yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Jumat, 22 Juli 2011

Outbound Toba Ceria


Direkayasa di Palembang pada 15 Oktober 2010, lalu secara prinsip dilaksanakan di Pesisir Danau Toba pada 22-24 Oktober 2010 

sumber foto: http://www.facebook.com/note.php?note_id=175172969165681  

Tantangan Kepemimpinan dari Danau Toba

Melalui ef be, seorang teman menyapa saya, dan (ini yang penting) ingin berbagi ide tentang sebuah konsep outbound. Saat disapa, saya tentu senang, saat diajak berbagi ide, tentu lebih senang lagi. Singkat cerita, dia bertanya, apakah saya bisa memberinya suatu inspirasi tentang outbound bagi 250 orang remaja selama 3 jam. Kebetulan dialah yang salah satu fasilitator yang akan terlibat merancangnya, kurang lebih begitulah awalannya. Oh ya, kegiatan akan dilakukan di pesisir Pulau Samosir, itu lho yang di tengah danau Toba Sumatera Utara. Suatu hal yang menarik, sebenarnya, jika hanya itu, hah?

Saya segera membayangkan sebuah pantai dengan ratusan remaja asik bermain di beberapa pos, tentu saja demi keakraban. Mau bikin apa lagi jika 250 orang hanya main selama 3 jam saja, selain menjalin persatuan dan kesatuan. (celakanya, he he he…) teman saya itu minta ada muatan leadership, atau kalau saya bahasaindonesiakan kepemimpinan. Glleekk, ini dia yang bikin  menantang. Huh, ternyata dia menyapa saya hanya untuk memulai menyodorkan tantangan itu, hmmmm boleh juga dia?

Boleh dibilang dalam banyak permainan kelompok, selalu ada unsur kepemimpinan, dan tentu saja kerjasama kelompok. Namun saya mau lebih dari sekedar peserta “dimainkan” lalu dalam refleksinya bilang, “Sodara-sodara, ayo kita refleksi, tadi dalam tiap permainan kelompok, tentu ada unsur kepemimpinannya, hayooo benar apa benar?” Menurut saya, itu pendekatan yang baik adanya, walau terlalu umum. Emang ada pendekatan lain yang khusus? Itulah yang ingin saya bagikan, menjabarkan apa yang pernah saya sarikan pada teman saya via ef be lalu. Kebetulan, konsep rahasia ini pernah saya gunakan beberapa bulan lalu, hanya pesertanya nggak nyampe 250 orang, hanya 110an remaja saja saat itu.

Kepemimpinan, dalam konteks outbound Toba Ceria ini (demikian saya menamakannya)  disempitkan dalam kepemimpinan diri memimpin diri sendiri, atau nanti kita sebut saja kepemimpinan diri. Lho, gimana dalam kelompok (sangat) besar bisa mengelola kepemimpinan diri, dalam waktu 3 jam pula. Sabar, sabar…. Sebentar lagi kita baca uraiannya. Nah, kita mulai dari skenario outbound.
ceriaaaaaa...

Skenario

Tujuan tiap peserta (ingat bukan tiap kelompok) mengumpulkan poin sebanyak mungkin dengan cara bermain di sebanyak mungkin pos. Tiap poin didapat melalui permainan di tiap pos, sesuai prestasinya, lalu diakumulasikan. Peserta dengan nilai tertinggi bolehlah disebut menjadi juara.
Tiap pos/ permainan mensyaratkan jumlah pemain/ anggota kelompok, misalnya:
·         Pos Danau, diisi permainan Pipa Bocor, dimainkan 1 kelompok dengan jumlah anggota  12-15 orang.
·         Pos Toba, diisi permainan Menara Air, dimainkan 1 kelompok dengan jumlah anggota  14-18 orang,
·         Pos Pulau, diisi permainan Dayung Sampan, dimainkan 4 kelompok yang berlomba dengan jumlah anggota  masing-masing 8 orang,
·         Pos Samosir, diisi permainan Rumput Laut, dimainkan 1 kelompok, dengan jumlah anggota 16-20 orang,
·         Pos Ceria, diisi permainan Berenang secara individu/ 1 orang.
·         Dan seterusnya… Saya hanya memberi contoh nama permainan tanpa mendetailkan permainan ini itu gimana dimainkan, gimana kompensasinya. Yakinlah, kita punya kemampuan untuk mengembangkan sesuai konteks jumlah peserta, waktu permainan, ketersediaan alat, jumlah fasilitator, cuaca, dan karakter lokasi permainan 

Gimana jadwal atau rute permainannya? Tak ada rute khusus dan ketentuan jadwal permainan, bebas, siapa cepat dia dapat. Artinya tiap individu bebas memilih siapa saja yang mau untuk diajak bermain bersama di suatu pos. Mau pos yang mana lebih dahulu dimasuki, bebas, yang penting jumlah anggota kelompok (sementara) itu sesuai syarat. Instruktur bisa menolak permohonan kelompok untuk bermain jika ketentuan jumlah anggota tidak terpenuhi. Misalnya di Pos Toba, yang diisi permainan Menara Air, dan semestinya dimainkan 1 kelompok dengan jumlah anggota  14-18; ada 1 kelompok beranggotakan 20 orang yang ingin main di pos tersebut, kita tentu saja menolak permintaan itu. Atau kelompok lain yang beranggota 13 orang bermain, tentu saja kita tolak juga. Apa solusinya? Yha aturannya jelas, tinggal kepemimpinan atau manajemen kelompok tersebut menambah atau mengurangi jumlah peserta, itulah kuncinya. Bisa bikin kacau deh, NHAH, di situlah kepemimpinan diri tiap peserta diuji, nanti kita bahas deh setelah urusan-urusan teknis ini kelar. Jika pada 1 pos yang dituju masih ada kelompok yang bermain, silahkan tunggu, atau cari pos yang kosong

Usai bermaian, tiap kelompok mendapat poin sesuai prestasinya. Sebaiknya prestasi tersebut diwujudkan dalam bentuk sesuatu yang kecil sehingga mudah dibawa. Misalnya karet-karet gelang, potongan pipet, kulit kerang, dan semacamnya. Jadi jika misalnya suatu kelompok beranggotakan 13 orang dapat poin 31, maka berikanlah langsung, tunai, pada mereka 31 buah karet gelang. Kelompok harus segera membagi poin tersebut pada tiap anggota, terserah bagaimana metode pembagiannya. Setelah pembagian selesai (adil atau belum adil itu urusan kelompok tadi) kini tiap anggota kelompok menjadi peserta yang bebas, dan siap untuk mencari teman lain untuk bermain di pos lain.  

Jika waktu bersih yang disediakan untuk bermain hanya 2,5 jam, maka selama itulah tiap peserta berusaha main di sebanyak mungkin pos untuk meraih poin setinggi mungkin. Pada akhir masa permainan, hitunglah, siapa yang dapat poin tertinggi, dia layak diberi ganjaran juara.

Nah, urusan teknis skenario sudah selesai, mudah-mudahan mudah dimengerti. Jika ada yang belum dimengerti, segera lapor saya supaya dapat segera disederhanakan  lagi bahasanya. Hayooo, pasti sudah paham khan? Kini kita beralih pada tema “Kepemimpinan Diri” yang menjadi tujuan konseptual Outbound Toba Ceria ini. Konsep ini diinternalisasikan pada peserta melalui sesi sharing/ refleksi dan pemaknaan permainan. Bagi saya ini wajib dilakukan dengan baik, alih-alih outbound bertema keakraban semata. Dalam penyampaian muatan ini, mutlak diperlukan tim fasilitator yang dapat memahami konsep dan menyampaikannya dengan tepat pada seluruh peserta.

Refleksi

Inti dari sesi refleksi dan pemaknaan adalah…. Eit, sudah tahu belum, beda refleksi dan pemaknaan? Kalo belum, saya beri tahu, minimal versi saya, he he he… Refleksi itu kegiatan dimana peserta menceritakan pengalaman saat bermain, boleh yang lucu, berkesan, menyebalkan, ataupun membanggakan. Refleksi bisa dalam kelompok besar atau kelompok-kelompok kecil dengan dipandu seorang fasilitator. Dalam format lain, sesi refleksi juga dapat diwujudkan dalam bentuk tertulis.
Kembali ke…. Refleksi. Beberapa hal yang mungin dialami peserta saat outbound, misalnya:
·         Ada peserta yang cekatan untuk mencari peluang, gesit bermain dan pindah dari pos satu ke yang lainnya.
·         Ada peserta yang dapat mempengaruhi dan mengorganisir teman-temannya untuk melakukan suatu permainan di pos,
·         Ada peserta yang sering ragu dan takut untuk mencari teman main, akibatnya kesempatan baginya untuk main jadi terbatas,
·         Ada peserta yang tanpa ampun menyingkirkan sisa anggota kelompok demi dapat main di suatu pos,
·         Dalam permainan, tentu banyak juga cerita-cerita terkait teknis permainan itu sendiri, baik yang membanggakan atau sebaliknya, memprihatinkan.

Berbagai pengalaman tadi diarahkan pada refleksi pribadi, melalui proses permainan tadi kira-kira memberi cerminan bagaimana pilihan keputusan tindakan peserta ketika menghadapi peluang, sekaligus konflik. Bagaimana tiap peserta punya macam-macam strategi untuk mencapai tujuannya. Mungkin ada strategi yang turut membantu peserta lain, namun sebaliknya ada pilihan yang merugikan peserta lain. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana tiap peserta memimpin dirinya sendiri dalam mencapai tujuan dengan segala dinamikanya.  Kadang-kadang apa yang kita maui tidak sejalan dengan kondisi riil, maka berubahlah rencana, atau terdiam pasrah?

Melalui sesi Pemaknaan, peserta diajak untuk mengambil hikmah dari apa yang sudah dilakukan, baik tentang diri, maupun dari apa yang dilakukan oleh sesama peserta. Segala tingkah polah seluruh peserta saat outbound tadi sebenarnya mencerminkan kehidupan nyata, dimana tiap orang punya tujuan atau kepentingan, yang kadang sama, namun kadang juga berbeda. Selalu ada hal-hal yang bisa disinergikan, sementara ada juga yang berebut kepentingan. Ketika kita sudah sedikit mengenal pola tindakan kita, kini saatnya untuk mengembangkan yang positif. Peningkatan kapasitas kepemimpinan diri, itulah salah satu faktor yang patut dihidupi dan diperjuangkan.

Selesai sudah, urusan kita… semoga konsep outbound TOBA CERIA ini, memberi inspirasi. Semoga juga saya bisa lekas menjejakkan kaki di Pulau Samosir, setelah 2 bulan lalu hanya menikmati secuil keindahan Danau Toba dari Balige.

Akan bersambung untuk sekedar saran-saran praktis demi sukses konsep outbound semacam ini
Palembang, 15 Oktober 2010

Hal-hal Teknis Penyukses Konsep Outbound Toba Ceria.

Sambungan Outbound Toba Ceria, 17 Oktober 2010
Walau nama outbound ini Toba Ceria, tapi konteks kita adalah disaat peserta berdinamika dalam mengambil keputusan saat outbound. Ini dia beberapa hal teknis yang baik jika dicamkan dan dilaksanakan:

Relativitas Poin

Dalam suatu outbound, pada akhir proses, Jamiprot, seorang peserta heran akan pencapaian temannya, “Lho, kamu hanya main di 3 pos kok bisa dapat poin 870, sedangkan aku yang main bagus di 6 pos kok cuman dapat 550,” Sudoli, yang ditanya nggak tahu banyak urusannya, “Lho, nggak tahu tuh, aku tadi main-main saja, trus tiap selesai main dikasih poin, trus langsung dibagi-bagi. Yha seginilah dapetnya, 870 poin” lalu Jamiprot makin merepet, “Wah kalo gini panitia tuh yang nggak bener bikin pembagian poin. Aku mau protes, ah.” Sudoli juga nimpali, “Iya, proteslah sana, tapi aku nggak mau nanti kalo poinku ini dikurangi panitia, lho.” 

Mengapa hal itu dapat terjadi? Karena perhitungan kompres/ kompensasi prestasi  nggak pake standar relatif. Semestinya kompres/ kompensasi prestasi  tiap dinamika dibuat dinamika sedemikian rupa sehingga relatif adil. Contoh ekstrimnya gini, (memperjelas kasus si Jamiprot dan Sudoli tadi,) seorang yang bagus main di hanya 3 permainan tertentu bisa dapat poin jauh lebih tinggi daripada peserta yang main bagus juga di 6 permainan  yang lainnya. Bagaimana mensiasati hal ini? Gampang, caranya mudah, hanya dengan membuat perhitungan yang realistis terhadap kemungkinan prestasi tiap peserta ketika main. Mau contoh? 

Gini, katakanlah dalam tiap permainan, prestasi terbaik akan mendapat poin 100, berturut-turut sampai yang paling jelek dapat 40. Hal ini tentu akan beda efeknya jika ada permainan yang kompresnya nyeleneh, dengan prestasi terbaik diberi ganjaran poin 500 dan yang jelek sekali pun diberi 100. Percayalah, saat bermain, peserta tidak akan banyak protes dengan ketentuan kompres ini, karena (berdasarkan pengalaman) mereka lebih fokus untuk bisa main sebanyak mungkin permainan dan dilakukan sebaik mungkin. Protes akan muncul belakangan setelah mereka saling membandingkan poin saat akhir proses. Mari hindari dengan cerdas protes-protes dari Jamiprot-Jamiprot yang lain. Memang sih, akan lebih mudah jika kita pernah memainkan dinamika sejenis sebelumnya, sehingga bisa tahu gambaran prestasi peserta. Namun jika belum pernah main, yha selamat memprediksi, deh.

Koefisien Jumlah Permainan

Ada satu sistem untuk melengkapi sistem penilaian yang relatif adil seperti sudah dipaparkan sebelum ini. Sistem itu bolehlah kita sebut dengan “koefisien jumlah permainan,” apa pula maksudnya? Gini, koefisien ini adalah jumlah permainan yang sudah dijalani seorang peserta selama outbound. Akumulasi poin yang diperoleh peserta akan dikalikan dengan koefisien ini. Misal:
·         Jayeng main di 5 pos dengan total poin 500, maka nilai akhir dia jadi 5 x 500 = 2.500.
·         Harahap main di 6 pos dengan total nilai 450, maka nilai akhir dia jadi 6 x 450 = 2.700.
Lho, adilkah itu? Wah urusan adil-adilan memang bisa jadi relatif tergantung sudut pikir kita. Namuuuun, ketika seorang peserta memang punya kemampuan rata-rata bagus untuk bermain di semua pos, tentu dia akan mendulang poin lebih banyak dari teman-temannya, saya rasa itu adil. Hal ini juga akan mendorong peserta untuk merasakan seluruh permainan yang kita sediakan, dengan “iming-iming” akan mendapat koefisien yang besar pula.
Asiknya main di Danau Toba

Urusan berikutnya adalah bagaimana mengetahui seorang peserta sudah main berapa permainan/ pos? Ah, bisa dibuat sistem begini, tiap peserta dibekali satu kartu yang akan diberi tanda oleh instruktur tiap dia selesai bermain di suatu pos. Oh yha urusan kartu ini akan dibahas lebih komplet dalam catatan selanjutnya, sabar yach.. namun kalau mau, boleh dicoba juga berdasarkan kejujuran peserta. Apa pula ini? Artinya biar peserta sendiri menghitung, berapa kali dia sudah main, itulah koefisiennya. Lho, kalo dia menggelembungkan koefisiennya gimana? Yha itu urusan di sesi refleksi dan pemaknaan setelahnya. Ketika untuk mendapat poin lebih dia sendiri tidak jujur terhadap diri dan orang lain,  itulah memang mentalitas dia. Mungkin orang lain tak ada yang tahu, tapi dia sendiri pasti tahu. Diurus di refleksi dan pemaknaan deh itu.

Kartu Prestasi

Pemoinan dapat dilakukan dengan memberi langsung perwujudan poin secara fisik (kerikil, potongan pipet, kulit kerang, kancing baju, manik-manik, biji pohon, dan sebagainya) atau secara tertulis. Hal yang galib saya lakukan adalah membuat kartu prestasi untuk tiap peserta outbound, dimana di dalamnya terkandung:
·         Penjelasan teknis apa tujuan outbound dan bagaimana mencapainya,
·         Penjelasan jadwal atau rute
·         Daftar isian kompensasi prestasi
Nah, dalam konteks outbound Toba Ceria, dalam selembar kertas, bisa kita buat daftar isian kompres yang berisi:
1.      Nilai/ poin yang diperoleh peserta yang bersangkutan (hasil pembagian nilai kelompok dengan jumlah anggota yang main)
2.      Peserta tersebut main di pos tersebut pada urutan keberapa (diisi instruktur, untuk bahan evaluasi fasilitator)
3.      Paraf instruktur sebagai legalisasi/ pengesahan.
Peserta tidak perlu membawa pena, cukup selembar kertas itu. Ketika bertemu dengan beberapa teman yang sepakat dan memenuhi syarat untuk bermain di suatu pos, serahkan seluruh kartu prestasi pada instruktur. Usai bermain, instruktur akan mengisi dan mengembalikan kartu tersebut pada tiap peserta. Begitu seterusnya sampai waktu outbound berakhir.
Kita bisa juga mengombinasikan kartu prestasi dengan kompres fisik. Artinya kartu prestasi hanya untuk cek-lis koefisien jumlah permainan yang dijalani, sedangkan kompres tetap berbentuk fisik. Saya sih lebih suka model ini, mengapa? Karena justru sumber konflik kerap terjadi saat pembagian poin. Misal 15 anggota kelompok dapat poin 25 yang diwujudkan dalam 25 kancing baju (yang tidak bisa dipecah-pecah) coba gimana mbaginya? Yha itulah seni outbound, bagaimana kelompok berdiskusi untuk memutuskan siapa saja 10 orang yang dapat 2 kancing, dan siapa 5 orang yang hanya dapat 1 kancing.

Kedekatan Pos

Suatu ketika saya pernah terapkan konsep outbound Toba Ceria ini dengan 10 pos. 9 pos saling mudah terlihat, dan 1 lagi agak jauh dan sulit terlihat. Dalam 1/3 pertama waktu permainan, 1 pos yang tersembunyi itu (walau sudah diberi tahu sebelumnya semua posisi pos) minim peminat. Namun setelah dipindah di lokasi yang mudah terlihat, dia jadi ramai juga. Saat itu pertimbangannya, wah kalau pos-pos dibuat berdekatan, khan peserta bisa saling melihat dan mempelajari teknik bermain di pos itu? Namun refleksi saya balik bertanya, “Emangnya kalo bisa saling lihat dan mempelajari kenapa?” Toh itu pilihan bebas peserta untuk berstrategi, termasuk strategi menghabiskan sekian waktu untuk melihat orang-orang lain bermain.
Kedekatan dan keterlihatan pos-pos baik digunakan jika jumlah peserta banyak dan waktu yang digunakan relatif singkat. Berbeda dengan model outbound yang kelompoknya tetap dari awal sampai akhir dan sudah dibuatkan rute perjalanan, itu lebih jelas dan pasti dalam hal waktu dan menjalani permainan. Kita tentu tidak ingin melihat banyak peserta hanya hilir mudik nggak keruan hanya karena kesulitan menemukan pos, sementara ada beberapa  pos yang  instrukturnya nganggur. Akibatnya bisa fatal, waktu yang disediakan selesai, namun peserta hanya bisa main di sedikit pos saja, sayang khan. Ingat pula, sering peserta memerlukan waktu cukup lama untuk mencari teman-teman yang jumlahnya sesuai untuk main di suatu pos. Ada nego-nego disana, baik untuk merayu beberapa orang untuk bergabung, atau memohon beberapa orang untuk mengeliminasi diri dari kelompok itu karena kebanyakan orang. Itulah salah satu seni outbound metode ini kawan, namun jangan khawatir, kita punya tawaran menarik bagi peserta.

Biaya Administrasi

Hah? Apa-apan ini? Tenang, tenang. Biaya administrasi ini untuk ditawarkan pada kelompok peserta yang jumlahnya belum memenuhi syarat. Misal  permainan Pipa Bocor, mestinya dimainkan 1 kelompok, dengan jumlah anggota 10-13 orang, tapi ada 9 orang atau 15 orang yang (ngotot) mau main. Boleh-boleh saja, tapiiii mau nggak bayar “biaya administrasi” yang bentuknya misalnya:
·         Kelompok tersebut setor sejumlah poin (terutama poin dalam bentuk fisik), kalo 9 orang mau main, hayoo setor dulu 20 poin. Terserah mereka gimana mendapatkan 20 poin dari 9 anggotanya.
·         “Boleh, kalian ber-15 main disini, namun dengan syarat, berapa pun kompensasi prestasi kalian nanti, dipotong 10% untuk biaya administrasi, mau?” jadi misalnya suatu kelompok (yang tidak memenuhi syarat jumlah pemain tadi) mendapat poin 100, maka hanya diberi 90 saja; kalo dapat 75, berarti dipotong 8 poin.
·         Model lain adalah dengan memodifikasi teknis atau target permainan. Misalnya dalam contoh main pipa bocor, kalau target normal mengeluarkan 10 bola dalam waktu sekian menit, maka sebagai “biaya administrasi” targetnya jadi 12 bola; gitu deh permisalannya, mudah dipahami khan?
Fleksibilitas biaya administrasi ini bisa diterapkan, terutama mempertimbangkan waktu outbound  yang singkat, sementara peserta (sangat) banyak. Ingat lagi, kadang waktu peserta cari pos, dan bernego dengan sesama peserta untuk main bisa lebih lama dari waktu untuk memainkan permainannya. Maka “kejam” menolak kelompok peserta yang tidak memenuhi syarat disatu sisi memang bagus, tapi dalam saat bersamaan juga membuang peluang peserta untuk segera bermain, atau istilah kerennya buang-buang waktu. Emangnya siapa kita? Bisa “buang-buang waktu?”
Namun, dalam konteks bahwa konsep Toba Ceria ini dilakukan dengan waktu yang leluasa, apalagi dalam suatu kegiatan “latihan kepemimpinan,” bagus juga kita tegas menolak permohonan kelompok yang tidak memenuhi syarat. Ada urusan-urusan yang tertutup dinegosiasikan dengan fasilitator. Maka kembali ke aturan dasar, diantara mereka lah negosiasi dilakukan.

Voucher Bebas

Apa lagi ini, pake voucher-voucheran segala, emangnya mau belanja? Ada-ada saja saya ini. Sabar-sabar, kita khan memang lagi bikin peserta belanja poin di pos-pos outbound, jadi boleh dong dibuat sistem voucher. Voucher adalah kupon yang bisa dimiliki peserta supaya dia dapat bermain di suatu pos yang pernah dia masuki. Terutama dalam proses yang menggunakan kartu prestasi dimana daftar dia sudah ditandai masuk dalam pos tertentu, dia dapat masuk lagi ke situ dengan menunjukkan voucher bebas.
Terbuka kemungkinan (saya lagi getol bikin kalimat positif, alih-alih menulis “tidak menutup kemungkinan”) seorang peserta diajak untuk main lagi di pos yang dia sudah mainkan tadi. Silahkan saja, asal yang bersangkutan  punya voucher bebas. Pertanyaannya kini adalah “Dimana peserta bisa mendapatkan voucher bebas ini?” Oh, bisa gini caranya:
·         Dibagi beberapa secara acak sebelum proses outbound, anggaplah jadi kupon keberuntungan bagi beberapa peserta. Kadang hidup ini juga diisi keberuntungan khan? Khaaaaaannn.
·         Lebih “intelek” dari sekedar dibagi-bagi, buat dinamika sederhana dimana mereka yang berprestasi berhak mendapatkan voucher bebas ini. Saya pikir tak perlu dijelaskan yach contoh dinamikanya, yakinlah banyak sekali modelnya.
·         Buat satu pos khusus untuk mendapatkan voucher ini, dan biasanya dilakukan secara individu. Misalnya pada pos dimana peserta (yang mau dapat voucher) harus berenang dalam jarak tertentu. Bisa juga kegiatan di pos ini bukan bersifat fisik, tapi adu pengetahuan.
·         Bisa dicoba suatu pos dimana fasilitator menanyakan beberapa hal yang terkait dengan kelompok peserta. Jika peserta itu Pramuka yha bertanyalah tentang kepramukaan, jika peserta dari suatu perusahaan, boleh ditanya tentang seluk beluk perusahaan tersebut. Benar menjawab sekian pertanyaan berarti boleh membawa 1 voucher bebas.
Ah, cukup deh, sambungan tentang Outbound Toba Ceria, kayaknya malah sambungannya lebih panjangan dari uraian awalnya. Karena saya anggap teman-teman sudah cukup memahami catatan ini, maka mudah-mudahan saya tidak sampai kasih contoh format detail kertas kerja outbound yang pernah saya rancang. Kecuali ada yang masih perlu lebih detail lagi sampai titik komanya, yha apa boleh buat, bisa diupayakan untuk disambung lagi cerita kita ini.

Selamat berceria dalam outbound rame-rame ini, tak hanya di Danau Toba, tapi bisa ceria di mana saja. Da da……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar