Nama lengkap :
Sulistyo Sapto Winarno
Nama panggilan : Soel
Usia :
17 tahun....he he he
Aktivitas keseharian :
-
Konsultan Outdoor Program pada Adventure Therapy Indonesia, Jakarta
-
Pertengahan April- pertengahan Oktober: Field Staff/Instruktur di Thompson
Island Outward Bound Education Center, Boston, Massachusset, USA
-
Awal November- awal April: Praktisi EL independent di Indonesia
Hobi :
Travelling, Mendaki Gunung, Bersepeda, Berenang, Basket, Berkebun
Status perkawinan :
Menikah
Riwayat pendidikan :
-
S1 Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
(1988-1994)
-
Standard Course, Outward Bound Lumut, Perak, Malaysia (December 1995)
-
Safety & Management on Challenge Ropes Course, Outward Bound Singapore,
Pulau Ubin, Singapore (June 1999)
Riwayat professional :
-
Guru Bahasa Inggris di
sebuah SMP Katholik, Pangkal Pinang, Pulau Bangka (November 1994-April 1995)*
*Catatan:
Mengundurkan diri dari profesi guru formal karena merasa bahwa dengan kurikulum
yang waktu itu diberlakukan, peserta didik hanya diajari untuk menghafal
Grammar agar lolos ujian. Mereka sebenarnya tidak mungkin kompeten berbahasa
Inggris, kecuali mendapatkan kursus tambahan.
-
Assistant Manager, Caleb Indo Trading, Yogyakarta (September-November 1995)
-
Co-Instructor, Outward Bound Lumut, Perak, Malaysia (January 1996)
-
Instruktur, Outward Bound Indonesia, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat
(February 1995-December 2000)
-
Pendiri & sekaligus Direktur Operasional, Pancawati Outdoor Training,
Bogor, Jawa Barat (January 2002-Maret 2003)
-
Direktur Operasional, Santa Monica Camp, Bogor, Jawa Barat (May-December
2003)
-
Praktisi EL Independent* (January 2004-September 2009)
*Catatan: menjadi
Praktisi Independent antara lain bekerja sebagai fasilitator, konsultan,
programer dan pembicara pada beberapa seminar/workshop EL.
-
School Manager, Outward Bound Indonesia, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat
(Oktober 2009-January 2011)
-
Chief Instructor, Nomad Adventure, Gopeng, Perak, Malaysia (February –April
2011)
-
Program Manager, Adventure Therapy Indonesia, Jakarta (May 2011-Maret 2012)
-
Instruktur, Thompson Island Outward Bound Education Center, Boston,
Massachusset, USA (April 2012-sekarang)
Bagaimana
cerita awal ketertarikan Mas Soel dalam dunia EL?
Ketika saya masih di bangku kuliah dan aktif
di organisasi Pecinta Alam, seorang dosen pembimbing pernah bertanya kepada
saya, ”Adakah manfaat nyata dari kegiatan petualangan kalian bagi orang lain?
Bisakah kalian menularkan nilai-nilai positif yang selama ini kalian yakini
tanpa harus mengajak para mahasiswa ‘baik-baik’
membolos kuliah? Tidak bisakah sebutan ‘Pecinta Alam’ dipakai semua orang tanpa
harus beratribut khusus misalnya berambut gondrong, pakaian dekil dan jarang
mandi, membawa ransel besar keluar masuk hutan naik turun gunung??!”
Saya memang mengiyakan semua pertanyaan
tersebut di atas, namun jujur saja saat itu saya tidak mampu menjelaskan
bagaimana melakukannya. Saya memang meyakini bahwa serangkaian aktivitas
bertualang selama bertahun-tahun telah banyak menggembleng karakter saya secara
positif. Dari seorang anak pemalu, introvert, tidak kompeten serta kurang PeDe
tumbuh menjadi sosok mahasiswa yang aktif bersosialisasi dalam berbagai
kegiatan di kampus, terlibat pada beberapa kepanitiaan baik di internal maupun
antar Unit Kegiatan, serta memiliki pemahaman diri yang jauh lebih positif
ketimbang saat awal-awal masuk kuliah. Keberhasilan mengatasi banyak hambatan
di kala bertualang baik sendiri maupun bersama rekan-rekan telah banyak
mempengaruhi pertumbuhan karakter saya.
profesi ini memberikan kita peluang memberi
kontribusi nyata bagi perbaikan karakter bangsa tercinta ini
Namun bagaimana membagi nilai-nilai tersebut
bagi khalayak umum? Bagaimana orang bisa memahami nilai-nilai petualangan bila
mereka enggan bertualang? Bagaimana mungkin mengajarkan keindahan merasakan
keberhasilan menaklukan tantangan bagi orang-orang yang seumur hidupnya
cenderung tidak pernah mengambil resiko? Saya mungkin bisa menularkan
nilai-nilai positif dari aktivitas petualangan, seperti yang selama itu selalu
saya coba lakukan bagi adik-adik yunior saya. Namun dengan sebuah persyaratan
yang tidak mudah yaitu bahwa mereka harus aktif bertualang. Alam dengan segala
kearifannya sendirilah yang akan mengajari mereka. Peran saya hanya mendorong
dan memberikan contoh para yunior saya melakukan petualangan. Tidak lebih dari
itu!!! So, saya tidak paham bagaimana menerapkan metoda ini bagi khalayak awam.
Hingga saya lulus kuliah, pertanyaan Pak Dosen tersebut selalu teringat.
Setamat kuliah saya sempat mengabdikan diri
sebagai guru di sebuah sekolah menegah di Pulau Bangka, namun tidak lama saya
keluar. Saya merasa tidak cocok dengan kurikulum yang saat itu diberlakukan
yang bagi saya hanya membuat siswa sibuk menghafalkan rumus-rumus grammar
beserta contohnya demi lolos ujian. Saya kembali ke kota tempat tinggal saya
dan mendapatkan pekerjaan baru sebagai asisten manajer sebuah perusahaan
eksportir.
Belum genap tiga bulan bekerja, seorang rekan
memberitahu saya bahwa ada lembaga pelatihan yang melakukan pendidikan
‘penggemblengan mental’ bagi kaum awam –terutama para karyawan perusahaan-
melalui kegiatan petualangan di alam bebas. Tidak banyak info yang saya terima
dari rekan tersebut namun satu kalimat kunci telah menggerakkan saya:
‘AKTIVITAS PETUALANGAN UNTUK MELATIH KARAKTER’. Sayapun keluar dari pekerjaan
kantor saya, melamar dan diterima di institusi Outward Bound.
Bekerja menjadi salah seorang instruktur di
sekolah Outward Bound mengenalkan saya dengan metoda pelatihan EL. Sebagai
sebuah lembaga pelatihan, Outward Bound memiliki hubungan dengan beberapa
institusi sejenis di luar dimana hal ini memungkinkan saya belajar banyak baik
dari sharing dan bimbingan para instruktur yang sudah terlebih dahulu menekuni
bidang ini, maupun dengan tersedianya buku-buku acuan yang banyak menjelaskan
metoda Experiential Learning ini.
Sebetulnya
apa sih esensi dan keunggulan EL, dibanding metode pembelajaran lainnya? Kok
banyak yang bilang itu cocok untuk pembelajaran orang dewasa?
Esensi pembelajaran lewat metoda Experiential
Learning menggali nilai-nilai pembelajaran dari pengalaman nyata pesertanya.
Hal ini cocok bagi proses pendidikan karakter orang dewasa karena mereka tidak
hanya menjadi pendengar pasif dan diminta menerima nilai-nilai pembelajaran
yang sedang diberikan, namun aktif mengambil peranan dalam memahami nilai-nilai
yang sesuai dengan diri mereka.
Pembelajaran didapatkan melalui proses mengalami dan
refleksi, bukan sekedar menjadi pendengar passive recipient. Dengan mengalami
serta merefleksikan nilai-nilai dari serangkaian pengalaman nyata, metoda ini
biasanya lebih memberikan impact yang lebih mendalam bagi pesertanya.
Mas Soel khan sudah sering berkarya di luar Indonesia,
apakah ada perbedaan pandangan/ perkembangan EL antara di Indonesia dengan di
luar negeri? Kalau ada, kira-kira apa faktor penyebabnya?
1.
Secara perkembangan, standar safety dalam berkegiatan –baik sebagai wahana
rekreasi maupun aktivitas training- di kebanyakan negara maju sudah sangat
established. Penerapan prosedur keselamatan sangat dipatuhi, baik kepada
peserta maupun staff lapangan yang bekerja. Ketidakmampuan/kegagalan menerapkan
prosedur keselamatan akan mendapat sanksi yang tegas dari pihak berwenang. Hal
ini dilakukan demi menjaga tidak hanya pengguna jasa namun juga para pelaku
bidang pekerjaan ini.
2.
Pandangan tentang safety juga tidak sebatas keselamatan fisik saja namun
juga rasa aman secara emosional/psikologis. Contoh emotional safety yang saya maksud adalah ketika peserta dalam suatu
pelatihan merasa dipaksa melakukan aktivitas, atau dalam kegiatan yang sifatnya
fun seorang fasilitator ‘melecehkan’ perasaan (bullying) pada pesertanya dengan
cara-cara ‘mengerjai’ si peserta demi menimbulkan kelucuan. Perilaku bullying dengan memperolok, melecehkan, mempermalukan
atau membuat tidak nyaman pihak lain secara psikologis memang sangat mudah kita
jumpai di Indonesia sehingga sering dianggap wajar. Mungkin karena banyak
program hiburan di televisi yang mempertontonkan secara vulgar praktek bullying
ini, sehingga para praktisi EL cenderung menirunya.
Di banyak negara maju, aktivitas yang
menyertakan gurauan melecehkan semacam ini bisa dianggap TIDAK SAFETY secara
emosi. Duty of Care yang mereka emban
sebagai lembaga tidak saja mencakup physical
safety namun juga emotional safety.
3.
Perbedaan perkembangan/pandangan mencolok yang lain adalah bagaimana
masyarakat menghargai sebuah perusahaan jasa (provider), terutama lembaga
pelatihan. Ada standar kompetensi minimal yang harus dipenuhi baik sebagai
lembaga ataupun praktisi. Enggak bisa asal comot fasilitator yang kadang gak
jelas kemampuannya.
4.
Lembaga training EL di luar lebih berkonsentrasi ke arah PENCAPAIAN
OBYEKTIF bukan semata-mata jenis kegiatannya. Lain sekali dengan di Tanah Air
dimana banyak provider lebih banyak menuruti keinginan klien yang umumnya
secara pemahaman pelatihan kurang dewasa sehingga banyak yang lebih
berkonsentrasi kepada jenis aktivitasnya.
Memang program pelatihan harus customised melayani obyektif yang
diinginkan klien, tapi kan gak harus si klien sendiri milih-milih macam game
atau aktivitas apa semau mereka. Provider EL di Indonesia jauh dari kesan
berwibawa. Bagaimana bisa mereka membawa pengaruh perubahan kepada klien kalau
posisi mereka saja ‘memprihatinkan’?
Menurut Mas Soel, apa saja sih hal-hal minimal yang harus
dimiliki sebuah lembaga/ provider jika ingin mengembangkan EL dengan baik?
Pertama dan terutama adalah memiliki software dasar yaitu VISI & MISI lembaga tersebut
berikut CORE VALUES yang mereka bawa dalam pelayanan mereka. Nampaknya
sederhana namun sehat tidaknya sebuah lembaga EL bisa dilihat dari software
mereka serta penerapannya dalam operasional mereka. Bila ingin mengembangkan
lembaga EL dengan baik serta kuat milikilah visi & misi perusahaan berikut
nilai-nilai yang dianut secara jelas & kuat dan pastikan semua aspek
operasional perusahaan baik program maupun cara kerja mematuhi keyakinan
tersebut. Provider yang tidak memiliki visi & misi yang jelas dan cenderung
PALUGADA (apa yang lu mau gue ada) mungkin saja bisa hidup namun belum tentu
bisa berkembang baik.
Tidak bisakah sebutan ‘Pecinta Alam’ dipakai
semua orang tanpa harus beratribut khusus misalnya berambut gondrong, pakaian
dekil dan jarang mandi,
Kedua: perlunya Prosedur Kerja Baku (SOP) dalam setiap aktivitas yang dilakukan.
SOP diperlukan tidak saja untuk memastikan kualitas dan keselamatan kerja,
namun juga berfungsi untuk melindungi posisi lembaga maupun staff lapangan yang
bertugas. Musibah mungkin saja terjadi namun selama kita sudah melakukan
pekerjaan sesuai prosedur yang berlaku maka kita bisa terhindar dari tuntutan
melakukan kelalaian.
Ketiga: memiliki
dan mengembangkan staff lapangan yang berkualitas. Dalam lembaga training
SDM adalah salah satu aset perusahaan yang sangat berharga. Membina staff
lapangan yang handal, menghormati peranan mereka dengan memastikan
kesejahteraan setiap karyawannya merupakan salah satu kunci berdiri kokohnya
provider EL secara sehat.
Sangat disayangkan di Indonesia penghormatan
terhadap profesi staff lapangan masih sangat memprihatinkan. Banyak provider
yang dengan alasan efisiensi biaya bahkan tidak merasa perlu memiliki dan
–apalagi- membina staff lapangan mereka.
Mengenai fasel nih, bagaimana kualitas para fasel di
Indonesia dan bagaimana ya cara meningkatkan kompetensinya?
Fasilitator Experiential
Learning (Fasel) di Indonesia hingga saat berada pada posisi yang kurang
menguntungkan dalam dunia EL. Peranan mereka sangat diperlukan dalam setiap
aktivitas EL namun penghargaan terhadap profesi mereka cenderung kurang layak.
Tidak mengherankan bahwa profesi fasel sebenarnya kurang diminati sebagai
sandaran hidup. Banyak orang menjadi fasel karena belajar untuk menjadi
provider yang akan berdiri sendiri.
Kenyataan ini cenderung menyebabkan
keengganan mereka memperdalam seni menjadi failitator, terutama bila motivasi
materi menjadi tujuan utama. Banyak fasilitator outdoor berhenti bekerja di
lapangan begitu mereka memiliki provider sendiri dan sanggup mempekerjakan
orang lain. Kenyataan yang berbeda dengan para trainer indoor!
menghormati peranan mereka dengan memastikan
kesejahteraan setiap karyawannya merupakan salah satu kunci berdiri kokohnya
provider EL secara sehat
Kunci utama menjadi fasel berkualitas hampir
sama dengan profesi lain yaitu mencintai dan mengabdi kepada pekerjaan. Profesi
bisa diibaratkan pasangan hidup. Bila kita mencintai pasangan kita tentulah
kita berupaya untuk lebih memahami apa saja keinginan-keinginan pasangan kita,
melayaninya agar pasangan kita bahagia, memenuhi apa saja yang dia butuhkan.
Kalo seorang fasel cenderung merendahkan
profesinya maka dia sebaiknya mencari profesi lain. Memang terdengar sangat
normatif dan klise namun sebenarnya
tidak ada formula pasti untuk menjadikan fasel EL yang berkualitas selain tetap
selalu belajar menjadi lebih baik. We
don’t have the privilege to choose our jobs. They chooses persons to serve them
properly!
Selama menjadi fasel, baik di dalam atau luar negeri, apa
nih pengalaman yang paling mengesankan?
Awal Juli 2012 saya bersama Romy Prasetiyo
asal Malang memimpin Passages Program
yaitu program pelatihan pengembangan karakter bagi anak-anak remaja dengan
media ekspedisi kayak laut selama 12 hari di Boston, USA. Program ini
dilaksanakan di Amerika, dengan peralatan dan sistem safety standar Amerika,
semua pesertanya warga Amerika, dengan obyektif dan cara memfasilitasi ala
Amerika namun dilaksanakan dengan sangat berhasil oleh 2 orang Indonesia!!!
Saya pikir pada profesi lain, kejadian semacam ini sangat jarang terjadi ha ha
ha!!!
Mas Soel khan salah seorang pionir saat ada deklarasi
AELI, gimana pendapat Mas Soel mengenai perkembangan AELI sampai saat ini?
Proses terbentuknya AELI diawali dari
kenyataan makin berkembangnya dunia pelatihan maupun kegiatan rekreasi yang
menerapkan metoda Eksperiential Learning di Indonesia. Banyak praktisi pada
waktu itu merasa perlunya dibentuk wadah yang bisa mendorong perkembangan dunia
EL ke arah yang lebih baik serta memayungi profesi ini.
Sebenarnya sejak dideklarasikan hingga saat
ini, ekspektasi khalayak praktisi EL sangat besar agar lembaga ini mampu
menunjukkan kiprahnya secara nyata dan memberikan kontribusi bagi arah
perkembangan dunia EL secara positif. Dan Pengurus AELI saya yakin juga
berusaha untuk memenuhi harapan-harapan tersebut. Namun upaya tersebut memang
tidak mudah dan pastinya banyak kendala. Hal ini terutama disebabkan lemahnya
posisi AELI hingga saat ini di kalangan masyarakat EL.
Bila AELI mau berkiprah membenahi carut marut
dunia otbon maka dia harus memiliki
kekuatan yang bisa diperhitungkan. Kekuatan tersebut seharusnya tidak didapat
dengan pemaksaan namun dengan penerimaan. Misalnya dengan mengedukasi baik
anggotanya maupun pasar demi menimbulkan kepercayaan. Ketika suatu saat
masyarakat pengguna jasa akhirnya memilih hanya provider yang menjadi anggota
AELI saja yang layak menjadi pilihan mereka, maka saat itulah lembaga ini
memiliki kekuatan agar bisa berkiprah lebih efektif.
Arah kerja AELI untuk saat ini sebaiknya
memberikan edukasi yang pada akhirnya
tercipta standardisasi bagi para ‘anggotanya’ demi mendapatkan kepercayaan
pasar.
Bagaimana pendapat Mas Soel tentang bulletin “Forum AELI”
ini?
Terbitnya “Forum AELI” ini sangat penting dan
bermanfaat demi dalam menjawab ekspektasi kalangan praktisi EL dan mungkin
masyarakat pengguna jasa terhadap sebuah wahana berbagi informasi maupun
pengetahuan tentang dunia Experiential Learning. Semoga “Forum AELI” ini bisa
memberikan kesegaran terhadap rasa dahaga yang mungkin dirasakan khalayak EL
dikarenakan minimnya buku-buku acuan maupun tulisan tentang EL di Indonesia.
Saya sebagai seorang praktisi pelatihan outdoor bermetoda EL tentu sangat bersyukur
dengan keberadaan bulletin ini. Semoga di masa mendatang akan lebih bermakna
lagi bagi pendewasaan dan pengembangan dunia EL di Tanah Air.
Apa pesan atau harapan Mas Soel pada sesama Fasel di
Indonesia ini?
Pekerjaan menjadi Fasilitator Experiential
Learning bagi saya merupakan anugerah karena profesi ini telah memberi
kesempatan saya bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang,
mengunjungi banyak tempat-tempat indah, melakukan aktivitas-aktivitas
menyenangkan serta mempelajari banyak karakter manusia. Singkatnya profesi ini
secara batin telah memanjakan saya dan mengembangkan pribadi saya.
Namun saya prihatin bahwa profesi fasilitator
secara materi belum mendapatkan penghargaan yang memadai. Saya sangat berharap
dunia Fasel bisa lebih dihargai sebagai sebuah profesi yang layak dan mampu
menjamin penghidupan bagi para pelakunya, sama seperti banyak profesi lain pada
umumya.
Bagi rekan-rekan Fasel dan staff lapangan
pada umumnya, berbanggalah dengan profesi kalian. Cintailah pekerjaan ini
karena sebenarnya profesi ini memberikan kita peluang memberi kontribusi nyata
bagi perbaikan karakter bangsa tercinta ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar