Teman-teman, kadang kita harus bijaksana membedakan antara hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan mana yang tidak bisa kita kendalikan. Maksudnya apa? Untuk hal-hal yang bisa kita kendalikan, artinya kita bisa memilih, merubah, menerima, atau pun menolaknya sesuai dengan keinginan kita. Hal-hal sejatinya ada dalam kendali kita. Sebaliknya, untuk hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, kita tidak bisa memilih, tak bisa menolak, pendeknya kita hanya bisa menerimanya. Konteks kita dalam tulisan kali ini terkait dengan lokasi pelatihan berbasis outbound.
Ada saatnya kita diberi kebebasan untuk menentukan lokasi outbound, namun kadang-kadang kita hanya bisa menerima saja dimana peserta ingin outbound. 2 hal tadi tentu saja dikaitkan dengan beberapa hal jenis dan tingkat keterlibatan kita dalam kegiatan outbound tersebut, yang mendingan nggak usah kita bahas dalam tulisan ini. Intinya, ketika kita bisa memilih tempat untuk penyelenggaraan outbound, tentu kita akan memilih lokasi seideal mungkin, namun jika tidak? Sebenarnya bagi saya tiap tempat itu bisa digunakan untuk pelatihan berbasis outbound, walau untuk beberapa hal, dinamika perlu disesuaikan.
Pernah bikin outbound di lokasi wisata? Saya pernah, beberapa kali. Lho, kok malah saya yang jawab. Nggak perlu kita selidiki kenapa outbound di sana, yang jelas itu permintaan dari peserta. Nah, berikut ini adalah beberapa kelumit hal yang bisa saya catat jika kita hendak menyelenggarakan (semacam pelatihan berbasis) outbound. Bahasan akan banyak menyinggung urusan teknis, siap? Oh yha, sudut pandang kita sekarang menjadi penyelenggara outbound, baik ditugaskan oleh perusahaan, atau kita sebagai fasilitator atau providernya.
Tak perlu disesali, kenapa kita (mesti bikin) outbound di tempat wisata. Ingat tentang apa yang bisa atau tidak bisa kita kendalikan? Bahkan kalau bisa kita syukuri, dong, artinya kita mendapat tantangan baru untuk menyelenggarakan acara dengan tingkat kesulitan lumayan rumit. Ketika kita berpikir outbound di tempat wisata itu asyik, maka itu akan mempengaruhi suasana kerja kita, semuanya jadi menarik, itulah yang diharapkan.
Kalo ini obyek wisata yg memang masang alat-alat untuk outbound, jadi nggak pterlalu pusing kalo bikin outbound di tempat semacam ini. |
Konfirmasi dengan pengelola obyek wisata. Ini adalah hal pertama yang perlu kita lakukan, bahkan sejak saat melakukan survey tempat. Utarakan pada pengelola maksud kegiatan kita, dan sejauh mana pengelola bisa mendukungnya. Oh, yha, sebelum diskusi, baik adanya jika kita sudah pernah mengunjungi tempat tersebut. Poin-poin penting yang perlu diketahui oleh pengelola obyek wisata adalah tujuan kegiatan kita, bentuk kegiatannya, lokasi yang dikehendaki, waktu dan lama pelaksanaan, dan berapa jumlah peserta dan fasilitator yang terlibat. Hal ini sangat penting, karena ketika kita bikin outbound di lokasi wisata, ada beberapa pihak yang terlibat, baik secara langsung, maupun tidak, yakni peserta kegiatan, panitia/ fasilitator, pengelola obyek wisata, dan pengunjung umum (yang tentu saja perlu kenikmatan saat berwisata)
Dalam konfirmasi (serta nantinya perjanjian yang dibuat) dengan pihak pengelola obek wisata, perlu disepakati jenis kegiatan yang boleh kita lakukan (dan tentu saja sebaliknya apa yang tidak diperkenankan). Contoh sederhana, misalnya ketika kita mau bikin rute perjalanan peserta, bolehkah kita mencoret/ menulis/ mengecat rute tersebut pada batu, pohon, atau paving blok? Misalnya kita memerlukan area kolam untuk permainan, kolam mana yang diijinkan untuk bermain, mana yang dilarang? Trus jika kita mau mendirikan tenda, bolehkan kita mencangkuli tanah disekitar tenda untuk bikin parit? Jika malam-malam kita mau bikin api unggun (masak api unggun siang sih?) bolehkah? Jika boleh, bagaimana persisnya api unggun akan ditempatkan dan dibuat. Contoh-contoh lainnya, saya yakin pembaca bisa menemukannya.
Sebuah teluk obyek wisata, dimana nggak ada fasilitas outbound, maka kita bisa dengan kreatif menciptakan peralatan permainan yang sederhana, namun tetap punya makna yg diharapkan. |
Saya pikir, di Indonesia nggak ada tempat wisata yang masuknya gratis (kalo keluarnya pasti gratis) tak terkecuali peserta yang mau ikut outbound. Sepakatilah dengan pengelola obyek wisata urusan tiket masuk ini. Ada berapa jenis tiket, adakah asuransi, trus jika menggunakan/ menyewa lokasi tertentu apakah ada tambahan biaya. Jika pake perlengkapan lain, berapa ongkosnya, trus jika pake listrik, sound system gimana urusan bayar listriknya. Pokoknya hal-hal yang berhubungan dengan pembayaran kita buat kesepakatan dengan pengelola. Trus, adakah kompensasi bagi fasilitator/ panitia (yang mungkin akan keluar masuk lokasi beberapa kali) apakah bebas biaya, atau harus tetap bayar tiket masuk. Hal ini untuk menghindari keributan saat pelaksanaan, dimana konsentrasi kita sudah sepenuhnya dicurahkan untuk proses kegiatan. Ingatkan juga tentang tarif parkir peserta ataupun panitia, apakah ada kebijakan khusus?
Cek juga pada pengelola, pada saat bersamaan (dengan kegiatan kita) adakah acara yang diadakan oleh pihak lain (penyewa/ pengunjung) temasuk oleh pengelola yang nanti justru bisa saling mengganggu. Pengalaman saya beberapa hari lalu ketika mendampingi kegiatan outbound di tempat wisata. Ada tempat yang sudah disewa oleh sebuah sekolah untuk acara (kayaknya pentas seni dan perpisahan) sementara hanya berselang 6 meter dari tempat itu, ada perusahaan yang juga sewa tempat untuk acara gathering karyawannya. Yang jadi soal adalah si perusahaan juga sewa orgen tunggal dengan pengeras suara yang menggelegar, sementara si sekolah nggak pake pengeras suara. Bayangkan, ayo bayangkan.... dalam saat yang bersamaan di tempat yang sangat dekat, satu pihak pingin suasana tenang, sementara pihak lainnya ingin berkaraoke dengan orgen tunggal yang suaranya menggelegar. Wah kalo nggak ada saling pengeritan, bisa bentrok tuh. Inti pengecekan terhadap kegiatan yang bersamaan dengan outbound kita adalah supaya kita juga bisa menyelenggarakan outbound secara maksimal dengan kondisi paling sip (di lokasi wisata itu)
Kalo yg ini aslinya adalah restoran di sebuah kolam pemancingan. Bisa saja kita atur menjadi tempat pertemuan dalam kegiatan outbound. |
Urusan makan dan minum di tiap obyek wisata pasti beda-beda. Jika pengelola tidak mempermasalahkan kudapan, minum, dan makan peserta outbound kita dibawa masuk ke obyek wisata, aman deh kita. Ada juga pengelola yang mengharuskan semua keperluan makan minum peserta (juga tentunya pengunjung yang lain) dibeli/ dipesan di obyek tersebut. Ada juga pengelola yang membolehkan makan dan minum didatangkan dari “luar” artinya disediakan sendiri oleh panitia/ fasilitator, tapi nggak boleh di bawa masuk ke obyek wisata. Kalo itu yang terjadi, yha gimana kita siasati dengan membuat kesepakatan dengan pengelola. Kejadian yang pernah saya alami, untuk minum, kudapan, dan makan peserta outbound, kita bisa menyediakan sendiri namun tidak bisa dibawa masuk ke lokasi wisata. Untunglah pengelola menyediakan lokasi khusus di mana kita bisa makan dan minum. Walau harus agak jauh bolak balik untuk mencapai tempat itu, namun itulah jalan terbaik yang bisa disepakati.
Kita juga perlu memberi penegasan pada peserta, jika urusan makan dan minum didapatkan dari pihak obyek wisata. Apakah ada penjatahan makanan, atau peserta dibebaskan makan/ jajan apa saja. Jangan sampai di akhir acara kita ribut dengan pengelola karena klaim jajanan yang dilahap peserta. Sementara kita berpikir peserta hanya makan sesuai standar, peserta mikir “wah asyik, dapat fasilitas dari perusahaan nih, bisa makan dan jajan sepuasnya” sementara si pengelola mikirnya lain lagi “Wah oke juga itu perusahaan, nanggung semua makan,minum dan jajan karyawannya.” Apa yang terjadi nanti? Mungkin kekacauan, maka lebih baik mencegah (kalau perlu dengan ketegasan) daripada ribut di akhir, khan?
Wahana wisata semacam ini, bisa juga kok dijadikan lokasi outbound. |
Apa yang akan kita lakukan jika dalam proses outbound turun hujan lebat (disertai guntur pula, hiiiii...) tentunya kita harus menghentikan proses di luar ruangan dan mengamankan diri. Nah, untuk itu perlu dipikirkan dimana tempat untuk menampung para peserta. Jika di obyek tersebut ada tempat terlindung yang bisa digunakan, belum tentu urusan kita selesai. Lha, khan ada wisatawan yang lain (yang juga berteduh) kalo kita bikin acara di situ bisa-bisa mengganggu orang lain, disamping proses kita juga nggak maksimal. Antisipasi yang bisa dilakukan adalah menyewa tempat di obyek tersebut untuk kondisi darurat tersebut, atau kepalang kita sewa tenda khusus untuk acara kita. Tenda tak hanya melindungi dari hujan, namun juga panas, selain bisa digunakan untuk tempat pertemuan/ berkumpul, serta beraktivitas.
Kini urusan membuat dokumentasi, baik foto maupun film. Seumumnya sih, obyek wisata nggak akan melarang pengunjungnya untuk berfoto atau mengambil film. Namun baik juga jika dipastikan bahwa kita mendapat konfirmasi untuk membuat dokumentasi proses outbound.
Permainan "kereta buta" dengan rute jalan-jalan di wahana wisata, asyik sekaligus penuh tantangan, nabrak pengunjung, masuk kolam, numbur pohon, atau tiang. |
Jika urusan dengan pihak pengelola sudah kelar, Sekarang urusan kita sebagai fasilitator outbound terkait penyiapan skenario dan proses. Outbound merupakan suatu metode pengembangan diri dengan pendekatan experiential learning, dimana ada aksi, reaksi, refleksi, esensi dan proyeksi / rencana tindak lanjut. Dalam outbound sangat jamak bila kita menggunakan berbagai dinamika/ permainan dalam memfasilitasi proses. Menjadi urgen untuk disesuaikan dalam konteks outbound di obyek wisata adalah bagaimana kita dapat “bermain” di tempat yang juga digunakan oleh (banyak) orang lain untuk berwisata.
Hal pertama yang perlu dipikirkan adalah jenis dinamika atau permainan yang akan dimainkan. Permainan apa saja yang pas dilakukan di tempat umum? itulah yang perlu kita pertimbangkan. Berbeda dengan melakukan outbound di tempat khusus yang steril dari mereka yang tidak berkepentingan, outbound di obyek wisata bisa jadi malah jadi tontonan orang banyak. Ada jenis orang yang ketika bermain, malu dilihat oleh orang-orang tak dikenal, namun ada pula yang sebaliknya, malah over acting. Ketidakleluasaan peserta berkekspresi bisa menghambat proses outbound, tentu saja, karena peserta belum menampilkan “dirinya” secara utuh. Bagaimana menyiasati ini? Gampang teman-teman; justru sekalian masukkan unsur “ditonton orang lain” sebagai salah satu tantangan. Jadi, selain tantangan/ target dinamika, peserta juga harus berpandangan nggak peduli siapa yang mau nonton aksi mereka. Dalam beberapa pengalaman saya sih, peserta memang nggak peduli mereka main itu ditonton oleh orang lain. Mereka asyik saja berdinamika.
Hal berikutnya terkait dinamika adalah titik tempat beraktivitas. Biasanya, ada satu tempat (lumayan) luas untuk berkumpul, trus ada beberapa titik pos permainan untuk melakukan dinamika secara berkelompok. Jika obyek wisata tempat kita outbound punya lokasi sangat luas untuk membuat pos-pos permainan, tentu saja itu yang diharapkan. Namun jika di dalamnya nggak ada tempat-tempat yang ideal untuk bikin pos permainan, tentu harus kita siasati. Jenis permainan, luasan tempat, faktor keselamatan, serta peralatan yang akan digunakan tentu harus disesuaikan. Dalam hal ini diperlukan kreativitas untuk menggabungkannya. Yakinlah, pasti ada celah untuk membuat pos-pos permainan, dalam keterbatasan lokasi. Kalo kita sudah mencoba menyiasati tapi ternyata nggak bisa, gimana? Yach kemungkinannya hanya ada 2, kita yang belum kreatif merancang outbound di tempat yang “menantang”, atau kita yang keliru menyanggupi/ memilih obyek wisata tersebut sebagai tempat outbound.
Ketika kita outbound di tempat wisata bernuansa perkebunan, harus kreatif menciptakan permainan dan memanfaatkan kekayaan kondisi alam. |
Sebagai penutup catatan ini, mari kita sadari, bahwa outbound sebenarnya hanya sebuah metode pengembangan diri. Tempat seharusnya bukan kendala bagi pelaksanaan outbound, walau harus diakui itu juga bisa menunjang efektifitas pencapaian tujuan. Ketika kita memutuskan untuk bikin/ menerima kesanggupan menyelenggarakan outbound di tempat/ obyek wisata jadikan itu pengalaman yang asyik dan menarik, terlebih dalam mempersiapkan skenario proses. Lakukan konfirmasi dengan pengelola obyek wisata dalam banyak hal karena aktivitas kita nanti akan terkait, baik secara langsung maupun tidak dengan banyak pihak. Seni meracik itu semua akan membuat outbound kita bisa berlangsung dengan oke.
Selamat berwisata, eh, selamat beroutbound di tempat wisata.
Palembang, 7 Mei 2011
Agustinus Susanta
Design Programmer yang ahli adalah yang berpikir jauh dalam memenuhi berbagai kebutuhan dengan media yang ada atau media yang tersedia dan realitasnya bisa tercapai tujuannya. Baik tujuan edukasi, tujuan theraphy ataupun tujuan rekreasi..
BalasHapusMaka ujung tombak programnya adalah instruktur yang mampu menterjemahkan program dan memprosesnya tanpa harus memasukan standar nilai nilai pribadinya dll.
Instruktur yang baik adalah yg memiliki banyak " Bag Trick " dikepalanya dan dihatinya...
Selamat ekplorasi...Sesungguhnya alam semesta adalah perpustakaan terbesar untuk kita belajar...