yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Minggu, 08 Mei 2011

Menangkap Fakta, Mengolah Kata, Menyampaikan Makna; Menuju Kecerdasan Linguistik Fasilitator Outbound


Minggu lalu, ketika saya sedang mendampingi kegiatan outbound, seorang panitia penyelenggara menemui saya dan menitipkan pesan, “Mas Agus, tolong nanti mereka yang terlambat ikut dievaluasi.” Kondisi saat itu sudah pertengahan hari, dimana 4 orang peserta terlambat datang, sementara teman-temannya sudah berproses outbound dengan khusyuknya. Wanti-wanti panitia bahwa seluruh peserta harus berkumpul pukul setengah delapan pagi ada yang ditepati, namun juga ada yang dimolori waktunya, apalagi oleh keempat orang yang terlambat lebih dari 2 jam itu. “yach begitulah, Mas kondisi kantor kami, karena masih ada yang seprti itulah maka kami perlu kegiatan outbound semacam ini,” demikian akhir percakapan singkat kami.

Titipan pesan itu saya iyakan karena secara prinsip saya juga susah memaklumi pihak-pihak yang mencederai kesepakatan waktu tanpa pemberitahaun atau keterangan. Dalam konteks pengembangan diri, keterlambatan juga sesuatu yang mesti dikoreksi untuk diperbaiki. Nah tinggal gimana nanti buka omongan supaya masuknya pas ke peserta. Peserta outbound terdiri dari berbagai bagian dan berbagai level, mulai dari manager sampai staf biasa, maka menyampaikan koreksi keterlambatan (walau hanya untuk 4 orang) tentu membutuhkan seni tersendiri sehingga pesan tetap tersampaikan, tapi pihak-pihak yang dipesani tidak tersinggung.
Tapak Bumi
 Gagasan awal saya yha secara langsung saja menyampaikan perihal keterlambatan itu, tentu saja dengan cara sopan tapi tegas; beres deh. Tapi ternyata apa yang terjadi? Apa coba, hayooo. Saat sesi refleksi permainan outbound, ada salah satu peserta yang menyampaikan refleksi suatu permainan dengan ditutup kalimat semacam ini. “Melalui permainan ini, ternyata kekuatan dan kehebatan satu orang saja tidak cukup jika tidak ditopang  strategi dan kekompakan.” Saya pikir nggak perlu deh saya ceritakan permainannya apa, karena nggak urgen juga bagi tema kita kali ini. Nah, itu dia sebuah momentum yang pas. Pas untuk apa? Pas untuk masuk dalam pembahasan evaluasi keterlambatan. Kelebat pikiran di otak saya langsung mereka-reka kalimat pembuka untuk membahas urusan itu.

Seusai sesi refleksi permainan outbound, masuklah saya pada pesan titipan sponsor, eh, titipan panitia, tentang keterlambatan 4 orang peserta. Mengutip komentar salah satu peserta yang punya refleksi permainan tadi, saya sampaikan kaitannya dengan kejadian keterlambatan peserta. “Barangkali ada di sini yang merasa sudah spesial, sehingga berpikir dirinya perlu dimaklumi, misalnya teman-teman kita yang tadi datang terlambat.” Setelah itu, melajulah kami dalam diskusi mengevaluasi kenapa ada beberapa orang yang terlambat hadir. Diskusi ditutup dengan inspirasi bahwa datang tepat waktu juga merupakan salah satu upaya bersama menjaga kekompakan. Tampaknya mereka yang datang terlambat menerima evaluasinya, sedangkan teman-teman yang lain pun terinspirasi untuk kelak tidak terlambat lagi.

Sebagai seorang fasilitator, khususnya dalam kegiatan outbound, akan sangat asyik jika kita mahir menangkap fakta, mengolah kata, untuk menyampaikan makna. Apa maksudnya? Maksudnya, outbound itu kegiatan yang berbasis experiential learning, ingat, bukan ceramah, pidato, atau indoktrinasi. Prinsip metode experiential learning adalah peserta didik difasilitasi memperoleh sebuah makna/ konsep/ pengetahuan melalui hal-hal/ kejadian yang (baru saja) dialaminya. Tugas utama fasilitator adalah memfasilitasi penyampaian makna tersebut pada peserta dengan basis kegiatan-kegiatan atau pengalaman peserta saat bermain/ berkegiatan. Alangkah eloknya jika tiap permainan atau kejadian menarik, mampu diolah sehingga punya makna (pembelajaran) tertentu. 
Sulur Maut

Saya ceritakan lagi sebuah kejadian yang bisa menggambarkan fasilitator yang terampil menangkap fakta, mengolah kata, dan menyampaikan makna. Pelaku utamanya adalah teman saya, kita putuskan disebut Wiwi saja yach, sementara saya hanya terlibat pasif saja saat itu. Dalam suatu proses pelatihan berbasis outbound selama 2 hari, tibalah saat untuk makan malam. Semua peserta mengambil makanan secara prasmanan, dan mungkin karena udara di lokasi pelatihan dingin, mereka mengambil porsi nasi dan lauk dengan cukup banyak. Alhasil, lumayan banyak nasi, sayur, atau lauk yang tidak termakan sehingga terpaksa dibuang di ember tempat sampah di ruang makan. Wiwi, saya tahu geram dengan hal itu, karena baginya, amit-amit deh, makanan kok sampai terbuang-buang. Mau marah? atau mau apa dia? ternyata dibiarkan saja.

Usai makan, dimulailah satu sesi diskusi yang dipandu Wiwi, dimana ada salah seorang peserta ada yang menanyakan bagaimana kelompok mereka dapat meningkatkan kekompakan kerja.  Kalau normalnya, pertanyaan itu dapat dijawab secara normatif, misalnya dengan cara meningkatkan komunikasi, pembagian kerja, atau saling melengkapi. Namun tampaknya Wiwi punya pemikiran berbeda. Setelah berpikir beberapa jenak, dia malah ngeloyor menuju dapur dan mengambil tempat sampah yang lebih banyak terisi sisa-saisa nasi. Dengan mantap diletakkannya ember sampah itu di atas meja, diikuti oleh pandangan heran seluruh peserta outbound, tak terkecuali saya yang hanya membatin, “Wah, kumat lagi, nih si Wiwi,” 

“Apa ini?” tanya Wiwi singkat “tempat sampah” jawab sebagian peserta yang masih heran. “Apa isinya?” tanyanya lagi sambil memperlihatkan sisa-sisa nasi yang memenuhi ¾ ember tadi. Percakapan pun bergulir yang secara singkat menggambarkan betapa banyak peserta membuang sisa nasinya; nasi yang diambil sendiri untuk (rencananya) dimakan sendiri, masuk ke perutnya sendiri. Lha, kalo ternyata nasi itu sampai sisa, artinya, si pengambil nasi tadi tidak mengenal kebutuhan untuk dirinya sendiri. Kalau  dia mengenal dirinya sendiri, dimulai dari mengenal kebutuhan perutnya sendiri, semestinya dia mengambil jatah nasi secara proporsional untuk dihabiskan. 

Saya mulai ngerti sekarang arah pembicaraan Wiwi pada peserta. Apakah para pembaca yang budiman juga sudah tahu? Supaya tidak penasaran, kita teruskan saja yach. Ternyata Wiwi mau menyampaikan bahwa jika untuk mengenal diri sendiri saja peserta belum bisa, bagaimana bisa mengenal orang lain dalam satu kelompok. Jika belum bisa mengenal orang lain, maka dipastikan akan susah untuk kompak. Simpulan dari pembicaraan mereka adalah supaya sebuah tim/ kelompok bisa kompak, semestinya mereka saling mengenal karakter anggota timnya, dan sebelum mencoba mengenal orang lain, dianjurkan untuk lebih mengenal dirinya sendiri. Salah satu dari anjuran untuk mengenal diri yha dengan mengambil nasi sesuai kebutuhan (perutnya) sendiri. 
Main Rakit

Saya amati semua peserta tertegun, entah apa yang ada di pikiran mereka. Analogi yang mengaitkan nasi, perut, mengenal diri, dan kekompakan bisa dibuat dengan logika yang meyakinkan. Cerdas, bahkan menurut saya sangat cerdas, apalagi ditambah dengan sedikit kenekatan metode penyampaian makna. Saya yakin, sampai saat ini sebagian besar peserta masih terkenang event dan makna ketika seorang fasilitator mengangkat tempat sampah ke atas meja presentasi.

Kisah tadi adalah contoh yang bisa menggambarkan, betapa seorang fasilitator outbound diidealkan punya kemampuan menyampaikan sesuatu yang semestinya, dengan melibatkan kontekstualitas peserta. Kreativitas menangkap makna, mengolah kata, dan menyampaikan makna adalah hal utama yang harus selalu ditingkatkan. Bagaimana sebuah peristiwa dapat dikaitkan dengan suatu makna atau peristiwa lain tentu harus dirancang secara cerdas; alih-alih langsung memberikan teguran atau nasehat, bahkan menggurui. Hal ini perlu diperhatikan dan dicamkan, terlebih bila yang kita hadapi adalah orang-orang dewasa, terlebih lagi mereka yang berpikir dirinya sudah hebat. Menyampaikan kritik secara bijaksana, kurang lebih itulah tujuannya.

Hal lain yang bisa kita latih untuk meningkatkan “pesona” penyampaian makna adalah kemampuan berbahasa yang cerdas. Tiap orang tentunya ingin dikembangkan dengan cara yang sopan, termasuk dalam komunikasi verbal. Jika kita punya kecerdasan untuk menata kata dan kalimat, hal itu akan sangat membantu. Boleh lah  dibilang itu salah satu kecerdasan linguistik manusia. Kecerdasan ini identik dengan koleksi frasa dan gagasan yang ada dalam kepala kita, yach balik-balik lagi ke kreativitas dan perbendaharaan logika. Mau contoh lagi, oke lah mau nggak mau saya kasih juga sebuah contoh, kali ini dari teman saya yang lain, sebutlah dia Si Lili. 

Coba, apa kira-kira yang akan anda sampaikan jika menemui peserta outbound yang ketahuan melakukan suatu kecurangan dalam suatu permainan. Ijinkan saya menebak, mungkin anda akan bilang, “Wah, kelompok anda tadi main curang, khan, saya lihat tadi. Curang itu tidak baik lho, berdosa,” atau mungkin anda akan berkomentar, “Inilah contoh kelompok yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan!” tapi 2 contoh tadi berbeda dengan apa yang disampaikan si Lili teman saya; dia justru bertanya secara retoris, “Wah, kalo dalam bermain-main saja tidak jujur, gimana nih kalo dalam pekerjaan?” Tentu saja itu hanya kalimat pembuka, setelahnya tentu harus dilakukan evaluasi dan kajian untuk membahas konten peristiwa dan maknanya. Melalui 3 contoh komentar yang beda tentang satu hal yang sama, kiranya kita juga bisa belajar bahwa ada banyak cara membahasakan sebuah peristiwa untuk dikaitkan dengan suatu makna. Makin sedikit perbendaharaan ide kita, maka makin normatiflah apa yang kita sampaikan (walau itu benar adanya lho), sebaliknya, makin banyak koleksi ide kita, makin banyak pula pilihan bahasa kita untuk menyinggung dan mengupas suatu peristiwa. Mau pilih yang mana?
Hula Hop

Kemampuan berlogika dan berbahasa jika dimanfaatkan dengan bijak akan sangat membantu proses pendampingan outbound kita. Namun dalam kasus berbeda, kecerdasan bahasa yang sama tapi dimanfaatkan secara kurang bijak juga ada, misalnya pernyataan-pernyataan para politikus yang saling berperang kata hanya untuk mempertahankan pendapatnya. Ditinjau dari satu sudut pandang, pernyataan mereka bisa dilogikakan benar, walau dilihat dari sudut “lawannya” juga bisa dilogikakan benar untuk hal yang bertentangan. Wah, kayaknya stop saja yach ngurusin hal ini, karena akan panjang nanti dan ujung-ujungnya ke urusan logika dan filsafat, capeee’ deh

Intinya sih, baik jika kita punya kecerdasan berbahasa karena akan sangat membantu penyampaian makna suatu peristiwa. Harapan saya sih, mari kita manfaatkan kecerdasan itu untuk mengembangkan diri dan orang lain. Banyak cara untuk mengembangkan kemampuan itu, misalnya dengan sering membaca buku-buku bermutu, mendengarkan sesi-sesi motivasi, berdiskusi dengan orang yang luas wawasannya, juga bisa juga dengan baca kisah-kisah lucu dan inspiratif. Mari cerdas berogika dan bahasa, mari.

Palembang, 11 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar