yuk main-main....

Informasi lebih rinci silakan hubungi 08127397697 atau melalui email playonsriwijaya@gmail.com

Sabtu, 30 April 2016

ARSITEKTUR EXPERIENTIAL LEARNING



5 minggu terakhir ini, saya “terjerumus” lagi dalam dunia arsitektur praktis sebagai seorang arsitek; peran yang praktis saya tinggalkan dalam 5 tahun terakhir. Lha apa emangnya yang saya praktikkan, sebagai seorang sarjana arsitektur dalam 5 tahun terakhir ini? Ya, praktik sebagai seorang FASEL, alias Fasilitator Experiential Learning. Keduanya adalah sebuah profesi, baik Arsitek maupun Fasel.  Kenapa bisa begitu? Dan apakah ada hubungan antara arsitek dan Fasel? Oh, agak panjang ceritanya, saya ceritakan sekarang yha, eng ing engggg….

Arsitek adalah profesi yang secara umum dipahami sebagai seorang yang merancang/ mendisain sebuah obyek arsitektur, yang mayoritas adalah bangunan/ gedung. Obyek arsitektur selain bangunan misalnya taman, monumen, dan bentang alam/ landscape. Apakah arsitek juga membangun? Oh, tidak sepenuhnya begitu, peran utama arsitek selesai ketika rancangan/ disain sudah jadi, biasanya dalam bentuk gambar. Memang menjadi sebuah kelaziman, bahwa ketika pembangunan, arsitek tetap dilibatkan sebagai arsitek atau pengawas disain. Khan, dia yang merancang, wajar dong jika dalam eksekusi rancangannya dia terlibat untuk memastikan bahwa apa yang dirancang dan dituangkan dalam bentuk gambar memang bisa dibangun sesuai yang dipikirkannya.

Dalam praktiknya, arsitek lazim bekerjasama dengan pihak lain, misalnya insinyur sipil, kontraktor, insinyur utilitas, ahli taman, ahli listrik, dan sebagainya.  

Nah, sekarang cerita dikit tentang Fasel, profesi apa pula itu? Kita harus memahamkan diri lebih dahulu dengan experiential learning, sebelum mengupas tentang fasilitatornya. Experiential learning adalah metode pembelajaran menggunakan pengalaman yang dimaknai. Konteks metode ini sering digunakan dalam suatu pelatihan pengembangan diri. Suatu “pengalaman” biasanya dirancang sedemikian rupa dalam jangka waktu tertentu (misalnya 5 hari 4 malam) untuk di-alam-kan pada peserta pelatihan/ pengembangan diri. Nah, berdasarkan pengalaman tersebut, peserta distimulus untuk mengambil nilai-nilai dan manfaatnya untuk digunakan dalam memerbaiki kualitas hidupnya. Ituah gambaran sederhana tentang experiential learning, atau “belajar melalui pengalaman.”

Lalu apa itu Fasel? Fasel adalah kependekan dari “fasilitator experiential learning,” dia adalah orang yang memfasilitasi/ memandu peserta dalam proses pelaksanaan experiential learning. Fasel terlibat mulai dari merancang sampai melaksanakan program. Dalam tahap perancangan, seorang Fasel membuat alur “pengalaman” apa yang akan ditimpakan pada peserta. Apa saja contoh aktivitas yang bisa digunakan dalam experiential learning?  ooo banyak, misalnya berkemah, hiking, berlayar, mendaki gunung, berkuda, permainan, simulasi, mencari jejak, arung jeram, mendaki gunung, dan sebagainya.

Bagaimana segala aktivitas tadi bisa memberikan nilai lebih bagi pelakunya sehingga bisa menimba manfaat? Nah, itulah salah satu ilmu yang perlu dikuasai oleh seseorang yang berprofesi sebagai Fasel. Dalam praktik, seorang Fasel bisa bekerjasama dengan orang dengan keahlian/profesi lainnya, disesuaikan dengan rancangan pengalaman yang disusunnya; misalnya dengan operator arung jeram, pemandu penyelaman, pelatih bekuda, operator high rope, dan sebagainya.

Saya kira cukup yha, pengantar tentang profesi Arsitek dan Fasel, kini saatnya menyandingkan keduanya.

3 Pilar Arsitektur

Ada 3 hal yang integral berkelindan dalam dunia arsitektur, yaitu: Fungsi, Kekuatan, dan Keindahan. 3 hal ini adalah prinsip utama ilmu arsitektur. Segala hal mengenai arsitektur berakar dari 3 hal ini.

FUNGSI

Jelas, bahwa obyek arsitektur dirancang (dan dibangun) untuk mewadahi fungsi tertentu. Misalnya, “rumah” dibuat untuk mewadahi fungsi bermukim. Karena fungsi yang sudah jelas itu, maka ruang-ruang di dalam rumah dibuat supaya bisa mewadahi aktivitas bermukim; misalnya ruang tidur untuk tempat tidur, ruang makan untuk tempat makan, kamar mandi untuk mandi, dan sebagainya. Karena fungsi rumah berbeda dengan, misalnya gedung olahraga, maka tentu saja tata ruang rumah akan berbeda dengan gedung olahraga. Arsitektur yang mengabaikan fungsi, bisa dikatakan sebagai obyek abal-abal, misalnya disain rumah yang diperuntukkan sebagai tempat olahraga, atau disain gedung olahraga yang justru digunakan untuk rumah sakit.

Jadi, pertama-tama arsitek akan berkarya membuat obyek arsitektur berdasarkan fungsi yang dikehendaki pemilik rancangan. Ada adagium terkenal tentang “fungsi” dalam dunia arsitektur, yaitu “bentuk mengikuti fungsi.”

KEKUATAN

Sering juga disebut sebagai faktor struktur, kekuatan fisik adalah keniscayaan dalam perancangan obyek arsitektur. Bisa membayangkan sebuah rumah sakit 6 lantai yang dirancang tanpa menggunakan fondasi? Hmmm…. bisa jadi, rancangan tata ruangnya sudah memenuhi kaidah “fungsi,” sebagai rumah sakit; misalnya ada ruang perawatan, lobby, ruang operasi, dapur umum, ruang linen, kamar mayat, dan sebagainya. Namun tanpa ada perhitungan kekuatan, mustahillah rancangan tersebut bisa dibangun. Pada akhirnya disain seperti itu akan jadi “sampah arsitektur”

Contoh sebaliknya; sebuah rancangan pos penjagaan keamanan kompleks perumahan, ukuran 2,5 x 2 meter dibangun dengan fondasi cakar ayam dan 6 tiang dari beton bertulang ukuran 40x40 cm. Bisakah disain semacam itu dibangun? Ooo tentu bisa, tetapi itu khan amat sangat lebay, cenderung menuju kemustahilan. Kenapa harus membuat struktur sedemikian “gigantik” untuk sebuah pos  seluas 5 meter persegi, kalau masih bisa menggunakan 4 tiang praktis beton bertulang seukuran 15x15 cm?

Ya, faktor kekuatan/ struktur mutlak diperlukan supaya sebuah obyek arsitektur bisa “berdiri” dan kokoh digunakan. Sehebat apa pun rancangan tata ruang sebuah bangunan, mestinya itu dibuat supaya bisa berdiri/ dibangun khan?


ESTETIKA

Bisakah sebuah bangunan, didirikan hanya berdasarkan pemenuhan faktor “fungsi” dan “struktur” saja? Pada dasarnya bisa, namun ketika sebuah obyek arsitektur terwujud, otomatis, mau tak mau ada unsur estetika yang mengemuka. Estetika atau keindahan merupakan pilar ketiga yang menopang ilmu arsitektur. Sesederhana apa pun sebuah obyek arsitektur, maka sudah terpancar unsur keindahan di sana, bahkan ketika sisi estetika tidak dipikirkan oleh perancanganya. Nah, ketika sedari awal sisi estetika dipikirkan dalam perancangan obyek arsitektur, hasilnya tentu lebih bernas, dan itulah proses yang benar.

Secara kasat mata, unsur keindahan tampil melalui gaya arsitektur; misalnya sekedar menyebut contoh, gaya tradisional, modern, art deco, minimalis, dan sebagainya. Unsur keindahan pun terbentuk melalui perbandingan/ skala, komposisi warna, pilihan material, dan aneka aksesoris/ ornamen arsitektur. “Keindahan” adalah soal rasa perasaan kita ketika melihat/ menikmati sebuah karya arsitektur. Sebagian besar orang susah mendefinisikan bagaimana sebuah keindahan terpancar dalam suatu obyek arsitektur, namun jauh lebih mudah merasakan apakah sebuah bangunan itu tampak indah, atau sebaliknya, kacau.

Apakah kita mau menyekolahkan anak kita di Taman Kanak-kanak yang bangunannya sudah fungsional, strukturnya kuat, namun dinding kelasnya dicat hitam dengan eksyen percikan-percikan dan leleran darah, serta aksesoris tengkorak? Hiiii…. sudah jauh dari indah, mengerikan pula, emangnya rumah hantu? Ya, keindahan bagi sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat belajar anak-anak usia TK, diidentikkan dengan warna-warna yang cerah, kalau perlu warna-warni, dengan hiasan gambar-gambar yang menginsipirasi si anak.

Unsur estetika atau keindahan dalam dunia arsitektur otomatis melekat dalam sebuah obyek arsitektur, entah itu melalui perencanaan atau tidak. Unsur inilah yang secara kasatmata memberi nilai rasa terhadap keberadaan obyek arsitektur.

Nah, itu tadi sekilas (banget) tentang 3 hal yang menjadi akar dunia perarsitekturan. Dalam menilai keberhasilan sebuah obyek arsitektur, kita cukup memilahnya dalam 3 hal tadi, apakah berfungsi sesuai peruntukannya, apakah strukturnya mantap dan proporsional, dan terakhir apakah keindahannya menyamankan penggunanya. Ketika ketiga hal tadi terpenuhi, maka cukuplah bahwa obyek arsitektur itu dinyatakan baik atau berhasil.

3 Pilar Experiential Learning  

Kini kita masuk ke dunia experiential learning, yang ternyata mengandung 3 hal integral yang menopangnya, yaitu sisi: Fisik, Intelektual,dan Emosi.

FISIK

Apa mau, kita mengikutkan karyawan kita dalam program pelatihan peningkatan kerjasama, namun selama 4 hari hanya diisi ceramah saja? Pelatihnya terkenal lho, Profesor Anu, materinya sangat bagus, hasil riset tahun terakhir, kelasnya oke, dilengkapi sarana audiovisual tercanggih. Mau? Ya terserah sih…. , kalau saya sih nggak mau. Kenapa? Karena saya mengharapkan setelah pelatihan, para karyawan betul-betul bisa meningkat kerjasamanya, bukan sekedar “pengetahuan/ ilmu bekerjasama,” dan saya meyakini itu bisa ditempuh dengan latihan-latihan bekerjasama, bukan sekedar mendengarkan teori dan ceramah tentang kerjasama yang baik. Contoh pelatihan tadi bukannya jelek, namun itu bukanlah metode tertepat jika tujuannya adalah peningkatan kerjasama.

Kegiatan fisikal, psikomotorik, atau pergerakan adalah salah satu unsur utama dalam sebuah experiential learning. Ya, pembentuk utama dalam experiential learning adalah pengalaman yang melibatkan fisik atau tenaga peserta, misalnya membuat sesuatu, berjalan, berenang, berlari, menari, berkemah, menyeberangi danau, dan sebagainya. Mengambil contoh sebelumnya, jika bertujuan meningkatkan kerjasama, maka secara fisik, yang perlu dilakukan peserta pelatihan adalah aktivitas yang memang bisa memerlihatkan dinamika bekerjasama antarpeserta. Banyak, kok, permainan yang bertujuan mengembangkan kerjasama antarpemain, dan itu menjadi salah satu pilihan aktivitas fisiknya. Apapun hasil dari pengalaman fisik, itu bisa dilihat, dirasa, dan dianalisis/ dinilai bersama untuk diambil maknanya. Tanpa aktivitas fisik, experiential learning jadi absurd, dan pada akhirnya kita geser itu bukan lagi aktivitas experiential learning.


INTELEKTUAL

Sisi intelektual merupakan pengetahuan atau pemikiran yang ingin dipahamkan ketika seseorang mengikuti proses experiential learning. Contoh sederhananya begini, sebuah perusahaan ingin meningkatkan kualitas kerjasama antarkaryawannya, menggunakan pelatihan bermetode experiential learning. Maka jelaslah bahwa maksud experiential learning dalam konteks tersebut ditujukan untuk meningkatkan  kualitas kerjasama peserta. Dalam proses pelatihan, peserta dianimasi sedemikian rupa sehingga konten-konten bagaimana meningkatkan kerjasama (dilakukan dan) direnungkan/dipikirkan oleh peserta.

Proses berpikir atau mengolah pengetahuan (baru) mutlak diperlukan dalam experiential learning karena tanpa proses ini, susah bagi peserta untuk memaknai nilai-nilai dari pengalaman yang sudah dilaluinya. Dalam contoh pengalaman yang dimaksudkan untuk meningkatkan kerjasama, maka perlu dibuat sebuah dinamika/ pengalaman yang menuntut pengolahan pengetahuan/ sisi intelektual peserta. Kita perlu membuat skenario jika sebuah pengalaman tanpa dilandasi olah intelektual peserta, maka hasilnya bisa beda jika menggunakan olah “pengetahuan”. Ini bukan tentang gagal atau keberhasilan fisik semata, yha, namun tentang memertanggungjawabkan modal pengetahuan peserta dalam mengarungi pengalaman (baru). Bisa jadi lho, justru peserta yang secara intelektual dipandang pandai, justru “kalah” dalam hal bekerjasama dari peserta dari kalangan berkepintaran biasa-biasa saja.

EMOSI

Apa pun aktivitas dalam program experiential learning; hal itu menimbulkan dampak psikologis bagi pelakunya, entah senang, sedih, gembira, biasa-buiasa saja, membosankan, terkejut, heran, tersanjung, tertekan, dan sebagainya. Experiential learning yang baik harus menyertakan faktor “emosi” ini, karena tanpa unsur emosi, pengalaman akan terasa biasa saja, datar, tanpa sensasi, dan pada akhirnya tidak membawa kesan bagi pelakunya. Nah, kalau si pelaku sendiri kurang atau tidak terkesan, bagaimana mau mengangkat pengalaman tersebut sebagai sebuah pembelajaran? Berat, khan?

Sisi emosional dalam experiential learning memang relatif tidak terlihat secara fisik, namun bisa tercermin dalam suasana selama proses. Dengan ilmu yang bisa dipelajari saat akan menjadi fasel, maka kita bisa memprediksi dengan aktivitas fisik tertentu, maka akan timbul emosi-emosi tertentu dari peserta, dan itu justru yang diharapkan mendukung dalam proses pemaknaan pengalaman. Namun, bisa jadi kekacauanlah yang terjadi gara-gara kita tak memerhitungkan faktor emosi peserta. Kalau tidak karena tanpa greget, sebaliknya emosi peserta tak terkendali sehingga menutup hati untuk diajak memaknai pengalaman. Sama-sama kacau khan?

Bersanding

Itu tadi penjelasan singkat tentang dunia arsitektur dengan experiential learning. Ternyata keduanya sama-sama didasari tiga hal saja yang fundamental. Prinsip dasar dalam berarsitektur adalah merancang dan membangun (hanya) dengan 3 tolok ukur saja, yaitu: Fungsi, Kekuatan, dan Estetika. Prinsip dasar ber-experiential learning juga (hanya) mengolah 3 unsur saja, yaitu sisi: Fisik, Intelektual, dan Emosi, sama-sama tiga deh, mantaph… lha, gitu aja kok mantap sih. Tentu akan lebih mantap kalau bisa kita sandingkan keenam hal tersebut, kita coba yach.

Aspek “Fungsi” dalam dunia arsitektur mirip dengan unsur “Fisik” dalam experiential learning. Dalam arsitektur, fungsi menjelaskan apa saja aktivitas yang hendak dilakukan, dan itu akan menurunkan apa saja ruang-ruang yang diperlukan. Jika dalam sebuah bangunan misalnya ada ruang lobby, kantor, dapur, dan gudang, itu sudah jelas fungsinya. Arsitek yang baik tentu bisa mengorganisir perletakan berbagai ruang tadi sehingga membuat nyaman penggunanya.  Aktivitas “Fisik” dalam experiential learning merupakan proses yang kasat mata, dan itu menjadi fondasi yang jelas akan pengalaman-pengalaman si pelaku. Misalnya ada kegiatan mendirikan tenda, berkemah, berkano, dan memancing; jelas khan apa kegiatannya? Nah, Fasel yang baik tentu bisa mengalurkan kapan saja berbagai kegiatan tadi dikronologiskan sehingga ketika dimaknai bisa nyambung.


Sisi “Kekuatan” dalam arsitektur, bisa disamakan dengan sisi “intelektual” dalam experiential learning. Seefektif dan seindah apapun rancangan bangunan, toh harus bisa didirikan, dan itu memerlukan perhitungan struktur/ kekuatan. Mirip dengan itu, melakukan perbuatan/ pengalaman tanpa ada pemikiran, analisis, atau perhitungan, itu jauh dari mengesankan karena dipastikan tidak akan menimbulkan “resiko” bagi pelakunya. Tanpa pengolahan sisi intelektual, experiential learning bagaikan bangunan yang rapuh karena strukturnya tidak kokoh. Seseorang kelihatannya sibuk menjalankan berbagai kegiatan fisik, tetapi itu tidak berdasar pada sesuatu, dan parahnya tidak disasarkan pada sesuatu pula, gawaaattt

Akhirnya, sisi “Keindahan” dalam arsitektur bolehlah dianalogikan dengan sisi “Emosi” dalam experiential learning. Merancang bangunan agar tampak indah dan memberi sumbangan (setidaknya kontribusi visual) bagi lingkungannya, mirip dengan sisi psikologis yang perlu diolah sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya, dengan suasana hati yang mendukung, muatan experiential learning bisa terserap maksimal. Fasel yang mumpuni bisa merancang dan mengeksekusi experiential learning dari aktivitas yang sederhana; yang tentunya bisa menyentuh sisi emosi si pelaku. Hal itu setali tiga uang dengan seorang arsitek handal yang bisa menyiratkan aura keindahan dari komposisi atau material bangunan  yang sederhana. Sebaliknya, Fasel yang sontoloyo bisa saja gagal menyampaikan makna pada peserta akan sebuah aktivitas yang rumit, dan mahal; mirip arsitek yang disainnya kurang estetis walau menggunakan material yang bagus dan mahal harganya.

Yakin nih, Apakah memang hanya 3 hal yang melingkupi arsitektur dan experiential learning? Kalau halnya tentu banyak, tetapi sepengetahuan saya, semuanya bisa ditarik dalam hanya 3 hal itu saja. Yang perlu dicamkan adalah walau semua hanya berakar dalam 3 hal saja, namun ilmu dan kompetensi yang perlu dikuasai agar menjadi Arsitek maupun Fasel yang lihai sangatlah banyak; percayalah. Catatan saya edisi berikutnya akan menguak lebih lanjut bahwa dunia arsitektur itu makin mirip dengan dunia experiential learning; seru!

Arsitektur yang baik bisa diproses oleh arsitek yang kompeten; yang secara sederhana berhasil menggabungkan sisi fungsi, kekuatan, dan estetika pada obyek yang dirancangnya. Demikian juga proses experiential learning yang maksimal hanya bisa difasilitasi oleh Fasel yang juga kompeten, yang bisa meramu sisi fisik, intelektual, dan emosional peserta sehingga memaksimalkan proses pembelajaran.

Palembang 1 Mei 2016
Agustinus Susanta;

Arsitek sejak 1999, Fasel sejak 2001.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar