Nangunang adalah seorang instruktur outbound yang
handal. Dia sering disewa oleh banyak provider sehingga jadwal dampingan mingguannya
sangat padat, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bahkan ke luar pulau, berkarya
dengan bermacam bendera, ….. itu duluuuuu…. 10-15 tahun lalu. Kini, dalam
usianya yang 45an tahun, dia lebih banyak tinggal di rumah, di pinggiran kota,
mengurus warung kecil dan 4 orang anaknya. Warung yang tiap hari dia jagai tak
lagi ramai karena toko waralaba juga sudah menjamur di kotanya. Panggilan
untuk ngisi outbound, atau menjadi fasilitator program pelatihan, sudah sangat
jarang didapatnya, bahkan 6 bulan terakhir ini, dia belum pernah ada yang ngajak
“manggung” outbound. Pun akhir-akhir ini ada yang ngajak, biasanya itu teman
lama yang cenderung ingin bernostalgia saja mengenang kejayaan masa lalu.
Nangunang mendapati kenyataan bahwa kini sudah sangat
banyak fasilitator muda yang beroperasi menjadi freelancer bagi program-program
outbound atau sejenisnya. Hal yang dulu dirasa membanggakannya jika tampil di
depan puluhan, bahkan ratusan peserta outbound, kini sudah jamak dilakukan oleh
mereka-mereka yang lebih muda nan enerjik. Dulu, untuk mendapatkan uang ratusan
ribu rupiah, serasa mudah hanya dengan “menjual” ketrampilan tampil dalam
games-games maupun permainan heboh. Kini, untuk mendapat uang ratusan ribu
seminggu dari warungnya sendiri, kok, terasa lebih susah. Untunglah sang istri
yang guru SD Negeri masih menjadi penopang utama pergerakan ekonomi keluarga.
“Ah, apa daya,
masaku sudah lewat,” begitu akhirnya permenungan Nangunang selalu mentok. Matanya
menerawang memandangi seisi warung kecilnya yang sedari pagi sampai siang ini
hanya dikunjungi 5 pembeli. Foto kusam ketika dia sedang memfasilitasi outbound
tertempel miring di atas tumpukan kotak air mineral. Sementara anak bungsunya
yang masih balita terlelap di tikar sudut warung; entah apakah dia akan sanggup
menyekolahkannya dengan layak kelak. Terawangannya terhenti ketika ada seorang
pembeli mengetuk etalase warung mungilnya.
Itulah sekelumit kisah Fasel /fasilitator
experiential learning atau dulu dikenal dengan istilah instruktur outbound,
yang mungkin akan/ sedang dialami oleh kita para outbounder.
Tulisan ini akan menelisik lebih jauh tentang perkembangan
bisnis outbound, atau dikenal dalam era kekinian dengan nama experiential learning, yang stakeholder utamanya tentu para
fasilitatornya. Telaah ini didedikasikan terutama untuk acara Kopi Darat
Nasional III Grup EL-Preneurs Indonesia, yang hari-hari ini diadakan di Batam, Kepulauan Riau, 2-4 Mei 2017. EL-Preneurs Indonesia berawal dari grup WA yang dibentuk oleh AELI (Asosiasi Experiential Learning
Indonesia), beranggotakan para pemilik/ pemimpin usaha yang terkait dengan
experiential learning/ outbound atau sejenisnya di bidang aktivitas olahraga/
pelatihan luar ruangan. Informasi lebih lanjut tentang AELI, bisa kita simak di
sini
Gokilnya EL-Preneurs Indonesia
Komunitas EL-Preneurs Indonesia yang baru 2
tahun terbentuk ini, sebelumnya sudah 2 kali mengadakan acara Kopdarnas pada
tahun 2016 lalu. Yang pertama di Anyer, dan yang kedua di Yogyakarta; kebetulan
keduanya saya ikut. Karena untuk Kopdarnas ketiga ini saya, absen, maka saya
menghadirkan diri lewat catatan ini saja. Semoga bisa memberi warna
perkembangan grup EL-Preneurs Indonesia , khususnya dalam membuat jejak untuk masa depannya.
Tidak hanya untuk para pemilik atau pemimpin pucuknya, tetapi juga untuk
rekan-rekan seperti Nangunang yang dalam kenyataannya jadi ujung tombak program
di lapangan.
Sebagian besar anggota EL-Preneurs Indonesia adalah anggota AELI
juga, namun yang khusus sebagai pemilik/ pemimpin usaha experiential learning. Diantara
150an anggotanya, ada yang memang pemilik lembaga pembelajaran/ outbound, ada
yang pemilik usaha produk adventure/ outdoor, ada juga yang pemilik venue/
lokasi outbound, pegiat pegunungan, trainer, motivator, dan EO ada juga
tercatat sebagai anggotanya. Tercatat ada beberapa orang yang sudah jadi
“legenda hidup” karena kemahsyuran nama (provider) dan kiprahnya di dunia
outbound, namun banyak juga yang merupakan pengusaha-pengusaha baru. Ada yang omzet
tahunannya baru puluhan juta, namun ada juga yang sudah tembus milyardan. Ada
yang sudah berumur, namun banyak juga yang masih muda, semua bersatu karena kesamaan
unsur (bisnis) experiential learning. Adapun misi EL-Preneurs Indonesia belum terekam secara definitif
karena ini memang baru sebuah komunitas saja. Harapannya sih, dalam Kopdarnas
Batam ini, mulai tereka-reka mau seperti apa EL-Preneurs Indonesia mewujud kedepannya.
Kembali pada nasib Nangunang, kenapa dia jadi
begitu? Rahasianya, boleh lihat dalam http://catatanpenggiatoutbound.blogspot.co.id/2015/11/perlukah-saya-ikut-sertifikasi-bagian-22.html karena kedua catatan ini saling
terkait. Jangan-jangan Nangunang terlalu asyik di zona E (employee / pekerja /
buruh) sehingga ketika provider yang biasa memekerjakannya punya pilihan lebih baik
(lebih muda, lebih enerjik, pun lebih murah honornya) maka Nangunang menjadi
pilihan terakhir. Nangunang nggak
punya daya tawar di hadapan provider
outbound.
Nah, kita akan membahas anggota EL-Preneurs Indonesiayang mestinya masuk dalam kuadran B atau Business Owner alias pemilik usaha. Kalo hasil renungan saya sih, pengusaha outbound yang mantap itu
memang pernah jadi instruktur / fasilitator outbound yang matang di lapangan, kemudian
tergerak masuk ke kuadran B. bahwa kemudian bidangnya mengembang dari experiential
learning, itu nggak masalah.
Pertanyaannya adalah (sejatinya) untuk apa kita menggabungkan diri dalam EL-Preneurs Indonesia?
Apa yang dicari?
Merujuk pada hirarki kebutuhan Maslow, maka ada
5 tingkat kebutuhan, yaitu Kebutuhan fisiologi/ fisik/ biologi, kebutuhan akan
rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan,
dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Rasanya semua jenis kebutuhan tadi masuk
menjadi pertimbangan seseorang masuk jadi anggota EL-Preneurs Indonesia, walau prosentasenya
pasti beda-beda.
Merujuk pada catatan saya sebelumnya, http://catatanpenggiatoutbound.blogspot.co.id/2017/05/hobby-makes-money.html
Maka salah satu kunci seseorang yang menggeluti hobi outbound, lalu kemudian
menjadi profesi, sampai akhirnya menghasilkan rejeki (uang) adalah “relasi.” Maka
berjeraing seperti dalam EL-Preneurs Indonesia ini adalah bentuk komunitas yang baik secara langsung
maupun tidak langsung akan lebih mengalirkan rejeki pada usaha tiap anggotanya.
Lalu apakah motif ekonomi yang menggerakkan anggota EL-Preneurs Indonesia untuk berkomunitas,
kalo mau jujur, mestinya sih iya. Namun, bagusnya di EL-Preneurs Indonesia ini, faktor pemenuhan
kebutuhan fisiologis bukanlah yang mendominasi. Seperasaan saya, ternyata ada
faktor lain yang juga memengaruhi, yaitu kebutuhan akan rasa aman, penghargaan,
dan terutama aktualisasi diri. Tentu saja
konteksnya dalam dunia bisnis outbound / experiential learning ya. Susah menjelaskannya
dalam bentuk tulisan, tetapi jika kita menjadi anggotanya dan sudah beberapa kali
berinteraksi, baik secara langsung maupun lewat media sosial, maka hal-hal tersebut
akan mudah terasakan.
Sebagai salah satu contoh betapa unik relasi di EL-Preneurs Indonesia , begini. Dalam suatu “beauty contest”/
tender untuk mendapatkan program pelatihan di PT ANU, seorang anggota EL-Preneurs Indonesia bertemu dengan mantan anak buahnya dulu yang pernah dia ajak. Sang anak buah
lalu memisahkan diri untuk membuat
provider outbound sendiri. Ketika bertemu dalam sebuah kompetisi memenangkan
tender, yang ada adalah keakraban, bukan permusuhan. Bahkan ketika sang anak
buah yang memenangkan tender, si EL-Preneurs Indonesia tersebut justru memberi masukan beberapa tips
mengelola pelatihan untuk PT ANU tersebut. Maklum si anggota EL-Preneurs Indonesia pernah juga beberapa
kali mendampingi perusahaan tersebut. Wah, bagi saya itu pengalaman yang menarik,
bagaimana kebesaran jiwa seorang senior dalam menghadapi dinamika bisnis, pun
ketemu kompetitor yang adalah mantan anak didik yang pernah meninggalkannya.
Contoh lain, nih, dan ini lebih banyak. Beberapa orang anggota EL-Preneurs Indonesia kerap
mendapatkan program outbound/ pelatihan di berbagai kota di Indonesia. Misalnya,
minggu lalu dia main di Medan, di grup WA dia posting foto kolaborasinya dengan
anggota EL-Preneurs Indonesia asal Medan. Minggu ini dia dapat proyek di Bali, maka dipostingnya
kebersamaan nggarap proyeknya bersama teman-teman dari Bali. Minggu depannya
dia ke Makassar, dan bisa dipastikan dia akan mencari anggota EL-Preneurs Indonesia di sana
untuk diajak kolaborasi. Ya, sinergi adalah salah satu jargon yang coba
dihidupi oleh tiap anggota EL-Preneurs Indonesia. Jargon lainnya apa? GOKIL, ya, walopun
mayoritas pemilik usaha, tapi karena yang diusahakan itu outbound, maka gokil
menjadi salah satu nafasnya. Serius tapi gokil, gokil tapi serius. Ya maklumlah,
outbound khan juga bisnis yang “memermainkan” peserta lewat permainan.
Suasana Kopdarnas II ELPreneurs Indonesia yang jadi sampul website AELI |
Saat Kopdarnas II di Yogyakarta bulan Juni 2016
lalu, 50an anggota EL-Preneurs Indonesia sempat mendiskusikan mau dibawa kemana gerakan tersebut?
Namun ternyata saat itu belum ada upaya untuk membuat gerakan tertentu untuk lebih
menegaskan keberadaan EL-Preneurs Indonesia. Yang ada justru EL-Preneurs Indonesia akan menjadi salah satu motor
utama untuk mendorong AELI melebarkan sayapnya di tanah air. Kenapa anggota EL-Preneurs Indonesia begitu bersemangat untuk bersekutu? Padahal
mungkin di lapangan, terutama di kantor-kantor HRD perusahaan, mereka “berperang”
mendapatkan proyek pelatihan? Saya curiga
karena pertama-tama yang menyatukannya adalah AELI.
Ya, AELI itu asosiasi yang bervisi
“Menjadi wadah dan mitra yang berkualitas bagi seluruh lembaga atau perorangan
pengguna metode pelatihan berbasis pengalaman di Indonesia dan bertanggung
jawab terhadap pengembangan kualitas manusia Indonesia.” Adapun 3 misinya
adalah:
- · Memasyarakatkan pelatihan berbasis pengalaman kepada masyarakat Indonesia.
- · Meningkatkan kualitas pelatihan dan pendidikan berbasis pengalaman, sehingga menjadi metode pelatihan yang efektif dan diakui di Indonesia.
- · Meningkatkan kualitas pelaksana pelatihan berbasis pengalaman sehingga menjadi pelaksana pelatihan yang bertanggung jawab terhadap pengembangan manusia Indonesia.
Jadi jelas, AELI itu asosiasi yang mendasarkan
pada keilmuan experiential learning, bukan pada bisnis yang menggunakan experiential
learning. Menjadi sebuah kewajaran ketika sebagian besar anggotanya yang adalah
pelaku bisnis mulai berinisiatif membicarakan bisnis experiential learning secara
lebih serius. Itulah latar belakang kemunculan EL-Preneurs Indonesia yang berafiliasi pada AELI.
Maka, walau dibingkai dalam perspektif kepentingan bisnis, tetapi pendasaran EL-Preneurs Indonesia adalah visi mulia asosiasi.
Quo Vadis EL-Preneurs Indonesia?
Kini kita beralih pada hal yang menyangkut masa
depan EL-Preneurs Indonesia nih, gimana bagusnya EL-Preneurs Indonesia mewujud? Tetap seperti saat ini sebagai
komunitas grup WA yang sekali setahun menyepakati kopi darat sajakah? Atau bagaimana?
Saya menafikkan dulu bahwa sebagian anggotanya sudah saling berinteraksi
bekerjasama bisnis outbound ya, soalnya itu bukan program EL-Preneurs Indonesia, hanya jadi
akibatnya saja sih.
Masih banyak anggota EL-Preneurs Indonesia yang sedang dalam
taraf merintis usaha outbound, dan jauh lebih banyak lagi rintisan usaha experiential
learning yang sedang dibuat di luar ELPI. Sebagian hanya bertahan singkat
karena hanya mengikuti tren, sementara yang ingin tetap bertahan namun
mengalami keterbatasan di sana sini juga ternyata lebih banyak lagi. Katakanlah
orang-orang seperti Nangunang yang ingin berbisnis outbound, namun karena satu
dan lain hal menjadi susah untuk mengembangkannya. Lantas, apakah kita di EL-Preneurs Indonesia akan membiarkannya, atau akan sekedar bilang, “Maka jadilah anggota AELI, di
sana kalian akan belajar banyak tentang 9 kompetensi Fasel. Lalu setelah itu
jadilah anggota EL-Preneurs Indonesia supaya ketemu teman-teman sepengusaha outbound.” Ya, apakah
cukup segitu saja?
Saya belum lama mengecimpungkan diri sebagai pemilik
usaha experiential learning, maklum masih pendatang baru di dunia entrepreneur,
maka mungkin ulasan kebisnisan saya masih dangkal, nggak apa-apa ya, namanya
juga usaha. Namun hasil permenungan saya terhadap keberadaan EL-Preneurs Indonesia dibandingkan
lebih banyak pengusaha outbound lain di “luar” sana adalah begini. EL-Preneurs Indonesia,
melalui sebagian anggotanya bisa memosisikan diri membuat konglomerasi bisnis experiential
learning di Indonesia. Sudah ada zona nyaman yang selama 2 tahun berhasil dirintis
dalam simbiosis mutualisme penyelenggaraan bisnis experiential learning. Jadi kasarnya,
“mari kita mengeksklusifkan diri saja, toh selama ini sudah cukup anggota yang bisa
diajak berlokaborasi. Pun mau mengembangkan, kita cari di kota-kota yang belum
ada AELInya.”
Memerhatikan konteks keanggotaan AELI di 16
provinsi, semangat EL-Preneurs Indonesia dan relasi dengan pemerintah, saya sih punya keyakinan
jika EL-Preneurs Indonesiamau, hal tersebut bisa terjadi. Hukum pareto bisa mewujud dalam dunia
outbound Indonesia, seperti judul tulisan inil "80% pasar outbound Indonesia dikuasai hanya 20% pelaku
bisnisnya," yang kebetulan jadi anggota EL-Preneurs Indonesia. Wow… amboy bagi EL-Preneurs Indonesia, tetapi
menyeramkan bagi yang lain. Apakah itu yang akan mewujud dalam beberapa tahun
ke depan? Apakah akan lebih banyak Nangunang-Nangunang lain yang pikirannya
berkunang-kunang karena masa kejayaannya sebagai outbounder sudah lewat? Ah,
saya hanya berandai-andai, silakan teman-teman di Batam mengobrolkannya...
Selamat melanjutkan Kopdarnas III, teman-teman EL-Preneurs
Indonesia.
Palembang, 3 Mei 2017;
Salam gokilers dari
Agustinus Susanta
Bayar Pakai Dengan Pulsa AXIS XL TELKOMSEL
BalasHapusAnda Dapat Bermain Setiap Hari dan Selalu Menang Bersama Poker Vita
Capsa Susun, Bandar Poker,QQ Online, Adu Q, dan Bandar Q
Situs Situs Tersedia bebebagai jenis Permainan games online lain
Sabung Ayam S1288, CF88, SV388, Sportsbook, Casino Online,
Togel Online, Bola Tangkas Slots Games, Tembak Ikan, Casino
Terima semua BANK Nasional dan Daerah, OVO GOPAY
Whatsapp : 0812-222-2996
POKERVITA