yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Kamis, 04 Mei 2017

Outbound di Jakabaring Sport City Palembang, Bisa?

Jika ada yang nanya apakah bisa main outbound di Jakabaring Sport City Palembang? jawab saja bisa. 
Kalau ada yang tanya siapa yang pernah memfasilitasinya, jawab saja Sriwijaya EdFunture sudah beberapa kali mengelolanya. 
Kalo ada yang nanya lagi, seperti apa acaranya, nah, diminta liat-liat foto ini saja ya.

Terimakasih.

Ini salah satu penampakan program di Wisma Atlet- Jakabaring













Yang ini di Area Shooting Range / Lapangan Tembak - Jakabaring







Kalo yang ini di Aquatic Stadium - Jakabaring

















Karena sudah dapat kuali, kita cukupkan saja informasinya ya....
yang mau main-main di Jakabaring, boleh kontak saya melalui 08127397697, HP/ WA ya. Terimakasih.

Rabu, 03 Mei 2017

"80% Pasar Outbound Indonesia Dikuasai EL-Preneurs"

Nangunang adalah seorang instruktur outbound yang handal. Dia sering disewa oleh banyak provider sehingga jadwal dampingan mingguannya sangat padat, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bahkan ke luar pulau, berkarya dengan bermacam bendera, ….. itu duluuuuu…. 10-15 tahun lalu. Kini, dalam usianya yang 45an tahun, dia lebih banyak tinggal di rumah, di pinggiran kota, mengurus warung kecil dan 4 orang anaknya. Warung yang tiap hari dia jagai tak lagi ramai karena toko waralaba juga sudah menjamur di kotanya. Panggilan untuk ngisi outbound, atau menjadi fasilitator program pelatihan, sudah sangat jarang didapatnya, bahkan 6 bulan terakhir ini, dia belum pernah ada yang ngajak “manggung” outbound. Pun akhir-akhir ini ada yang ngajak, biasanya itu teman lama yang cenderung ingin bernostalgia saja mengenang kejayaan masa lalu.

Nangunang mendapati kenyataan bahwa kini sudah sangat banyak fasilitator muda yang beroperasi menjadi freelancer bagi program-program outbound atau sejenisnya. Hal yang dulu dirasa membanggakannya jika tampil di depan puluhan, bahkan ratusan peserta outbound, kini sudah jamak dilakukan oleh mereka-mereka yang lebih muda nan enerjik. Dulu, untuk mendapatkan uang ratusan ribu rupiah, serasa mudah hanya dengan “menjual” ketrampilan tampil dalam games-games maupun permainan heboh. Kini, untuk mendapat uang ratusan ribu seminggu dari warungnya sendiri, kok, terasa lebih susah. Untunglah sang istri yang guru SD Negeri masih menjadi penopang utama pergerakan ekonomi keluarga.

 “Ah, apa daya, masaku sudah lewat,” begitu akhirnya permenungan Nangunang selalu mentok. Matanya menerawang memandangi seisi warung kecilnya yang sedari pagi sampai siang ini hanya dikunjungi 5 pembeli. Foto kusam ketika dia sedang memfasilitasi outbound tertempel miring di atas tumpukan kotak air mineral. Sementara anak bungsunya yang masih balita terlelap di tikar sudut warung; entah apakah dia akan sanggup menyekolahkannya dengan layak kelak. Terawangannya terhenti ketika ada seorang pembeli mengetuk etalase warung mungilnya.

Itulah sekelumit kisah Fasel /fasilitator experiential learning atau dulu dikenal dengan istilah instruktur outbound, yang mungkin akan/ sedang dialami oleh kita para outbounder.

Tulisan ini akan menelisik lebih jauh tentang perkembangan bisnis outbound, atau dikenal dalam era kekinian dengan nama experiential learning, yang stakeholder utamanya tentu para fasilitatornya. Telaah ini didedikasikan terutama untuk acara Kopi Darat Nasional III Grup EL-Preneurs Indonesia,  yang hari-hari ini diadakan di Batam, Kepulauan Riau, 2-4 Mei 2017. EL-Preneurs Indonesia berawal dari grup WA yang dibentuk oleh AELI (Asosiasi Experiential Learning Indonesia), beranggotakan para pemilik/ pemimpin usaha yang terkait dengan experiential learning/ outbound atau sejenisnya di bidang aktivitas olahraga/ pelatihan luar ruangan. Informasi lebih lanjut tentang AELI, bisa kita simak di sini 



Gokilnya EL-Preneurs Indonesia

Komunitas EL-Preneurs Indonesia yang baru 2 tahun terbentuk ini, sebelumnya sudah 2 kali mengadakan acara Kopdarnas pada tahun 2016 lalu. Yang pertama di Anyer, dan yang kedua di Yogyakarta; kebetulan keduanya saya ikut. Karena untuk Kopdarnas ketiga ini saya, absen, maka saya menghadirkan diri lewat catatan ini saja. Semoga bisa memberi warna perkembangan grup EL-Preneurs Indonesia , khususnya dalam membuat jejak untuk masa depannya. Tidak hanya untuk para pemilik atau pemimpin pucuknya, tetapi juga untuk rekan-rekan seperti Nangunang yang dalam kenyataannya jadi ujung tombak program di lapangan.

Sebagian besar anggota EL-Preneurs Indonesia adalah anggota AELI juga, namun yang khusus sebagai pemilik/ pemimpin usaha experiential learning. Diantara 150an anggotanya, ada yang memang pemilik lembaga pembelajaran/ outbound, ada yang pemilik usaha produk adventure/ outdoor, ada juga yang pemilik venue/ lokasi outbound, pegiat pegunungan, trainer, motivator, dan EO ada juga tercatat sebagai anggotanya. Tercatat ada beberapa orang yang sudah jadi “legenda hidup” karena kemahsyuran nama (provider) dan kiprahnya di dunia outbound, namun banyak juga yang merupakan pengusaha-pengusaha baru. Ada yang omzet tahunannya baru puluhan juta, namun ada juga yang sudah tembus milyardan. Ada yang sudah berumur, namun banyak juga yang masih muda, semua bersatu karena kesamaan unsur (bisnis) experiential learning. Adapun misi EL-Preneurs Indonesia belum terekam secara definitif karena ini memang baru sebuah komunitas saja. Harapannya sih, dalam Kopdarnas Batam ini, mulai tereka-reka mau seperti apa EL-Preneurs Indonesia mewujud kedepannya.

Kembali pada nasib Nangunang, kenapa dia jadi begitu? Rahasianya, boleh lihat dalam http://catatanpenggiatoutbound.blogspot.co.id/2015/11/perlukah-saya-ikut-sertifikasi-bagian-22.html karena kedua catatan ini saling terkait. Jangan-jangan Nangunang terlalu asyik di zona E (employee / pekerja / buruh) sehingga ketika provider yang  biasa memekerjakannya punya pilihan lebih baik (lebih muda, lebih enerjik, pun lebih murah honornya) maka Nangunang menjadi pilihan terakhir. Nangunang nggak punya daya tawar di hadapan provider outbound.

Nah, kita akan membahas anggota EL-Preneurs Indonesiayang mestinya masuk dalam kuadran B atau Business Owner alias pemilik usaha. Kalo hasil renungan saya sih, pengusaha outbound yang mantap itu memang pernah jadi instruktur / fasilitator outbound yang matang di lapangan, kemudian tergerak masuk ke kuadran B. bahwa kemudian bidangnya mengembang dari experiential learning, itu nggak masalah. Pertanyaannya adalah (sejatinya) untuk apa kita menggabungkan diri dalam EL-Preneurs Indonesia? Apa yang dicari?

Merujuk pada hirarki kebutuhan Maslow, maka ada 5 tingkat kebutuhan, yaitu Kebutuhan fisiologi/ fisik/ biologi, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Rasanya semua jenis kebutuhan tadi masuk menjadi pertimbangan seseorang masuk jadi anggota EL-Preneurs Indonesia, walau prosentasenya pasti beda-beda.

Merujuk pada catatan saya sebelumnya,  http://catatanpenggiatoutbound.blogspot.co.id/2017/05/hobby-makes-money.html Maka salah satu kunci seseorang yang menggeluti hobi outbound, lalu kemudian menjadi profesi, sampai akhirnya menghasilkan rejeki (uang) adalah “relasi.” Maka berjeraing seperti dalam EL-Preneurs Indonesia ini adalah bentuk komunitas yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan lebih mengalirkan rejeki pada usaha tiap anggotanya. Lalu apakah motif ekonomi yang menggerakkan anggota EL-Preneurs Indonesia untuk berkomunitas, kalo mau jujur, mestinya sih iya. Namun, bagusnya di EL-Preneurs Indonesia ini, faktor pemenuhan kebutuhan fisiologis bukanlah yang mendominasi. Seperasaan saya, ternyata ada faktor lain yang juga memengaruhi, yaitu kebutuhan akan rasa aman, penghargaan,  dan terutama aktualisasi diri. Tentu saja konteksnya dalam dunia bisnis outbound / experiential learning ya. Susah menjelaskannya dalam bentuk tulisan, tetapi jika kita menjadi anggotanya dan sudah beberapa kali berinteraksi, baik secara langsung maupun lewat media sosial, maka hal-hal tersebut akan mudah terasakan.
Sinergi anggota AELI berbagai DPD dalam mendukung IIUOTFEST Jakarta 2017

Sebagai salah satu contoh betapa unik relasi di EL-Preneurs Indonesia , begini. Dalam suatu “beauty contest”/ tender untuk mendapatkan program pelatihan di PT ANU, seorang anggota EL-Preneurs Indonesia bertemu dengan mantan anak buahnya dulu yang pernah dia ajak. Sang anak buah lalu memisahkan diri untuk  membuat provider outbound sendiri. Ketika bertemu dalam sebuah kompetisi memenangkan tender, yang ada adalah keakraban, bukan permusuhan. Bahkan ketika sang anak buah yang memenangkan tender, si EL-Preneurs Indonesia tersebut justru memberi masukan beberapa tips mengelola pelatihan untuk PT ANU tersebut. Maklum si anggota EL-Preneurs Indonesia pernah juga beberapa kali mendampingi perusahaan tersebut. Wah, bagi saya itu pengalaman yang menarik, bagaimana kebesaran jiwa seorang senior dalam menghadapi dinamika bisnis, pun ketemu kompetitor yang adalah mantan anak didik yang pernah meninggalkannya.

Contoh lain, nih, dan ini lebih banyak. Beberapa orang anggota EL-Preneurs Indonesia kerap mendapatkan program outbound/ pelatihan di berbagai kota di Indonesia. Misalnya, minggu lalu dia main di Medan, di grup WA dia posting foto kolaborasinya dengan anggota EL-Preneurs Indonesia asal Medan. Minggu ini dia dapat proyek di Bali, maka dipostingnya kebersamaan nggarap proyeknya bersama teman-teman dari Bali. Minggu depannya dia ke Makassar, dan bisa dipastikan dia akan mencari anggota EL-Preneurs Indonesia di sana untuk diajak kolaborasi. Ya, sinergi adalah salah satu jargon yang coba dihidupi oleh tiap anggota EL-Preneurs Indonesia. Jargon lainnya apa? GOKIL, ya, walopun mayoritas pemilik usaha, tapi karena yang diusahakan itu outbound, maka gokil menjadi salah satu nafasnya. Serius tapi gokil, gokil tapi serius. Ya maklumlah, outbound khan juga bisnis yang “memermainkan” peserta lewat permainan.

Suasana Kopdarnas II ELPreneurs Indonesia yang jadi sampul website AELI
Saat Kopdarnas II di Yogyakarta bulan Juni 2016 lalu, 50an anggota EL-Preneurs Indonesia sempat mendiskusikan mau dibawa kemana gerakan tersebut? Namun ternyata saat itu belum ada upaya untuk membuat gerakan tertentu untuk lebih menegaskan keberadaan EL-Preneurs Indonesia. Yang ada justru EL-Preneurs Indonesia akan menjadi salah satu motor utama untuk mendorong AELI melebarkan sayapnya di tanah air. Kenapa anggota  EL-Preneurs Indonesia begitu bersemangat untuk bersekutu? Padahal mungkin di lapangan, terutama di kantor-kantor HRD perusahaan, mereka “berperang” mendapatkan proyek pelatihan?  Saya curiga karena pertama-tama yang menyatukannya adalah AELI. 

Ya, AELI itu asosiasi yang bervisi “Menjadi wadah dan mitra yang berkualitas bagi seluruh lembaga atau perorangan pengguna metode pelatihan berbasis pengalaman di Indonesia dan bertanggung jawab terhadap pengembangan kualitas manusia Indonesia.” Adapun 3 misinya adalah:

  • ·         Memasyarakatkan pelatihan berbasis pengalaman kepada masyarakat Indonesia. 
  • ·         Meningkatkan kualitas  pelatihan dan pendidikan berbasis pengalaman, sehingga menjadi metode pelatihan yang efektif dan diakui di Indonesia.
  • ·         Meningkatkan kualitas pelaksana pelatihan berbasis pengalaman sehingga menjadi pelaksana pelatihan yang bertanggung jawab terhadap pengembangan manusia Indonesia.
Jadi jelas, AELI itu asosiasi yang mendasarkan pada keilmuan experiential learning, bukan pada bisnis yang menggunakan experiential learning. Menjadi sebuah kewajaran ketika sebagian besar anggotanya yang adalah pelaku bisnis mulai berinisiatif membicarakan bisnis experiential learning secara lebih serius. Itulah latar belakang kemunculan EL-Preneurs Indonesia yang berafiliasi pada AELI. Maka, walau dibingkai dalam perspektif kepentingan bisnis, tetapi pendasaran EL-Preneurs Indonesia adalah visi mulia asosiasi.

Quo Vadis EL-Preneurs Indonesia?

Kini kita beralih pada hal yang menyangkut masa depan EL-Preneurs Indonesia nih, gimana bagusnya EL-Preneurs Indonesia mewujud? Tetap seperti saat ini sebagai komunitas grup WA yang sekali setahun menyepakati kopi darat sajakah? Atau bagaimana? Saya menafikkan dulu bahwa sebagian anggotanya sudah saling berinteraksi bekerjasama bisnis outbound ya, soalnya itu bukan program EL-Preneurs Indonesia, hanya jadi akibatnya saja sih.

Masih banyak anggota EL-Preneurs Indonesia yang sedang dalam taraf merintis usaha outbound, dan jauh lebih banyak lagi rintisan usaha experiential learning yang sedang dibuat di luar ELPI. Sebagian hanya bertahan singkat karena hanya mengikuti tren, sementara yang ingin tetap bertahan namun mengalami keterbatasan di sana sini juga ternyata lebih banyak lagi. Katakanlah orang-orang seperti Nangunang yang ingin berbisnis outbound, namun karena satu dan lain hal menjadi susah untuk mengembangkannya. Lantas, apakah kita di EL-Preneurs Indonesia akan membiarkannya, atau akan sekedar bilang, “Maka jadilah anggota AELI, di sana kalian akan belajar banyak tentang 9 kompetensi Fasel. Lalu setelah itu jadilah anggota EL-Preneurs Indonesia supaya ketemu teman-teman sepengusaha outbound.” Ya, apakah cukup segitu saja?

Saya belum lama mengecimpungkan diri sebagai pemilik usaha experiential learning, maklum masih pendatang baru di dunia entrepreneur, maka mungkin ulasan kebisnisan saya masih dangkal, nggak apa-apa ya, namanya juga usaha. Namun hasil permenungan saya terhadap keberadaan EL-Preneurs Indonesia dibandingkan lebih banyak pengusaha outbound lain di “luar” sana adalah begini. EL-Preneurs Indonesia, melalui sebagian anggotanya bisa memosisikan diri membuat konglomerasi bisnis experiential learning di Indonesia. Sudah ada zona nyaman yang selama 2 tahun berhasil dirintis dalam simbiosis mutualisme penyelenggaraan bisnis experiential learning. Jadi kasarnya, “mari kita mengeksklusifkan diri saja, toh selama ini sudah cukup anggota yang bisa diajak berlokaborasi. Pun mau mengembangkan, kita cari di kota-kota yang belum ada AELInya.”


AELI ketika mengisi acara dalam IIUOTFEST di Bandung
Memerhatikan konteks keanggotaan AELI di 16 provinsi, semangat EL-Preneurs Indonesia dan relasi dengan pemerintah, saya sih punya keyakinan jika EL-Preneurs Indonesiamau, hal tersebut bisa terjadi. Hukum pareto bisa mewujud dalam dunia outbound Indonesia, seperti judul tulisan inil  "80% pasar outbound Indonesia dikuasai hanya 20% pelaku bisnisnya," yang kebetulan jadi anggota EL-Preneurs Indonesia. Wow… amboy bagi EL-Preneurs Indonesia, tetapi menyeramkan bagi yang lain. Apakah itu yang akan mewujud dalam beberapa tahun ke depan? Apakah akan lebih banyak Nangunang-Nangunang lain yang pikirannya berkunang-kunang karena masa kejayaannya sebagai outbounder sudah lewat? Ah, saya hanya berandai-andai, silakan teman-teman di Batam mengobrolkannya...

Selamat melanjutkan Kopdarnas III, teman-teman EL-Preneurs Indonesia.

Palembang, 3 Mei 2017; 
Salam gokilers dari Agustinus Susanta


Selasa, 02 Mei 2017

Pendidikan Berbasis Petualangan

Naskah “Pendidikan Berbasis Petualangan” ini adalah materi LOMBA MENULIS ESAI HUT KANISIUS KE-95 TEMA: “Menggagas Pendidikan untuk Indonesia,” yang diadakan oleh PT Kanisius pada Desember 2016. Namun janji pengumuman pada Januari 2017 malah nggak ada kabarnya, bahkan kelanjutan tentang lomba ini pun lenyap. Maka saya berinisiatif memuat tulisan ini dalam blog, persis pada Hari Pendidikan Nasional tahun 2017 ini. Yaaa... daripada mendem nggak jelas di Kanisius, semoga tulisan ini bisa menginspirasi kita bersama bahwa pendidikan yang berkualitas namun seru dan asyik bisa kita kelola berbasiskan permainan atau petualangan. 


Sinopsis

Pendidikan Pengalaman, atau dikenal dengan experiential learning, atau disebut secara populer sebagai outbound merupakan metode pembelajaran yang sudah berusia lebih dari 1 abad, dimulai oleh Baden Powell dengan gerakan Kepanduannya. Metode pendidikan ini berkembang melintas jaman dan waktu sampai akhirnya sampai ke Indonesia pada awal tahun 1990an.
Metode Pendidikan Pengalaman memunyai banyak pendekatan keilmuan karena sudah dikembangkan sejak lama oleh berbagai kalangan, terutapa pendidik. Basis Pendidikan Pengalaman adalah menggabungkan unsur fisik, emosi, dan intelektual peserta didik. 4 tahap Pendidikan Pengalaman  adalah mengalami, merefleksikan, mengambil makna, serta menerapkan. Ada 4 sifat Pendidikan Pengalaman, yaitu rekreatif, edukatif, developmental, dan terapi.
Pendidikan Pengalaman fleksibel diterapkan pada berbagai kalangan karena lebih menyenangkan dan memunyai perbedaan dengan pola pendidikan tradisional. Indonesia pun sudah memunyai asosiasi profesi yang mewadahi olah pikir para pegiat experiential learning. Pemerintah pun mendukung peningkatan kompetensi para fasilitator experiential learning/ Pendidikan Pengalaman dengan menerbitkan sertifikasi.
Indonesia memerlukan terobosan sistem pendidikan yang efektif menunjang kebijakan saat ini, terutama untuk pengembangan karakter manusianya. Pendidikan Pengalaman, experiential learning, atau outbound adalah pilihan yang efektif; hal tersebut dijelaskan dengan beberapa  alasan yang relevan.



Pendidikan Berbasis Petualangan

Manusia adalah “Homo Ludens” atau mahkluk bermain. Tak akan pernah lekang semangat bermain dalam diri manusia, pun secara umur, dia sudah menginjak dewasa, bahkan lanjut usia. Bermain selalu menawarkan kegembiraan dan gairah yang membuncah, ditingkah sedikit misteri, siapa pememang dari permainan tersebut.
Ya, sebagai homo ludens, peluang metode “bermain” jauh lebih besar digunakan untuk mendidik/ mengembangkan karakter seseorang daripada sekedar “belajar” secara formal. Apakah kita bisa menggunakan metode bermain untuk mengembangkan karakter seseorang? Bisa, asal permainan tersebut dilakukan dengan serius, dalam arti kita tahu metodenya. Catatan ini akan memberi penegasan bahwa ada metode, yang sungguh tepat diterapkan untuk mengembangkan karakter, yaitu experiential learning.


Perkembangan Metode “Pendidikan berbasis Petualangan”

Ketika istilah permainan lalu diluaskan menjadi sebuah “experience” atau pengalaman, maka ternyata ada metode yang memang sudah berkembang sejak awal abad ke-20; yaitu metode experiential learning; atau belajar melalui pengalaman, atau pendidikan pengalaman Metode ini mulai dikenal sejak tahun 1907, saat Baden Powell, mengadakan Perkemahan Kepanduan pertama di Brownsea Island, Inggris. Kegiatan yang sebagian besar diisi dengan berbagai “permainan” tersebut bertujuan membentuk karakter pemuda supaya kuat, ulet, berwaswasan, ksatria, mampu bertahan di alam, dan berjiwa patriot.
Pada era Perang Dunia II, Kurt Hahn dan Sir Lawrence Holt melakukan pelatihan selama 28 hari untuk menggembleng fisik, intelektual, dan emosi pelaut muda Inggris menghadapi pelayaran niaga yang tak luput dari gempuran kapal selam Jerman. Saat itu banyak pelaut muda Inggris yang mati di lautan akibat kurang mempunyai jiwa survival saat terjebak dalam kekacauan perang.  Materi utama pelatihan yang dikenal dengan nama Outward Bound tersebut adalah: kerjasama, keterbukaan, percaya diri dan saling bantu, serta prinsip navigasi dan perkapalan. Ternyata metode tersebut dianggap berhasil, sehingga Kurt Hahn mendirikan sekolah kedua yaitu Gordonstoun School. Nama “Outward Bound” pun dalam perkembangannya menjadi sebuah merek dagang pelatihan pengembangan karakter.
Pada tahun 1938, John Dewey menerbitkan buku “Experience and Education” yang terinspirasi oleh metode pendidikan Kurt Hahn. Dewey berpendapat bahwa siswa perlu mendapat keseimbangan nilai, antara “kegiatan yang menantang sebagai pembentuk karakter” dengan kegiatan akademis. Ia meyakini bahwa pendidikan sejati terbentuk melalui pengalaman.
Pada tahun 1962, Josh Miner, seorang Amerika yang pernah berkarya di  Gordontoun School mendirikan Outward Bound School di Colorado, AS. Setelah momen ini, Outward Bound School akhirnya lebih cepat menyebar ke berbagai belahan dunia. Metode yang diusung tetap sama, yaitu model Kurt Hahn yang menekankan pengalaman petualangan/ tantangan.
Pada 1967, David Kolb, menggagas Experiential Based Learning System. Kolb merilis 4 tahapan experiential learning yang paling banyak dirujuk, yaitu: Concrete Experience, Reflective Observation, Abstrac Conceptualization, dan Active Experimentation. Gagasan dasarnya adalah bahwa seseorang bisa belajar melalui pengalaman.
Sejarah pendidikan melalui petualangan masuk ke Indonesia pada tahun 1990, ketika Outward Bound Indonesia berdiri di tepian Waduk Jatiluhur Purwakarta, Jawa Barat. Ini adalah lembaga yang rintisannya dibuat oleh Kurt hahn pada tahun 1914. Pada tahun-tahun pertama, hanya perusahaan-perusahaan kelas “atas” di Indonesia yang bisa mengikutkan karyawannya dalam pelatihan di tempat ini.
Selepas pertengahan tahun 90an, mulai bermunculan berbagai penyelenggara pelatihan/ provider yang mengusung model pelatihan yang bernuansa petuangan/ permainan/ simulasi, terutama di luar ruangan. Penamaannya pun beragam, termasuk yang sangat populer adalah Outbound. yang merupakan perkembangan penyebutan dari “outward bound.” Outbound secara populer menggambarkan sebuah proses pelatihan di luar ruangan yang disisipi makna-makna tertentu dalam refleksinya. Istilah outbound sendiri sebenarnya serapan dari dunia pariwisata yang berarti bepergian ke luar negeri. Pun istilah experiential learning sampai saat ini belum menemukan padanan yang tepat dalam Bahasa Indonesia, selain “Pendidikan (melalui) Pengalaman.”
Pada tahun 2002, Prof. Djamaluddin Ancok menulis buku “Outbound Management Training; Aplikasi Ilmu Perilaku dalam Pengembanan Sumber Daya Manusia. Penerbitan buku ini seakan-akan menjadi “pengesahan” bahwa ada metode pendidikan/ pelatihan yang bernama outbound.
Pada tahun 2007, Berdiri AELI/ Asosiasi Experiential Learning Indonesia atas keprihatinan bahwa mulai banyak ditemukan persaingan kurang sehat antar penyelenggara kegiatan “outbound,” kecelakaan dalam proses pelatihan juga meningkat, serta mulai ditinggalkannya kaidah pendidikan dalam pelatihan-pelatihan luar ruangan. AELI menjadi wadah dan mitra bagi pengguna metode experiential learning untuk memasyarakatkan dan meningkatkan kualitasnya demi  pengembangan karakter manusia Indonesia. Sampai akhir tahun 2016 ini, AELI sudah tersebar di 14 provinsi, dan akan terus mengembangkan dirinya.
Akhirnya, pada tahun 2015 Pemerintah Indonesia melalui BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) sudah melakukan sertifikasi/ uji kompetensi bagi para pemandu outbound/ fasilitator experiential learning. Walau sekedar “bermain-main,” ternyata fasilitatornya harus menguasai 9 kompetensi utama, termasuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran dengan metode experiential learning.
Menilik catatan sejarah, ternyata pendidikan berbasis pengalaman sudah dikembangkan dengan serius, walaupun di Indonesia kurang terasa gaungnya. Mungkin karena kita terlalu mengagungkan pola pendidikan tradisional yang kental dengan penyampaian materi secara satu arah saja.

Karakter Pendidikan berbasis Pengalaman

Semua orang membutuhkan buah dari pengalaman, namun tidak setiap orang harus mengalami pengalaman tersebut. Untuk itulah ilmu pedagogi ada, untuk mentransfer makna/ buah pengalaman (orang lain).
Prinsip pendidikan berbasis pengalaman adalah menggabungkan 3 hal dalam sebuah program/ proses pembelajaran, yaitu unsur fisik/ psikomotorik, emosi/ psikologis, dan intelektual/nalar/ pengetahuan. Artinya, peserta didik memang harus melakukan kegiatan secara fisik, emosinya ikut terlibat, namun tetap ada unsur penalaran/ analisis di dalalamnya. Biasanya, peserta didik dibawa pada kondisi di luar kebiasaannya, masuk dalam suasana ketidaknyamanan sehingga tiga hal tadi dapat tereksplorasi secara maksimal.

Bagaimana Pendidikan Pengalaman dilaksanakan? Ada 4 pentahapan dalam metode tersebut, yaitu:
  • Peserta didik MENGALAMI sendiri pengalaman nyata,
  • Pengalaman tersebut DIREFLEKSIKAN,
  • Peserta didik mengambil MAKNA atau MANFAAT dari pengalaman yang direfleksikan tadi, lalu
  • Peserta MENERAPKAN makna atau manfaat tersebut dalam kesehariannya.

Pendidikan Pengalaman sendiri dibagi menjadi 4 kategori berdasarkan hal yang ingin dirubah/ dikembangkan pada peserta didik, yaitu:
  1. Rekreasional, dengan fokus merubah perasaan; misal peserta didik yang awalnya merasa jenuh/ bosan menjadi bergairah/ bersemangat.
  2. Edukasional, dengan fokus merubah cara berpikir peserta didik; biasanya dilakukan dengan praktik,observasi dan refleksi.
  3. Developmental, dengan fokus merubah prilaku/ kebiasaan; misalnya pengalaman yang direfleksikan, serta dimaknai bisa sampai memengaruhi sikap peserta didik ketika kembali ke sekolah/ rumah.
  4. Terapi, dengan fokus merubah resistensi peserta didik, misalnya dalam hal pemikiran atau kebiasaan yang ingin ditinggalkan.


4 kategori Pendidikan Pengalaman tersebut tentu saja berbeda dalam metodologinya, sehingga porsi 4 tahap Pendidikan Pengalaman akan disesuaikan sesuai tujuan pembelajarannya.
Mengapa Pendidikan Pengalaman efektif sebagai metode pembelajaran, khususnya dalam upaya pengembangan karakter? Berikut ini 7 aspek yang berbeda antara pendidikan tradisional dengan pendidikan pengalaman.

No
Aspek
Tradisional
Pendidikan Pengalaman
1.              
Inisiatif utama
Guru
Individu
2.              
Kebebasan
Banyak aturan
Ekspresif, bebas
3.              
Sumber belajar
Buku dan guru
Pengalaman (diri, teman, lingkungan)
4.              
Perolehan ketrampilan
Indoktrinasi
Berdasar kebutuhan untuk diaplikasikan
5.              
Prospek hasil
Cenderung untuk masa depan saja
Untuk saat ini dan masa depan
6.              
Materi
Cenderung tetap
Ikut perkembangan
7.              
Komunikasi
Satu arah
Dua arah

Bagaimana pengalaman dimaknakan? Ternyata ada 7 metode yang terus berkembang sejak tahun 40an, dan yang paling terkenal adalah Debriefing/ pemaknaan di akhir proses. Sekedar menyebut metode yang lain, ada pula makna yang disampaikan justru sebelum peserta didik melakukan/ mengalami “pengalaman”

Mengapa Pendidikan Pengalaman Perlu Segera dipopulerkan di Indonesia?

Ada beberapa alasan mengapa metode pendidikan pengalaman perlu segera dipopulerkan dalam sistem pendidikan di Indonesia, khususnya dalam upaya mengembangkan karakter peserta didik.
  1. Metode Pendidikan Pengalaman sudah lebih dari 1 abad berlangsung, dan tentunya telah banyak kajian keilmuannya. Jadi kita harus yakin, bahwa selalu ada landasan keilmuan/ilmiah dalam tiap ragam metode pendidikan pengalaman.
  2. Metode Pendidikan Pengalaman sangat fleksibel dan menyenangkan digunakan pada semua rentang usia, mulai dari anak-anak sampai lanjut usia. Apalagi jika pendekatannya melalui permainan. Hal ini bisa menjadi solusi guna membelajarkan orang-orang dewasa; maklum, budaya Indonesia masih kental dengan sopan santun dan rasa “segan” terhadap orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya
  3. Alam Indonesia yang kaya dengan bentang alam serta seni budayanya yang sangat beragam bisa menjadi materi yang tak akan habis digali sebagai sumber “pengalaman” bagi peserta didik. Hal ini akan menjadi “kawah candradimuka” bagi pengembangan mental manusia-manusia muda Indonesia.
  4. Metode Pendidikan Pengalaman bisa memerkuat metode pendidikan tradisional, atau apa pun metode yang sedang menjadi kebijakan negara. Artinya, untuk materi-materi pembelajaran yang efektif dilakukan dengan pedagogi, silakan dilanjutkan. Mana yang sebenarnya efektif dengan andragogi juga pendidikan pengalaman, kita harus berani mencobanya.
  5. Indonesia sudah memunyai asosiasi bagi lembaga/ individu yang bergiat di Pendidikan Pengalaman, yaitu AELI. Hal ini akan memudahkan proses saling belajar terkait keilmuan maupun praksis pelaksanaan metode experiential learning.
  6. Melalui sertifikasi profesi, pemerintah sudah mengakui bahwa pemandu outbound adalah keahlian yang harus bisa dipertanggungjawabkan, termasuk dalam hal keilmuannya. Artinya, pemerintah mulai mengakui bahwa Pendidikan Pengalaman itu “sesuatu yang bernas” sehingga perlu dibuat regulasinya.



Akhirnya, mari kita makin terbuka dan kreatif dalam upaya memajukan bangsa Indonesia melalui pendidikan. Ketika ada metode yang sebenarnya sudah teruji dan efektif digunakan, kenapa tidak kita coba? Experiential learning atau pendidikan pengalaman, atau populer dengan istilah outbound patut kita pertimbangkan secara serius sebagai salah satu metode pendidikan karakter bangsa. Belajar dengan bermaian, apalagi bertualang, Wow, pasti seru!


Brebes, 20 Desember 2016
Agustinus Susanta; 
Fasilitator Experiential Learning Tingkat Utama; Ketua Asosiasi Experiential Learning Indonesia DPD Sumatera Selatan.

Senin, 01 Mei 2017

Hobby Makes Money


Itulah tema yang diusung AELI saat tampil dalam ajang IIOUTFEST di Senayan Jakarta pada Awal April 2017 lalu. Saya sempat datang ke acara itu; pertama sebagai simpatisan AELI yang kebetulan ketua DPD Sumsel, kedua, karena mau isi acara bincang-bincang bertema tersebut, ketiga, sekalian mau liat barang-barang pameran, siapa tahu ada yang sesuai kebutuhan dan berharga miring, jadi bisa dibawa pulang. Tema tersebut sangat menarik; bagaimana hobi bisa menghasilkan uang. Bagaimana cobaaa…? Saking menariknya, saya berencana membuat sebuah tulisan untuk menyambut momen itu, namun apa lacur, baru sekarang tulisan itu tersusun. Saya sih yakin, tema yang provokatif tersebut tak lekang dimakan jaman untuk dikonsumsi para pegiat experiential learning atau outbound di tanah air. Ya, membicarakan hobi yang lalu bisa menghasilkan duit, siapa sih yang nggak pengen?
"Hobby Makes Money," bersama sebagian kecil relasi yang sadar kompetensi

Salah satu pembicara dalam talkshow di panggung IIOUTFEST tersebut , Mas Enda Mulyanto berujar, “Janganlah kita yang mencari uang, namun biarlah uang yang mencari kita,” sangat enak kedengarannya, namun jika dipikir lebih lanjut, apa iya bisa ya. Mas Mul--panggilan Enda Mulyanto-- , tentu punya sekian banyak pengalaman hidup yang menimpa dan menempanya, sehingga bisa menyimpulkan bahwa dalam dunia outbound yang awalnya adalah hobi, uang bisa datang pada kita. Tentu saja syarat dan ketentuan berlaku.

Tulisan ini akan mengupas bagaimana hobby (memfasilitasi outbound atau experiential learning ) bisa mendatangkan money (uang) bagi kita para pelakunya. Saya modifikasi sedikit tagline tersebut menjadi “Dari Hobi menuju Profesi yang Merejeki,” intinya sih nyaris sama, hanya istilah rejeki tidak langsung berkonotasi dengan uang; ya, uang hanyalah salah satu konsekuensi yang mengikutinya saja.

Kita juga perlu membedakan antara hobi dan pekerjaan, sehingga tulisan ini jangan dibaca seperti tutorial bekerja yang memang ditargetkan menghasilkan sesuatu secara sistematis. Mengutip kamus, Hobi adalah kegiatan rekreasi yang dilakukan pada waktu luang untuk menenangkan pikiran seseorang. Tujuan hobi adalah untuk memenuhi keinginan dan mendapatkan kesenangan. Terdapat berbagai macam jenis hobi seperti mengumpulan sesuatu/ koleksi, membuat, memperbaiki, bermain, dan pendidikan dewasa. Jadi, makin jelas ya, aktivitas hobi yang saya sebut-sebut di sini bukanlah aktivitas seperti kita bekerja di perusahaan.

Bagaimana hobi para pelaku outbound—selanjutnya saya sebut sebagai outbounder—bisa menjadi sebuah profesi, yang lalu mendatangkan rejeki? Ternyata syaratnya hanya ada 3 SI, yaitu: Konsinstensi, Kompetensi, dan Relasi. Saya akan memaparkan 3 SI tersebut dalam kacamata pengalaman saya sendiri untuk menghindari kesan menggurui. Apalagi dunia outbound itu lekat dengan experiential learning, atau belajar dari pengalaman. Ijinkan saya berbagi pengalaman menghobii outbound selama lebih dari 14 tahun sampai kini malah menjadi profesi yang mendatangkan rejeki pada kehidupan dan penghidupan saya. Ceritanya agak panjang nggak apa-apa ya? Yaaa…

Konsistensi

Saya merantau ke Palembang sejak 2001, dan bekerja sebagai dosen arsitektur di salah satu perguruan tinggi di ibu kota provinsi Sumatera Selatan tersebut. Namanya, dosen, ya tiap hari ketemu dengan mahasiswa, dan itu selalu menggairahkan. Yang pernah merasakan bangku kuliah tahulah ya gimana dinamisnya kehidupan kampus, mulai dari urusan akademik sampai aneka kegiatan kemahasiswaannya. Sebagai dosen muda yang idealis, boleh dikatakan aneka kegiatan tridharma perguruan tinggi sudah saya lakoni, termasuk mengadakan berbagai penelitian, sampai diseminarkan di beberapa kampus ternama di Pulau Jawa. Saat itu pekerjaan saya sebagai dosen, dan belum ada hobi yang spesifik selain membaca dan main sepak bola.

Saya senang mengajar, sehingga panggilan mengajar dan mengembangkan orang lain rasanya lebih tersalurkan dengan berinteraksi di lingkup yang lebih luas dari sekedar pagar kampus. Maka saya mulai terlibat dalam komunitas sosial dan kerohanian.
Kenangan pertama "outbound" pada 28-30 Juni 2003
Tahun 2003 saya begabung dalam tim yang diminta memfasilitasi pertemuan 3 hari 2 malam di Kota Curup, Bengkulu, berpeserta 250an orang muda. Saat itu ada acara pemberian materi kerjasama, yang lalu saya rubah formatnya menjadi lintas alam. Panitia sih setuju-setuju saja, lha wong kita yang diminta ngisi, kok, he he he… survey di lokasi yang berjarak sekitar 10 jam perjalanan darat dari Palembang tersebut dilakukan sekali. Singkat cerita, kegiatan lintas alam berlangsung sukses dari pagi hingga sore hari. Persiapannya sungguh menguras energi; maklum itu kegiatan pertama kali kami berformat outdoor, atau yang lalu saya kenal dengan nama outbound.

Berbekal keberhasilan membuat “outbound” tahun sebelumnya, pada tahun 2004, saya menggagas juga kegiatan outbound pada pertemuan dalam skala yang lebih besar, yaitu 700an orang. Waktu outboundpun jadi 2 hari dari total waktu 4 hari kegiatan pertemuan yang berformat kemping tersebut. Apa hasilnya? Outbound hari pertama lumayan sukses, tetapi outbound hari kedua berantakan karena saya keliru memerhitungkan durasi terhadap lokasi serta aktivitasnya. Jika ada yang penasaran bagaimana berantakannya outbound tersebut, semoga kali lain sempat saya tuliskan pengalaman serunya, he he he…


Salah satu pos dalam outbound tahun 2004

Kegiatan games komersil pertama saya dilakoki pada akhir 2004. Disebut komersial karena saat itu sebagai fasilitator freelance yang direkrut sebuah lembaga pembelajaran, saya mendapat honor. Lanjut, outbound komersial saya selama 4 hari berpeserta para manager perusahaan terjadi pada tahun 2005 dengan lokasi di Sindang Jati - Rejang Lebong – Bengkulu. Dengan persiapan matang mengusung tema “How to Survive” outbound training pun berlangsung lancar. Di titik ini saya masih melihat bahwa outbound yang kami lakukan masih merupakan hobi, walau sudah mendatangkan pemasukan (uang)
Pelatihan pertama, bahkan nulis tema pun masih keliru, hehehe...
Sejak itu, kabar bahwa ada tim outbound di Palembang mulai menyeruak. Satu demi dua perusahaan mulai memanggil tim outbound kami  untuk memfasilitasi aneka outbound bagi karyawannya. Riwayat pendampingan outbound saya agak panjang, boleh diintip di sini saja Ada yang sekedar mau fun games saja, namun ada juga yang bersifat pelatihan, bahkan pengembangan karakter. Format keterlibatannyapun beragam, misalnya hanya ngisi beberapa permainan saja, ada yang sifatnya  mbantu teman dengan “benderanya,”, ada yang atas nama kampus, namun ada juga yang tanpa nama lembaga walau yang didampingi perusahaan. Pokoknya macem-macem lah formatnya.

Kerjasama untuk membuat lembaga outbound pun pernah beberapa kali dilaksanakan. Ada yang bertahan dengan 2 event saja, ada juga yang sampai belasan kali saja buat acara. Bahkan ada juga yang lembaganya kini sudah tidak jelas karena para pendirinya punya kesibukan lain. Ada yang sifatnya sosial/ kerohanian, namun banyak pula yang komersil. 12 September 2012 saya mulai menyeriusi dunia outbound ini dengan membuat sendiri lembaga pembelajaran bernama Sriwijaya EdFunture. Pun begitu, saya masih sering beroperasi dengan berbagai bendera juga. Yach, namanya juga hobi, dan saat itu belum jadi profesi, lho. Pun pula, pekerjaan resmi saya masih sebagai dosen.

Pada tahun 2006-2009 saya juga masuk dunia proyek dalam suatu perusahaan kontraktor, berstatus manager proyek. Jadi selain profesi utama sebagai, dosen, ada 2 lagi kegiatan saya, yaitu outbounder dan manager proyek. 2 tahun pertama, semua berjalan lancar, namun berikutnya, mulai terjadi benturan-benturan, terutama urusan alokasi waktu kegiatan. Akhirnya, dunia kontraktor saya istirahatkan, tetapi dunia outbound tetap saya geluti. Refleksi saya sih karena dunia kontraktor itu penuh perhitungan yang minim kreasi, sementara dunia outbound/ pelatihan bisa mengeksplorasi kreativitas, walau tetap dengan perhitungan. Intinya, berkarya sebagai outbounder lebih asyik daripada kontraktor, walau pemasukan dari kontraktor saat itu lebih menjanjikan daripada sekedar hobi outbound saya.
Outbound Departemen Hukum dan Ham Sumsel pada 16 Mei 2009; bersama tim outbound Sekolah Tinggi Teknik Musi, tempat saya mengajar. Lokasi juga di kampus Musi.


Tahun 2011, setelah 1 windu berkelindan dalam dunia outbound, 2 buku tentang outbound sudah saya tulis, dan diterbitkan secara nasional. Buku itu sebenarnya perwujudan kecintaan saya pada hobi outbound. Begitu banyak pengalaman sebagai outbounder yang sangat sayang jika tidak bisa dibagikan/ dicicipi oleh orang lain, apalagi yang punya hobi serupa. Niat utama saya buat buku tersebut adalah untuk berbagi pengalaman. Dalam perjalanan beberapa tahun berikutnya, buku kedua, ketiga, dan seterusnya juga berhasil saya tulis.

Saat saya mulai mengalami ada aliran rejeki pada hobi saya sebagai outbounder, membuat saya justru makin haus akan kedalaman dunia outbound. Pertanyaan yang menyeruak saat itu adalah, “Siapa sih, dedengkot outbound di Indonesia? Saya ingin belajar darinya.” Maklumlah, saya tahu outbound secara otodidak, coba-coba, praktik, dan lalu berkreasi lagi. Saya merasa sudah banyak kreativitas dalam dunia outbound yang saya buat, tetapi rasanya masih ada sesuatu yang misterius, yang lebih dahsyat dari sekedar kreasi. Apa itu? Itu juga yang lalu saya cari-cari.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba, pada 5-7 Maret 2012 saya ikut pelatihan Training of Trainer Bidang Kefasilitatoran (outbound) di Bogor. Saat itulah saya kenal dengan istilah experiential learning dan ternyata ada asosiasinya, yakni AELI (Asosiasi Experiential Learning Indonesia). Kalo mau ngintip webnya ada di sini. Sungguh 3 hari yang mengesankan, ketemu teman-teman baru dari berbagai provinsi, dan yang paling penting, belajar lebih dalam tentang (teori) outbound dari para “pendekar”nya. Nah, pada bab selanjutnya kita akan masuk pada SI yang kedua, yaitu Kompetensi.

Kompetensi

Saat pelatihan kefasilitatoran, saya terhenyak mendapati kenyataan bahwa istilah outbound itu sebenarnya kecelakaan penyebutan istilah segala jenis pelatihan berbasis luar ruangan. Yaaaa… saya selama itu tahunya kegiatan semacam itu ya disebut outbound, peserta juga nggak bingung akan istilah itu, dan yang jelas, akibat istilah outbound tersebut, rejeki sudah mulai mengalir. Saya sih tidak ambil pusing dengan pengistilahan outbound, apalagi jika didikotomikan dengan istilah experiential learning. Bahwa ada kawan yang fanatik menolak istilah outbound, ya silakan, biasanya sih mereka itu justru bukan dapat rejeki dari situ, jadi vokalnya tinggi, he he he….

Ternyata, ilmu outbound adalah experiential learning, yang bahasa mudahnya belajar dari pengalaman. Sekedar contoh ilmunya nih. Untuk memaknakan sebuah pengalaman, itu ada 7 cara lho. Sebelumnya, saya hanya tahu satu saja, yaitu debriefing, atau dikenal dengan istilah refleksi. Untuk refleksi saja itu juga ada 5 urutannya supaya hasilnya efektif. Jadi, setelah tahu ilmu tersebut, jangan sampai deh, refleksi yang saya lakukan langsung dimulai dengan, “Jadi, apa manfaat permainan tadi bagi Bapak Ibu?” Apa artinya? Artinya, dalam kompetensi keilmuan experiential learning, khususnya mengenai pemaknaan pengalaman, pertanyaan tentang manfaat permainan itu ada di pertengahan proses, bukan di awal. Nah, sebelum saya tahu ilmunya, sepemahaman saya merefleksikan suatu permainan/ outbound itu ya hanya (langsung) tanya tentang manfaatnya.
Awal pengembangan kompetensi lewat TOT Kefasilitatoran


Setelah mengenal AELI Saya makin sadar, bahwa pemahaman saya akan tatacara outbound masih dangkal. Maka saya mulai mengikuti beberapa pelatihannya, yang saat itu diselenggarakan di Jawa.  Demi hobi, saya keluarkan investasi untuk menambah kompetensi, aliah ilmu pengetahuan tentang experiential learning nggak masalah sih.

Apakah ada pengaruh, ketika saya makin berkembang tatacara outboundnya? Ya, ada. Setidaknya saya tahu pendasaran sebuah skenario pelatihan berbasis experiential learning. Mungkin yang terjadi di lapangan hampir sama dengan masa lalu, namun setelah tahu ilmu experiential learning, saya mendasarkannya pada pendekatan keilmuan tertentu. Saya juga makin percaya diri dalam manjalankan hobi yang mulai mengarah pada profesi. Semua gara-gara saya terbuka untuk meningkatkan kompetensi. Perjumpaan dengan banyak “pendekar” outbound yang sarat ilmu dalam forum AELI, membuka wawasan bahwa outbound bisa “dijual” dengan harga (lebih) tinggi, namun tentu saja syarat dan ketentuan berlaku. Salah satunya ya outbound itu harus ada isinya, harus bernas, dan itu memerlukan kompetensi penyelenggara/ fasilitatornya.

Dalam perkembangannya, pada tahun 2013 pemerintah sudah menetapkan 9 kompetensi bagi para Fasel / pemandu outbound. Maka, siapa yang hobi bikin outbound dan tapi mau meningkatkan kompetensinya, sudah ada panduan yang bisa diikuti. Ya, hobi yang mau merejeki dalam format profesi tentu perlu ditunjang dengan peningkatan kompetensi. Kompetensi yang dimaksud mencakup urusan kefasilitatoran, maupun aspek penyelenggaraannya. Pada 2015, saya ikut Uji Kompetensi angkatan pertama dan Puji Tuhan, dapat sertifikasi kompetensi Fasel Tingkat Utama. Keberhasilan mendapatkan sertifikasi profesi menjadi penanda bahwa hobi yang saya seriusi sudah menjelma menjadi profesi.

Menjadi anggota AELI, bahkan jadi Ketua DPD Sumsel, membawa saya pada perjumpaan dengan banyak pegiat experiential learning se Indonesia. Banyak manfaat ketika saya bertambah teman dari dunia yang sama. Inilah nanti yang menjadi SI ketiga, yaitu RELASI. Ternyata faktor relasi atau jaringan pertemanan makin menderaskan keran rejeki hobi saya.

salah satu kostum tim outbound yang bersamanya saya mentransformasikan hobi jadi profesi

Relasi

Relasi yang dimaksud tidak sekedar hubungan dua belah pihak, atau malah yang berkonotasi kolusi. Relasi dalam konteks outbound adalah bagaimana kita sebagai outbounder terbuka menjalin relasi atau jaringan pertemanan dengan sesama fasilitator maupun stake holder experiential learning yang lain. Saya mulai merasakan kekuatan relasi ketika bergabung sebagai anggota AELI. Awalnya, jaringan terjalin ketika sama-sama mengikuti pelatihan, lalu makin terjalin dan meluas terutama dengan perkembangan teknologi media sosial.

Bermodalkan jaringan, ternyata ada unsur bisnis penyelenggaraan outbound yang bisa berkembang. Sekedar contoh nih, saya saya yang berdomisili di Palembang pernah mengadakan program pelatihan di Anyer, Banten berpeserta 100 orang. Saya khan asing dengan daerah Anyer, apalagi untuk bikin outbound serius di sana. Namun karena sudah punya teman-teman baru, terutama di sekitar Jakarta, maka jaringan merekalah yang membantu saya. Saya cukup menginformasikan konsep, lalu H min 1 saya sendirian datang dari Palembang, sementara para “relasi” saya sudah menyiapkan operasionalnya. Bayangkan jika saya tidak punya relasi di sekitar Jakarta, saya harus mempesawatkan paling tidak 5 orang fasilitator untuk mendukung outbound yang dimaksud.

Relasi juga membuat kita makin kaya akan khazanah ragam experiential learning. Hal ini makin terasa ketika pada tahun 2016 saya gabung dengan ELpreneur bentukan AELI. Berawal dari grup WA yang berisi para pemilik provider experiential learning/ outbound/ sejenisnya, sampai saat ini kami sudah kopi darat 2 kali. Kebetulan saya ikut semua, pertama di Anyer, kedua di Yogyakarta. Dalam ELPreneur, diskusi mengenai outbound/ experiential learning memang bernuansa bisnis alias rejeki. Sinergi adalah motto yang diusung para anggota ELP, padahal sebagian besar adalah pebisnis dengan bidang garapan yang sama. Keyakinan kami di grup tersebut, bahwa rejeki itu sudah diatur oleh Tuhan, namun urusan peningkatan kompetensi dan berjejaring, itu adalah kehendak bebas para outbounder. Catatan lebih serius tentang ELPreneur semoga bisa dinikmati di tulisan berikutnya.
Brosur salah satu kegiatan hasil jalinan dengan relasi baru


Sekedar bercerita tentang manfaat saya ikut AELI/ ELPreneur misalnya saya pernah membeli tenda dome di Kota Malang saat ada discount besar. Bukan, bukan karena  yang jual itu sama-sama anggota AELI. Namun saat itu saya lagi kondangan dan iseng-iseng tanya di grup WA, siapa jual tenda dome. Eh, teman yang dari Jawa Timur malah bilang dia saat itu kebetulan ada di lokasi pameran (hari teakhir pula) yang njual tenda seperti  saya maksud. Akhirnya berbekal kepercayaan dan via telpon dan WA saja, teman saya tadi nalangi (maksudnya menghutangi, hehehe..) membelikan saya 18 tenda, sementara saya asyik makan di kondangan. Cerita setelahnya, seusai kondangan saya langsung transfer sih dana pembeliannya. Hebat, kan, kekuatan relasi yang berlandaskan kepercayaan?

Saya juga makin banyak menjalin relasi, tak hanya pada sesama outbounder, namun juga stakeholder experiential learning yang lain. Ada teman-teman dari lembaga yang biasa buat pelatihan/ seminar inhouse. Ada juga kenalan para pemilik/ pengelola tempat yang bisa untuk main outbound. Mulai kenal juga teman-teman marketing di beberapa hotel yang kadang pesertanya ingin outbound. Teman-teman (eks) Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) juga mulai diajak-ajak ketemuan ngobrolin tentang outbound. Tak lupa jaringan penyedia/ penjual perlengkapan outbound juga saya jadikan relasi. Banyak juga teman guru dan dosen kini makin tertarik ngobrol setelah beberapa kali diajak ketemuan untuk diskusi tentang experiential learning  dalam pendampingan siswa/ kemahasiswaan.
Salah satu manfaat unik dari relasi pernah saya catat di sini yaaa

Faktor yang membuat saya makin cepat memperluas relasi dan jaringan adalah AELI. Dalam naungan asosiasi tersebut, outbounder bisa lebih leluasa berwacana, mau dari sisi keilmuan, itu memang intinya, mau ngomongin bisnisnya bisa juga, obrolan tentang alternatif pendidikan bisa juga.

Hobi yang Memprofesi, lalu Merejeki

Saya lanjut sebentar riwayat keoutboundan saya. Pada tahun 2011, persis 10 tahun saya jadi dosen tetap, saya mengajukan diri menjadi dosen luar biasa/ dosen tidak tetap. Salah satu hal yang mendasarinya adalah saya ingin lebih serius mengembangkan hobi yang sudah merupa jadi profesi yang merejeki. Ternyata, menjadi dosen tetap yang berkewajiban “ngampus” seminggu 6 kali dari pagi ke siang, bahkan sore, secara waktu mulai sering bentrok dengan waktu pendampingan outbound. Walau sebagai dosen bisa saja saya mengganti jadwal kuliah, atau memberi tugas tambahan, namun hati kecil saya bilang itu tidak bagus. Kalo sekarang ini, ke kampus cukup satu atau dua kali seminggu hanya untuk ngajar saja. Dan di luar waktu tersebut, saya bisa makin bereksplorasi sebagai outbounder. Cerita selesai.

Nah, sudah saya bocorkan 3 SI yang menunjang hobi kita supaya bisa menjadi rejeki, yaitu: Konsistensi, Kompetensi, dan Relasi. Tiga hal tersebut mestinya saling terkait, walau mungkin tiap outbounder tidak sekaligus waktu berkelindannya; maklum, ini kan konteksnya hobi, bukan bekerja. Konsisten menjalankan hobi makin membuat kita sadar bahwa hobi juga perlu dikembangkan. Kompetensi dalam aspek-aspek kehobian kita membuat selalu ada penyegaran sekaligus peningkatan kapasitas kita sebagai pehobi. Mulai deh di titik ini, hobi bisa mulai mendatangkan rejeki alias pemasukan (uang). Jika konsistensi berhobi dan peningkatan kompetensi tentang hobi kita sudah dijalani, maka tak pelak, kita juga akan punya komunitas. Maka sangatlah aneh jika orang punya hobi tapi nggak punya komunitas/ jaringan sehobi. Inilah yang disebut dengan relasi. Semua hal terkait hobi kita akan direlasikan sehingga akan membentuk jaringan/ komunitas yang asyik saat kita menjalankan/ mengembangkan hobi kita, pun ketika sudah merupa jadi profesi dan mengalirkan rejeki
Mengembangkan hobi dalam bingkai kompetensi dalam relasi bersama Asosiasi Experiential Learning Indonesia DPD Sumatera Selatan
Demikianlah refleksi saya tentang hobi outbound yang menjelma jadi profesi serta mendatangkan rejeki bagi saya, cukup dengan 3 SI. Masih ada lagi sambungan catatan tentang bagaimana rejeki dalam berprofesi bisa makin deras mengisi pundi, yang ternyata mengandung 5 SI, yaitu: Koleksi, Variasi, Kolaborasi, Investasi, dan Promosi. Nantikan saja tulisannya ya…

Palembang, 2 Mei 2017

Agustinus Susanta