Dalam 3 minggu terakhir, saya sudah menempuh petualangan yang luar biasa; dalam waktu 10 hari, jarak yang diarungi lebih dari 2 ribu kilometer, waktu perjalanan darat 80an jam. Hitungan itu hanya dalam 3 kegiatan pendampingan outbound dan 1 survey lokasi. Selain itu, masih ada 2 pendampingan outbound di dalam kota yang energinya saja ikut diperhitungkan, namun waktu dan jarak tempuhnya relatif singkat. Belum lagi nanti sore selama 3 hari masih mendampingi satu kegiatan seleksi karyawan bank melalui metode outbound. 3 hari lagi disambung perjalanan ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan experiential learning (untunglah yang ini naik pesawat). Eh, satu lagi kegiatan yang saya pilih tidak ikuti karena waktu yang bersamaan, itu juga keluar dari kota Palembang sejauh 8 jam perlanan darat. Hmmmmm.
Apa maksud saya mengungkap rahasia ini, cieeee…. Bukan ingin dianggap orang yang hebat, justru kalau orang hebat mestinya bisa jalan udara alih-alih jalan darat lebih dari 8 jam. Namun jika dipandang rela naik bus selama 10 jam-an itu sebagai perwujudan orang hebat, yha boleh-boleh saja. Hal yang mau saya bagikan adalah tentang kebugaran fisik dan proses aksi-refleksi pribadi terhadap segala kegiatan tadi. Yuk kita masuki satu persatu.
Dalam bulan November dan Desember memang banyak kelompok-kelompok yang ingin didampingai dalam kegiatan outbound atau semacamnya. Entah karena “menghabiskan” anggaran kantor/ perusahaan, atau bertepatan dengan acara tutup tahun dengan evaluasinya. Saya yang bergerak sebagai penggiat outbound mendapat beberapa kepercayaan untuk menyelenggarakan atau pun sekedar mendampingi kegiatan-kegiatan tersebut (yang sebagian bertempat di lokasi yang jauuuuuhhhh dari Palembang tempat tinggal saya). Sebagai seorang dosen maka saya harus mengatur kembali waktu untuk mengajar dan mendampingi kegiatan outbound, dan untunglah itu bukan jadi kendala.
Menyelenggarakan kegiatan outbound mesti dilihat sejak suatu ide/ tema dipikirkan, lalu didiskusikan, dirumuskan, dan dieksekusi dalam pelaksanaan. Bisa jadi pelaksanaan hanya 1 atau 2 hari saja, namun tentu sebelum itu ada persiapan-persiapan yang harus dilakukan. Masih beruntung segala persiapan tadi dapat dilakukan dengan efektif, walau sebagian dilakukan via telepon. Efektivitas tersebut juga ditunjang faktor kebiasaaan, artinya karena sudah beberapa kali melakukan kegiatan serupa, maka tim kami dapat melakukan koordinasi pada hal-hal prinsip saja.
Nah, urusan menarik kini justru berpusat pada bagaimana saya menyikapi segala kepadatan acara tersebut, khususnya bagaimana menjaga kebugaran badan. Mengapa urusan fisik dan kesehatan menjadi penting? Gimana nggak penting jika misalnya kita sudah menyepakati suatu pendampingan outbound, lalu tiba-tiba sehari menjelang beraksi kita teler karena sakit. Konyolnya lagi jika sakit itu akibat kita kurang pandai menjaga kesehatan ketika beraktivitas pada pendampingan outbound (beberapa hari) sebelumnya. Intinya, ketika kita sudah tahu jadwal kegiatan kita dengan segala konsekuensi waktu, jarak, dan energi yang diperlukan, maka seyogyanya kita juga bisa mengatur ritme tubuh kita sehingga dapat selalu maksimal dalam menjalaninya.
Saya pernah menyaksikan sendiri, seorang teman yang sedang presentasi suatu materi, tiba-tiba berhenti, matanya berkunang-kunang dan badannya sempoyongan nyaris tumbang. Sontak presentasi terhenti karena si presenter perlu duduk ditenangkan, diberi minum, diurut, dan sebagainya supaya tidak pingsan. Alhasil presentasi terhenti. Nah ternyata setelah diselidiki, teman tersebut sebelumnya begadang dan mungkin memang kebiasaan dia suka begadang. Ditambah lagi hobinya merokok yang tak kunjung henti. Mungkin saat itu hari sial bagi dia, saat energinya diperlukan untuk mempresentasikan sesuatu, eeee malah KO, tragis khan.
Berkaca dari satu kejadian itu, maka saya mencoba bisa menjaga kesehatan supaya dapat selalu sehat dalam berbagai kegiatan, khususnya kegiatan outbound yang memang membutuhkan fisik prima dalam tiap menitnya. Kesehatan dapat ditinjau dari 2 aspek, yaitu kesehatan mental dan fisik. Tanpa banyak berteori, saya cerita saja apa maksudnya.
Mental yang waras, membuat kita memandang bahwa segala kepadatan jadwal pendampingan bukanlah suatu beban. Toh sebenarnya kita punya kuasa untuk menerima atau pun menolak tawaran suatu kegiatan. Ketika kita sudah menerima artinya kita siap dengan segala konsekuensi dan resikonya. Jika berpikir nggak sanggup (mungkin terkait waktu, jarak, dan energi) yha ditolak dong, jangan memaksanakn diri diterima. Lucu sebenarnya jika kita belum apa-apa sudah merasa sangaaaat tertekan dengan jadwal yang kita buat sendiri. Menjadi nggak lucu lagi jika itu membuat semangat kita loyo (sebelum pelaksanaan) yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketahanan fisik kita. Gimana fisik nggak terpengaruh, jika selama persiapan maupun pelaksanaan, yang ada di kepala kita hanya bergaung negativitas: beban, berat, jauh, lama, sulit, tegang, repot, padat, capek, pening, dan sebagainya.
Salah satu trik jitu untuk menyingkirkan segala negativitas itu adalah berpikir cerdas untuk mempersiapkan dan melaksanakan suatu kegiatan pendampingan outbound (atau kegiatan pengembangan diri lainnya) secara efektif dan efisien. Efektif artinya materi, metode, maupun pilihan permainan/ dinamika dipilih sedemikian rupa sehingga tepat sasaran, tidak bertele-tele. Efisien artinya melaksanakan segala rencana kita tadi dengan energi secukupnya. Hal ini memang tidak datang dengan tiba-tiba, namun dapat dilatih dan akan terasah seiring frekuensi kekerapan kegiatan kita.
Dulu, 5 tahun lalu, untuk menyelenggarakan kegiatan serupa, saya sampai harus pulang-pergi naik kereta api, survey selama 2 hari dan diskusi intens dengan tim lokal hampir seharian untuk mematangkan rencana sesuai konsep. Untuk mengonsep kegiatan selama 3 hari pun diperlukan waktu 1 bulanan dengan porsi perdebatan yang lebih banyak. Namun kini ketika ada permintaan sejenis, tim cukup berbagi peran saja, ketemu sekali untuk koordinasi, langsung berangkat. Koordinasi dengan tim lokal hanya melalui telepon, demikian juga untuk ngurus transportasi, konsumsi, dan akomodasinya. Segala efektivitas tadi akan membuat kita ringan dalam bertindak sehingga energi kita tidak tersedot habis dalam urusan teknis, namun dapat lebih dicurahkan untuk proses pendampingannya itu sendiri.
Masih tentang urusan mental, saya memandang segala “kesibukkan” pendampingan haruslah menghasilkan suatu refleksi yang inspiratif. Contoh nyatanya adalah tulisan ini. Saya sempat menggugat diri sendiri ketika kebiasaan menulis jadi tersendat karena berbagai aktivitas, terutama ke luar kota. Sebenarnya, banyaknya petualangan pendampingan malah menjadi bahan baku tulisan yang lebih variatif. Akan sangat sayang sekali jika segala pengalaman pendampingan outbound kita, baik secara teknis maupun materi tidak terdokumentasi, minimal evaluasinya. Bagi saya, tinjauan kegiatan dalam rupa tulisan akan membantu untuk menyelenggarakan kegiatan sejenis dengan lebih baik lagi. Maka jangan heran jika 2 buku outbound saya didominasi kisah-kisah nyata refleksi kegiatan pendampingan outbound.
Ketika kita memandang banyaknya aktivitas justru akan memperkaya (perbendaharan materi, metode dan operasional) kita, maka kita akan mempersiapkan dan melaksanakannya dengan suka hati, bukan malah jadi beban. Memang tidak tiap orang punya talenta (berusaha mau) menulis, walau kalau mau dilatih pasti bisa. Menulis adalah salah satu bentuk refleksi kita terhadap kegiatan dan pengalaman yang sudah kita lakukan. Lebih penting lagi adalah semangat mengembangkan diri sendiri. Dalam pendampingan outbound, kita dituntut mengembangkan orang lain melalui experiential learning, masak kita sebagai fasilitator tidak tergerak untuk mengembangkan diri? khan konyol itu. Bagi saya salah satu wujud pengembangan diri yha melalui tulisan reflektif tentang kegiatan yang baru saja dieksekusi; baik aspek kekurangberhasilan maupun kesuksesannya.
Nah, sekarang waktu untuk meninjau hal-hal kesehatan badan.
Segala gagasan cerdas, konsep yang menarik, permainan yang menantang, juga dinamika-dinamika atraktif hanya akan maksimal dieksekusi oleh fasilitator yang juga secara fisik sehat. Masih ingat cerita teman saya yang sempoyongan ketika presentasi suatu materi? Nah, tentu kita ingin menghindari kejadian konyol semacam itu dalam suatu kegiatan pendampingan pelatihan pengembangan diri.
Salah satu hal penting yang diperlukan peserta dalam kegiatan outbound adalah antusiasme fasilitator/ instruktur. Sebagus apa pun materi yang hendak disampaikan, jika fasilitator tidak antusias, maka hasilnya juga kurang maksimal diterima peserta. Selain kewarasan mindset, kebugaran atau kesehatan si fasilitator berperan penting dalam proses keantusiasmean suatu pelatihan. Pilihan logisnya adalah bagaimana kita dapat selalu menjaga kesehatan supaya dalam tiap sesi/ pendampingan dapat tampil segar dan mampu menyegarkan peserta. Ingat, peserta pelatihan berhak mendapatkan yang terbaik dalam tiap jam kegiatan yang diikutinya.
Jika pernah membaca konsep 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif ala Stephen Covey, maka ada kebiasaan ketujuh yang cocok dengan urusan menjaga kesehatan. Kebiasaan itu disebut “asah gergaji” yang rumusan sederhananya adalah bagaimana kita selalu memperkaya diri dengan segala pengetahuan yang relevan, serta bagaimana kita menjaga kesehatan kita sehingga dapat selalu melaksanakan kegiatan (kebiasaan-kebiasaan lain) dengan konsisten. Bagi saya, kebiasaan ketujuh itu sangat masuk akal; ibarat penggergaji kayu yang secara rutin mengasah gergajinya, maka dia kan dapat selalu memotong/ menggergaji kayu dengan hasil maksimal. Apa jadinya jika si penggergaji membiarkan gergajinya tumpul hari demi hari? Pasti akhirnya dia stress karena kian hari aktivitas menggergajinya dipikir makin berat dan susah. Padahal jika dia mau menyempatkan diri rutin mengasah gergajinya, urusan akan jauh lebih mudah.
Lalu sekarang, bagaimana cara menjaga kebugaran dan kesehatan? Wah sebenarnya ini kiat-kiat yang sangat umum; mungkin saking umumnya malah kerap diabaikan. Merasa hebat dengan aktivitas yang bejibun, maka mengurus kesehatan diri menjadi prioritas papan bawah, wah ironis itu. Sebenarnya gampang kok. Olahragalah dengan teratur, itu salah satu yang pokok. Terkait dengan segala perencanaan kegiatan kita, jangan paksakan kita begadang, lembur untuk mengerjakan suatu tugas. Ingat, jangan-jangan kita merasa sah untuk begadang karena berpikir kerjaan/ tugas belum selesai. Jangan-jangan lagi, tugas belum selesai karena kita belum tahu mengerjakannya dengan efektif dan efisien. Jika itu yang terjadi, maka cari tahulah gimana cara yang lebih cerdas dalam bekerja.
Kiat lain menjaga kebugaran adalah mengonsumsi makanan yang bergizi secara teratur. Mungkin sering kita jumpai kepadatan acara membuat kita makan seadanya dengan jadwal yang tertunda-tunda. Atau sebaliknya kelewat sering mengonsumsi makanan berkolesterol tinggi, maklum, kadang sebagai seorang fasilitator/ pembicara mendapat jatah makanan yang (dipandang) enak-enak, walau sebenarnya jika dikonsumsi secara berlebihan berpotensi mengganggu kesehatan.
Satu lagi pesan saya untuk menjaga kesehatan adalah hindari merokok. Satu hal yang pasti, merokok itu tidak baik bagi kesehatan; saya tidak akan memperjelas itu. Hal lainnya tentang himbauan tidak merokok bagi fasilitator adalah urusan role model atau pencontohan. Pendamping/ fasilitator outbound termasuk pembicara juga trainer akan menjadi seorang model yang kerap dicontoh oleh peserta pelatihan. Ketika seorang fasilitator/ pendamping dengan santainya merokok (di antara/ di depan peserta pula) maka itu sama saja mengampanyekan, “Wahai peserta, merokoklah, seperti saya.” Jika belum bisa menghentikan kebiasaan buruk itu, minimal merokoklah tanpa diketahui peserta.
Wah, sudah lumayan panjang nih oleh-oleh saya dari kepadatan acara 3 minggu terakhir ini. Semoga hasil refleksi ini dapat menginspirasi teman-teman lain menuju fasilitator atau pendamping kegiatan pengembangan diri secara lebih cerdas, dan sehat tentunya.
Agustinus Susanta, Palembang, 10 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar