yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Senin, 01 Mei 2017

Hobby Makes Money


Itulah tema yang diusung AELI saat tampil dalam ajang IIOUTFEST di Senayan Jakarta pada Awal April 2017 lalu. Saya sempat datang ke acara itu; pertama sebagai simpatisan AELI yang kebetulan ketua DPD Sumsel, kedua, karena mau isi acara bincang-bincang bertema tersebut, ketiga, sekalian mau liat barang-barang pameran, siapa tahu ada yang sesuai kebutuhan dan berharga miring, jadi bisa dibawa pulang. Tema tersebut sangat menarik; bagaimana hobi bisa menghasilkan uang. Bagaimana cobaaa…? Saking menariknya, saya berencana membuat sebuah tulisan untuk menyambut momen itu, namun apa lacur, baru sekarang tulisan itu tersusun. Saya sih yakin, tema yang provokatif tersebut tak lekang dimakan jaman untuk dikonsumsi para pegiat experiential learning atau outbound di tanah air. Ya, membicarakan hobi yang lalu bisa menghasilkan duit, siapa sih yang nggak pengen?
"Hobby Makes Money," bersama sebagian kecil relasi yang sadar kompetensi

Salah satu pembicara dalam talkshow di panggung IIOUTFEST tersebut , Mas Enda Mulyanto berujar, “Janganlah kita yang mencari uang, namun biarlah uang yang mencari kita,” sangat enak kedengarannya, namun jika dipikir lebih lanjut, apa iya bisa ya. Mas Mul--panggilan Enda Mulyanto-- , tentu punya sekian banyak pengalaman hidup yang menimpa dan menempanya, sehingga bisa menyimpulkan bahwa dalam dunia outbound yang awalnya adalah hobi, uang bisa datang pada kita. Tentu saja syarat dan ketentuan berlaku.

Tulisan ini akan mengupas bagaimana hobby (memfasilitasi outbound atau experiential learning ) bisa mendatangkan money (uang) bagi kita para pelakunya. Saya modifikasi sedikit tagline tersebut menjadi “Dari Hobi menuju Profesi yang Merejeki,” intinya sih nyaris sama, hanya istilah rejeki tidak langsung berkonotasi dengan uang; ya, uang hanyalah salah satu konsekuensi yang mengikutinya saja.

Kita juga perlu membedakan antara hobi dan pekerjaan, sehingga tulisan ini jangan dibaca seperti tutorial bekerja yang memang ditargetkan menghasilkan sesuatu secara sistematis. Mengutip kamus, Hobi adalah kegiatan rekreasi yang dilakukan pada waktu luang untuk menenangkan pikiran seseorang. Tujuan hobi adalah untuk memenuhi keinginan dan mendapatkan kesenangan. Terdapat berbagai macam jenis hobi seperti mengumpulan sesuatu/ koleksi, membuat, memperbaiki, bermain, dan pendidikan dewasa. Jadi, makin jelas ya, aktivitas hobi yang saya sebut-sebut di sini bukanlah aktivitas seperti kita bekerja di perusahaan.

Bagaimana hobi para pelaku outbound—selanjutnya saya sebut sebagai outbounder—bisa menjadi sebuah profesi, yang lalu mendatangkan rejeki? Ternyata syaratnya hanya ada 3 SI, yaitu: Konsinstensi, Kompetensi, dan Relasi. Saya akan memaparkan 3 SI tersebut dalam kacamata pengalaman saya sendiri untuk menghindari kesan menggurui. Apalagi dunia outbound itu lekat dengan experiential learning, atau belajar dari pengalaman. Ijinkan saya berbagi pengalaman menghobii outbound selama lebih dari 14 tahun sampai kini malah menjadi profesi yang mendatangkan rejeki pada kehidupan dan penghidupan saya. Ceritanya agak panjang nggak apa-apa ya? Yaaa…

Konsistensi

Saya merantau ke Palembang sejak 2001, dan bekerja sebagai dosen arsitektur di salah satu perguruan tinggi di ibu kota provinsi Sumatera Selatan tersebut. Namanya, dosen, ya tiap hari ketemu dengan mahasiswa, dan itu selalu menggairahkan. Yang pernah merasakan bangku kuliah tahulah ya gimana dinamisnya kehidupan kampus, mulai dari urusan akademik sampai aneka kegiatan kemahasiswaannya. Sebagai dosen muda yang idealis, boleh dikatakan aneka kegiatan tridharma perguruan tinggi sudah saya lakoni, termasuk mengadakan berbagai penelitian, sampai diseminarkan di beberapa kampus ternama di Pulau Jawa. Saat itu pekerjaan saya sebagai dosen, dan belum ada hobi yang spesifik selain membaca dan main sepak bola.

Saya senang mengajar, sehingga panggilan mengajar dan mengembangkan orang lain rasanya lebih tersalurkan dengan berinteraksi di lingkup yang lebih luas dari sekedar pagar kampus. Maka saya mulai terlibat dalam komunitas sosial dan kerohanian.
Kenangan pertama "outbound" pada 28-30 Juni 2003
Tahun 2003 saya begabung dalam tim yang diminta memfasilitasi pertemuan 3 hari 2 malam di Kota Curup, Bengkulu, berpeserta 250an orang muda. Saat itu ada acara pemberian materi kerjasama, yang lalu saya rubah formatnya menjadi lintas alam. Panitia sih setuju-setuju saja, lha wong kita yang diminta ngisi, kok, he he he… survey di lokasi yang berjarak sekitar 10 jam perjalanan darat dari Palembang tersebut dilakukan sekali. Singkat cerita, kegiatan lintas alam berlangsung sukses dari pagi hingga sore hari. Persiapannya sungguh menguras energi; maklum itu kegiatan pertama kali kami berformat outdoor, atau yang lalu saya kenal dengan nama outbound.

Berbekal keberhasilan membuat “outbound” tahun sebelumnya, pada tahun 2004, saya menggagas juga kegiatan outbound pada pertemuan dalam skala yang lebih besar, yaitu 700an orang. Waktu outboundpun jadi 2 hari dari total waktu 4 hari kegiatan pertemuan yang berformat kemping tersebut. Apa hasilnya? Outbound hari pertama lumayan sukses, tetapi outbound hari kedua berantakan karena saya keliru memerhitungkan durasi terhadap lokasi serta aktivitasnya. Jika ada yang penasaran bagaimana berantakannya outbound tersebut, semoga kali lain sempat saya tuliskan pengalaman serunya, he he he…


Salah satu pos dalam outbound tahun 2004

Kegiatan games komersil pertama saya dilakoki pada akhir 2004. Disebut komersial karena saat itu sebagai fasilitator freelance yang direkrut sebuah lembaga pembelajaran, saya mendapat honor. Lanjut, outbound komersial saya selama 4 hari berpeserta para manager perusahaan terjadi pada tahun 2005 dengan lokasi di Sindang Jati - Rejang Lebong – Bengkulu. Dengan persiapan matang mengusung tema “How to Survive” outbound training pun berlangsung lancar. Di titik ini saya masih melihat bahwa outbound yang kami lakukan masih merupakan hobi, walau sudah mendatangkan pemasukan (uang)
Pelatihan pertama, bahkan nulis tema pun masih keliru, hehehe...
Sejak itu, kabar bahwa ada tim outbound di Palembang mulai menyeruak. Satu demi dua perusahaan mulai memanggil tim outbound kami  untuk memfasilitasi aneka outbound bagi karyawannya. Riwayat pendampingan outbound saya agak panjang, boleh diintip di sini saja Ada yang sekedar mau fun games saja, namun ada juga yang bersifat pelatihan, bahkan pengembangan karakter. Format keterlibatannyapun beragam, misalnya hanya ngisi beberapa permainan saja, ada yang sifatnya  mbantu teman dengan “benderanya,”, ada yang atas nama kampus, namun ada juga yang tanpa nama lembaga walau yang didampingi perusahaan. Pokoknya macem-macem lah formatnya.

Kerjasama untuk membuat lembaga outbound pun pernah beberapa kali dilaksanakan. Ada yang bertahan dengan 2 event saja, ada juga yang sampai belasan kali saja buat acara. Bahkan ada juga yang lembaganya kini sudah tidak jelas karena para pendirinya punya kesibukan lain. Ada yang sifatnya sosial/ kerohanian, namun banyak pula yang komersil. 12 September 2012 saya mulai menyeriusi dunia outbound ini dengan membuat sendiri lembaga pembelajaran bernama Sriwijaya EdFunture. Pun begitu, saya masih sering beroperasi dengan berbagai bendera juga. Yach, namanya juga hobi, dan saat itu belum jadi profesi, lho. Pun pula, pekerjaan resmi saya masih sebagai dosen.

Pada tahun 2006-2009 saya juga masuk dunia proyek dalam suatu perusahaan kontraktor, berstatus manager proyek. Jadi selain profesi utama sebagai, dosen, ada 2 lagi kegiatan saya, yaitu outbounder dan manager proyek. 2 tahun pertama, semua berjalan lancar, namun berikutnya, mulai terjadi benturan-benturan, terutama urusan alokasi waktu kegiatan. Akhirnya, dunia kontraktor saya istirahatkan, tetapi dunia outbound tetap saya geluti. Refleksi saya sih karena dunia kontraktor itu penuh perhitungan yang minim kreasi, sementara dunia outbound/ pelatihan bisa mengeksplorasi kreativitas, walau tetap dengan perhitungan. Intinya, berkarya sebagai outbounder lebih asyik daripada kontraktor, walau pemasukan dari kontraktor saat itu lebih menjanjikan daripada sekedar hobi outbound saya.
Outbound Departemen Hukum dan Ham Sumsel pada 16 Mei 2009; bersama tim outbound Sekolah Tinggi Teknik Musi, tempat saya mengajar. Lokasi juga di kampus Musi.


Tahun 2011, setelah 1 windu berkelindan dalam dunia outbound, 2 buku tentang outbound sudah saya tulis, dan diterbitkan secara nasional. Buku itu sebenarnya perwujudan kecintaan saya pada hobi outbound. Begitu banyak pengalaman sebagai outbounder yang sangat sayang jika tidak bisa dibagikan/ dicicipi oleh orang lain, apalagi yang punya hobi serupa. Niat utama saya buat buku tersebut adalah untuk berbagi pengalaman. Dalam perjalanan beberapa tahun berikutnya, buku kedua, ketiga, dan seterusnya juga berhasil saya tulis.

Saat saya mulai mengalami ada aliran rejeki pada hobi saya sebagai outbounder, membuat saya justru makin haus akan kedalaman dunia outbound. Pertanyaan yang menyeruak saat itu adalah, “Siapa sih, dedengkot outbound di Indonesia? Saya ingin belajar darinya.” Maklumlah, saya tahu outbound secara otodidak, coba-coba, praktik, dan lalu berkreasi lagi. Saya merasa sudah banyak kreativitas dalam dunia outbound yang saya buat, tetapi rasanya masih ada sesuatu yang misterius, yang lebih dahsyat dari sekedar kreasi. Apa itu? Itu juga yang lalu saya cari-cari.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba, pada 5-7 Maret 2012 saya ikut pelatihan Training of Trainer Bidang Kefasilitatoran (outbound) di Bogor. Saat itulah saya kenal dengan istilah experiential learning dan ternyata ada asosiasinya, yakni AELI (Asosiasi Experiential Learning Indonesia). Kalo mau ngintip webnya ada di sini. Sungguh 3 hari yang mengesankan, ketemu teman-teman baru dari berbagai provinsi, dan yang paling penting, belajar lebih dalam tentang (teori) outbound dari para “pendekar”nya. Nah, pada bab selanjutnya kita akan masuk pada SI yang kedua, yaitu Kompetensi.

Kompetensi

Saat pelatihan kefasilitatoran, saya terhenyak mendapati kenyataan bahwa istilah outbound itu sebenarnya kecelakaan penyebutan istilah segala jenis pelatihan berbasis luar ruangan. Yaaaa… saya selama itu tahunya kegiatan semacam itu ya disebut outbound, peserta juga nggak bingung akan istilah itu, dan yang jelas, akibat istilah outbound tersebut, rejeki sudah mulai mengalir. Saya sih tidak ambil pusing dengan pengistilahan outbound, apalagi jika didikotomikan dengan istilah experiential learning. Bahwa ada kawan yang fanatik menolak istilah outbound, ya silakan, biasanya sih mereka itu justru bukan dapat rejeki dari situ, jadi vokalnya tinggi, he he he….

Ternyata, ilmu outbound adalah experiential learning, yang bahasa mudahnya belajar dari pengalaman. Sekedar contoh ilmunya nih. Untuk memaknakan sebuah pengalaman, itu ada 7 cara lho. Sebelumnya, saya hanya tahu satu saja, yaitu debriefing, atau dikenal dengan istilah refleksi. Untuk refleksi saja itu juga ada 5 urutannya supaya hasilnya efektif. Jadi, setelah tahu ilmu tersebut, jangan sampai deh, refleksi yang saya lakukan langsung dimulai dengan, “Jadi, apa manfaat permainan tadi bagi Bapak Ibu?” Apa artinya? Artinya, dalam kompetensi keilmuan experiential learning, khususnya mengenai pemaknaan pengalaman, pertanyaan tentang manfaat permainan itu ada di pertengahan proses, bukan di awal. Nah, sebelum saya tahu ilmunya, sepemahaman saya merefleksikan suatu permainan/ outbound itu ya hanya (langsung) tanya tentang manfaatnya.
Awal pengembangan kompetensi lewat TOT Kefasilitatoran


Setelah mengenal AELI Saya makin sadar, bahwa pemahaman saya akan tatacara outbound masih dangkal. Maka saya mulai mengikuti beberapa pelatihannya, yang saat itu diselenggarakan di Jawa.  Demi hobi, saya keluarkan investasi untuk menambah kompetensi, aliah ilmu pengetahuan tentang experiential learning nggak masalah sih.

Apakah ada pengaruh, ketika saya makin berkembang tatacara outboundnya? Ya, ada. Setidaknya saya tahu pendasaran sebuah skenario pelatihan berbasis experiential learning. Mungkin yang terjadi di lapangan hampir sama dengan masa lalu, namun setelah tahu ilmu experiential learning, saya mendasarkannya pada pendekatan keilmuan tertentu. Saya juga makin percaya diri dalam manjalankan hobi yang mulai mengarah pada profesi. Semua gara-gara saya terbuka untuk meningkatkan kompetensi. Perjumpaan dengan banyak “pendekar” outbound yang sarat ilmu dalam forum AELI, membuka wawasan bahwa outbound bisa “dijual” dengan harga (lebih) tinggi, namun tentu saja syarat dan ketentuan berlaku. Salah satunya ya outbound itu harus ada isinya, harus bernas, dan itu memerlukan kompetensi penyelenggara/ fasilitatornya.

Dalam perkembangannya, pada tahun 2013 pemerintah sudah menetapkan 9 kompetensi bagi para Fasel / pemandu outbound. Maka, siapa yang hobi bikin outbound dan tapi mau meningkatkan kompetensinya, sudah ada panduan yang bisa diikuti. Ya, hobi yang mau merejeki dalam format profesi tentu perlu ditunjang dengan peningkatan kompetensi. Kompetensi yang dimaksud mencakup urusan kefasilitatoran, maupun aspek penyelenggaraannya. Pada 2015, saya ikut Uji Kompetensi angkatan pertama dan Puji Tuhan, dapat sertifikasi kompetensi Fasel Tingkat Utama. Keberhasilan mendapatkan sertifikasi profesi menjadi penanda bahwa hobi yang saya seriusi sudah menjelma menjadi profesi.

Menjadi anggota AELI, bahkan jadi Ketua DPD Sumsel, membawa saya pada perjumpaan dengan banyak pegiat experiential learning se Indonesia. Banyak manfaat ketika saya bertambah teman dari dunia yang sama. Inilah nanti yang menjadi SI ketiga, yaitu RELASI. Ternyata faktor relasi atau jaringan pertemanan makin menderaskan keran rejeki hobi saya.

salah satu kostum tim outbound yang bersamanya saya mentransformasikan hobi jadi profesi

Relasi

Relasi yang dimaksud tidak sekedar hubungan dua belah pihak, atau malah yang berkonotasi kolusi. Relasi dalam konteks outbound adalah bagaimana kita sebagai outbounder terbuka menjalin relasi atau jaringan pertemanan dengan sesama fasilitator maupun stake holder experiential learning yang lain. Saya mulai merasakan kekuatan relasi ketika bergabung sebagai anggota AELI. Awalnya, jaringan terjalin ketika sama-sama mengikuti pelatihan, lalu makin terjalin dan meluas terutama dengan perkembangan teknologi media sosial.

Bermodalkan jaringan, ternyata ada unsur bisnis penyelenggaraan outbound yang bisa berkembang. Sekedar contoh nih, saya saya yang berdomisili di Palembang pernah mengadakan program pelatihan di Anyer, Banten berpeserta 100 orang. Saya khan asing dengan daerah Anyer, apalagi untuk bikin outbound serius di sana. Namun karena sudah punya teman-teman baru, terutama di sekitar Jakarta, maka jaringan merekalah yang membantu saya. Saya cukup menginformasikan konsep, lalu H min 1 saya sendirian datang dari Palembang, sementara para “relasi” saya sudah menyiapkan operasionalnya. Bayangkan jika saya tidak punya relasi di sekitar Jakarta, saya harus mempesawatkan paling tidak 5 orang fasilitator untuk mendukung outbound yang dimaksud.

Relasi juga membuat kita makin kaya akan khazanah ragam experiential learning. Hal ini makin terasa ketika pada tahun 2016 saya gabung dengan ELpreneur bentukan AELI. Berawal dari grup WA yang berisi para pemilik provider experiential learning/ outbound/ sejenisnya, sampai saat ini kami sudah kopi darat 2 kali. Kebetulan saya ikut semua, pertama di Anyer, kedua di Yogyakarta. Dalam ELPreneur, diskusi mengenai outbound/ experiential learning memang bernuansa bisnis alias rejeki. Sinergi adalah motto yang diusung para anggota ELP, padahal sebagian besar adalah pebisnis dengan bidang garapan yang sama. Keyakinan kami di grup tersebut, bahwa rejeki itu sudah diatur oleh Tuhan, namun urusan peningkatan kompetensi dan berjejaring, itu adalah kehendak bebas para outbounder. Catatan lebih serius tentang ELPreneur semoga bisa dinikmati di tulisan berikutnya.
Brosur salah satu kegiatan hasil jalinan dengan relasi baru


Sekedar bercerita tentang manfaat saya ikut AELI/ ELPreneur misalnya saya pernah membeli tenda dome di Kota Malang saat ada discount besar. Bukan, bukan karena  yang jual itu sama-sama anggota AELI. Namun saat itu saya lagi kondangan dan iseng-iseng tanya di grup WA, siapa jual tenda dome. Eh, teman yang dari Jawa Timur malah bilang dia saat itu kebetulan ada di lokasi pameran (hari teakhir pula) yang njual tenda seperti  saya maksud. Akhirnya berbekal kepercayaan dan via telpon dan WA saja, teman saya tadi nalangi (maksudnya menghutangi, hehehe..) membelikan saya 18 tenda, sementara saya asyik makan di kondangan. Cerita setelahnya, seusai kondangan saya langsung transfer sih dana pembeliannya. Hebat, kan, kekuatan relasi yang berlandaskan kepercayaan?

Saya juga makin banyak menjalin relasi, tak hanya pada sesama outbounder, namun juga stakeholder experiential learning yang lain. Ada teman-teman dari lembaga yang biasa buat pelatihan/ seminar inhouse. Ada juga kenalan para pemilik/ pengelola tempat yang bisa untuk main outbound. Mulai kenal juga teman-teman marketing di beberapa hotel yang kadang pesertanya ingin outbound. Teman-teman (eks) Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) juga mulai diajak-ajak ketemuan ngobrolin tentang outbound. Tak lupa jaringan penyedia/ penjual perlengkapan outbound juga saya jadikan relasi. Banyak juga teman guru dan dosen kini makin tertarik ngobrol setelah beberapa kali diajak ketemuan untuk diskusi tentang experiential learning  dalam pendampingan siswa/ kemahasiswaan.
Salah satu manfaat unik dari relasi pernah saya catat di sini yaaa

Faktor yang membuat saya makin cepat memperluas relasi dan jaringan adalah AELI. Dalam naungan asosiasi tersebut, outbounder bisa lebih leluasa berwacana, mau dari sisi keilmuan, itu memang intinya, mau ngomongin bisnisnya bisa juga, obrolan tentang alternatif pendidikan bisa juga.

Hobi yang Memprofesi, lalu Merejeki

Saya lanjut sebentar riwayat keoutboundan saya. Pada tahun 2011, persis 10 tahun saya jadi dosen tetap, saya mengajukan diri menjadi dosen luar biasa/ dosen tidak tetap. Salah satu hal yang mendasarinya adalah saya ingin lebih serius mengembangkan hobi yang sudah merupa jadi profesi yang merejeki. Ternyata, menjadi dosen tetap yang berkewajiban “ngampus” seminggu 6 kali dari pagi ke siang, bahkan sore, secara waktu mulai sering bentrok dengan waktu pendampingan outbound. Walau sebagai dosen bisa saja saya mengganti jadwal kuliah, atau memberi tugas tambahan, namun hati kecil saya bilang itu tidak bagus. Kalo sekarang ini, ke kampus cukup satu atau dua kali seminggu hanya untuk ngajar saja. Dan di luar waktu tersebut, saya bisa makin bereksplorasi sebagai outbounder. Cerita selesai.

Nah, sudah saya bocorkan 3 SI yang menunjang hobi kita supaya bisa menjadi rejeki, yaitu: Konsistensi, Kompetensi, dan Relasi. Tiga hal tersebut mestinya saling terkait, walau mungkin tiap outbounder tidak sekaligus waktu berkelindannya; maklum, ini kan konteksnya hobi, bukan bekerja. Konsisten menjalankan hobi makin membuat kita sadar bahwa hobi juga perlu dikembangkan. Kompetensi dalam aspek-aspek kehobian kita membuat selalu ada penyegaran sekaligus peningkatan kapasitas kita sebagai pehobi. Mulai deh di titik ini, hobi bisa mulai mendatangkan rejeki alias pemasukan (uang). Jika konsistensi berhobi dan peningkatan kompetensi tentang hobi kita sudah dijalani, maka tak pelak, kita juga akan punya komunitas. Maka sangatlah aneh jika orang punya hobi tapi nggak punya komunitas/ jaringan sehobi. Inilah yang disebut dengan relasi. Semua hal terkait hobi kita akan direlasikan sehingga akan membentuk jaringan/ komunitas yang asyik saat kita menjalankan/ mengembangkan hobi kita, pun ketika sudah merupa jadi profesi dan mengalirkan rejeki
Mengembangkan hobi dalam bingkai kompetensi dalam relasi bersama Asosiasi Experiential Learning Indonesia DPD Sumatera Selatan
Demikianlah refleksi saya tentang hobi outbound yang menjelma jadi profesi serta mendatangkan rejeki bagi saya, cukup dengan 3 SI. Masih ada lagi sambungan catatan tentang bagaimana rejeki dalam berprofesi bisa makin deras mengisi pundi, yang ternyata mengandung 5 SI, yaitu: Koleksi, Variasi, Kolaborasi, Investasi, dan Promosi. Nantikan saja tulisannya ya…

Palembang, 2 Mei 2017

Agustinus Susanta

1 komentar:

  1. Bayar Pakai Dengan Pulsa AXIS XL TELKOMSEL

    Anda Dapat Bermain Setiap Hari dan Selalu Menang Bersama Poker Vita
    Capsa Susun, Bandar Poker,QQ Online, Adu Q, dan Bandar Q

    Situs Situs Tersedia bebebagai jenis Permainan games online lain

    Sabung Ayam S1288, CF88, SV388, Sportsbook, Casino Online,
    Togel Online, Bola Tangkas Slots Games, Tembak Ikan, Casino

    Terima semua BANK Nasional dan Daerah, OVO GOPAY

    Whatsapp : 0812-222-2996

    POKERVITA

    BalasHapus