawan. Kita mulai secara runut saja yha....

Pada satu kesempatan saya dipercaya untuk mendampingi kegiatan pengembangan diri karyawan sebuah perusahaan retail, yang punya beberapa toko. Kegiatan ini berlangsung 2 hari di tempat yang berjarak 300an kilometer dari kantor pusat perusahaan. Begitu mendapat tawaran ini, saya sudah langsung mengunci (di pikiran) sebuah skenario outbound. Skenario? Kok ada skenario pada kegiatan outbound sih. Oh, yha, skenario itu sama saja dengan alur proses outbound, termasuk pilihan permainannya. Apa itu skenarionya? Sederhana, kok; mendirikan toko. Hah? Apa lagi itu mendirikan toko, sabar, sabar...

Outbound tersebut punya tujuan konseptual yang dimintakan dari direksi, yakni meningkatkan komunikasi yang efektif antar staff dan pengembangan jiwa kepemimpinan. Kok tidak ada kerjasamanya, padahal itu biasanya diminta dalam sebagian besar outbound. Yha memang direksi nggak minta, mau apa lagi, apalagi lagi, bagi saya, dalam tiap kegiatan outbound, kayaknya otomatis ada, deh muatan kerjasamanya. Sebenarnya muatan komunikasi itu juga otomatis ada, sih

Setelah mendapatkan tujuan konseptual, giliran kami merumuskan tujuan operasional,  yakni tujuan/ misi teknis yang harus dituntaskan peserta selama proses outbound. Tujuan oprerasional ini harus sesuatu yang terukur, dan tentu saja kelihatan. Apa itu tujuan operasionalnya, yha itu tadi, “mendirikan toko.” Bukan secara fisik peserta menjadi tukang bangunan yang mengaduk pasir, air dan semen untuk kemudian memasang batu bata menjadi dinding sebuah toko. Mendirikan toko di sini adalah sebuah perumpamaan.

Apakah setiap outbound selalu atau harus punya tujuan operasional? Bisa saja nggak pake sih, alias asal main-main saja; tapi kalo saya seringnya pake, supaya alur proses itu ada ceritanya; seru. Nah, perumpamaan mendirikan toko itu diwujudkan oleh tiap kelompok peserta dalam bentuk membuat menara dari pipet-pipet. Menara itu diumpamakan toko, dan pipet-pipet mengumpamakan sumber daya untuk mendirikan toko, seperti misalnya karyawan dan  modal.

Menara, eh, toko akan ditempatkan di suatu lokasi sesuai analisa peserta. Serunya, area permainan tempat meletakkan toko sudah dipenuhi dengan beberapa titik yang melambangkan populasi penduduk sebagai calon konsumen. Ada titik yang diumpamakan berisi 2000 konsumen, ada yang 3000, ada juga yang sampai 9000 orang.  Makin tinggi menara, eh, toko, maka makin luas pula radius/ daya jangkauannya; nah jika di dalam jangkauan tersebut ada sejumlah populasi penduduk, maka jumlah penduduk itu akan menjadi konsumen toko yang bersangkutan. Gimana, cukup bisa dimengerti, khan, teman-teman? Saya sudah mencoba menjelaskannya secara sederhana, lho.
populasi penduduk di titik "U" adalah 2000 orang


Bagi yang masih agak bingung, jangan khawatir, nanti saya lampirkan beberapa foto kegiatannya.  Oh yha, kami dua kali mengadakan outbound dengan konsep yang sama, untuk 2 gelombang yang berbeda. Kenapa harus dua gelombang? Yha jangan tanya saya dong, he he he... tapi yang jelas para peserta khan dari perusahaan retail, lha kalo para stafnya ikut outbound semua, siapa yang ngurus toko, gituuuu alasannya. Kini saya akan cerita saja poin-poin alur skenario outbound tersebut, ada yang diambil dari outbound gelombang pertama, ada yang dari gelombang kedua, begitu juga fotonya nanti, oke, mari kita mulai.

Saat perjalanan menuju lokasi outbound yang ditempuh dengan kereta malam, di dalam kereta peserta sudah mendapatkan kuis yang harus diselesaikan sebelum peserta turun di stasiun tujuan. Kayaknya nggak perlu lah diceritakan apa itu kuisnya, yang jelas itu tertulis, pertanyaannya sangat menarik, dan waktu penyelesaian cukup panjang, antara pukul 8 malam sampai pukul 5 pagi. Melalui kuis tersebut, tiap peserta jawaban yang benar mendapat sejumlah pipet; lumayan, untuk modal mendirikan menara, eh, toko.

Sesampai di lokasi outbound, kami tidak langsung bermain di luar ruangan, karena hari pertama diisi beberapa materi dan dinamika di dalam ruangan. Kami membagi-bagi pipet pada beberapa kesempatan di hari itu, tentu saja lewat beberapa permainan, baik yang bersifat individu maupun kelompok. Ada juga sih, beberapa peserta yang karena apes atau kalah permainan malahan harus menyetor/ mengembalikan pipetnya pada kami. Selain melalui beberapa permainan, kami juga membagi-bagikan pipet dengan beberapa cara yang (minimal menurut kami) antik, misalnya:
  • Bagi peserta yang berulang tahun pada bulan yang bersangkutan mendapat hadiah sekian pipet.
  • Kelompok yang bersedia memimpin olahraga pagi pada hari kedua, juga berhak mendapatkan sekian pipet.
  • Saat itu kebetulan ada peserta yang berulang tahun, bagi peserta yang bersedia memberi “perayaan” bagi yang ulang tahun, juga kami ganjar beberapa pipet.
  • 33 pipet kami sebar di sekitar aula tempat kami beraktivitas, dan perwakilan dari tiap kelompok berlomba mencarinya, lebih tepatnya sih berserabutan lari kesana kemari untuk berebutan mendapatkan pipet sebanyak  mungkin.
  • Saat itu kebetulan ada spanduk kegiatan yang copot (copot kok, kebetulan, itu sih kesalahan, mestinya) nah bagi kelompok yang bersedia manjat dan membetulkannya juga akan diberi pipet.
  • Kelompok yang personilnya datang lengkap tepat waktu untuk mengikuti acara, juga akan mendapatkan sejumlah pipet.


Malam hari, kami mengadakan cepat tepat, tentu saja berhadiah pipet. Pertanyaan pada cepat tepat adalah hal-hal terkait perusahaan dan dunia retail. Pada babak penyisihan, perwakilan peserta cukup mengisi 15 soal tertulis. 3 kelompok terbaik maju ke babak final yang semua soalnya bersifat rebutan. Tidak asal rebutan/ cepet-cepetan menjawab lho, karena tiap salah menjawab ada pipet yang melayang hilang, nah loooo... Suasana cepat tepat sangat meriah, selain karena hadiah pipet yang menggiurkan, juga dimeriahkan para anggota kelompok yang berperan sebagai pemandu sorak untuk menyemangati anggota kelompoknya.
 
Tak terasa, demam pipet melanda para peserta. Secara prinsip, dengan senang hati kami akan memberikan pipet bagi peserta/ kelompok yang punya prestasi tertentu. Namun jika ada kecerobohan yang dilakukan peserta, terutama dalam permainan, mereka juga harus mengembalikan sejumlah pipet pada kami. oh yha, kadang beberapa peserta/ kelompok berebut untuk menjalankan tugas yang kita tawarkan, maka kita harus pandai-pandai menyiasati. Itu baru hari pertama, karena demam pipet akan makin akut pada hari kedua saat peserta melakukan outbound dengan melintasi perbukitan dengan beberapa pos permainan yang harus diikuti.

Hari kedua diawali dengan olahraga dan pemanasan yang dipimpin oleh kelompok yang bersedia memimpinnya, maklum dapat pipet sih. Usai sarapan, perjalanan menembus kebun, ladang, sungai, lembah, semak, dan hutan dimulai. Ada 3 area yang kami siapkan sebagai ajang pemberhentian di tengah perjalanan. Di tiap area sudah disiapkan beberapa pos permainan. Apa kompensasi dari tiap permainan? saya yakin teman-teman pembaca sudah bisa menebaknya, benar, PIPET. Tanpa mendeskripsikan apa saja jenis permainannya langsung saja saya jelaskan sistem kompresnya, apa itu kompres, itu singkatan dari kompensasi prestasi. Ada 2 sistem yang berbeda antara outbound gelombang pertama dan kedua.
bikin rakit dengan materi pipet dan balon
·         Pada gelombang pertama yang diikuti 6 kelompok, di tiap area ada 3 permainan yang disiapkan. Kelompok diatur untuk main bersama di tiap pos permainan perdua-dua kelompok, artinya dalam saat bersamaan di 3 pos permainan ada 2 kelompok yang berlomba. Pada tiap perlombaan, kelompok yang menang telak akan dapat 4 pipet dan yang kalah tidak dapat apa-apa. Kelompok yang menang tipis dapat 3 pipet, sementara yang kalah tipis dapat 1 pipet. Jika draw/ seri maka tiap kelompok dapat 2 pipet. Usai bermain di 1 pos, 2 kelompok berpisah untuk menuju pos permainan yang berbeda untuk ketemu lawan yang beda. Begitulah sampai pada 1 area keenam kelompok memainkan 3 permainan.

·         Saat gelombang kedua yang diikuti 5 kelompok, di tiap area tetap diisi 3 pos permainan. Jadwal bermain tiap kelompok sama dengan gelombang pertama, hanya nanti akan ada kelompok yang bermain sendirian. Lha lombanya gimana? Maka itulah saya sebut berbeda sistemnya, kalo jadwalnya sih sama. Gini; secara prinsip tiap kelompok yang sudah menyelesaikan permainan, prestasinya akan dicatat oleh fasilitator. Setelah kelima kelompok selesai memainkan 3 permainan, kami akan memeringkat kelompok mana yang terbaik di tiap permainan. Juara 1 tiap permainan akan mendapat 4 pipet, juara 2 dapat 3 pipet, sampai pada akhirnya juara ke-5 alias yang paling jelek prestasinya tidak dapat apa-apa.

Pada area ketiga, hanya ada 1 permainan yang dilakukan bersama-sama oleh semua kelompok. Tentu saja pemenangnya akan mendapatkan pipet lebih banyak daripada yang kalah. Selesai dinamika tersebut, selesai sudah perjuangan untuk mendapatkan pipet, kini saat untuk menggunakannya se-sip mungkin. Mengapa istilahnya “sip” bukan seefektif mungkin, atau sebaik mungkin, ah, itu semata-mata karena selera tiap peserta adalah relatif dalam pemanfaatannya. Baik dan efektif  menurut 1 kelompok belum tentu diamini oleh kelompok lainnya.
Lokasi pendirian toko merangkap tempat penjemuran "korban" outbound
Usai outbound, mandi, lalu siap-siap makan siang. Istimewanya, siang itu peserta membeli makan siang dengan pipetnya. Tiap menu dihargai sekian pipet, sehingga tiap kelompok dipersilahkan untuk membelanjakan pipet se-sip mungkin, mengingat pipet itulah yang nanti akan digunakan untuk mendirikan toko.

Usai makan, diadakan lelang papan nama toko, selain 1 yang memang sudah menjadi jatah tiap kelompok. Papan nama tersebut akan dipasang di puncak menara. Kelompok yang punya 2 papan, berarti bisa bikin 2 toko, yang punya hanya 1 papan nama tersebut, yha hanya bisa 1 toko saja. Oh, yha papan nama toko itu terbuat dari botol minuman. Jika ada 6 kelompok, maka ada 4 papan nama tambahan yang bisa dilelang. Tanpa perlu saya jelaskan proses lelang yang pasti seru itu, kini kita langsung ke pendirian toko.

Tiap kelompok peserta mulai mendirikan toko dengan disain/ konstruksi yang beragam. Intinya sih mendirikan menara setinggi dan sekokoh mungkin. Kenapa  harus tinggi, sudah dijelaskan alasannya. Kenapa  harus kokoh? Karena pada botol papan nama akan diisi air sebagai sebuah beban/ tanggung jawab yang harus dipikul tiap toko. 
bersatu dalam kompetisi mendirikan toko

Strategi tiap kelompok untuk mendirikan toko macem-macem. Ada yang menggunakan seluruh pipet untuk bikin menara. Ada yang menyisakan pipet untuk lelang lokasi . Ada juga kejadian menarik ketika ada 3 kelompok yang berpikir pipet mereka sedikit sepakat untuk merger alias bersatu. 3 kelompok tersebut hanya membuat 1 menara, eh, toko yang tinggi menjulang. Bolehkan seperti itu? Boleh saja, kok.

Waktu untuk merangkai menara, eh, toko selesai. Kini saatnya untuk menentukan lokasi dimana toko akan ditempatkan.  Lelang (dengan pembayaran pipet) dilakukan untuk menentukan kelompok mana yang boleh lebih dulu memilih tempat dimana. Singkat cerita (lagi) setelah tiap kelompok mendapatkan titik lokasi toko, maka toko didirikan di sana. Tahap berikutnya adalah menghitung jumlah konsumen yang bisa dijangkau oleh tiap toko. Secara teknis, kelompok yang tokonya bisa mendapat konsumen terbanyak menjadi pemenang.

Cerita selesai..... Lalu apa yang bisa saya bagikan pada teman-teman terkait outbound bernuansa pipet ini?

Untuk menjaga emosi peserta outbound yang berlangsung selama 2 hari, perlu sarana yang efektif, alih-alih menasehati atau meneriaki peserta dengan “Apa kabaaaarrr... Luar Biasa” atau “Ayo kamu bisa” atau “Semangat! Semangat!” Sarana tersebut harus secara kontinyu digaungkan/  didinamikakan dengan sebuah seni sehingga dapat terus menggairahi peserta. Pada contoh ini, pipet sebenarnya dipandang sebagai sebuah prestasi/ poin/ nilai yang mewujud dalam rupa barang. Kebetulan barang ini juga secara teknis akan digunakan sebagai pencapai tujuan operasional outbound. Kenapa yha? Karena seumumnya orang cenderung suka jika diberi hadiah, dan berusaha/ takut mendapat sanksi/ hukuman. Maka wajar saja jika peserta bisa “demam” pipet; senang jika mendapat pipet, dan selalu waspada supaya tidak kecolongannya.
mengukur jumlah konsumen sebuah toko

Ternyata ada banyak metode bisa digunakan untuk mengapresiasi sekaligus memunculkan potensi peserta outbound, selain melalui permainan. Tentu saja kita harus kreatif untuk berselancar di atas keadaan sekitar, sehingga bisa memunculkan ide-ide segar untuk mendinamiskan peserta. Dinamika bia diciptakan dengan instruksi kita, kondisi alam, kondisi antar peserta,  juga termasuk bermain dengan mindset peserta.

Sistem kompres/ kompensasi prestasi di sisi lain bisa juga “meringankan” beberapa tugas kita dalam dinamika pendampingan. Contohnya, dengan ada kelompok peserta yang bersedia memimpin olahraga di pagi hari, maka kita tidak perlu bersusah payah pagi-pagi membangunkan  dan mengolahragakan peserta. Namun untuk hal ini kita perlu hati-hati lho, jangan seenak jidat sendiri, kita kasih penawaran, apalagi yang menakjubkan. Misal, siapa yang mau pijitin fasilitator, dapat sekian pipet/ sekian poin... wah kalo itu yang ditawarkan, berarti fasilitatornya yang sontoloyo.

Baiklah, saya pikir cukup sampai disini cerita tentang outbound bernuansa pipet ini, semoga menginspirasi.
Selamat mengompres peserta,

Salam, Agustinus Susanta, Palembang, 28 November 2011.


Selamat Menyelamatkan


Semua berawal saat saya mengirim sebuah foto dalam milis AELI (Asosiasi Experiential Learning Indonesia) di facebook. 

Tak lama, beberapa komentar bernongolan, mulai dari mempertanyakan kejelasan aktivitas di foto, sampai merembet ke urusan safety/ keselamatan proses. Nah, urusaan keselamatan, resiko, dan penyelamatan dalam kegiatan outbound adalah tema kita pada catatan kali ini.
Kita lanjutkan pada diskusi yang menyertai foto tersebut, beberapa komentar yang nggak relevan dengan bahasan sengaja saya hapus supaya nggak mengaburkan konteks.

Langsung saja kita nikmati....

Enda Mulyanto Ini ngapain? Sudah naik di tiang itu terus ngapain?

Agustinus Susanta di atas tiang mengambil kartu data/ informasi yang akan digunakan untuk final project. 1 orang 1 kartu

Enda Mulyanto Waaooo...seru ya? Terus bagaimana dengan keselamatan atau pencegahan kecelakaannya? Apa ada kabel pengaman di atas?
Kalo pake standard keselamatan Amerika pasti harus pake helmet dan sarung tangan. Nanti kelihatannya aturan keselamatan AELI juga mengacu kesana.
Mas Agus, boleh cerita lebih runut seperti apa prosesnya?

Unang Rusnadi kalo di Amerika iya Mas Mul, kalo disini mah enggak juga gak apa-apa kali,, hehehe

Tirtoandayanto Mulyono Rustamadjie prosedur keselamatan nomor satu.....nol kecelakaan,

Syaf Rizal, ‎Unang Rusnadi : komennya ngeeeri kali nih. seakan di INDONESIA ngga punya 'safety awareness'

Soel Winarno semoga komen Kang Unang Rusnadi cuma candaan tentang  penggunaan helmet aja, bukan tentang  standar keselamatan secara umum

Agustinus Susanta Mas Mul, itulah kekurangannya, belum ada perangkat keselamatan yang  memadahi; tidak ada kabel pengaman di atasnya.
Jadi aktivitas ini benar-benar mengandalkan kepercayaan dan energi anggotanya.

Pandri Ferdias agaknya yang  jadi safety rekan setimnya tuh...

Lukman N. Hernawijaya Safety First.....

Unang Rusnadi kan sudah ada standar K3 dari depnakertrans,,, itu juga sudah cukup untuk jadi acuan, ditambah lagi setiap FASEL (insya Allah nama itu akan di pake jika sudah disah kan SKKNI) pasti pernah mendapatkan materi manajemen resiko.

Catatan:
FASEL = Fasilitator Experiential Learning
SKKNI = Sertifikasi Kompetensi Kerja Indonesia

Agustinus Susanta Memang urusan keselamatan (fisik) menjadi relatif untuk beberapa dinamika, maksudnya? gini contohnya dinamika yang ada di foto ini, saya sempat berdebat seru dengan teman satu tim sebelum memainkan dinamika ini. Antara peserta  yang manjat perlu diikat dan ada pengaman di atasnya (intinya kalo dia nyampak, masih bisa tergantung) atau memang semua diserahkan pada kelihaian kelompok mengamankan setiap anggotanya.
Logika teman saya itu, dinamika ini aman (asal ketinggian bambu, jumlah dan panjang tali penarik, jumlah penarik, serta kekuatan tali dan bambu memenuhi syarat)
Faktanya akhirnya memang 40an peserta dapat naik turun dengan selamat tanpa insiden.

Relatif yang lain, misalnya...
Kami pernah ajak 30an orang kantoran naik gunung, lewat sisi jurang dan lembah, naik turun bukit yang  terjal. Saat itu hanya menggunakan tali yg dipegang tiap peserta sebagai pengaman, dan toh akhirnya semua bisa naik dan turun dengan selamat.... namun kadang sekarang kalo saya membayangkan kok yha kami "nekad" melakukan itu. Sementara di sisi lain, bisa juga dipandang, ah itu khan biasa, namanya juga naik gunung, pasti selalu ada resiko.
hmmm...

Kusworo Rahadyan Ingat kesalahan/kecelakaan bisa terjadi dan biasanya terjadi di saat kita sudah merasa aman. Dan biasanya kecelakaan datangnya sepersekian detik di kelengahan kita. Tidak ada toleransi untuk safety bila kita ragu jangan dilaksanakan. Tapi kadang Fasilitator terlalu yakin dengan kedibilitasnya masing-masing.

Enda Mulyanto Saya sepakat dengan Mas Kusworo

Soel Winarno mungkin tdk harus pakai 'belay system' tp bisa pakai 'Spotting System'

Caly Setiawan Mas Agus: saya  jadi  teringat perbedaan secara  konseptual tentang  apa yang  dinamakan aktifitas outdoor dan adventure. Saya  cenderung tidak  begitu menghiraukan selama ini, namun nampaknya menengok kembali dua istilah ini secara  konseptual menjadi  penting. Aktifitas outdoor bertempat di alam terbuka dengan  "risk" yg nyata dan kontrol kita terhadap bahaya tersebut  sangat  minim (bahkan lebih  sering di luar kendali kita)-misalnya cuaca, satwa buas, dll. Sedangkan aktifitas adventure berlokasi di tempat berkembang dan resiko berada dalam kendali kita. Dengan kata lain, resiko dalam aktifitas adventure hanya dirasa resiko bukan resiko sesungguhnya (perceived risk). Pada titik inilah, pengembang aktifitas adventure harus meyakinkan nol atau minimal resiko dengan prosedur keamanaan yang  standar walaupun pada saat yang  sama rasa "bahaya" harus tetap eksis. Nah, membandingkan keamanaan aktifitas memanjat seperti di foto (adventure) dengan aktifitas mendaki gunung (outdoor) tidak  begitu relevan dalam  hal ini. :) Usul saya  konkrit: belay system tetap wajib (bisa top rope atau self-belay)...dan utk Mas Soel: tentunya untuk  spotting masih  terlalu tinggi...plus mungkin akan lebih  aman jika yang  megang tali di bawah menggunakan teknik body belay...dan juga saya  kira tetep mesti ada back-up --mungkin kaya' teknik back-up belay di belakang mereka yang  pegang tali.....eniwe, aktifitas yang  sangat kreatif dan menarik! selamat!

Yusuf Hikayat Di kegiatan "outbound" seperti yang  pernah saya baca ada 3 zona, yaitu Comfort Zone, Learning Zone dan Panic Zone.
Yang  masih berbeda-beda diantara kita adalah dimana batas antara Comfort Zone dan Learning Zone maupun batas antara Learning Zone dan Panic Zone

Enda Mulyanto Mas Agus, Caly Setiawan (salam kenal juga), Oom Yusuf Lotbol dan kawan2x semua, bagus sekali perbincangan yang  dimulai dari perkara safety ini.
Sekarang sudah  menyentuh perbedaan adventure dengan outdoor. Apa iya sih perbedaannya demikian?
Soal zonasi di kegiatan outbound yang  dilontarkan Yusuf Lotbol, apa sih batasnya? Apa iya panic zone tidak dapat menjadi media belajar?

Ageng Aditya Menarik yah.....bagaimana kita cenderung absurb ketika masuk ke area safety....apalagi dibuat relevan dengan dinamika belajar peserta. Dari beberapa pernyataan referensif tentang persepsi resiko, analisis dan kaidahnya, kok belum ada yang menggambarkan kajian sistematis tentang langkah preventifnya...terutama untuk contoh gambar aktifitas diatas?...:)

Kusworo Rahadyan Mas yang saya tahu dari referensi yang saya baca ada istilah Risk assessment yang harus di terapkan dalam mengendalikan faktor resiko, baik itu kegiatan tali rendah maupun kegiatan tali tinggi atau bahkan Back Yard Games Activity (Otbond,) bahkan berlaku juga untuk "Adventure" Aktivity. Meskipun jika kita bicara adventure tidak ada batasan jelas tentang tolok ukurnya namun manakala itu sudah dilakukan oleh Public User apalagi pelaku tersebut membayar kita sebagai activity Guide atau Activity Operator, maka Hukum sudah bicara atas hal itu dan kita tidak bisa hanya mengungkapkan "ini kan kegiatan adventure naik gunung turun jurang mendaki itu tantanganya".
Tugas kita adalah mengukur faktor bahaya dari kegiatan tersebut. Jangankan yang harus ada permainan yang memiliki resiko jatuh. lha wong lagi main back yard games ada peserta nginjak paku terus kena tetanus hingga harus ada tindakan medis itu aja korban sah jika menuntu kita atas kerugian yang timbul akibat cedera yang disebabkan kelalaian kita. Setelah kita di tanya apa anda tidak melakukan pengecekan? apakah anda tidak melakukan pengukuran faktor bahayanya? Apa jawaban kita wahai fasilitator outbound yang terhormat,  padahal kita hanya memandu back yard games (otbon) yang mungkin hanya program 2 jam dengan bayaran 350.000 Itu pun gamesnya kita dapat dari baca buku atau pernah melihat orang lain tanpa mengkaji faktor bahaya dari permainan tersebut?
Mudah mudahan bisa memberi pencerahan, ingat "SAFE/AMAN adalah suatu kondisi dimana sumber bahaya telah teridentifikasi dan telah dikendalikan ke tingkat yang memadai."
 Apapun kegiatan anda pasti mengandung unsur bahaya dimanapun itu levelnya prinsip pencegahan kecelakaan adalah penyeimbangan antara HAZARD (identifikasi dan analisa faktor bahaya) dengan CONTROL (tindakan pengendalian faktor bahaya) Ini ternyata juga di terapkan di ADVENTURE ACTIVITY RISK MANAGEMENT & CONTROL

Ageng Aditya Terima kasih mas,untuk refresh masukannya..makasi juga  untuk  Mas Caly yg telah memberikan ilustrasi kongkrit dalam bentuk gambar tentang safety system yang  bisa diterapkan. Dari  segi aktifitas berbeda dengan pumper pole/pull/tree atau apa pun lah namanya..jadi apakah dengan   sistem yang  sama akan berpengaruh terhadap  pencapaian objektif  bagi pesertanya?

Ageng Aditya Dan tentang aspek teknis, barangkali bisa dishare tentang berapa ketinggian ideal dari anchor pengaman atas untk penggunaan tali yang  drekomen dan perkiraan fall faktornya, jarak minimal untk dynamic belay, spoting system dan minimal requirment untk runing belay systemnya. Mudah-mudahan bisa memperkaya pengetahuan kita semua..:)

Caly Setiawan Mas Mul: salam kenal juga....secara pribadi saya  tidak  kaku dalam  membedakan istilah outdoor dan adventure. Kebanyakan juga  menggunakan keduanya secara overlap. Dalam  respon saya  sebelumnya adalah membedaan secara konseptual yang  sering dilakukan oleh para peneliti untuk  kepentingan difinisi operasional peneltian mereka. Beberapa tokoh sentral dalam  bidang ini membedakan secara  tegas dan dalam  satu waktu mentolerir ragam penggunaan istilah di lapangan, bahkan di penelitian yang  lain. Misalnya, Priest sejak  awal mengadvokasi outdoor education sebagai payung besar dan di dalamnya adalah adventure education dan outdoor pursuits yang  perbedaannya saya  ulas sebelumnya. Saya  sendiri mengajukan perbedaan kedua istilah tersebut utk membaca aspek 'risk' dlm kegiatan dan penjelasannya Mas Agus. Diskusi lebih  jauh tentang  topik outdoor vs adventure bs difasilitasi. :)

Caly Setiawan Mas Ageng: saya  tidak  tahu  persis perhitungan teknis konstruksi. Terlebih lagi  tentang  kebutuhan konstruksi untuk  aktifitas dalam  fotonya mas Agus. Bung Lukman tentu lebih  paham. Nah, jika merujuk pada postingan Bung Lukman tentang  pamper pole, sy akan coba share apa yg sy tahu. Jika peserta harus memanjat "pole" dan berdiri di ujung tiang dan kemudian meloncat utk menggapai sesuatu (biasanya pipa PVC yang  digantung melintang atau vertikal), semakin tinggi anchor maka akan semakin sulit bagi belayer utk membuat tegangan yg memadai dan aman utk jatuhan peserta--karena tali semakin panjang. Jika anchor semakin dekat maka ayunan pendulum peserta ketika jatuh makin lebar. Gmn ya yang pas? Pengalaman sy melihat ya ketinggian tiang sekitar 5 meter dan anchor sekitar 7-8. Nanti saya cek lagi untuk  pastinya. Saya  juga  coba double-check di standarnya ACCT berikut diameter talinya (yang  jelas pake static kernmantel). Untuk  belay menggunakan sistem dinamik dengan teknik top rope dan direkomendasikan menggunakan alat belay tipe sticht-plate. Mungkin ada yang menambah?

Ageng Aditya Mas Caly: Makasih banyak buat share pengetahuannya...sedikit tambahan saja,sepertinya untuk jarak anchor, panjang tali yang terhubung dengan climber belum ada standar yang baku, efek pendulum muncul disebabkan sudut elevasi yang terbentuk di anchornya. Jadi kendali sebenarnya ada di peletakan tiang/pole yang dibuat sesimetris mungkin dengan anchor. Tali yang digunakan akan lebih ideal (mengacu spesifikasi pabrikan) ketika minimal menggunakan semi untuk meredam efek gerak jatuh bebas terhadap morfologi manusia, dengan double cable dan pulley tandem sebagai anchor..., silahkan tambahan lainnya...

Ageng Aditya oh iya..untuk penggunaan tali static, biasanya akan lebih nyaman bagi belayer apabila menggunak ATC ketimbang sticht plate, karena biasanya umur tali yang bertambah akan mengurangi elastisitasnya....salam.

Agustinus Susanta Weh, respon dari teman-teman sungguh mencerahkan, walau saya harus mengira-ira sambil belajar tentang segala istilah yang telah disebut; misalnya double cable, pulley tandem, belay tipe sticht-plate, ACCT, pamper pole dan sejenisnya. Untunglah ada teman-teman yang memosting beberapa penjelasan tentang ikhwal tali-temali tadi.

Mengenai istilah outdoor atau adventure, sejujurnya (ciee...) selama ini saya sendiri tidak pernah menggolong-golongkan, karena toh ketika merancang kegiatan, saya minim mengacu pada teori tertentu. Maka beberapa masukan tentang penjenisan kegiatan di luar ruangan bisa jadi sesuatu yang patut direnungkan.

Ageng Aditya ‎@agustinus:..so thats what friend are for..,kan memang itu tujuan diskusi di grup ini..bisa saling melengkapi. .maju bersama..
Go forward EL.. Salam..:)

Caly Setiawan KOREKSI: mohon maaf sy memastikan tali statis utk pamper pole: ini salah. Trims mas Mul dan mas Ageng. Saya  cek ulang di standar ropes course (ACCT dan punyanya Aussie, plus ropes course manual) dan hasilnya dinamik atau direkomendasikan semi dinamik untuk  pamper pole dengan   ukuran tali 11mm dan N 107 standard UIAA. Belajar bersama yang menyenangkan, sekali lagi  trims semuanya.:)

Lukman N. Hernawijaya Caly, untuk belaying sudah pasti dynamic,kalau tali ke pole dan dipegang seh so pasti static bos...mantab diskusinya...

Cukup sudah salinan komentarnya... kini saat saya untuk memaknai semuanya tadi, menyitir dari berbagai pendapat teman-teman:
1.       Masih terbuka mendiskusikan perbedaan atau pun persamaan kegiatan yang dikategorikan aktifitas outdoor dan adventure. Mulai dari penamaannya, jenis dinamika, sampai oleh siapa teori/ pandangan tersebut dipopulerkan. Ah, saat ini kita tak akan masuk ke wilayah tersebut.
2.       Ternyata, beberapa fasilitator kelihatannya sangat tahu tentang prosedur keselamatan, sehingga bisa memberi penjelasan dengan meyakinkan. Saya sendiri sih tidak tahu apakah itu sebatas teori/ textbook saja, atau berdasarkan pengalaman, atau kombinasinya. Ada banyak istilah asing terkait peralatan dan prosedur keselamatan untuk bermain tali di ketinggian. Apa artinya? Artinya, seharusnya kita tidak perlu takut dan ragu untuk memainkan dinamika yang menantang atau beresiko selama semua prosedur keselamatan sudah diterapkan.
3.       Masuk pada hal yang lebih konseptual, sejauh mana sih zona nyaman, zona tidak nyaman, zona resiko, zona berbahaya, zona panik, zona aman, atau apa pun jenisnya, efektif diterapkan dalam kegiatan experiential learning? Itulah yang sampai sekarang pun saya coba petakan. Sementara, anutan saya dalam melaksanakan outbound/ kegiatan experiential learning adalah  dalam berkegiatan, ada masanya peserta masuk dalam zona menantang (secara fisik). Perlu diberi catatan pula bahwa “sesuatu yang menantang” antara persepsi peserta satu dengan lainnya bisa saja berbeda. Di balik itu, kita harus menyiapkan langkah penanganan segala konsekuensi dan resiko yang mungkin terjadi. Apa sih beda konsekuensi dengan resiko? Konsekuensi adalah keadaan yang merupakan sebuah kepastian  dan sudah diperkirakan. Sedangkan resiko adalah keadaan yang mungkin bisa terjadi, tapi bisa juga tidak. Contoh. Misalnya dalam kegiatan orang manjat bambu seperti foto awal. Konsekuensinya (keharusannya), dia harus bisa memegang bambu dan anak tangga dengan erat supaya bisa naik, resikonya (bisa terjadi atau tidak) dia bisa saja terpeleset dan jatuh.
4.       Segala konsekuensi yang perlu kita siapkan untuk melaksanakan sebuah dinamika yang menantang, sebaiknya bisa dimaknai dengan baik oleh peserta. Peran fasilitator akan menjadi urgen pada kesempatan ini. Bayangkan... ayo bayangkan... ada seorang peserta yang misalnya sampai terkencing-kencing saking takutnya ketika berada di atas bambu, kemudian dia turun lagi dengan selamat. Apa artinya itu? Apakah kita hanya berpikir, “yha sudah si penakut itu yang penting sudah bisa turun lagi” dan tidak melakukan pemaknaan, khususnya bagi yang bersangkutan? Ah, rasanya itu kurang bijak juga. Kalo hanya segitu  saja, lha sebenarnya apa tujuan kita menaikturunkan peserta dengan segala kerepotan (atau konsekuensi yha?)  yang kita siapkan. Nah, apapun jenis dinamika/ tantangan/ permainannya, sangat bijaksana jika itu dimaknai untuk pengembangan diri peserta.
Itulah teman-teman refleksi saya sampai saat ini tentang segala aspek “keselamatan” dalam kegiatan outbound/ experiential learning. Terimakasih untuk teman-teman yang sudah menyumbangkan opininya.
Selamat bertualang,
Palembang, 26 November 2011
Salam, Agustinus Susanta