Prinsip
Nah, setelah tahu empat hal yang saling terkait dalam proses pengambilan adegan outbound tadi, kini kita beranjak pada 2 prinsip audiovisual yang mampu menunjang proses refleksi dan pemaknaan:
1. Penayangan foto dan film merupakan sarana pembantu fasilitator untuk membawakan refleksid dan pemaknaan, jadi bukan menu utama acara. Maka, Komposisi antara waktu penayangan dan waktu refleksi-pemaknaan hendaklah proporsional.
2. Tayangkan adegan tiap permainan, sehingga dapat memberi gambaran suatu proses. Hendaklah menghindari hanya menayangkan adegan yang seru-seru saja tapi kurang menggambarkan dengan konteks permainan secara keseluruhan. Tayangan yang baik mencakup:
· Proses perjuangan suatu peserta/ kelompok dalam menyelesaikan tantangan, (ini pasti selalu ada)
· Pengalaman kegagalan penyelesaian suatu dinamika (jika ada)
· Pengalaman keberhasilan (langsung) dalam penyelesaian dinamika, (jika ada)
· Pengalaman perjuangan, gagal, lalu berhasil dalam suatu proses.
Kemungkinan besar, rangkaian pengalaman tadi tidak bisa diperoleh dari satu kelompok saja, jadi nggak masalah jika misalnya pengalaman perjuangan diambil dari kelompok A, pengalaman gagal dari kelompok C, dan pengalaman berhasil dari kelompok E. Namun bisa saja ketemu adegan yang memperlihatkan satu kelompok mengalami kegagalan berulang kali, namun akhirnya berkat perjuangan dan perubahan strategi bisa berhasil menyelesaikan tugas. Macem-macem deh variasinya, yang jelas apa pun yang ditampilkan hendaknya membantu peserta masuk ke pemaknaan secara efektif.
Berburu Adegan
Nah, berdasar 2 prinsip tadi, gimana tips saat kita berburu foto/ film yang pas? Oh ya, saya lebih sering menggunakan film untuk proses, sedangkan foto untuk dokumentasi saja.
- Semaksimal mungkin merekam contoh pengalaman berjuang, gagal, dan berhasil dalam suatu permainan, walau tidak dilakukan satu kelompok.
- Terus rekam sesering mungkin, karena kadang kita menemukan hal seru/ lucu/ hebat tanpa terencana.
- Tetap ingat, bikin semerata mungkin tiap pos dalam tiap kesempatan, namun jangan kelewat lincah. Misalnya di satu pos belum ketemu adegan kunci, sudah loncat ke pos berikutnya, baru rekam 10 detik, pindah lagi ke pos yang lain, bengong nunggu adegan yang diprediksi akan seru, eh ketika adegan itu berlalu malah tidak terekam, lalu loncat lagi ke pos yang lain, ngrekam hal yang nggak perlu, lalu sigap pindah ke pos pertama tadi dengan harapan dapat momen kunci, eee ternyata di sana sudah selesai.
- Jika ada keterbatasan kapasitas memori kamera, jangan ragu menghapus file film yang dianggap kurang afdol atu tidak signifikan. Di awal menggunakan metode ini, saya agak sayang membuang file, namun ketika ditega-tegakan, toh semua malah jadi lebih ringkas. Namun jangan terlalu semangat menghapus file sehingga malah kekurangan stok, padahal di akhir proses masis tersisa banyak kapasitas memori, itu konyol namanya
- Selalu cek, berapa kapasitas memori tersisa untuk diperhitungkan dengan rekaman seluruh proses.
- Ingat waktu yang tersedia untuk proses transfer, edit, dan penyusunannya. Jika waktu yang ada mepet, kita juga harus disiplin waktu. Jangan sampai kita lupa waktu, sehingga (memang kita dapat banyak adegan bagus (juga yang ngak bagus), namun) waktu untuk transfer jadi lama, atau malah sudah waktunya refleksi dan pemaknaan, kita masih sibuk transfer. Kembali ke kisah saya dulu, ketika akan membuat refleksi audio visual untuk 5 kelompok yang bermain dalam 5 sesi untuk 5 permainan, sedangkan waktu jeda hanya 15 menit. Strategi saya, cukup berburu adegan pada sesi ke-1 sampai ke-4, sedangkan ketika peserta main di sesi ke-5, saya sudah transfer file ke laptop. Ketika peserta selesai outbound dan istirahat 15 menit, saya lagi proses pilih dan susun file. Ketika peserta masuk ruangan untuk proses refleksi dan pemaknaan, sudah siaplah saya untuk membawakannya. Pengorbanannya yach makan snack dan istirahat sambil nunggu transfer file. Hasrat untuk melihat seluruh proses outbound sampai akhir (5 sesi) tak perlu dituruti karena kita juga melakukan hal yang justru signifikan bagi peserta, jadi ndak perlu ditangisi.
Transfer File
Itu tadi beberapa tips saat berburu film. Setelah itu apa? Yha segera ditransfer. Ini dia beberapa kelakuan saya ketika proses transfer:
1. Transfer file dari kamera ke komputer/ laptop. Bisa langsung dari kartu memori, atau dari kamera menggunakan kabel data. Semuanya ditransfer tanpa pilih-pilih supaya proses lebih cepat.
2. Pisahkan mana file foto dan file film, lalu buatkan subfolder yang membedakannya.
3. Lihat tampilan file film (dengan thumbnails) lalu rubah sesuai nama dinamika. Misalnya pilih mana yang adegan di rakit, pilih klik, klik, klik, lalu rename dengan nama “rakit” maka nanti akan berubah jadi rakit, rakit 1, rakit 2, rakit 3 dan seterusnya.
4. Setelah semua file berganti nama, kelompokkan, mana yang file rakit diurutkan, file flying fox juga diurutkan, file pipa bocor juga sama nasibnya, dan seterusnya.
5. Kini lihat filmnya per permainan, lalu atur posisi mana yang ditayangkan lebih dahulu; masih ingat prinsip urutannya? Yah, pengalaman berjuang, gagal, dan diakhiri pengalaman berhasil. Kalo pengalaman lucu gimana? Wah itu relatif, ndak perlu dikhususkan karena kadang ada di sesi perjuangan, gagal, maupun berhasil. Mungkin setelah diurutkan akan jadi berturut-turut yang akan ditayangkan adalah file rakit 3, rakit 5, rakit 6, lalu rakit 1. Lho rakit 2 dan rakit 4 kemana? tidak ditayangkan karena relatif sudah terwakili oleh adegan yang lain. Jangan ragu untuk meninggalkannya, daripada jika ditampilkan semua malah bikin bosen.
6. Saat melihat kombinasi urutan adegan, kita buat catatan khusus untuk petunjuk saat “show” nanti. Catatan itu berisi hal-hal menarik selama durasi suatu film berlangsung; kurang lebih contoh isinya begini.
· Rakit 3 (00.33 menit), penjelasan, menit ke 00.09 ada yang pilih pelampung terlalu kecil.
· Rakit 5 (01.12 menit), proses naik rakit dan takut-takut masuk kolam; 00.40 ada yang kecebur, lucu; 00.56 kecebur lagi
· Rakit 6 (03.55) upaya mengarungi kolam, 01.22 ada peserta bertengkar di atas rakit; 02.08 yang tadi bertengkar sudah akur dan kompak; potong/ hentikan di 03.05 karena stl itu biasa-biasa saja.
· Rakit 1 (01.28) 00.19 ada yang kecebur saat ambil bendera, 00.45 bisa menyelesaikan target; 01.20 waktu permainan selesai, kelompok melebihi target dan berhasil ambil bonus lalu seluruh anggota tim kegirangan
Saya memang tidak menulis rapi dg format seperti itu, namun dengan kode grafis, garis, angka, dan kadang sketsa; namun intinya seperti tadi. Yang penting kita tahu (karena sudah melihat dan bikin catatan) adegan apa yang akan kita tayangkan nanti, temasuk pada detik ke berapa kita akan mengulang-ulang adegan yang seru/ lucu atau mengharukan/ membanggakan.
7. Setelah semua file terpilih disusun dan catatan kita selesai. Pindahkan file tersebut dalam media pemutar (media player/ winamp/ nero/ lainnya). Jika ada beberapa dinamika yang punya adegan lucu/ seru biasanya saya pisah sehingga ada yang lucu di awal, tengah, dan akhir; mengapa? Lucu di awal akan menarik perhatian peserta sehingga mau mengikuti proses dengan antusias dan penasaran (ada lucu-lucu apalagi nanti?) lucu di tengah untuk menjaga antusiasme sekaligus menjawab kepenasaranan peserta, dan lucu di akhir demikian juga. Namun tetap ingat lho, kita bukan nonton film lucu-lucuan atau film adegan konyol, tapi lagi refleksi dan pemaknaan suatu permainan dalam outbound.
8. Cobalah mainkan beberapa file yang sudah dirangkai dalam media pemutar tersebut sehingga kita tidak kagok dalam aplikasinya. Pelajari bagaimana perpindahan antar file, otomatis kah atau perlu di “klik,” juga gimana jika mau mengulang (-ulang) suatu adegan. Percobaan akan lebih afdol lagi jika komputer/ laptop kita sudah dirangkaikan dengan mesin proyektor dan pengeras suara. Cari setelan pengaturan yang paling pas dalam tampilan (visual) maupun volume suara (audio), pokoke coba-coba deh, istilah kerennya gladi bersih gitu loh. Ketika proses ini sudah kita lalui, maka semestinya kita siap untuk memfasilitasi proses refleksi dan pemaknaan.
Eksekusi
Hal terakhir kini saat eksekusi proses refleksi dan pemaknaan. Intinya ya, lakukan pemutaran foto/ film sesuai catatan yang sudah kita buat. Ketika sudah cerita tentang teknis refleksi-pemaknaan, memang berkait erat dengan gaya seorang fasilitator dalam membawakannya. Mungkin ada yang minimalis, ketika sudah ditayangkan suatu film cuma bertanya, “Ayoooo, apa makna yang bisa kita ambil dari permainan tadi?” wah kalo model itu sebaiknya Berikut ini tips yang biasa saya lakukan;
- Tiap dinamika/ permainan tuntaskan satu atau beberapa makna, baru berpindah ke permainan lainnya.
- Dalam tiap dinamika, putar dahulu tayangan; hentikan/ pause pada adegan yang menarik/ kontekstual dengan refleksi/ pemaknaan. Sementara film diam, kita gantian ngomong atau ngajak peserta diskusi/ tanya jawab. Setelah itu putar lanjutkan kembali adegan, stop lagi pada bagian yang mendukung refleksi/ pemaknaan. Begitu seterusnya dengan tetap mengingat, jangan sampai terlalu banyak stopnya cukup 2-5 kali saja tiap permainan. Sebisa mungkin hindari kita ngomong ketika film masih diputar karena suara kita menjadi nggak terdengar jelas, dan lebih penting lagi, peserta bisa bingung, mau ndengerin kita atau mau dengerin film.
- Bagus juga jika sesekali kita stop pada tayangan yang memperlihatkan (close up) ekspresi atau bahasa tubuh satu atau beberapa orang ketika bermain, misal ekspresi khawatir, senang, takut, penasaran, menahan beban, ngotot, dan sebagainya. Hal itu dipadu dengan penjelasan betapa suatu dinamika dapat membuat seseorang begitu emosional, ekspresif dan sungguh-sungguh dalam menjalankannya.
Secara teknis, cukup itu saja yang perlu kita lakukan, selebihnya serahkan pada kompetensi fasilitator. Dengan materi audio-visual yang sama, saya yakin fasilitator yang berbeda dapat memfasilitasi proses refleksi dan pemaknaan secara lain pula, terutama pada tingkat kedalaman dan efektifitas pemaknaan permainan. Namun berdasarkan pengalaman, materi audio-visual ini akan sangat membantu kita dalam memberikan pemaknaan, terutama bagi para fasilitator pemula.
Kisah Penutup
Sebagai penutup, saya ceritakan sebuah kisah lain tentang refleksi-pemaknaan audio visual, yang bikin repot. Alkisah karena keterbatasan fasilitator, maka saya sebagai seorang yang berperan membawakan tahap refleksi dan pemaknaan, turut juga menjadi instruktur permainan di salah satu pos kegiatan outbound. Seperti biasa, saya menenteng kamera, walaupun sebenarnya sudah ada petugas khusus dokumentasi yang mengambil foto dan film menggunakan handycam. Untunglah pada sesi kedua, sudah ada fasilitator yang menggantikan saya di pos. Singkat cerita, saya sempat mengambil film untuk beberapa permainan, sementara si seksi dokumentasi juga tak kalah banyak mengambil foto dan film.
Saya sejak awal memang sudah minta pada seksi dokumentasi untuk bisa mentransfer potongan film dalam laptop panitia, namun saya curiga dia tidak begitu paham apa yang saya maksud. Ketika masa refleksi yang hanya diberi jeda setengah jam dari proses outbound, belum semua proses ideal persiapan refleksi audio-visual saya lakukan. Lebih parah lagi, saya mesti menggunakan dua buah laptop dalam membawakannya. Kenapa? Ternyata film dari handycam belum bisa/ sempat ditransfer ke laptop sehingga laptop masih harus disambungkan dengan handycam untuk melihat hasilnya. Diperparah kenyatan bahwa semua film di handycam itu sambung menyambung, walau pengambilannya terputus-putus. Laptop kedua untuk menampilkan film yang sudah berhasil saya transfer dari kamera saya. Saya “terpaksa” menampilkan film dari handycam karena ada beberapa adegan di sana yang lebih pas untuk proses refleksi, dibandingkan film yang tadi saya buat dengan kamera.
Repot, itulah yang terjadi. Ketika berpindah dari laptop kamera ke laptop handycam, mesti juga pindah saluran ke LCD proyektor, juga ke pengeras suaranya. Belum lagi saya sebenarnya hanya ingin menampilkan total sekitar 2 menit saja adegan dari handycam, sementara ada 50an menit film terekam di dalamnya. Toh akhirnya walau dengan agak termehek-mehek usai juga proses refleksi dan pemaknaan. Dalam hati saya bertekad, biarlah ini menjadi pengalamn pertama dan terakhir direpotkan karena peralatan.
Itulah beberapa hal yang bisa saya bagikan terkait persiapan rtrefleksi outboiund secara audio visual. Ingat, foto dan film hanya sebagai sarana, jembatan, bukan tujuan akhir. Materi foto dan film yang dipersiapkan dengan matang, dikombinasikan dengan kemumpunian fasilitator membawakan proses, akan membuat dinamika dan permainan dalam outbound menemukan nilai manfaatnya.
Usai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar