yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Rabu, 28 Maret 2012

Jangan-jangan


Setelah disuguhi mie rebus hangat berkuah, dengan ditemani gorengan plus cabe rawit, saya diajak berkelana menuju sebuah tempat yang eksotis. Pagi itu bersama seorang sahabat yang baru saja ketemu 4 hari sebelumnya, saya menjelajah hutan pinus dan sungai. Pak Darmin, demikian saya menyebut sahabat saya tersebut, memboncengkan saya dengan motornya menyusuri lekak lekuk jalanan pedesaan di daerah Megamendung, Puncak. Di sebuah perhentian, dia memarkirkan motornya untuk lalu mengajak saya menyusuri jalan setapak di tepian hutan pinus. Lembah yang menghampar diakhiri dengan pandangan ke Gunung salak yang berdiam nun jauh disana, menjadi pemandangan yang mengagumkan. Apalagi di beberapa puncak bukit, pucuk-pucuk pinus masih berselimut kabut pagi, ah… sulit dituliskan.
Eksotis
Sambil menyusur jalan setapak, kami melanjutkan obrolan dengan akrab, lho, kok melanjutkan obrolan, apakah sebelumnya kami pernah ngobrol? Ternyata pernah, 4 hari sebelum saat ini; nantilah saya ceritakan kronologisnya. 

Tak berpa lama, kami turun ke sungai dan menyusurinya. Sungai Burangrang (kalau tak salah, begitulah dinamakan) mengalirkan air yang jernih, walau semalaman hujan turun di daerah Mega Mendung. Debit air sungai juga masih normal, tidak membanjir layaknya sungai di area hilir. Ternyata kestabilan dan kejernihan air sungai tersebut karena memang sungai yang sedang kami susuri tersebut berada di daerah hulu, mendekati puncak sebuah perbukitan. Di area tersebut juga tidak ada lagi pemukiman penduduk yang berpotensi mengotori sungai. Wajar jika sungai itu sangat ideal untuk kegiatan jelajah sungai; begitu antara lain yang diceritakan oleh Pak Darmin.

Usai mencicipi susur sungai, kami naik ke daratan untuk melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan Pak Darmin dengan semangat menceritakan banyak hal, termasuk jejak-jejak karya dia di daerah itu yang masih nampak bukti fisiknya. Kami ngobrol bagaikan dua orang yang sudah kenal lama sekali, padahal kami baru saja bertemu beberapa hari, kenapa yha? Nantilah saya ceritakan.

Usai menjelajah hutan dan sungai, kami kembali pulang ke rumah Pak Darmin, tentu saja setelah mengambil motor yang tadi diparkirkan. Saya diajak mampir ke 2 tempat yang biasa digunakan Pak Darmin untuk melaksanakan kegiatan pelatihan berbasis experiential learning. Saya dikenalkan pada mereka yang menjaga/ mengelola tempat tersebut. Rupanya Pak Darmin juga sudah dianggap saudara oleh para pengelola tersebut, terlihat dari keakraban diantara mereka. Oh yha, selama penjelajahan singkat pagi itu, lak lupa saya jeprat sana jepret sini dengan kamera, kapan lagi punya kesempatan emas seperti itu? Kapan yha?...
begitu jernih air mengalir

Nah sekarang saya mau cerita tentang konteks perjalanan penyusuran saya di hutan dan sungai tersebut.
Mulai sekitar  5 bulan lalu saya mulai berkenalan dengan beberapa teman melalui dunia maya, tepatnya melalui facebook. Kami terkenalkan satu sama lain karena ada kesamaannya, yaitu pegiat, pemerhati, pelaksana, bahkan mungkin ada juga pengkritik metode kegiatan experiential learning. Walau pada awalnya tidak saling kenal, namun karena ada kesamaan minat, toh kami mulai berinteraksi di dunia maya, tanpa sekali pun berjumpa langsung. Nah, Pak Darmin yang telah saya sebut-sebut di awal tulisan ini adalah salah satu sahabat baru yang terkoneksi akibat internet.

Dalam diskusi di dunia maya, ada banyak sekali cerita yang detilnya tak perlu lah saya ceritakan, intinya sih seru. Ada pendapat yang sama, beda, selisih, saling melengkapi, bahkan saling mengguyonni. Saya merasakan ada cukup banyak kesamaan pengalaman dan pandangan antara saya dengan Pak Darmin dalam hal experiential learning, dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Barangkali Pak Darmin juga mearsakan hal yang serupa, entahlah.

Nah, di awal Maret tahun ini saya ingin memperdalam sekaligus memperlebar pengalaman tentang experiential learning melalui kegiatan TOT, Training of Trainer, begitulah yang dituliskan oleh panitia penyelenggaranya. Kebetulan lokasi TOT dekat dengan tempat tinggal Pak Darmin, di sekitar Bogor. Jadilah kami berdua janjian untuk ketemuan untuk lebih banyak lagi ngobrol tentang pernak pernik experiential learning. 

Oh yha, 2 tahun lalu saya juga mengikuti kegiatan serupa TOT, waktu itu diselenggarakan oleh PAC di Pringayu, Ciawi, Bogor. Pada kesempatan itu saya banyak belajar pada Mas Enda Mulyanto, Kang Tonny Dumalang, terta teman-teman fasilitator PAC. Di kesempatan itulah saya baru mendalami tentang experiential education. Kini 2 tahun setelahnya semangat yang sama membawa saya ke Lembah Mandiri untuk Mengikuti TOT yang diselenggarakan Dewananta Outbound. Keinginan saya untuk lebih banyak mengunjungi tempat-tempat pelatihan di Puncak, dan bertemu langsung dengan para instruktur di sana tampaknya bakal segera terwujud.

Singkat cerita, seturun saya dari pesawat, naik Bus Damri ke Bogor, dan disambung angkot meuju lokasi TOT, saya bertemu dengan Pak Darmin di simpang tiga arah Pasir Muncang. Dengan dibonceng motornya, saya diantar ke lokasi TOT. Kebetulan Pak Darmin juga ada urusan dengan pengelola Lembah Mandiri; kok kaya kebetulan yach

Sampai di sana, saya dikenalkan dengan Kang Budi sebagai pengelola lokasi, dan setelah itu kami bertiga ngobrol dengan asyik. Pak Darmin begitu bersemangat menceritakan pengalaman panjangnya berkecimpung dalam dunia experiential learning, khususnya di daerah Jakarta dan Bogor. Banyak hal yang bisa saya jadikan inspirasi, baik secara konseptual maupun teknis, pokoknya seru deh. Saat itu saya berpikir, tidak dengan semua orang Pak Darmin bisa bercerita dengan begitu terbuka, termasuk tentang strategi pelatihan/ pendampingannya, kenapa dengan saya yang baru jumpa beberapa jam bisa mengalir segala cerita tadi, aneh deh.

Menjelang sore, saya diajak menemui salah seorang sahabat Pak Darmin yang mengelola sebuah lokasi pelatihan, juga dengan program arung jeramnya. Sebenarnya memang Pak Darmin hari itu ada urusan dengannya, tapi kok yha masih mau mengajak saya ke sana.

Pak Darmin, Kang Ujang, dan Saya
Setelah hampir setengah jam saya dibonceng motornya, meliuk-liuk di antara padatnya jalan arah Sukabumi, akhirnya sampai juga kami ke tempat sang sahabat. Tambah lagi seorang sahabat baru saya di sana, sahabat yang biasa mengelola arung jeram, asyiiiiik. Cara pandang Pak Darmin adalah membangun jejaring; makin banyak jejaring yang dimiliki maka pada suatu saat itu akan memudahkan seseorang dalam berkegiatan kelak. Walau saya berasal dari Palembang, tapi Pak Darmin enjoy saja berpikir, siapa tahu suatu saat saya dapat klien yang mau pelatihan di Puncak dan sekitarnya, maka kini saya sudah dapat referensi. Sebuah pemikiran yang patut dihargai dan diapresiasi.

Usai dari sana saya diajak melihat-lihat beberapa lokasi pelatihan berbasisi experiential learning. Termasuk beberapa yang pernah dikelola oleh Pak Darmin. Tak lupa pada kesempatan itu saya diajak mampir ke markas pelatihan Pak Darmin, sebuah villa sederhana berpemandangan eksotis ke arah Gunung Salak. Ketika malam menjelang, saya diajak mampir ke rumah Pak Darmin, dikenalkan dengan sang istri dan anggota keluarga lainnya. Keakraban, bahkan rasa kekeluargaan sangat saya rasakan pada perjumpaan tersebut, padahal,…. tahu kan, baru hari itu kami berjumpa. Pada kesempatan itu saya serahkan oleh-oleh yang saya bawa dari Palembang untuk Pak Darmin, yaitu 2 buah buku tulisan saya. Tak perlu saya ceritakan betapa enaknya saya disuguhi nasi goreng di sana, lho ini sudah cerita, he he he….

Highland

Malam hari saya diantar kembali ke Lembah Mandiri, dengan membonceng motor Pak Darmin, meliuk-liuk di Jalan Puncak yang selalu ramai selama kurang lebih setengah jam. Usai mengantar, Pak Darmin tidak lupa kembali mengajak saya untuk setelah TOT jalan-jalan melihat lebih banyak lokasi pelatihan di Puncak dan sekitarnya. Tentu saja tawaran tersebut saya terima dengan senang hati, termasuk untuk menginap di rumahnya, Rabu malam usai saya TOT. Itulah penggalan awal kisah perjalanan saya dengan Pak Darmin sebelum menyusur sungai pada hari keempat perjumpaan kami. 

Kembali pada saat kami selesai menyusur sungai, kami kembali ke rumah Pak Darmin, sarapan lagi, lalu saya bersiap pulang ke Palembang. Pak Darmin kembali mengantarkan saya sampai Ciawi dengan motornya untuk kemudian saya lanjutkan perjalanan dengan angkutan kota, Bus Damri, dan akhirnya pesawat terbang ke Palembang. Terima kasih Pak Darmin atas segala apresiasinya.

Nah, apa sih maksud saya menuliskan kisah menarik ini? Yang jelas saya mau menuliskan rasa kepenasaranan saya terhadap apa yang sudah Pak Darmin lakukan terhadap saya. Sejujurnya, cieee…. Pemikiran saya untuk ikut TOT hanya sebatas belajar bersama para Instruktur dan teman-teman peserta di lokasi TOT. Tak pernah terbayangkan saya bisa mengunjungi banyak lokasi pelatihan di Puncak dan sekitarnya, dimana itu menjadi inspirasi saya dalam merekayasa sebuah program pengembangan manusia. Memang sejak 2 tahun lalu ada keinginan untuk merasakan itu; bertemu teman-teman pegiat experiential learning, ngobrol, sekaligus melihat-lihat lokasi pelatihannya. Eeee… ternyata keinginan tersebut bisa mewujud berkat interaksi saya dengan Pak Darmin.

Pertanyaan yang berganyut di benak ini masih ada, yaitu kenapa Pak Darmin bisa begitu semangat dan menyambut saya dalam suasana kekeluargaan, terlebih lalu berkenan menceritakan banyak hal tentang program pelatihan yang sering dia bawakan. Bukankah bagi beberapa orang/ provider bukan hal yang biasa menceritakan “isi dapur” pada pihak lain? Tapi yang saya rsakan, Pak Darmin begitu tulus mengobrolkannya. Aneh. Yang lebih aneh, Pak Darmin sebelumnya hanya mengenal saya melalui beberapa tulisan di blog, serta pandangan dan komentar di grup AELI versi facebook. Saya mempertanyakan dan memperanehkan, tapi juga mencurigai sebuah kemungkinan, apa itu?

Jangan-jangan Pak Darmin memandang saya (melalui berbagai tulisan/ pandangan/ komentar) sebagai orang yang terbuka dan mau berbagi pengalaman (untuk tidak mengatakan berbagi ilmu) dengan sebanyak mungkin orang. Memang sih, saya lebih banyak menuliskan/ menyampaikan  sesuatu berdasarkan apa yang pernah saya lakukan/ geluti. Jangan-jangan Pak Darmin melihat saya sebagai orang yang (walau sudah punya beberapa kelumit pengalamn) masih sadar untuk mau belajar dari yang lain. Memang saya orang yang akan terus belajar, buktinya jauh-jauh dari Palembang ke Bogor untuk jadi peserta TOT; padahal ada seorang teman yang menyampaikan, mestinya saya sudah pantas menjadi pemateri di TOT tersebut, bukan malah jadi peserta. 

Pak Darmin Sang Marinir
Jangan-jangan yang terakhir, jangan-jangan jangan-jangan yang pertama dan jangan-jangan yang kedua tadi memang benar dan itu sama dengan mindset/ paradigma yang dimiliki Pak Darmin; sehingga beliau merasa menemukan sahabat baru yang seide dengannya untuk lebih mengembangakan diri dan orang lain. 

Pernah, ada seorang teman yang menyarankan pada saya untuk tidak “mengobral” pengalaman pendampingan, khususnya melalui tulisan/ buku/ foto, dengan alasan itu adalah “modal” yang membedakan saya dengan fasel yang lain. Saya sih menghargai pendapat itu, walau saya tidak sepenuhnya setuju. Setidaknya sampai saat ini Saya masih menganut faham Tuhan memberikan inspirasi kreativitas pada kita (melalui banyak hal) untuk menyusun program pendampingan melalui experiential learning, jadi kenapa kita harus pelit berbagi? Saya belum menemukan kerugian jika kita berbagi pengalaman tersebut pada orang lain. Justru ketika ada orang lain yang terinspirasi dari pengalaman kta, dan dia membuat yang serupa dan itu mengembangkan lebih banyak orang, wow, luar biasa khan kita bisa memberi manfaat?

Jangan-jangan, jika saya menyimpan rapat-rapat semua pengalaman pendampingan saya, tidak ada orang terinspirasi dengan pengalaman tersebut. Jika tidak ada yang terinspirasi dengan kita, yha siapa yang akan mengapresiasi kita? Jika itu yang terjadi, bisa dipastikan saya tidak akan berjumpa dengan Pak Darmin, tidak ada yang mengajak jalan-jalan ke berbagai lokasi pelatihan di Puncak, tak ada yang mengenalkan kawan dan relasi baru, dan yang pasti saya tidak akan menikmati nasi goreng lezat di rumah Pak Darmin dalam suasana kekeluargaan.

Semoga menginspirasi, Palembang 28 Maret 2012.
Salam, Agustinus Susanta

Senin, 26 Maret 2012

Misi Malam



Malam itu begitu gelap karena bulan sedang bersembunyi di balik bumi, hanya ada percik titik sinar bintang di langit. Dua orang wanita peserta pelatihan pengembangan karakter beringsut mendekati tenda peleton tempat para instruktur tidur. Mereka berhati-hati membangunkan seorang instruktur pria. Setelah sang instruktur terbangun dari tidur lelapnya, tanpa ada pembicaraan, bertiga mereka beringsut menjauhi tenda peleton, menuju suatu tempat yang tersembunyi. Sang insruktur membawa sesuatu yang agak besar namun terkesan ringan. Penerangan yang mereka bawa hanyalah sebuah lilin menyala. Kesunyian masih menyeruak di sekitar lokasi perkemahan tempat pelatihan dilaksanakan.

Sampai di suatu tempat, intruktur tersebut berkata, “Tugas kalian adalah salah satu mengajari yang lain cara bermain gitar. Besok pagi, yang diajari main gitar harus bisa membawakan sebuah lagu sederhana dengan iringan gitar ini. Waktu kalian hanya 45 menit untuk beraktivitas. setelah itu bangunkan 2 teman kalian sesuai jadwal untuk saling mengajari main gitar. Sesudah membangunkan dan mengantar mereka ke tempat ini, kalian boleh melanjutkan tidur. Selamat berlatih” lalu sang instruktur meninggalkan dua peserta tersebut yang tak lama kemudian saling ajar mengajari bermain gitar. Jrang-jreng jrang jreng…. Di kesunyian malam itu lalu terdengar petikan dan genjrengan gitar, kadang-kadang ditimpa suara nyanyian yang terbata-bata.
Belajar Main Gitar

Ternyata, tak hanya dua orang peserta tersebut yang beraktivitas di dini hari itu. Di beberapa tempat lain ada juga pasangan-pasangan yang sedang melakukan berbagai kegiatan. Di sebuah sudut tempat ada sepasang peserta yang sedang membuat origami seperti contoh, namun tidak diperbolehkan menyentuh obyek contohnya, tentu saja ditemani sebatang lilin menyala. Di tempat lain ada sepasang peserta yang sedang menyelesaikan tantangan, bagaimana bisa mengangkat 14 batang paku yang berukuran besar, hanya dengan bertumpu pada 1 paku yang ditancapkan vertikal di sebuah balok kayu. Tak kalah serunya adalah peserta yang mencoba menyusun puzzle dari 10 batang balok kayu yang rata-rata beratnya 3 kilogram.

Hei, apa sih yang sebenarnya sedang terjadi antara pukul 23.30 malam itu sampai sekitar pukul 04.00 paginya? Kenapa para peserta pada bergentayangan di kegelapan untuk melakukan kegiatan yang sepintas kayak kurang kerjaan saja. Apakah mereka sedang mendapat misi khusus? Atau mereka lagi kena hukuman, atau ada apa? Inilah yang sebentar lagi akan saya tuliskan. Pengalaman dalam seminggu terakhir yang saya timpakan pada 2 kelompok peserta pelatihan di tempat dan waktu yang berbeda.

Saya belum bisa memberi judul aktivitas sejenis itu, selain dinamai “misi malam.” Kalau duluuuuu waktu saya masih mengikuti kegiatan kepramukaan, ada yang namanya jurit malam. Saat jurit malam, kita diajak, eh, lebih tepatnya disuruh sendirian/ berkelompok melewati tempat-tempat yang dianggap menyeramkan, dan di tempat-tempat tertentu ditakut-takuti entah dengan suara-suara, gerakan pohon, juga bau-bauan. Kata kakak pembina, itu untuk melatih mental keberanian; asyik juga sih. Misi Malam adalah sejenis dengan jurit (atau jerit, sih?) malam, namun dengan sifat tantangan yang berbeda.  Pada Misi Malam, peserta lebih ditantang pada urusan keberanian menghadapi/ mempelajari sesuatu yang baru, sesuatu yang mungkin terpikir tidak mungkin untuk mereka lakukan disaat normal. Tantangan juga ada pada bagaimana mereka membunuh/ mengelola kebosanan dan kengantukan manakala tantangan sudah terselesaikan. Belum lagi tantangan bagi mereka yang takut akan kegelapan dan kesunyian, hiiii…….

Konteks Misi Malam adalah sebagai  salah satu program kegiatan dalam sebuah proses pelatihan pengembangan karakter. Acara ini dilangsungkan pada malam pertama di antara dua malam peserta menginap di lokasi pelatihan. Program ini dirancang untuk menguji seberapa tabah peserta menikmati tantangan yang bisa jadi menurut pemikiran mereka mustahil, sangat sulit, tidak mengenakkan, menakutkan, membosankan, atau malah nggak jelas ujung pangkalnya. Suka atau tidak suka mereka harus bangun pada waktu tertentu untuk mengerjakan tantangan tersebut. hmfhh….. cape’ deh. Eit,… tunggu dulu, ternyata hampir semua peserta malah menikmati penugasan malam tersebut lho; itu terdeteksi ketika keesokan harinya kami mengajak mereka bincang-bincang.


Penugasan malam didasari oleh teori bahwa seseorang akan lebih banyak belajar jika dia dibawa keluar dari zona nyamannya. Saya tidak akan membahas teori yang saya amini itu, tapi lebih pada penerapan pernyataan tersebut. Secara umum zona nyaman seseorang terbagi dalam 2 jenis, yang pertama kenyamanan berpikir/ merasakan, dan yang kedua adalah kenyamanan secara fisik. Sebenarnya ada jenis ketiga, yaitu gabungannya.

Kenyamanan berpikir/ merasa lebih pada keinginan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu pemikiran. Contohnya, ada seseorang yang lebih nyaman ngemelamun atau tidak memikirkan hal-hal yang berat. Ketika yang bersangkutan diberi tugas menyelesaikan sudoku atau teka-teki silang, maka itu sebuah ketidaknyamanan baginya. Kenyamanan fisik lebih jelas terdeteksi, misalnya orang lebih nyaman tidur di dalam kamar, di atas kasur empuk berselimut kain yang menghangatkan, daripada tidur di atas matras, di dalam sleeping bag, di dalam tenda yang kadang menyusupkan dinginnya angin malam.

Misi Malam lebih menekankan membawa orang keluar dari zona kenyamanan berpikir dan merasa. Manakala kegiatan harus dilaksanakan malam hari, di saat senormalnya mereka tidur, tentu jadi tantangan tambahan. Kegiatan yang dilakukan di tempat terpencil, sunyi, dan gelap, pasti akan menambah ketidaknyamanan. Ditambah tekanan bahwa tugas harus diselesaikan dalam waktu tertentu, tentu itu bisa bikin peserta stres. Tampaknya cukup sudah porsi ketidaknyamanan yang dikondisikan pada peserta. Pilihan peserta ketika menerima “musibah” ini bermacam-macam; dia bisa memilih takut, ngeri, enggan, menolak, atau sebaliknya, senang, asyik, dan penasaran hendak mencobanya. Misi Malam dapat pula dikontekskan dengan bagaimana jiwa kepemimpinan seseorang ketika menerima tugas/ misi baru nan menantang. Kombinasi antara pikiran, perasaan, dan pengalaman mengarungi tugas ini yang pada saatnya nanti di-sharingkan untuk dimaknai. 

Hal yang tidak boleh dilupakan adalah setelah penugasan malam, peserta diajak untuk berbagi pengalaman guna memaknai segala apa yang sudah dialaminya.  Dalam dua kesempatan melaksanakan kegiatan ini, saya membagi peserta dalam beberapa kelompok. 1 kelompok terdiri dari orang-orang yang mendapat tugas berbeda. Penceritaan diawali dengan perasaan yang dialami peserta ketika pertama kali mendapat tugas tersebut, kronologis dan perasaan peserta saat dan setelah melaksanakan tugas, dan diakhiri dengan makna/ pelajaran/ nilai apa yang bisa diambil tiap peserta terkait proses pembelajaran tersebut.
Origami yang bikin pening, 30 menit nggak terpecahkan rahasianya.
Nah, kini saya akan berbagi tentang teknis merekayasa penugasan malam. 


Pertama, kita tentukan alternatif misi/ tugas yang akan ditimpakan pada peserta. Lalu kita adakan penjajakan/ survey secara tidak langsung sejauh mana peserta sudah pernah/ sudah bisa menyelesaikan tugas tersebut. Jenis tugas biasanya dibuat justru bertolak belakang dengan kondisi kenyamanan peserta. Misalnya tugas belajar bermain gitar justru akan ditimpakan pada peserta yang sama sekali belum pernah bermain, atau bahkan memegang gitar. Tugas belajar menyanyikan sebuah lagu sesuai notasi yang disediakan, tentu akan ditimpakan pada mereka yang sangat awam dalam menyanyi, apalagi membaca not. 

Hal berikutnya adalah mendistribusikan misi-misi tersebut pada peserta. Ada misi yang dapat dilakukan secara individu, ada pula berpasangan. Tidak menutup kemungkinan suatu misi juga dilaksanakan oleh 3 atau 4 orang. Perbandingan jumlah peserta, jenis misi, dan jumlah instruktur akan dikombinasikan secara pas sehingga program dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Sebagai contoh, misi belajar dan mengajar main gitar diberikan pada 2 orang yang salah satunya sudah bisa bermain gitar, sementara pasangannya belum bisa. Tugas menyanyi lagu baru sesuai not, diberikan pada pasangan/ kelompok yang salah satu anggotanya memang bisa menyanyi dan membaca not. Waktu pelaksanaan tugas juga mesti kita tentukan, misalnya semua jenis tugas akan dilaksanakan selama 45 menit.

Penjelasan, jadwal dan urutan penugasan adalah sesuatu yang perlu dipahami oleh peserta sebelum mereka beranjak tidur. Secara berkelompok, peserta diajak ke lokasi tertentu di mana mereka akan melaksanakan tugas. Dalam kelompok tersebut lalu dibagi lagi dalam beberapa kelompok kecil untuk menetapkan kelompok mana yang akan bertugas pertama kali, kedua, ketiga, dan seterusnya. Waktu penugasan juga dipaparkan pada semua peserta; misal kelompok pertama melaksanakan misi pada pukul 00.15 – 01.00, kelompok kedua pada 01.00 – 01. 45, kelompok ketiga pada 01.45 – 02.30, dan seterusnya. Deskripsi misi hanya diberikan sekilas untuk membuat peserta penasaran, atau boleh juga sama sekali tidak diberikan. Hal tersebut ditentukan oleh seberapa rumit jenis tugasnya.

Pada saatnya nanti, kelompok pertama membangunkan instruktur untuk menuju lokasi pelaksanaan, sekaligus mendapat deskripsi misi secara lebih jelas. Ketika kelompok sudah mulai melaksanakan misinya, instruktur bisa mengawasinya dari jauh, atau bisa juga ditinggal tidur kembali; ini juga tergantung dari aspek keamanan dan keselamatan peserta tinggal di lokasi tersebut untuk menyelesaikan misi. Ketika waktu pengerjaan tugas kelompok pertama selesai, mereka harus membangunkan kelompok kedua untuk mengerjakan tugas yang sama, demikian seterusnya sampai semua kelompok peserta kebagian melaksanakan misi.
Latihan nyanyi di dini hari, hiiiii....

Nah, sementara begitu, teman-teman pembaca, beberapa kelumit 2 pengalaman mengadakan pelatihan pengembangan karakter berbasis Experiential Learning dalam seminggu terakhir. Semoga menginspirasi. Alih-alih mengadakan kegiatan malam yang berat, menyeramkan, dan merepotkan, kita bisa mencoba Misi Malam yang tak kalah heboh, tapi dengan muatan yang tak kalah berbobot.

Selamat mengarungi malam dengan misi-misi menantang.

Palembang, 27 Maret 2012,
Salam, Agustinus Susanta