Cerita kita awali dengan sebuah
pertanyaan “Adakah syarat tertentu sehingga suatu
tempat/ lokasi bisa digunakan untuk proses experiential learning?” Sebelum
pertanyaan tersebut dibedah lebih lanjut, barangkali ada pertanyaan turunan
begini, “Apa itu proses experiential learning?” jawab dari pertanyaan ini
sebenarnya bisa kita nikmati pada bulletin Forum AELI edisi Februari 2013 lalu.
Tapi walaupun sudah benar, baiklah kita telusuri sejenak. Experiential learning
adalah proses
belajar yang menggunakan pengalaman sebagai media belajar atau pembelajaran. Pembelajaran dilakukan melalui refleksi dan pemaknaan
pengalaman tersebut. Fokus Experiential Learning adalah pembelajaran individu/ pribadi (David A. Kolb
1984).
Oh ya, cerita
tentang jawaban dan paparan pertanyaan pertama tadi disusun berdasarkan diskusi
di Grup FB AELI selama 5-21 Maret 2013; dengan komentator diantaranya: Agustinus Susanta, Soel Winarno, Didi
Handoko, Emma Bukit, Dante Mayindra, Adi Ed-venture, John H Dasuha Outbound,
Membangun Karakter Graphology. Bertindak sebagai editor adalah Agustinus
Susanta.
Mari kita mulai ceritanya, eh, apa
tadi pertanyaannya? Oh ya…“Adakah syarat tertentu sehingga
suatu tempat/ lokasi bisa digunakan untuk proses experiential learning?”
Ketika
experiential learning “hanya” dipandang sebagai kegiatan games berjenis “fun”
dan rekreasi, maka lokasi penyelenggaraannya harus nyaman, indah, dengan segala fasilitas shelter
dan kamar mandi WC hingga tempat ibadah yang
memadai. Pasokan listrik yang cukup
karena mana tahu ada kegiatan yang membutuhkan banyak sound system serta
lampu-lampu gemerlap. Kondisi tersebut juga perlu ditunjang dengan catering/
penyediaan konsumsi yang handal. Ah, tampaknya jenis yang ini bisa langsung
kita tinggal saja yach…
Jika tujuannya
“meningkat” menjadi TRAINING tentu
lebih mengacu ke suatu pencapaian obyektif, sehingga fasilitas 'kenyamanan' yang
terbatas pun masih bisa dipergunakan. Justru fasilitas penunjang program
semacam instalasi Ropes Course, aneka game terpasang, ruang akomodasi staff,
akomodasi peserta, gudang alat, ruang P3K, dll. akan sangat membantu proses.
Nah, jika
pertanyaannya dikembangkan lagi menjadi "Kondisi alam terbuka (danau/
gunung/ bukit/ lembah/ laut/ sungai/ hutan/ pegunungan) yang seperti apa yang
bisa kita gunakan untuk proses experiential learning?" makin asyik kan?
Secara
operasional ada 2 jenis pelatihan pengembangan diri berbasis Outdoor, yaitu:
Residential Course & Mobile Course. Residential Course mempergunakan lahan
pelatihan semacam kamp/barak dengan hampir semua aktivitas dilakukan di tempat.
Memang tidak tertutup kemungkinan mempergunakan area tambahan misal untuk
aktivitas orienteering atau bahkan ekspedisi, bila diperlukan. Inti dari sistem
Residential Course adalah proses pembelajaran dilaksanakan di satu lokasi/ area
saja.
Mobile Course
lebih mengandalkan setting alami. Penyelenggaraan pelatihan model mobile ini
sangat memperhatikan faktor lokasi/setting yang sebenarnya kurang menguntungkan
karena banyaknya keterbatasan; namun
justru bisa dijadikan kekuatan utama. Inti dari sistem
Mobile Course adalah proses pembelajaran dilaksanakan berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lain. Proses perpindahan/ pergerakan tersebut juga
merupakan inti proses.
Mari kita
bercontoh. Bagaimana dengan kegiatan “live in?” apakah itu termasuk Residential
Course atau Mobile Course experiential learning? Live in itu kegiatan yang
biasanya dilakukan oleh kalangan pendidikan dimana sekelompok siswa/ mahasiswa
tinggal bersama-sama penduduk desa dalam kurun waktu tertentu. Harapannya,
dalam live in peserta bisa mengambil pembelajaran dari pengalaman berinteraksi
langsung dengan masyarakat. Misalnya nih kita memiliki program Live In untuk anak-anak sekolah asal Kota Tangerang
yang berdurasi 6 hari, berlokasi di
pelosok kecamatan Ngawen, Gunung Kidul, DIY. Tahu kan DIY itu apa? Daerah Istimewa
Yogyakarta. Peserta hanya diberitahu
info secukupnya, lalu diberangkatkan pagi hari bersama-sam.
Hmmm…. program
seperti ini bisa dikategorikan Mobile
Course. Namun bisa jadi program yang sama bersifat Residential bila sebagian
besar proses-proses dinamika live in dilakukan di satu hunian saja di pelosok
Gunung Kidul tadi. Oke, cukup ya contohnya.
Tempat atau
lokasi untuk aktivitas experiential learning selayaknya dipilih berdasarkan atas potensi
tempat tersebut dalam memenuhi tujuan dari program yang akan dilaksanakan dan
objectivitas yang ingin dicapai, bukan berdasarkan atas kebiasaan instruktur
yang menyukai tempat tersebut. Tempat yang terpilih juga idealnya dapat
memberikan daya dukung yang bisa dipakai untuk mengembangkan teknis program dalam
upaya mengembangkan tantangan atau ketertarikan partisipan/ peserta. Dalam
manajemen resiko, General Safety Procedure, dan dalam Siklus Pengelolaan
Kegiatan, poin mengenai pemilihan tempat/lokasi kegiatan sebenarnya tidak
terpisahkan. Jadi menentukan tempat/lokasi dalam beraktifitas sebiknya tetap
memperhatikan prosedur keselamatan yang benar.
Bagaimana teknis
kita mengondisikan alam outdoor yang "liar" menjadi
"terkontrol" sehingga aman untuk proses experiential learning?
Jawaban untuk pertanyaan terakhir ini sebenarnya sudah kita bahas
habis-habisan; jika penasaran, silahkan
buka kembali tulisan perihal Mengelola Resiko Kegiatan di buletin Forum AELI
edisi Bulan Maret 2013. Di sana lengkap tersebut berbagai trik “menjinakkan”
keliaran alam sehingga bisa digunakan secara aman untuk berkegiatan.
Urusan "mengondisikan alam outdoor yang
"liar" menjadi "terkontrol" bukanlah masalah ide atau kreativitas.
Aktivitas/ proses ini sudah merupakan terapan yang harus dilakukan oleh seorang
Fasel yang semestinya sudah memiliki keterampilan mengelola kegiatan di alam
terbuka. Variabel kompetensi ini juga ada di dalam “manajemen resiko.” Sekali
lagi ini bukan masalah "ide," ini adalah mengenai skill. Untuk
mengurai hal tersebut ya kita harus gelar keterampilan baik secara softskiil
maupun hardskillnya. Cerita akan jadi panjang dan kalo hanya dipaparkan melalui
tulisan bisa jadi nanti tidak lengkap, tidak berurut, dan terpenggal-penggal pemahamannya.
Itu bisa berbahaya jika keliru dimaknai, karena prosedur keselamatan semacam
ini terkait dengan keselamatan (nyawa) peserta pembelajaran. Tentu hal yang
absurd dan harus dihindari jika kita membahayakan keselamatan peserta didik
demi tujuan pendidikan/ pelatihan itu sendiri.
Pertanyaan “bagaimana mengondisikan outdoor supaya
pas untuk experiential learning ?” tidak bisa dijawab hanya dengan
berbagi pengalaman disini, karena ini menyangkut pengetahuan & pemahaman yang
luas. Bisa tambah kacau dunia persilatan experiential learning kalau dari
sepenggal sharing/ tulisan ini trus ada yang merasa ngerti, merasa bisa trus
menerapkannya. (Bukankah "merasa bisa" itu juga adalah bibit
kekeliruan yang sudah terlanjur bikin
jadi tambah ribet dunia experiential learning ini? Bisa-bisa nanti trial and
error dianggap sama dengan learning by
doing hehe..).
Teori EL itu
memang kompleks. Jika mencoba menjelaskan satu hal saja, (dengan tulisan pula),
ada resiko gagasan si penulis tak tersampaikan sempurna pada si pembaca. Namun
ada juga resiko berhasil tentunya. Itu sama halnya jika misalnya kita membaca
satu bagian saja dari sebuah proses latihan kepemimpinan selama 4 hari; mungkin
saja paparan itu malah dipahami dalam konteks yang keliru. Kenapa, karena
dinamika tersebut mencakup pengetahuan & pemahaman yang luas, yang mungkin
saja perspektifnya belum dipunyai oleh si pembaca.
Pertanyaan-pertanyaan
tentang “pengelolaan lokasi” seperti di atas tadi hanya bisa dijawab dengan
pemahaman teori dan penerapan experiential learning, juga jangan abaikan "feel"
atau "insting" fasilitator tentang
penetapan layaknya suatu lokasi di lapangan. Jadi kalau yang sudah pernah ikut TOT Basic, lanjutkan dengan
yang Advance dan seterusnya dan
seterusnya. Lalu selesai training dalam
tiap tingkatan usahakan bisa ikut pendampingan dalam beberapa kali pelatihan (ini tantangan untuk para penyelenggara TOT hehe..). Nah dalam
forum TOT itulah yang paling tepat
dilakukan berbagi pengalaman & diskusi tentang lokasi pelatihan. Kalau hanya perpatokan yang
di sini saja, wah bisa keselip itu learning by doing sama trial n error.
Namun mari kita
setidaknya-melalui tulisan-ini coba berbagi tentang pedoman umum memilih lokasi
untuk proses experiential learning. Pedoman khususnya nanti kita buat pengayaan
sendiri, entah melalui buku, ataupun pelatihan. Jadi, kondisi alam terbuka yang
seperti apa yang bisa kita gunakan untuk proses experiential learning?"
Misalnya nih, Klien pengen buat pelatihan 3 hari di perkebunannya, dengan salah satu mata kegiatannya pendakian gunung/ bukit tertentu di dekat areal perkebunan tersebut. Apa yang semestinya kita lakukan?
Misalnya nih, Klien pengen buat pelatihan 3 hari di perkebunannya, dengan salah satu mata kegiatannya pendakian gunung/ bukit tertentu di dekat areal perkebunan tersebut. Apa yang semestinya kita lakukan?
Salah satu syarat
dasar pelatihan experiential learning
outdoor adalah UNFAMILIAR & UNCOMFORTABLE SETTING. Hal ini yang
menjadi salah satu kunci pemilihan lokasi. Program experiential learning itu kalau mau dicapai secara maksimal,
harus bisa menciptakan lingkungan yang ekstrim secara fisik dan sosial, jadi tidak bisa
dimana pun tempatnya. Kalau misalnya dilakukan di tempat rekreasi yang banyak
orang nonton dan banyak yang jualan makanan, wah pada nggak konsen tuh peserta
(juga fasilitatornya). Penerjemahannya adalah bagaimana kita bisa melola dan
menciptakan situasi yang “unique/extreme
physical and social environment?” Penggunaan kata extreme dipakai untuk
mewakili situasi yang berada di luar batas nyaman peserta, dan juga secara sosial. Sebagai contoh, misalnya,
kalau kita ikut program tour wisata
dengan orang-orang yang tidak dikenal,
pasti nggak masalah banget, nggak ekstrim gitu. Tapi kalau programnya ikut
Adventure Training, pasti akan mengalami situasi hubungan sosial yang ekstrim.
Jadi, extreme yang dimaksud tidak selalu
atau cenderung hanya pada lokasi atau area saja, tapi kondisi “extreme” ini
lebih kreatif dan luas lagi pemahamannya. Dikembangkan pada pencapaian objective
dengan pendekatan atau mungkin semacam skenario program. Extreme dalam skenario
program bisa juga situasinya terlihat begitu sederhana dan konyol, tapi ternyata
impact pada pencapaian nilai pembelajarannnya cukup signifikan...
Ada juga aliran
pendapat yang masih mengutamakan pada nilai pembelajaran yang ingin dicapai
dalam sebuah program, baru lokasi bisa lebih efektif ditentukan. Artinya kita
bisa membuat experiential learning dimana saja bahkan di mall, di pasar, atau
di perkampungan ramai, atau bila perlu di stasiun. Berdasarkan pandangan ini,
banyak dan beragam tempat potensial bisa dipakai untuk aktivitas experiential
learning, tinggal bagaimana kretivitas kita membuat sebuah program dengan
pendekatan yang efektif dalam mencapai nilai pembelajaran dari setiap aktvitas
tersebut. Intinya, apa programnya, baru dicari tempat yang sesuai.
Mengenai lokasi
yang ramai, sebagai contoh saja,
Outwardbound New York, pernah bikin orientering dan beraktivitas di keramaian
kota New York. Kalau sekarang bisa kita lihat seperti di acara Amazing Race.
Tapi beberapa contoh tadi tetap dengan catatan, pengkondisiannya tetap
dilakukan di base camp yang tidak
terganggu oleh masyarakat umum.
Jika experiential
learning mengacu ke siklus proses Aksi ,
Refleksi, Mengonsep, dan Rencana Aksi/ aplikasi; tampaknya hampir semua tempat
bisa digunakan untuk Experiential Learning, mengapa? karena experiential
learning adalah metode belajar, bukan kegiatan/ aktivitas. Nah, kalau sudah
begitu, yang bisa membatasi pemilihan tempat adalah pilihan Programnya. Kita
harus tetap mengacu pada kebutuhan nilai pembelajaran yang ingin dicapai oleh
sebuah program.
Pertimbangan
unsur keselamatan bukan hanya bicara prosedur tapi ini juga menyangkut hak yang
harus kita berikan pada setiap peserta/klien kita. Dalam hal ini, provider
pelatihan/ experiential learning berposisi juga sebagai konsultan, karena tidak
semua klien kita juga mengerti tentang faktor keselamatan ini. Sudah
sepantasnyalah kita para fasel (fasilitator experiential learning) yang harus
mengedukasi klien-klien kita atau calon klien kita. Hal ini harus terintegrasi
didalam format kerja dalam setiap kali kita mengelola kegiatan dan khususnya
saat memutuskan untuk memilih tempat aktivitas yang cocok.
Jadi,
mana yang lebih dahulu kita tentukan, lokasi atau programnya?
Ada kalanya kita
mencari/suvey lokasi (yang di alam terbuka, lho) lebih dahulu, baru menentukan
kegiatan apa saja yang bisa dilakukan di lokasi tersebut. Tapi ada kalanya juga
kita membuat programnya lebih dahulu, baru kita mencari lokasi yang tepat untuk menunjang program tersebut. Kadang
kita kesulitan jika berhadapan dengan calon klien. Misalnya mereka menanyakan
program kegiatannya apa; setelah dipresentasikan,
baru mereka bertanya, lokasi pelatihannya di mana. Kalau mereka pikir cocok
dengan ide mereka, aman; tetapi kalau tidak, dan mau lokasi yang lain, wah
belum tentu cocok detil programnya. Jika kita menghadapi situasi semacam ini,
ya, tentunya kita sebagai provider perlu menyiapkan beberapa alternatif
kombinasi, baik program maupun lokasinya.
Untuk kegiatan
dasar di alam terbuka semisal: hiking, canoeing, biking, climbing dll., lokasi
yang paling ideal adalah tempat yang belum tercemar oleh modernisasi. Hayoooo, jaman
sekarang di mana coba ada lokasi yang
kayak gini? Banyak, kok, tapi
aksesnya pasti akan lama/ sulit. Kegiatan kita pun idealnya jangan mengganggu/ terganggu
oleh lingkungan dan tata kehidupan masyarakat sekitar. Kalau bisa, justru kita
harus bisa membantu masyarakat. Waduk Jatiluhur (Purwakarta, Jawa Barat) 23
tahun yang lalu adalah salah satu contoh yang sangat mendekati syarat tersebut. Kalau
sekarang, wah parah deh, meskipun masih bisa dilakukan juga sih berbagai
program experiential learning.
Akhirnya, di
penghujung cerita kita, Pak Stephen R. Covey, (Penulis Buku The 7 Habits of Highly Effective People) ikut meramaikan
wacana. Menurutnya kita harus memulai dari akhir pikiran, alias tujuan, baru
bicara teknis, jadi segala sesuatu bisa menjadi sumber inspirasi dan pendukung
untuk indoor maupun outdoor training, termasuk experiential learning. Tidak perlu mempermasalahkan kucing hitam atau
kucing putih, yang penting bisa menangkap tikus (kalau ini ungkapan Deng
Xiaoping). Atau perlukah kita membandingkan kucing liar sama kucing rumahan
dalam menangkap tikus? Lho, kok malah cerita tentang tikus sih? Konteks si
tikus-tikus tadi dalam cerita kita ini adalah, tidak usah dipermasalahkan
mengenai lokasi/ media belajarnya, yang penting tujuan pembelajaran tercapai.
Tapi, ups tunggu dahulu.
Masalahnya adalah
bisakah kita membuat kucing hitam, kucing putih, kucing liar, atau kucing
rumahan tadi menangkap tikus? Atau pertanyaan yang lebih “hot” lagi, “Jadi apa ada syarat tertentu sehingga
seekor kucing bisa dapat menangkap tikus dengan baik?” Tambah mumet
khan? He he he….
Maka, apa pun
medianya, sebenarnya bisa kita gunakan sebagai sarana/media dalam menyampaikan
materi pembelajaran. Hanya, kalau ada media yang paling tepat yang bisa kita
upayakan, tentu itu lebih baik. Dan harus diingat, cerita tentang media/ lokasi
yang tepat untuk proses experiential learning tentu harus integral dengan program,
metode dan seberapa mumpuni fasel memfasilitasinya. Bisa jadi suatu kombinasi tempat dan program
tertentu bisa dieksekusi dengan baik oleh fasilitator dengan kompetensi A, tapi
menjadi bencana jika kompetensi fasilitatornya E.
Yang jelas, kalau
kita sudah berbicara mengenai lokasi di outdoor (yang murni lho) maka kita akan
mempertimbangkan hingga hal-hal kecil yang akan mempengaruhi tujuan pelatihan. Jika
kembali ke teori yang paling dasar,
peserta harus dibawa dan mampu keluar dari comfort zone, baik dari sisi fisik maupun
sosialnya. Secara Fisik dapat mencakup: lokasi, fasilitas dan aktivitas yang
sangat berbeda dengan kehidupan sehari-hari. Secara sosial, berarti hubungan yang
unik antara peserta, instruktur dan lingkungan melalui program yang sesuai.
Pesan
terakhir, boleh-boleh saja divariasikan dengan “dimana pun tempatnya, apa pun
programnya.” Tinggal mari kita persepsikan sendiri, apakah dengan itu tujuan
pelatihan di Outdoor sudah dapat dicapai secara Optimal dan Maksimal? Mari kita
renungkan bersama, Dan terakhir sekali, kucing hitam mengucapkan, “Meooongggg…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar