Bulan lalu, seusai main futsal, kebetulan saya ketemu beberapa kawan lama dan kawan baru. Ketemuannya nggak jauh dari lapangan futsal, sekitar 4 meteran lah jaraknya, lho, kok, iya, soalnya ketemunya di cafe futsal tersebut. Ah, itu nggak usah dibahas lah, nggak penting. Yang penting itu ini, isi pembicaraannya. Oh, yha, mengenai kawan baru, itu karena baru disitulah kami ketemu dan kenalan. Berempat kami ngobrol, cukup lama, sekitar 1,5 jam. Macem-macem yang diobrolkan, salah satunya tentang manfaat kegiatan pelatihan.
Ada yang awalnya meyakini bahwa sebuah pelatihan bagi staf/ kelompok karyawan perusahaan itu penting. Kalo nggak penting, maka tentu saja nggak akan diadakan pelatihan tersebut, khan? Namun petinggi perusahaan tersebut mulai mengevaluasi. Setelah beberapa kali diadakan pelatihan (dengan jenis dan bagian yang beda) kok manfaatnya nggak terlihat jelas bagi perusahaan tersebut. Jika dulu produktivitas perusahaan sekian, pascapelatihan, kok yha nggak ada peningkatan yang signifikan. Kalo dulu komunikasi antar karyawan begitu, pascapelatihan, yha nggak jauh beda. Kalo dulu karyawan diminta proaktif dan kreatif, setelah pelatihan juga nggak kelihatan bedanya. Fakta bicara, perusahaan perlu mengembangkan staf atau karyawannya, tentu saja supaya perusahaan maju dan berkembang. Namun usai pelatihan, gimana jadinya ya? Pertanyaan besarnya adalah seberapa efektifkah efek kegiatan pelatihan (yang menyedot anggaran tak sedikit) itu?
Karena ada seorang penggiat outbound dalam obrolan sore itu, maka pembicaraan mengarah juga pada seberapa efektif outbound membawa perubahan pada pesertanya. Apakah setelah mengikuti outbound, peserta nyata-nyata terbangun kerjasamanya, kepemimpinannya, lalu juga pada akhirnya produktivitas kerjanya? Wah, kalo itu dijelaskan, bisa panjang kali lebar, alias luas sekali. Namun saya coba memetakan pertanyaan tersebut pada kerangka yang (menurut saya) logis namun sederhana.
Tiap kegiatan pelatihan tentu punya tujuan yang jelas, tak kecuali kegiatan pelatihan berbasis outbound/ experiential learning. Kalo nggak punya tujuan itu ngaco namanya. Kita mau rekreasi saja mesti punya tujuan yang jelas, tujuannya yha rekreasi, biar segar, gembira, santai, dan lain-lain. Namun kadang-kadang (baik peserta maupun fasilitator) tujuan tersebut lupa didefinisikan, alih-alih proses mengalir saja. Bisa jadi hal tersebut terjadi karena kesalingmengandai-andaikan antara 2 pihak. Misalnya si perusahaan mengandaikan fasilitator tahu bahwa tujuan pelatihan outbound adalah peningkatan produktivitas peserta, sementara fasilitator beranggapan, ah, mereka mau outbound pasti karena mau refreshing (saja) setelah penat dalam rutinitas kerja. Hal tersebut bisa jadi kerok kalau ternyata fasilitator digugat oleh perusahaan, kok, outboundnya hanya gini? Gimana bisa meningkatkan produktivitas kerja karyawam nantinya? Hah? Bisa panjang ceritanya. Nah, supaya nggak panjang, baik adanya kita tahu juga pemikiran si penggiat outbound tadi.
Tujuan konseptual, adalah manfaat yang ingin dicapai oleh peserta seusai melaksanakan (pelatihan berbasis) outbound. Saya sering mengguankan frasa “mengembangkan” atau meningkatkan kapasitas pribadi, peserta, alih-alih mengatasnamakan kelompok besar atau perusahaan. Misalnya “mengembangkan kerjasama” atau “meningkatkan komunikasi secara efektif antar peserta” atau “sekedar” meningkatkan keakraban antar peserta. Saya sadar, bahwa membuat tujuan yang muluk-muluk, kadang malah cenderung nggak masuk akal, misalnya setelah outbound, maka omzet perusahaan akan (langsung) naik. Atau setelah outbound semua perselisihan antar karyawan akan lenyap. Wah kalo gitu, hanya dahsyat di atas kertas saja, realitanya, sungguh sebuah perjuangan yang perlu dilakukan terus menerus.
Celakanya, ada perusahaan yang berpikir tujuan outbound secara muluk tadi, dan (lebih celaka lagi) si provider/ fasilitator juga menyanggupinya (hanya supaya dianggap hebat dan tepat melakukan pendampingan) wah.... bisa bahaya tuh. Namun sebelum terjerumus dalam bahaya, hal pertama yang perlu disepakati adalah apa tujuan pelaksanaan pelatihan berbasis outbound yang akan diselenggarakan nanti. Tiap pihak mesti realistis bahwa outbound hanya salah satu metode pengembangan diri peserta, terlebih terkait dengan nilai-nilai spirit pribadi, bukan nilai-nilai pengetahuan profesi. Ketika tujuan konseptual sudah disepakati/ dipahami, kita akan lebih enak dalam mengelola proses.
Sebagai contoh, jika tujuan outbound untuk mengembangkan “kerjasama” maka dalam proses bisa dibuat dinamika/ permainan yang memang memerlukan kerjasama antar anggota untuk menyelesaikannya. Menjadi aneh jika tema kegiatannya kerjasama, tapi (hampir) semua dinamika individu, atau bisa diselesaikan secara individu. Lha dimana aspek pengembangan kerjasamanya kalo gitu? Capeee deh...
Obrolan selain urusan pelatihan outbound tentu saja terjadi, namun nggak penting diceritakan. Yang ingin saya sampaikan pada teman-teman itu hanya sebuah kejelasan ekspektasi sebuah pelatihan, terutama outbound, yang perlu dipahami dan disepakati antara penerima manfaat dan penyelenggara/ fasilitator. Tidak semua tujuan mulia dan muluk-muluk bisa seketika dicapai hanya dengan sebuah pelatihan outbound. Namun sebuah tujuan sederhana pun jika (dalam outbound) tidak diskenariokan secara tepat bisa meleset juga ketercapaiannya.
Selamat menentukan tujuan konseptual.
Palembang 17 Mei 2011.
Agustinus Susanta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar