Naskah “Pendidikan Berbasis Petualangan” ini adalah materi LOMBA MENULIS ESAI HUT
KANISIUS KE-95 TEMA: “Menggagas Pendidikan untuk Indonesia,” yang diadakan oleh PT Kanisius pada Desember 2016. Namun janji pengumuman pada Januari 2017 malah nggak ada kabarnya, bahkan kelanjutan tentang lomba ini pun lenyap. Maka saya berinisiatif memuat tulisan ini dalam blog, persis pada Hari Pendidikan Nasional tahun 2017 ini. Yaaa... daripada mendem nggak jelas di Kanisius, semoga tulisan ini bisa menginspirasi kita bersama bahwa pendidikan yang berkualitas namun seru dan asyik bisa kita kelola berbasiskan permainan atau petualangan.
Sinopsis
Pendidikan Pengalaman, atau dikenal dengan experiential learning, atau disebut
secara populer sebagai outbound
merupakan metode pembelajaran yang sudah berusia lebih dari 1 abad, dimulai
oleh Baden Powell dengan gerakan Kepanduannya. Metode pendidikan ini berkembang
melintas jaman dan waktu sampai akhirnya sampai ke Indonesia pada awal tahun
1990an.
Metode Pendidikan Pengalaman memunyai banyak
pendekatan keilmuan karena sudah dikembangkan sejak lama oleh berbagai
kalangan, terutapa pendidik. Basis Pendidikan Pengalaman adalah menggabungkan
unsur fisik, emosi, dan intelektual peserta didik. 4 tahap Pendidikan Pengalaman adalah mengalami, merefleksikan, mengambil
makna, serta menerapkan. Ada 4 sifat Pendidikan Pengalaman, yaitu rekreatif,
edukatif, developmental, dan terapi.
Pendidikan Pengalaman fleksibel diterapkan pada
berbagai kalangan karena lebih menyenangkan dan memunyai perbedaan dengan pola
pendidikan tradisional. Indonesia pun sudah memunyai asosiasi profesi yang
mewadahi olah pikir para pegiat experiential learning. Pemerintah pun mendukung
peningkatan kompetensi para fasilitator experiential learning/ Pendidikan
Pengalaman dengan menerbitkan sertifikasi.
Indonesia memerlukan terobosan sistem
pendidikan yang efektif menunjang kebijakan saat ini, terutama untuk
pengembangan karakter manusianya. Pendidikan Pengalaman, experiential learning,
atau outbound adalah pilihan yang
efektif; hal tersebut dijelaskan dengan beberapa alasan yang relevan.
Pendidikan Berbasis
Petualangan
Manusia adalah “Homo Ludens” atau mahkluk
bermain. Tak akan pernah lekang semangat bermain dalam diri manusia, pun secara
umur, dia sudah menginjak dewasa, bahkan lanjut usia. Bermain selalu menawarkan
kegembiraan dan gairah yang membuncah, ditingkah sedikit misteri, siapa
pememang dari permainan tersebut.
Ya, sebagai homo ludens, peluang metode
“bermain” jauh lebih besar digunakan untuk mendidik/ mengembangkan karakter
seseorang daripada sekedar “belajar” secara formal. Apakah kita bisa menggunakan
metode bermain untuk mengembangkan karakter seseorang? Bisa, asal permainan tersebut
dilakukan dengan serius, dalam arti kita tahu metodenya. Catatan ini akan
memberi penegasan bahwa ada metode, yang sungguh tepat diterapkan untuk
mengembangkan karakter, yaitu experiential
learning.
Perkembangan Metode “Pendidikan berbasis Petualangan”
Ketika istilah permainan lalu diluaskan menjadi
sebuah “experience” atau pengalaman, maka ternyata ada metode yang memang sudah
berkembang sejak awal abad ke-20; yaitu metode experiential learning; atau belajar melalui pengalaman, atau
pendidikan pengalaman Metode ini mulai dikenal sejak tahun 1907, saat Baden
Powell, mengadakan Perkemahan Kepanduan pertama di Brownsea Island, Inggris. Kegiatan yang sebagian besar diisi dengan berbagai
“permainan” tersebut bertujuan
membentuk karakter pemuda supaya kuat, ulet, berwaswasan, ksatria, mampu bertahan di alam, dan berjiwa
patriot.
Pada era Perang Dunia II, Kurt Hahn dan Sir Lawrence Holt
melakukan pelatihan selama 28 hari untuk menggembleng fisik, intelektual, dan
emosi pelaut muda Inggris menghadapi pelayaran niaga yang tak luput dari
gempuran kapal selam Jerman. Saat itu banyak pelaut muda Inggris yang mati di
lautan akibat kurang mempunyai jiwa survival saat terjebak dalam kekacauan
perang. Materi utama pelatihan yang
dikenal dengan nama Outward Bound tersebut adalah: kerjasama, keterbukaan,
percaya diri dan saling
bantu, serta prinsip navigasi dan perkapalan. Ternyata metode tersebut dianggap
berhasil, sehingga Kurt Hahn mendirikan sekolah kedua yaitu Gordonstoun School.
Nama “Outward Bound” pun dalam perkembangannya menjadi sebuah merek dagang pelatihan
pengembangan karakter.
Pada tahun 1938, John Dewey
menerbitkan buku “Experience and Education” yang terinspirasi oleh metode
pendidikan Kurt Hahn. Dewey berpendapat bahwa siswa perlu mendapat keseimbangan
nilai, antara “kegiatan yang menantang sebagai pembentuk karakter” dengan
kegiatan akademis. Ia meyakini bahwa pendidikan sejati terbentuk melalui
pengalaman.
Pada tahun 1962, Josh Miner,
seorang Amerika yang pernah berkarya di
Gordontoun School mendirikan Outward Bound School di Colorado, AS.
Setelah momen ini, Outward Bound School akhirnya lebih cepat menyebar ke
berbagai belahan dunia. Metode yang diusung tetap sama, yaitu model Kurt Hahn yang menekankan
pengalaman petualangan/ tantangan.
Pada 1967, David Kolb, menggagas Experiential Based Learning System. Kolb
merilis 4 tahapan experiential learning yang paling banyak dirujuk, yaitu: Concrete Experience, Reflective
Observation, Abstrac Conceptualization, dan Active Experimentation. Gagasan dasarnya adalah bahwa
seseorang bisa belajar melalui pengalaman.
Sejarah pendidikan melalui petualangan masuk ke
Indonesia pada tahun 1990, ketika Outward Bound Indonesia berdiri di tepian Waduk Jatiluhur Purwakarta, Jawa Barat. Ini adalah
lembaga yang rintisannya dibuat oleh Kurt hahn pada tahun 1914. Pada
tahun-tahun pertama, hanya perusahaan-perusahaan kelas “atas” di Indonesia yang
bisa mengikutkan karyawannya dalam pelatihan di tempat ini.
Selepas pertengahan tahun 90an, mulai bermunculan berbagai
penyelenggara pelatihan/ provider yang mengusung model pelatihan yang bernuansa
petuangan/ permainan/ simulasi, terutama di luar ruangan. Penamaannya pun
beragam, termasuk yang sangat populer adalah Outbound. yang
merupakan perkembangan penyebutan dari “outward bound.” Outbound secara populer
menggambarkan sebuah proses pelatihan di luar ruangan yang disisipi makna-makna
tertentu dalam refleksinya. Istilah outbound sendiri sebenarnya serapan dari
dunia pariwisata yang berarti bepergian ke luar negeri. Pun istilah experiential learning sampai saat ini
belum menemukan padanan yang tepat dalam Bahasa Indonesia, selain “Pendidikan
(melalui) Pengalaman.”
Pada tahun 2002, Prof.
Djamaluddin Ancok menulis buku “Outbound Management Training; Aplikasi Ilmu Perilaku dalam Pengembanan
Sumber Daya Manusia.”
Penerbitan buku ini seakan-akan menjadi “pengesahan” bahwa ada metode
pendidikan/ pelatihan yang bernama outbound.
Pada tahun 2007, Berdiri AELI/
Asosiasi Experiential Learning Indonesia atas keprihatinan bahwa mulai banyak
ditemukan persaingan kurang sehat antar penyelenggara kegiatan “outbound,”
kecelakaan dalam proses pelatihan juga meningkat, serta mulai ditinggalkannya
kaidah pendidikan dalam pelatihan-pelatihan luar ruangan. AELI menjadi wadah
dan mitra bagi pengguna metode experiential learning untuk memasyarakatkan dan
meningkatkan kualitasnya demi
pengembangan karakter manusia Indonesia. Sampai akhir tahun 2016 ini, AELI sudah
tersebar di 14 provinsi, dan akan terus mengembangkan dirinya.
Akhirnya, pada tahun 2015 Pemerintah
Indonesia melalui BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) sudah melakukan
sertifikasi/ uji kompetensi bagi para pemandu outbound/ fasilitator
experiential learning. Walau
sekedar “bermain-main,” ternyata fasilitatornya harus menguasai 9 kompetensi
utama, termasuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran dengan metode experiential
learning.
Menilik catatan sejarah, ternyata pendidikan
berbasis pengalaman sudah dikembangkan dengan serius, walaupun di Indonesia
kurang terasa gaungnya. Mungkin karena kita terlalu mengagungkan pola
pendidikan tradisional yang kental dengan penyampaian materi secara satu arah
saja.
Karakter Pendidikan berbasis Pengalaman
Semua
orang membutuhkan buah dari pengalaman, namun tidak setiap orang harus
mengalami pengalaman tersebut. Untuk itulah ilmu pedagogi ada, untuk
mentransfer makna/ buah pengalaman (orang lain).
Prinsip
pendidikan berbasis pengalaman adalah menggabungkan 3 hal dalam sebuah program/
proses pembelajaran, yaitu unsur fisik/ psikomotorik, emosi/ psikologis, dan intelektual/nalar/
pengetahuan. Artinya, peserta didik memang harus melakukan kegiatan secara
fisik, emosinya ikut terlibat, namun tetap ada unsur penalaran/ analisis di
dalalamnya. Biasanya, peserta didik dibawa pada kondisi di luar kebiasaannya,
masuk dalam suasana ketidaknyamanan sehingga tiga hal tadi dapat tereksplorasi
secara maksimal.
Bagaimana
Pendidikan Pengalaman dilaksanakan? Ada 4 pentahapan dalam metode tersebut,
yaitu:
- Peserta didik MENGALAMI sendiri pengalaman nyata,
- Pengalaman tersebut DIREFLEKSIKAN,
- Peserta didik mengambil MAKNA atau MANFAAT dari pengalaman yang direfleksikan tadi, lalu
- Peserta MENERAPKAN makna atau manfaat tersebut dalam kesehariannya.
Pendidikan
Pengalaman sendiri dibagi menjadi 4 kategori berdasarkan hal yang ingin
dirubah/ dikembangkan pada peserta didik, yaitu:
- Rekreasional, dengan fokus merubah perasaan; misal peserta didik yang awalnya merasa jenuh/ bosan menjadi bergairah/ bersemangat.
- Edukasional, dengan fokus merubah cara berpikir peserta didik; biasanya dilakukan dengan praktik,observasi dan refleksi.
- Developmental, dengan fokus merubah prilaku/ kebiasaan; misalnya pengalaman yang direfleksikan, serta dimaknai bisa sampai memengaruhi sikap peserta didik ketika kembali ke sekolah/ rumah.
- Terapi, dengan fokus merubah resistensi peserta didik, misalnya dalam hal pemikiran atau kebiasaan yang ingin ditinggalkan.
4
kategori Pendidikan Pengalaman tersebut tentu saja berbeda dalam metodologinya,
sehingga porsi 4 tahap Pendidikan Pengalaman akan disesuaikan sesuai tujuan
pembelajarannya.
Mengapa Pendidikan
Pengalaman efektif sebagai metode pembelajaran, khususnya dalam upaya
pengembangan karakter? Berikut ini 7 aspek yang berbeda antara pendidikan
tradisional dengan pendidikan pengalaman.
No
|
Aspek
|
Tradisional
|
Pendidikan Pengalaman
|
1.
|
Inisiatif
utama
|
Guru
|
Individu
|
2.
|
Kebebasan
|
Banyak
aturan
|
Ekspresif,
bebas
|
3.
|
Sumber
belajar
|
Buku
dan guru
|
Pengalaman
(diri, teman, lingkungan)
|
4.
|
Perolehan
ketrampilan
|
Indoktrinasi
|
Berdasar
kebutuhan untuk diaplikasikan
|
5.
|
Prospek
hasil
|
Cenderung
untuk masa depan saja
|
Untuk
saat ini dan masa depan
|
6.
|
Materi
|
Cenderung
tetap
|
Ikut
perkembangan
|
7.
|
Komunikasi
|
Satu
arah
|
Dua
arah
|
Bagaimana
pengalaman dimaknakan? Ternyata ada 7 metode yang terus berkembang sejak tahun
40an, dan yang paling terkenal adalah Debriefing/ pemaknaan di akhir proses.
Sekedar menyebut metode yang lain, ada pula makna yang disampaikan justru
sebelum peserta didik melakukan/ mengalami “pengalaman”
Mengapa Pendidikan Pengalaman Perlu Segera dipopulerkan di Indonesia?
Ada
beberapa alasan mengapa metode pendidikan pengalaman perlu segera dipopulerkan
dalam sistem pendidikan di Indonesia, khususnya dalam upaya mengembangkan
karakter peserta didik.
- Metode Pendidikan Pengalaman sudah lebih dari 1 abad berlangsung, dan tentunya telah banyak kajian keilmuannya. Jadi kita harus yakin, bahwa selalu ada landasan keilmuan/ilmiah dalam tiap ragam metode pendidikan pengalaman.
- Metode Pendidikan Pengalaman sangat fleksibel dan menyenangkan digunakan pada semua rentang usia, mulai dari anak-anak sampai lanjut usia. Apalagi jika pendekatannya melalui permainan. Hal ini bisa menjadi solusi guna membelajarkan orang-orang dewasa; maklum, budaya Indonesia masih kental dengan sopan santun dan rasa “segan” terhadap orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya
- Alam Indonesia yang kaya dengan bentang alam serta seni budayanya yang sangat beragam bisa menjadi materi yang tak akan habis digali sebagai sumber “pengalaman” bagi peserta didik. Hal ini akan menjadi “kawah candradimuka” bagi pengembangan mental manusia-manusia muda Indonesia.
- Metode Pendidikan Pengalaman bisa memerkuat metode pendidikan tradisional, atau apa pun metode yang sedang menjadi kebijakan negara. Artinya, untuk materi-materi pembelajaran yang efektif dilakukan dengan pedagogi, silakan dilanjutkan. Mana yang sebenarnya efektif dengan andragogi juga pendidikan pengalaman, kita harus berani mencobanya.
- Indonesia sudah memunyai asosiasi bagi lembaga/ individu yang bergiat di Pendidikan Pengalaman, yaitu AELI. Hal ini akan memudahkan proses saling belajar terkait keilmuan maupun praksis pelaksanaan metode experiential learning.
- Melalui sertifikasi profesi, pemerintah sudah mengakui bahwa pemandu outbound adalah keahlian yang harus bisa dipertanggungjawabkan, termasuk dalam hal keilmuannya. Artinya, pemerintah mulai mengakui bahwa Pendidikan Pengalaman itu “sesuatu yang bernas” sehingga perlu dibuat regulasinya.
Akhirnya, mari kita makin terbuka dan kreatif
dalam upaya memajukan bangsa Indonesia melalui pendidikan. Ketika ada metode
yang sebenarnya sudah teruji dan efektif digunakan, kenapa tidak kita coba? Experiential learning atau pendidikan
pengalaman, atau populer dengan istilah outbound
patut kita pertimbangkan secara serius sebagai salah satu metode pendidikan
karakter bangsa. Belajar dengan bermaian, apalagi bertualang, Wow, pasti seru!
Brebes, 20 Desember 2016
Agustinus Susanta;
Fasilitator Experiential Learning Tingkat Utama; Ketua Asosiasi Experiential Learning Indonesia DPD Sumatera Selatan.
Bayar Pakai Dengan Pulsa AXIS XL TELKOMSEL
BalasHapusAnda Dapat Bermain Setiap Hari dan Selalu Menang Bersama Poker Vita
Capsa Susun, Bandar Poker,QQ Online, Adu Q, dan Bandar Q
Situs Situs Tersedia bebebagai jenis Permainan games online lain
Sabung Ayam S1288, CF88, SV388, Sportsbook, Casino Online,
Togel Online, Bola Tangkas Slots Games, Tembak Ikan, Casino
Terima semua BANK Nasional dan Daerah, OVO GOPAY
Whatsapp : 0812-222-2996
POKERVITA