Dalam pendampingan pelatihan atau pengembangan diri berbasis outbound, kita sebagai fasilitator pasti diharapkan mempu menyampaikan pemaknaan tiap dinamika outbound. Hal yang paling sering saya alami tentu saja makna kerjasama, kepemimpinan, keberanian, serta komunikasi. 4 hal ini yang memang menjadi menu dasar dinamika berbasis outbound. Berbagai dinamika/ permainan saya pandang selalu mengandung satu sampai 4 hal tadi. Sejauh ini belum ada yang bermasalah selama kita mampu menyampaikan pemaknaan permainan secara tepat. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menjadi hal yang biasa, “bagaimana meningkatkan kerjasama dalam suatu kelompok?” atau “Bagaimana bisa berkomunikasi dengan baik?” atau juga “Gimana supaya saya lebih berani?” saya nggak akan memberi jawaban, karena tulisan ini memang bukan untuk membahas itu. Ketika kita merasa belum maksimal dalam menyampaikan pemaknaan tersebut, yha belajar dan berlatihlah lagi, sedemikian sederhana, kok urusannya.
Namun, dalam suatu kegiatan outbound, selain menanyakan keempat hal tema-tema pokok dinamika, peserta juga kerap menanyakan hal yang lain. Coba, jawaban apa yang akan teman-teman sampaikan jika ada peserta yang bertanya “Saya sudah bekerja keras di kantor, tapi kok rasanya nggak ada peningkatan sehingga sudah 15 tahun kerja kok nggak kaya-kaya?” kalo kita tipe orang yang nggak mau ambil pusing, bisa saja dijawab,” Wah, kita kali ini khan lagi outbound, bukan seminar tentang kekayaan, jadi pertanyaan tersebut nggak relevan” atau bagi orang normatif, bisa dijawab, “Wah, Bapak/ ibu harus tetap terus kerja keras namun juga harus sabar, orang sabar disayang Tuhan, lho.” Atau apakah teman-teman mau menjawab begini, “Emangnya tiap bulan Ibu nggak nabung, makanya Bu, nabung, nabuuuung...” gubrak!!. Dan mungkin masih ada beberapa tipe jawaban lain, baik yang mencoba mencari solusi, atau yang menghindari menjawab.
Teman-teman, ketika kita menghadapi kondisi dengan pertanyaan semacam tadi, yang keluar dari tema pokok dinamika outbound, kita bisa memilih respon yang bijak. Hal ini demi kita bisa “memuaskan” peserta outbound, namun lebih penting lagi memberi sebuah (gagasan) solusi atau perspektif tertentu tentang pertanyaannya tadi. Perlu kita pahami, kadang-kadang peserta outbound nggak bisa/ belum tahu konteks mereka melakukan outbound. Tahunya mereka melakukan aktivitas yang bisa menjawab seluruh masalah yang dihadapinya (padahal perusahaan meng-outboundkan karyawannya supaya melatih kekompakan). Otomatis, ekspektasi peserta terhadap fasilitator menjadi tinggi, kita dipandang bisa memberi semua jawaban masalah peserta, wah gawat itu. Ketika kita tahu persis jawabannya terkait teknis/ detil konteks penanya, bolehlah kita langsung jawab sesuai pengetahuan kita. Alternatif lain, adalah kita bisa memberi jawaban/ respon dengan sebuah konsep/ gagasan terkait konteks pertanyaan yang “menyeleweng” tadi, hal inilah yang akan kita bahas.
Baik adanya, selain kita menguasai materi pemaknaan dinamika outbound, kita juga membekali diri (di kepala) dengan beberapa konsep/ teori/ pengetahuan seputar pengembangan diri. Hal ini tentu saja suangaaaat banyak, lalu konsep yang mana? Tiap orang tentu punya peminatan sendiri, ada yang fokus di bidang pengembangan finansial, ada yang di bidang kecerdasan emosi, ada pula yang profesionalitas kerja, umum juga tentang keorganisasian, dan sebagainya. Namun ada pula yang berusaha mengetahui semuanya, bagus juga semangat tersebut. Saya hanya akan cerita beberapa pengalaman yang dalam suatu pelatihan outbound. Penyampaian suatu konsep/ mindset pada peserta bagi saya sama pentingnya dengan pemaknaan dinamika outbound itu sendiri. Artikel ini bukan mengupas tuntas tiap detail konsep, namun hanya menceritakan beberapa konsep yang sudah ada di kepala ini, dan bisa diluncurkan pada proses outbound, baik dengan terencana maupun dalam ketiba-tibaan. Langsung saja kita simak 3 contoh konsep yang sering saya sampaikan dalam outbound, yach...
7 habits
Konsep ini disampaikan pada peserta untuk memberi gambaran bagaimana supaya kita bisa bekerja/ bertindak secara efektif. Konsep ini berdasar pemikiran Stephen Covey penulis “7 kebiasaan manusia yang sangat efektif” Saya senang menyingkatnya dengan “PUDNESA,” P artinya Proaktif, U berarti Ukur bambu/ visioner, D itu dahulukan yang utama, N adalah negosiasi/ win-win solution, E itu empati, S adalah sinergi/ kerjasama, serta A adalah Asah gergaji. Tiap habit/ kebiasaan saya terangkan secara singkat, termasuk 3 kebiasaan pertama untuk mendapatkan kemenangan pribadi, dan 3 kebiasaan berikutnya untuk mencapai kemenangan bersama. Pada akhir penjelasan, saya sarankan peserta yang ingin memperdalam lebih lanjut tentang konsep ini, bisa membaca bukunya.
Lingkaran Pengaruh dan Lingkaran Kepedulian/Keprihatinan
Konsep “Lingkaran Pengaruh dan Lingkaran Kepedulian/Keprihatinan” masih bersumber pada Steven Covey. Pemahaman ini bagus untuk memberi gambaran dan pemetaan pada peserta outbound tentang hal-hal mana yang sebaiknya diprioritaskan dalam dunia pekerjaan. Pada hakekatnya tiap orang punya 2 lingkaran, 1 yang kecil dan ada di dalam adalah Lingkaran Pengaruh yang berisi semua hal yang dapat kita pengaruhi, putuskan, rubah, lakukan, tolak, atau apa pun. Pendeknya dalam lingkaran ini berisi semua hal yang dapat kita pengaruhi secara langsung. Kita punya kuasa untuk mengolahnya. Contoh hal yang ada di dalam lingkaran ini misalnya: kemauan untuk belajar, bertindak rajin/ malas, memaafkan, semangat, dan lebih perhatian.
Lingakaran kedua yang lebih besar, yang melingkupi lingkaran pengaruh adalah lingkaran kepedulian/ keprihatinan. Berisi hal-hal yang hanya dapat kita pedulikan/ prihatini, namun kita tidak punya kuasa untuk merubah, menolak, atau mempengaruhinya (secara langsung). Segala sesuatu yang kita lakukan/ bicarakan/ pikirkan dalam lingkaran ini tidak akan membawa perubahan dalam diri kita. Contoh hal-hal yang (walapun terlihat asyik/ menyenangkan) ada dalam kategori ini misalnya: kita terlahir sebagai suku apa, besar gaji kita, pertempuran di afghanistan, nasib artis, harga premium, dan siapa bos kita.
Pemetaan akan apa yang sering kita lakukan pada 2 lingkaran ini bisa memberi gambaran, apakah hidup kita sudah efektif. Manusia yang efektif (dan akan terus berkembang) fokus melakukan hal-hal (positif) yang ada pada lingkaran pengaruh, bukan sebaliknya. Pada akhir penyampaian konsep (yang biasanya saya gambarkan di papan tulis ini) ini biasanya saya mengajak peserta untuk bisa menerapkan konsep sederhana ini pada berbagai aspek kehidupan peserta.
4 dimensi kerja
Apa sih motivasi seseorang dalam bekerja? Susah-susah gampang njawabnya. Konsep ini saya sampaikan pada peserta outbound supaya benar-benar bisa menyadari konteks dia bekerja itu seperti atau untuk apa sih? Ternyata bisa dikategorikan dalam 4 aspek/ dimensi saja. Pertama, dimensi Ekonomi, jelas, orang kerja untuk mendapat penghasilan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup/ perekonomian yang bersangkutan (juga keluarganya). Dimensi kedua adalah Antropologi, gampangnya untuk memanusiakan manusia. Seseorang lebih (merasa) berharga ketika bekerja, daripada nganggur. Dimensi berikutnya adalah Sosial, artinya dengan bekerja kita membantu orang lain. Ketika kita jadi koki, artinya membantu orang yang kelaparan supaya bisa makan masakan yang enak. Ketika jadi sopir artinya membantu orang lain (penumpang) untuk bergerak menuju tempat lain. Dimensi berikutnya adalah dimensi rohani/ teologis. Sering kita mendengar ungkapan ‘kerja adalah ibadah” menurut saya itu tepat. Melalui kerja, kita juga secara tidak langsung beribadah dan memuliakan Tuhan pencipta kita.
Pengetahuan akan 4 dimensi kerja ini diharapkan bisa diintegralkan dalam pemikiran tiap peserta outbound. Kerja hanya untuk mencapai salah satu atau salah dua aspek saja tentu belum seimbang yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan psikologis seseorang. Keseimbangan dalam 4 aspek tadilah yang akan menjadikan tiap orang nyaman dalam berkarya.
Itu saja, 3 contoh yang saya sampaikan, walau sebenarnya masih ada beberapa pemikiran lain yang saya koleksi terkait proses memfasilitasi outbound.
Kita sebagai fasilitator outbound tentu saja minimal harus menguasai konsepsi tentang dinamika outbound/ experiential learning itu sendiri, mulai dari persiapan, pelaksanaan, sampai pemaknaan. Lepas dari itu, alangkah eloknya bila kita juga melengkapi diri dengan perbendaharaan konsep/ teori/ pengalaman yang relevan dengan konteks peserta outbound kita. Mari kita bekali diri kita dengan beragam konsep yang strategis; banyak baca buku bermutu, ikut berbagai seminar, dan juga jangan lupa diskusi dengan sesama fasilitator.
Kombinasi antara pemaknaan dinamika outbound dengan paradigma/ konsep tertentu diharapkan bisa membuat peserta memperoleh manfaat yang lebih nyata dalam kegiatan kita tersebut. Namun ketika hanya hal teknis, normatif, (apalagi) operasional saja yang kita sampaikan pada peserta, sudah saatnya kita berpikir, jangan-jangan kita belum menjadi fasilitator outbound, namun masih (sekedar) tukang outbound. Hah????
Palembang, 24 Mei 2011.
Salam, Agustinus Susanta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar