yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Sabtu, 11 Juni 2011

Maling Konsep?


Dalam dua minggu terakhir, setahun yang lalu (pening nggak mbayangkan kapan kejadiannya? He he he…) saya berjumpa dengan 2 orang teman yang sama-sama mengeluhkan dua hal yang sama, tentang konsep. Teman pertama, sebutlah bernama Chandra, bercerita sambil berharap konsep outbound yang diajukannya saat presentasi tidak digunakan oleh kompetitornya, apa pasal? Gini ceritanya. Bersama 2 provider outbound lain, teman saya diundang untuk mempresentasikan sebuah konsep outbound 3 hari 2 malam untuk sebuah perusahaan nasional. Presentasinya sih satu-persatu dan tanpa dihadiri kompetitor. Teman saya itu berpikir konsep yang diajukan sudah bagus dan sangat menarik, karena pihak perusahaan juga tampak terkesan dan terkesima. Sayang proposal sang teman tidak lolos, kabarnya sih karena budgetnya belum sesuai dengan kemampuan pendanaan perusahaan tersebut. Yang membuat sang teman agak resah adalah, “Jangan-jangan konsep saya dipakaikan pada provider yang lolos.” Yang memakaikan tentu saja si perusahaan yang punya gawe.
Komentar saya tentang hal itu, “jika saya punya suatu konsep/ gagasan, terlebih dalam konteks outbound, justru lebih senang bila bisa dibagikan secara luas.” Maksudnya saya memang suka bikin konsep outbound, dan saya pikir saya malah dengan sukarela menyebarluaskannya, ada yang masih berupa konsep/ skenario outbound, namun banyak juga yang berupa cerita pelaksanaan suatu konsep outbound yang sudah dilaksanakan. Bagi saya, ide/ gagasan serta kreativitas merancang adalah anugerah Tuhan yang diberikan gratis pada kita, jika kita punya kebesaran hati untuk menunjukkan itu pada banyak pihak, tentu lebih baik. Siapa tahu gagasan/ konsep kita akan menginspirasi orang lain untuk merancang kegiatan-kegiatan sejenis. Memang sih, pilihan ada pada tiap pribadi dalam memandang suatu karyanya sendiri. Ada yang berpandangan,”wah, konsepku ini sangat sip, berharga, maka jangan sampai orang lain tahu, apalagi kompetitor.” Namun ada juga yang berpandangan, “Wah konsepku ini kayaknya menarik, ayo ayo, siapa yang mau menggunakannnya?”
Sebelum berlanjut lebih dalam cerita tentang konsep ini, gimana kisah teman kedua saya? Gini, Teman saya ini, sebut saja bernama Rukay, berkeluh kesah setengah kecewa,”Sialan, kami nggak dilibatkan, tapi konsepnya diambil semua sama mereka.” Apa pasal teman kita ini mengeluh hal seperti ini? Ternyata dia dan teman-teman Event Organizer (EO)nya diminta oleh sebuah perusahaan untuk merancang sebuah even tahunan. Maka dirancanglah konsepnya; melibatkan unsur fotografi, film, rekayasa, drama, dan tentu saja sudah mencakup hal-hal teknis lainnya. Eeeee, ternyata, saat pelaksanaan, perusahaan itu mengambil alih teknis pelaksanaan tanpa melibatkan EO tersebut. Yang bikin gondok sang teman adalah perusahaan itu menggunakan skenario/ konsep yang diajukan dia bersama EOnya. Hmmm….. 

Kejadian yang sedikit mirip, pernah juga saya alami sendiri. Saat itu saya diajak suatu EO untuk menjadi fasilitator utama kegiatan outbound mereka. Dalam kegiatan 2 hari 1 malam tersebut, saya buatkan rancangan yang menarik dengan kompensasi prestasi kegiatan berupa uang-uangan. Jadi setiap proses kegiatan, entah outbound, atau setelahnya, termasuk untuk makan siang dan makan malam, menggunakan dinamika jual-beli. Suasana seru sampai saatnya hari kedua EO tersebut membagi-bagikan hadiah doorprize pada para peserta. Konsep yang saya pake adalah hadiah doorprize tersebut dilelang pada peserta, dengan uang-uangan yang diperoleh dari permainan-permainan. Ketika mau membagikan beberapa hadiah, saya bikin suatu permainan menarik dengan (beberapa) pemenang yang dapat uang-uangan sesuai prestasinya. Setelah dapat modal, saya lelang hadiah, siapa berani “bayar” lebih tinggi maka berhak mendapatkan hadiah tersebut. Suasana yang terbentuk seru plus kocak. Karena yang mau saya bahas bukan teknis skenarionya, maka ceritanya dicukupi yha.
Nah beberapa bulan berselang, ketika saya memfasilitasi outbound di suatu tempat (tentu saja lah) bersama teman-teman fasilitator yang baru. Salah satu teman bercerita bahwa 2 minggu sebelumnya ada EO yang juga menggunakan tempat tersebut untuk acara outbound dan gathering. Cerita punya cerita, ternyata EO itulah yang dulu ngajak saya, dan ternyata juga mereka pake konsep yang sama persis dengan apa yang pernah saya kerjasamakan dengan mereka. Ada kompres (kompensasi prestasi) menggunakan uang-uangan, trus juga termasuk cara membagi doorprize dengan sistem lelang. Apa reaksi saya mengetahui fakta itu? Ternyata biasa-biasa saja tuh, hanya sebatas, ”oooooo…” lalu saya lanjutkan pada teman cerita saya tadi, “konsep itu itu dulu saya yang mengajarinya,” sudah, selesai.
Nah sekarang kita sudah punya 3 kisah yang serupa tapi tak sama, 2 oleh teman saya, 1 bersama saya sendiri. Omong-omong, eh, tulis-tulis, bagaimana sih sebaiknya kita bersikap ketika berpikir konsep kita digunakan orang lain dengan cara (yang menurut kita) kurang (w)ajar. Saya coba tinjau dari beberapa sudut pandang saja yach, karena sebenarnya semua berpulang pada prinsip dan kebesaran hati si pelaku dan tersangka, wow.
Tiap pihak, sebut saja si pencari konsep dan pengusul konsep punya kepentingan. Si pencari konsep tentu kepentingannya mendapatkan konsep/ proposal/ ide terkait suatu kondisi yang  ingin dilakukannya. Kita cerita konsep disini bisa banyak cakupannya lho, mulai dari proposal gagasan, waktu, pembiayaan, teknis pelaksanaan, pelaksana, tempat, dan sebagainya. Dalam proses mencari konsep, si pencari sukur-sukur juga mendapatkan pihak yang dipandang paling tepat untuk menjalankannya. Mulai sini, kita lihat ada 2 tujuan yang bisa dipisahkan, satu mendapatkan konsep, satu mendapatkan si pelaksana konsep. Kombinasi keterjadiannya bisa macam-macam, misalnya: mendapat konsep dari sia A, dan pelaksananya juga A, atau konsep dari si A, namun pelaksananya si B, atau konsep dari si A, dilaksanakan sendiri, bisa juga dapat konsep dari si A, tapi nggak dilaksanakan. Gimana, logika yang sederhana khan?
 Kini dari sisi pengusul konsep, apa kepentingannya. Kepentingan yang absurd adalah dia sekedar membagikan gagasan/ konsep pada pihak lain (lalu dia merasa bangga bisa berkonsep). Namun saya duga, motif utamanya adalah si pengusul konsep/ proposal berharap konsepnya diterima dan dia juga yang akan melaksanakan konsep tersebut. Namun, lagi-lagi ada beberapa keterjadian, misal: B melaksanakan konsep yang diusulkannya sendiri, atau B melaksanakan konsep usulan dari pihak lain, atau B melaksanakan konsep dari si pemberi tugas.

Nah, pangkal kekhawatiran Chandra dan kekecewaan dan Rukay, dua teman yang tadi saya sebut, pasti karena harapan yang tak kesampaian. Chandra yang sudah mengajukan konsep, sudah jelas tidak terpilih sebagai pelaksana karena alasan pembiayaan. Rukay sudah mengajukan konsep/ proposal sekaligus berharap dia juga jadi pelaksananya. Tak dinyana, konsepnya dipake, tapi kok bukan dia yang ditunjuk sebagai pelaksananya. Dalam konteks bisnis, hal ini tentu saja menjadikan sebuah peluang jadi melayang, yang menurutnya wajar bila diikuti dengan kesakithatian. Hmmm…. Oh yha, ini lepas dari kondisi jika memang dari awal ada niatan dari si pencari konsep untuk mendapatkan konsep secara “gratis” dengan “pura-pura” membuka peluang pada beberapa pihak untuk mengajukan konsepnya. Kalo itu yang terjadi, memang si pencari konsep itu yang sontoloyo.
Kini kita tinjau kemungkinan lain. Bisa jadi lho, si peminta konsep sudah punya konsep tertentu, katakanlah konsep D; namun dia mencoba menggali, siapa tahu ada konsep yang lebih pas atau lebih cerdas. Ketika ada beberapa pengaju konsep, ternyata yang diajukan kalah cerdas dengan konsep D tadi, atau bahkan misalnya ada pihak E yang mengajukan konsep yang mirip atau sama dengan konsep D. Nah, ketika ini yang terjadi, bisa saja si peminta konsep tetap melaksanakan konsep D, dan tidak harus pihak E yang melaksanakan, bisa pihak F, atau bahkan dilaksanakan sendiri. Ketika si E pendek pikirnya, ditambah tak ada komunikasi dengan pihak pencari konsep, maka bisa timbullah komentar-komentar miring dari si E, yang temanya nuduh konsepnya dicuri. Hmmm….
Kini kita lompat ke sudut pandang yang lain, tentang konsep/ gagasan itu sendiri. Dari mana sih ide kita sampai bisa membuat suatu konsep/ proposal? Jawaban jujurnya bisa dari mana-mana, karena sejatinya segala sesuatu di bumi ini saling mempengaruhi dan terkait. Saya contohkan saya sendiri, lah. Dalam merancang konsep suatu outbound/ permainan, ide dasarnnya bisa dari mana-mana. Kadang liat suatu acara di TV, kemudian terinspirasi menirunya (siapa yang tahu?) kadang membaca suatu artikel, trus tergerak untuk dijadikan dasar berpikir membuat konsep. Kadang-kadang dari melihat film, ada hal-hal yang bisa ditiru dan dimodifikasi dengan tingkat kesamaan beragam. Ada juga yang dari memikirkan suatu masalah, kemudian tercipta sebuah konsep/ permainan. Pendeknya, makin kita mau membuka berbagai saluran, akan makin banyak hal yang bisa menginspirasi kita dalam berkonsep. Kalo mau jujur, mungkin ada konsep yang sudah kita pikirkan dengan keras dan cerdas, tapi sebetulnya orang lain pun berpikir yang sama; hanya kita nggak tahu saja, khan? Akhirnya, urusan kualitas konsep kita menjadi relatif, sebuah konsep, dalam satu kondisi bisa sangat inspiratif, tapi dalam kondisi lain malah menjadi sangat biasa saja.
 Pergolakan yang timbul, biasanya dimulai ketika kita sudah (berpikir) bahwa suatu konsep adalah buah pemikiran kita yang paling cerdas (saat itu) dan menafikkan kemungkinan orang lain juga punya konsep yang mirip, sama, atau bahkan lebih cerdas dari konsep kita. Ketika ada pihak yang pernah berinteraksi dengan kita, dan kemudian tanpa sepengetahuan kita melaksanakan konsep seperti yang kita pikirkan tadi, mulailah timbul rasa curiga. Setelah itu ceritanya bisa macam-macam. Lalu apakah artinya konsep kita itu nggak berharga? Nggak ada artinya? Nggak pantas “dijual?” wah itu sih relatif; sudah disinggung tadi mengapanya. Yang paling menentukan keberhargaan suatu konsep hasil pemikiran kita yha sebenarnya cara pandang kita terhadap penciptaan konsep tersebut, dan setelah itu akan diapakan sesudahnya.
Kini kita kembali ke sikap kita terhadap konsep hasil pemikiran kita yang tergunakan oleh orang lain. Kalo saya sih cenderung suka membagikan konsep, terutama yang sudah pernah dilaksanakan. Termasuk saya sudah nulis 2 buku bertema outbound, itu khan membagikan sebuah konsep/ pengalaman/ gagasan. Selain itu saya selalu tergelitik untuk mencoba dan memodifikasi hal-hal baru (yang ide dasarnya bisa dari banyak saluran). Ada keyakinan bahwa ketika kita dengan rela berbagi (apalagi berbagi gagasan) maka secara tak langsung kita juga memberi peluang pada diri kita untuk terus mengisi otak kita dengan konsep-konsep yang lain. Ketika konsep kita juga digunakan oleh orang lain, artinya konsep tersebut dipandang punya kelebihan dan manfaat khan? Bahwa sebuah konsep terkait suatu urusan bisnis, hak cipta, dan sebagainya, tentu saja perlu kita cermati sebagai aspek legalitas, entah kita sebagai pencipta, pengguna, atau pengedar.
Maka marilah kita membuka diri terhadap hal-hal yang bisa menginspirasi kita menyusun konsep cerdas, mengeksekusinya, mengevaluasi, menuliskan kembali, lalu membagikannya. Kebesaran hati untuk membagikan konsep-konsep cerdas kita, niscaya  membuat kita berjiwa berkelimpahan. Apalagi ketika ada sesuatu yang kita fokusi, maka kita akan selalu tergerak untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu dalam menyusun dan mengeksekusi konsep. Berbahagialah orang yang produktif; selamat mengonsep.
Palembang , 10 Juni 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar