yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Sabtu, 03 Desember 2011

Mengggugat Wasiat



Saya pernah didebat habis-habisan oleh peserta outbound pasal pengelompokan peserta dalam  suatu kegiatan outbound. Maksud habis-habisan itu ada beberapa makna; Habis pertama, mendebatkannya ketika outbound sudah habis alias kegiatan sudah selesai. Habis kedua adalah (saya duga) dia sampai kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan unek-uneknya. Habis ketiga adalah (mungkin) dia tak habis pikir, kenapa ada fasilitator yang merancang suatu kegiatan yang membuat dia begitu geregetan. Habis keempat, saya juga tak habis pikir kenapa ada peserta yang sampai selesai outbound masih memermasalahkan skenario outbound, padahal kegiatan sudah berlalu. Dan habis terakhir adalah habis itu saya yang melakukan refleksi kenapa hal tersebut bisa terjadi. 

Bagi saya, apa yang dirasakan oleh peserta, termasuk soal persepsi mengenai suatu dinamika/ permainan tidak ada yang keliru, lha faktanya begitu kok.  Bahwa persepsi yang diterima itu lain dengan yang kita, para fasilitator maksud, tentu keselisihan ada pada fasilitator, mungkin sisip dalam penyampaiannya. Yang jelas ada 2 kemungkinan, pertama proses transfer makna belum terjadi dengan mulus, sehingga peserta belum 100% menangkap makna dinamika. Kemungkinan kedua adalah peserta secara sadar memilih tidak menerima makna yang dia sudah ketahui dari proses transfer.  Nah mana yang sebenarnya terjadi... saya sih coba mengira-ira saja. Supaya debat habis-bahisan itu tidak habis begitu saja, maka saya coba merefleksikan tentang latar belakang dan latar depan kejadian menarik tersebut. Maka jadilah tulisan yang sedang teman-teman baca ini.

Dahulu kala, saya mendampingi karyawan sebuah perusahaan dalam sebuah outbound selama 2 hari. Bersama para fasilitator yang lain kami memutuskan untuk membagi kelompok peserta menjadi 6 di awal, dan menjadi 5 di akhir, nah, apa pula ini maksudnya. Begini ceritanya. Pada outbound hari pertama yang dinamikanya banyak berlangsung di dalam ruangan, kami membagi peserta dalam 5 kelompok yang masing-masing beranggotakan 8 orang. Tiap kelompok berlomba mendapatkan, eh memperebutkan sejumlah poin untuk tiap prestasi yang diraihnya dalam permainan-permainan. Yel-yel yang dikumandangkan pun mencerminkan betapa sengit persaingan antar kelompok (untuk mendapatkan poin/ nilai). Ada yel-yel  kelompok yang fokusnya mencerminkan bahwa kelompok yang bersangkutan paling hebat dan bisa mengalahkan kelompok lain. Ada juga yel-yel yang tidak menyinggung kelompok lain, namun fokus pada pernyataan bahwa kelompok yang bersangkutan adalah kelompok yang tangguh, kuat, dan kompak. Pada hari itu, kami juga menitipkan sebuah “surat wasiat” pada salah satu kelompok untuk selalu dijaga dan dibawa kemana pun mereka pergi, termasuk saat lintas alam outbound hari kedua. HaH? Apa urusannya surat wasiat dengan outbound? Sabaaaar...

Tanpa merinci lebih jauh, cukuplah saya ilustrasikan bahwa sejak siang sampai malam hari terjadilah dinamika yang sangat menarik dan kompetitif antar kelompok untuk mendapatkan poin.

Hari kedua, kami adakan outbound di luar ruangan, jauh dari aula pertemuan. Lintas alam, seperti itulah perjalanan yang kami lakukan. Naik turun bukit, melintas sungai, menembus ladang dan belukar, pokoknya seru dan asik deh. Di beberapa, tempat peserta berhenti untuk bermain, tentunya dengan tetap berkompetisi dengan kelompok lain, memperebutkan poin. Suasana hari kedua tambah seru dan “panas,” maklum prestise kelompok juga dipertaruhkan di sini, lebih dari sekedar mengumpulkan poin. 

Setelah melalu perjalanan yang rada melelahkan dengan selingan 6 permainan, tibalah kami di perhentian terakhir. Yel-yel dikumandangkan dan nilai semua kelompok direkap untuk diumumkan. Kelompok yang paling bagus dari sisi perolehan nilai melonjak kegirangan dan diminta sekali lagi mengumandangkan yelnya. Setelah itu, kini tibalah saat untuk membuka surat wasiat. Perihal isi surat wasiat inilah yang bikin geger.

Dalam surat wasiat yang dibacakan oleh salah satu peserta outbound disebutkan bahwa kelompok yang pada saat itu mempunyai nilai tertinggi, akan dipecah berikut poinnya, dan akan didistribusikan dalam 5 kelompok lainnya. 5 kelompok ranking 2 sampai 6 bersorak senang, sementara kelompok peringkat kesatu kaget dan tampak tidak menerima hal tersebut. Suasana sontak ribut terutama karena anggota kelompok pemenang protes akan hal itu. Protes mereka ternyata diprotes juga oleh kelima kelompok lainnya. Dinamika yang sangat menarik; terutama melihat kelompok pemenang yang tidak rela kelompoknya akan bubar, kekayaannya (poin) dibagikan pada kelompok lainnya. Mereka berpikir fasilitator tidak menghargai kerja keras mereka sampai bisa menjadi yang terbaik; kok malah dipecah, huh menyebalkan... lebih menarik lagi kelompok tersebut adalah yang punya yel-yel “merendahkan” kelompok lain. Wajar jika ada perasaan gimanaaaa, gitu, ketika malah harus bergabung pada kelompok yang baru saja direndahkannya.

Berbagai argumen berseliweran, Salah satunya adalah gugatan apakah sebagai kelompok/ tim terbaik, mereka punya kebesaran hati untuk “memperbaiki” atau meningkatkan kinerja kelompok lainnya yang masih kurang. Namun argumen tersebut tampaknya belum bisa membuat para anggota kelompok pemenang rela hati. Akhirnya berdasarkan diskusi para ketua kelompok, mau nggak mau, suka nggak suka kelompok pemenang akhirnya harus mau menjalankan isi surat wasiat tersebut.  Yha sebenarnya kelompok pemenang nggak rela, namun apa boleh buat. Lalu kelompok tersebut mulai membagi poin kekayaan dan anggotanya dibagi 5 untuk masuk dalam kelompok barunya. 

Kini proses berlanjut dari siang itu sampai sore hari dengan komposisi 5 kelompok yang berkompetisi. Walau suasana masih agak kagok, namun begitulah, para peserta juga harus belajar menerima kenyataan. Bagaikan mereka di perusahaan, ketika pimpinan menginstruksikan sesuatu, yha bawahan harus nurut, lepas dari instrukti tersebut diterima dengan senang, sukacita, atau sebaliknya dengan ketidaksetujuan dalam hati.
Kegiatan berlanjut sampai pada akhir outbound, kelompok yang mengumpulkan poin tertinggi dinyatakan menjadi pemenang permainan outbound. 

Cerita habis, namun tidak lantas menghabisi refleksi saya tentang kejadian tersebut.

Ide memecah kelompok terbaik untuk masuk dalam kelompok lainnya yang masih kurang, didasarkan pada pendekatan bahwa orang-orang terbaik juga perlu dites, apakah mereka juga bisa berbuat yang terbaik di kelompok barunya? Apakah mereka akan dengan sukacita bergabung dan mengembangkan kelompok barunya, atau sebaliknya, memilih menjadi pasif di kelompok barunya tersebut. Pendekatan tersebut juga didasarkan pada bahwa dalam kenyataannya, orang-orang terbaik kadang dikirim ke suatu tempat baru untuk merintis sebuah usaha pengembangan. Bagaimana mereka bisa beradaptasi dan menularkan kompetensinya adalah sebuah kecerdasan tertentu yang sebaiknya dimiliki oleh setiap karyawan. Kami mencoba mengumpamakan situasi tersebut dalam skenario outbound, dengan cerita yang teman-teman sudah simak tadi.

Skenario yang sudah kami susun secara teknis dapat berjalan dengan lancar, namun menyisakan hal-hal nonteknis. Apa itu? Ternyata kami masih kurang menyediakan kesempatan pemaknaan bagi tiap peserta, khususnya bagi kelompok yang harus dipecah. Tidak ada pembahasan khusus mengenai kejadian pemecahan kelompok, yang mestinya kami menyadari itu sangat mengecewakan kelompok yang dipecah. Akibat ketiadaan refleksi dan pemaknaan dinamika itulah maka ada salah seorang peserta yang terus kepikiran tentang apa yang sudah menimpa dia dan kelompoknya. Dugaan saya, dia tahu dan menangkap konsep pemecahan dan perutusan kelompok yang terbaik, tapi dia memilih tidak mau menerima hal tersebut.  Maka jadilah dia menggugat saya ketika outbound telah selesai. Inti gugatannya adalah mengapa justru kelompok yang terbaik malah dipecah, bukannya dipertahankan. Wah... kalo ini diteruskan bisa panjang deh, karena sebenarnya urusannya ada pada ketidakterimaan seseorang pada sebuah konsep ditimpakan pada dirinya, mengapa? Karena yang bersangkutan  punya, meyakini, dan berusaha memperjuangkan konsep lain yang berbeda. Hmmm...

Saya siih menerima saja bahwa ada peserta yang tidak terima dengan skenario outbound tersebut. Saya sampaikan terimakasih dan apresiasi atas masukannya. Tidak ada yang salah dalam hal ini, karena setiap respon dalam suatu proses outbound adalah fakta, seperti itulah yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan peserta. Bahwa respon tersebut tidak sesuai dengan alur pikir fasilitator, tentu hal itulah yang perlu disikapi dengan bijak. Intinya sih, tiap pihak boleh sepakat untuk tidak menyepakati suatu konsep. Apalagi outbound adalah sebuah simulasi atau perumpamaan, di mana diskusi dan pertukaran pandangan justru akan memperkaya khazanah pemikiran peserta. 

Nah, terinspirasi dari kejadian tersebut, pada kesempatan lain, saya menerapkan skenario yang mirip. Apa itu? Pada suatu outbound 2 hari sebuah perusahaan, pada awal proses kami membagi peserta dalam 5 kelompok, namun ¼ terakhirnya, peserta dijadikan 6 kelompok. Kalo skenario yang ini pendekatannya adalah bahwa kadang dalam pengembangan suatu unit baru di perusahaan, diperlukan pembentukan kelompok baru yang diambil dari beberapa unit yang sudah ada. Demi menunjukkan bahwa pembentukan kelompok baru bukan sekedar ide sesaat para fasilitator, maka kami sudah menitipkan “surat wasiat” pada peserta pada hari pertama. Sukurlah skenario ini dapat dieksekusi dengan lancar, dan tiap kelompok, termasuk kelompok yang baru pun diberi ruang untuk memaknai seluruh proses dengan difasilitasi seorang pendamping kelompok.

Satu pelajaran yang dapat kita petik melalui 2 skenario surat wasiat tadi adalah: ketika kita menyiapkan sebuah konsep untuk diterapkan dalam sebuah outbound, kita juga harus memersiapkan segala kemungkinan respon dari peserta. Urusan persiapan teknis, jelas perlu; maka nggak usah lah kita bahas di sini. Namun urusan pemaknaan proses/ konsep itu juga harus mendapat perhatian khusus. Penyediaan fasilitator/ pendamping kelompok yang mumpuni adalah salah satu solusi jitu jika kita akan mengeksekusi outbound yang skenarionya bisa menimbulkan pro-kontra pada peserta. Pengertian mumpuni di sini adalah bagaimana dengan segala respon pro atau kontra, peserta bisa difasilitasi untuk memahami sebuah konsep.

Nah, itulah beberapa kelumit pengalaman saya tentang eksekusi skenario outbound. Selamat membuat “surat wasiat” outbound, dan semoga tidak digugat oleh peserta.

Palembang, 3 Desember 2011; salam; Agustinus Susanta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar