yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Selasa, 02 Mei 2017

Pendidikan Berbasis Petualangan

Naskah “Pendidikan Berbasis Petualangan” ini adalah materi LOMBA MENULIS ESAI HUT KANISIUS KE-95 TEMA: “Menggagas Pendidikan untuk Indonesia,” yang diadakan oleh PT Kanisius pada Desember 2016. Namun janji pengumuman pada Januari 2017 malah nggak ada kabarnya, bahkan kelanjutan tentang lomba ini pun lenyap. Maka saya berinisiatif memuat tulisan ini dalam blog, persis pada Hari Pendidikan Nasional tahun 2017 ini. Yaaa... daripada mendem nggak jelas di Kanisius, semoga tulisan ini bisa menginspirasi kita bersama bahwa pendidikan yang berkualitas namun seru dan asyik bisa kita kelola berbasiskan permainan atau petualangan. 


Sinopsis

Pendidikan Pengalaman, atau dikenal dengan experiential learning, atau disebut secara populer sebagai outbound merupakan metode pembelajaran yang sudah berusia lebih dari 1 abad, dimulai oleh Baden Powell dengan gerakan Kepanduannya. Metode pendidikan ini berkembang melintas jaman dan waktu sampai akhirnya sampai ke Indonesia pada awal tahun 1990an.
Metode Pendidikan Pengalaman memunyai banyak pendekatan keilmuan karena sudah dikembangkan sejak lama oleh berbagai kalangan, terutapa pendidik. Basis Pendidikan Pengalaman adalah menggabungkan unsur fisik, emosi, dan intelektual peserta didik. 4 tahap Pendidikan Pengalaman  adalah mengalami, merefleksikan, mengambil makna, serta menerapkan. Ada 4 sifat Pendidikan Pengalaman, yaitu rekreatif, edukatif, developmental, dan terapi.
Pendidikan Pengalaman fleksibel diterapkan pada berbagai kalangan karena lebih menyenangkan dan memunyai perbedaan dengan pola pendidikan tradisional. Indonesia pun sudah memunyai asosiasi profesi yang mewadahi olah pikir para pegiat experiential learning. Pemerintah pun mendukung peningkatan kompetensi para fasilitator experiential learning/ Pendidikan Pengalaman dengan menerbitkan sertifikasi.
Indonesia memerlukan terobosan sistem pendidikan yang efektif menunjang kebijakan saat ini, terutama untuk pengembangan karakter manusianya. Pendidikan Pengalaman, experiential learning, atau outbound adalah pilihan yang efektif; hal tersebut dijelaskan dengan beberapa  alasan yang relevan.



Pendidikan Berbasis Petualangan

Manusia adalah “Homo Ludens” atau mahkluk bermain. Tak akan pernah lekang semangat bermain dalam diri manusia, pun secara umur, dia sudah menginjak dewasa, bahkan lanjut usia. Bermain selalu menawarkan kegembiraan dan gairah yang membuncah, ditingkah sedikit misteri, siapa pememang dari permainan tersebut.
Ya, sebagai homo ludens, peluang metode “bermain” jauh lebih besar digunakan untuk mendidik/ mengembangkan karakter seseorang daripada sekedar “belajar” secara formal. Apakah kita bisa menggunakan metode bermain untuk mengembangkan karakter seseorang? Bisa, asal permainan tersebut dilakukan dengan serius, dalam arti kita tahu metodenya. Catatan ini akan memberi penegasan bahwa ada metode, yang sungguh tepat diterapkan untuk mengembangkan karakter, yaitu experiential learning.


Perkembangan Metode “Pendidikan berbasis Petualangan”

Ketika istilah permainan lalu diluaskan menjadi sebuah “experience” atau pengalaman, maka ternyata ada metode yang memang sudah berkembang sejak awal abad ke-20; yaitu metode experiential learning; atau belajar melalui pengalaman, atau pendidikan pengalaman Metode ini mulai dikenal sejak tahun 1907, saat Baden Powell, mengadakan Perkemahan Kepanduan pertama di Brownsea Island, Inggris. Kegiatan yang sebagian besar diisi dengan berbagai “permainan” tersebut bertujuan membentuk karakter pemuda supaya kuat, ulet, berwaswasan, ksatria, mampu bertahan di alam, dan berjiwa patriot.
Pada era Perang Dunia II, Kurt Hahn dan Sir Lawrence Holt melakukan pelatihan selama 28 hari untuk menggembleng fisik, intelektual, dan emosi pelaut muda Inggris menghadapi pelayaran niaga yang tak luput dari gempuran kapal selam Jerman. Saat itu banyak pelaut muda Inggris yang mati di lautan akibat kurang mempunyai jiwa survival saat terjebak dalam kekacauan perang.  Materi utama pelatihan yang dikenal dengan nama Outward Bound tersebut adalah: kerjasama, keterbukaan, percaya diri dan saling bantu, serta prinsip navigasi dan perkapalan. Ternyata metode tersebut dianggap berhasil, sehingga Kurt Hahn mendirikan sekolah kedua yaitu Gordonstoun School. Nama “Outward Bound” pun dalam perkembangannya menjadi sebuah merek dagang pelatihan pengembangan karakter.
Pada tahun 1938, John Dewey menerbitkan buku “Experience and Education” yang terinspirasi oleh metode pendidikan Kurt Hahn. Dewey berpendapat bahwa siswa perlu mendapat keseimbangan nilai, antara “kegiatan yang menantang sebagai pembentuk karakter” dengan kegiatan akademis. Ia meyakini bahwa pendidikan sejati terbentuk melalui pengalaman.
Pada tahun 1962, Josh Miner, seorang Amerika yang pernah berkarya di  Gordontoun School mendirikan Outward Bound School di Colorado, AS. Setelah momen ini, Outward Bound School akhirnya lebih cepat menyebar ke berbagai belahan dunia. Metode yang diusung tetap sama, yaitu model Kurt Hahn yang menekankan pengalaman petualangan/ tantangan.
Pada 1967, David Kolb, menggagas Experiential Based Learning System. Kolb merilis 4 tahapan experiential learning yang paling banyak dirujuk, yaitu: Concrete Experience, Reflective Observation, Abstrac Conceptualization, dan Active Experimentation. Gagasan dasarnya adalah bahwa seseorang bisa belajar melalui pengalaman.
Sejarah pendidikan melalui petualangan masuk ke Indonesia pada tahun 1990, ketika Outward Bound Indonesia berdiri di tepian Waduk Jatiluhur Purwakarta, Jawa Barat. Ini adalah lembaga yang rintisannya dibuat oleh Kurt hahn pada tahun 1914. Pada tahun-tahun pertama, hanya perusahaan-perusahaan kelas “atas” di Indonesia yang bisa mengikutkan karyawannya dalam pelatihan di tempat ini.
Selepas pertengahan tahun 90an, mulai bermunculan berbagai penyelenggara pelatihan/ provider yang mengusung model pelatihan yang bernuansa petuangan/ permainan/ simulasi, terutama di luar ruangan. Penamaannya pun beragam, termasuk yang sangat populer adalah Outbound. yang merupakan perkembangan penyebutan dari “outward bound.” Outbound secara populer menggambarkan sebuah proses pelatihan di luar ruangan yang disisipi makna-makna tertentu dalam refleksinya. Istilah outbound sendiri sebenarnya serapan dari dunia pariwisata yang berarti bepergian ke luar negeri. Pun istilah experiential learning sampai saat ini belum menemukan padanan yang tepat dalam Bahasa Indonesia, selain “Pendidikan (melalui) Pengalaman.”
Pada tahun 2002, Prof. Djamaluddin Ancok menulis buku “Outbound Management Training; Aplikasi Ilmu Perilaku dalam Pengembanan Sumber Daya Manusia. Penerbitan buku ini seakan-akan menjadi “pengesahan” bahwa ada metode pendidikan/ pelatihan yang bernama outbound.
Pada tahun 2007, Berdiri AELI/ Asosiasi Experiential Learning Indonesia atas keprihatinan bahwa mulai banyak ditemukan persaingan kurang sehat antar penyelenggara kegiatan “outbound,” kecelakaan dalam proses pelatihan juga meningkat, serta mulai ditinggalkannya kaidah pendidikan dalam pelatihan-pelatihan luar ruangan. AELI menjadi wadah dan mitra bagi pengguna metode experiential learning untuk memasyarakatkan dan meningkatkan kualitasnya demi  pengembangan karakter manusia Indonesia. Sampai akhir tahun 2016 ini, AELI sudah tersebar di 14 provinsi, dan akan terus mengembangkan dirinya.
Akhirnya, pada tahun 2015 Pemerintah Indonesia melalui BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) sudah melakukan sertifikasi/ uji kompetensi bagi para pemandu outbound/ fasilitator experiential learning. Walau sekedar “bermain-main,” ternyata fasilitatornya harus menguasai 9 kompetensi utama, termasuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran dengan metode experiential learning.
Menilik catatan sejarah, ternyata pendidikan berbasis pengalaman sudah dikembangkan dengan serius, walaupun di Indonesia kurang terasa gaungnya. Mungkin karena kita terlalu mengagungkan pola pendidikan tradisional yang kental dengan penyampaian materi secara satu arah saja.

Karakter Pendidikan berbasis Pengalaman

Semua orang membutuhkan buah dari pengalaman, namun tidak setiap orang harus mengalami pengalaman tersebut. Untuk itulah ilmu pedagogi ada, untuk mentransfer makna/ buah pengalaman (orang lain).
Prinsip pendidikan berbasis pengalaman adalah menggabungkan 3 hal dalam sebuah program/ proses pembelajaran, yaitu unsur fisik/ psikomotorik, emosi/ psikologis, dan intelektual/nalar/ pengetahuan. Artinya, peserta didik memang harus melakukan kegiatan secara fisik, emosinya ikut terlibat, namun tetap ada unsur penalaran/ analisis di dalalamnya. Biasanya, peserta didik dibawa pada kondisi di luar kebiasaannya, masuk dalam suasana ketidaknyamanan sehingga tiga hal tadi dapat tereksplorasi secara maksimal.

Bagaimana Pendidikan Pengalaman dilaksanakan? Ada 4 pentahapan dalam metode tersebut, yaitu:
  • Peserta didik MENGALAMI sendiri pengalaman nyata,
  • Pengalaman tersebut DIREFLEKSIKAN,
  • Peserta didik mengambil MAKNA atau MANFAAT dari pengalaman yang direfleksikan tadi, lalu
  • Peserta MENERAPKAN makna atau manfaat tersebut dalam kesehariannya.

Pendidikan Pengalaman sendiri dibagi menjadi 4 kategori berdasarkan hal yang ingin dirubah/ dikembangkan pada peserta didik, yaitu:
  1. Rekreasional, dengan fokus merubah perasaan; misal peserta didik yang awalnya merasa jenuh/ bosan menjadi bergairah/ bersemangat.
  2. Edukasional, dengan fokus merubah cara berpikir peserta didik; biasanya dilakukan dengan praktik,observasi dan refleksi.
  3. Developmental, dengan fokus merubah prilaku/ kebiasaan; misalnya pengalaman yang direfleksikan, serta dimaknai bisa sampai memengaruhi sikap peserta didik ketika kembali ke sekolah/ rumah.
  4. Terapi, dengan fokus merubah resistensi peserta didik, misalnya dalam hal pemikiran atau kebiasaan yang ingin ditinggalkan.


4 kategori Pendidikan Pengalaman tersebut tentu saja berbeda dalam metodologinya, sehingga porsi 4 tahap Pendidikan Pengalaman akan disesuaikan sesuai tujuan pembelajarannya.
Mengapa Pendidikan Pengalaman efektif sebagai metode pembelajaran, khususnya dalam upaya pengembangan karakter? Berikut ini 7 aspek yang berbeda antara pendidikan tradisional dengan pendidikan pengalaman.

No
Aspek
Tradisional
Pendidikan Pengalaman
1.              
Inisiatif utama
Guru
Individu
2.              
Kebebasan
Banyak aturan
Ekspresif, bebas
3.              
Sumber belajar
Buku dan guru
Pengalaman (diri, teman, lingkungan)
4.              
Perolehan ketrampilan
Indoktrinasi
Berdasar kebutuhan untuk diaplikasikan
5.              
Prospek hasil
Cenderung untuk masa depan saja
Untuk saat ini dan masa depan
6.              
Materi
Cenderung tetap
Ikut perkembangan
7.              
Komunikasi
Satu arah
Dua arah

Bagaimana pengalaman dimaknakan? Ternyata ada 7 metode yang terus berkembang sejak tahun 40an, dan yang paling terkenal adalah Debriefing/ pemaknaan di akhir proses. Sekedar menyebut metode yang lain, ada pula makna yang disampaikan justru sebelum peserta didik melakukan/ mengalami “pengalaman”

Mengapa Pendidikan Pengalaman Perlu Segera dipopulerkan di Indonesia?

Ada beberapa alasan mengapa metode pendidikan pengalaman perlu segera dipopulerkan dalam sistem pendidikan di Indonesia, khususnya dalam upaya mengembangkan karakter peserta didik.
  1. Metode Pendidikan Pengalaman sudah lebih dari 1 abad berlangsung, dan tentunya telah banyak kajian keilmuannya. Jadi kita harus yakin, bahwa selalu ada landasan keilmuan/ilmiah dalam tiap ragam metode pendidikan pengalaman.
  2. Metode Pendidikan Pengalaman sangat fleksibel dan menyenangkan digunakan pada semua rentang usia, mulai dari anak-anak sampai lanjut usia. Apalagi jika pendekatannya melalui permainan. Hal ini bisa menjadi solusi guna membelajarkan orang-orang dewasa; maklum, budaya Indonesia masih kental dengan sopan santun dan rasa “segan” terhadap orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya
  3. Alam Indonesia yang kaya dengan bentang alam serta seni budayanya yang sangat beragam bisa menjadi materi yang tak akan habis digali sebagai sumber “pengalaman” bagi peserta didik. Hal ini akan menjadi “kawah candradimuka” bagi pengembangan mental manusia-manusia muda Indonesia.
  4. Metode Pendidikan Pengalaman bisa memerkuat metode pendidikan tradisional, atau apa pun metode yang sedang menjadi kebijakan negara. Artinya, untuk materi-materi pembelajaran yang efektif dilakukan dengan pedagogi, silakan dilanjutkan. Mana yang sebenarnya efektif dengan andragogi juga pendidikan pengalaman, kita harus berani mencobanya.
  5. Indonesia sudah memunyai asosiasi bagi lembaga/ individu yang bergiat di Pendidikan Pengalaman, yaitu AELI. Hal ini akan memudahkan proses saling belajar terkait keilmuan maupun praksis pelaksanaan metode experiential learning.
  6. Melalui sertifikasi profesi, pemerintah sudah mengakui bahwa pemandu outbound adalah keahlian yang harus bisa dipertanggungjawabkan, termasuk dalam hal keilmuannya. Artinya, pemerintah mulai mengakui bahwa Pendidikan Pengalaman itu “sesuatu yang bernas” sehingga perlu dibuat regulasinya.



Akhirnya, mari kita makin terbuka dan kreatif dalam upaya memajukan bangsa Indonesia melalui pendidikan. Ketika ada metode yang sebenarnya sudah teruji dan efektif digunakan, kenapa tidak kita coba? Experiential learning atau pendidikan pengalaman, atau populer dengan istilah outbound patut kita pertimbangkan secara serius sebagai salah satu metode pendidikan karakter bangsa. Belajar dengan bermaian, apalagi bertualang, Wow, pasti seru!


Brebes, 20 Desember 2016
Agustinus Susanta; 
Fasilitator Experiential Learning Tingkat Utama; Ketua Asosiasi Experiential Learning Indonesia DPD Sumatera Selatan.

1 komentar:

  1. Bayar Pakai Dengan Pulsa AXIS XL TELKOMSEL

    Anda Dapat Bermain Setiap Hari dan Selalu Menang Bersama Poker Vita
    Capsa Susun, Bandar Poker,QQ Online, Adu Q, dan Bandar Q

    Situs Situs Tersedia bebebagai jenis Permainan games online lain

    Sabung Ayam S1288, CF88, SV388, Sportsbook, Casino Online,
    Togel Online, Bola Tangkas Slots Games, Tembak Ikan, Casino

    Terima semua BANK Nasional dan Daerah, OVO GOPAY

    Whatsapp : 0812-222-2996

    POKERVITA

    BalasHapus