Itulah tema yang diusung AELI saat tampil dalam
ajang IIOUTFEST di Senayan Jakarta pada Awal April 2017 lalu. Saya sempat
datang ke acara itu; pertama sebagai simpatisan AELI yang kebetulan ketua DPD
Sumsel, kedua, karena mau isi acara bincang-bincang bertema tersebut, ketiga,
sekalian mau liat barang-barang
pameran, siapa tahu ada yang sesuai kebutuhan dan berharga miring, jadi bisa
dibawa pulang. Tema tersebut sangat menarik; bagaimana hobi
bisa menghasilkan uang. Bagaimana
cobaaa…?
Saking menariknya, saya berencana
membuat sebuah tulisan untuk menyambut momen itu, namun apa lacur, baru
sekarang tulisan itu tersusun. Saya sih yakin, tema yang provokatif tersebut
tak lekang dimakan jaman untuk dikonsumsi para pegiat experiential learning
atau outbound di tanah air. Ya, membicarakan hobi yang lalu bisa menghasilkan
duit, siapa sih yang
nggak pengen?
|
"Hobby Makes Money," bersama sebagian kecil relasi yang sadar kompetensi |
Salah satu pembicara dalam talkshow di panggung
IIOUTFEST tersebut , Mas Enda Mulyanto berujar, “Janganlah kita yang mencari
uang, namun biarlah uang yang mencari kita,” sangat enak kedengarannya, namun
jika dipikir lebih lanjut, apa iya bisa ya. Mas Mul--panggilan Enda Mulyanto-- ,
tentu punya sekian banyak pengalaman hidup yang menimpa dan menempanya,
sehingga bisa menyimpulkan bahwa dalam dunia outbound yang awalnya adalah hobi,
uang bisa datang pada kita. Tentu saja syarat dan ketentuan berlaku.
Tulisan ini akan mengupas bagaimana hobby (memfasilitasi
outbound atau experiential learning ) bisa mendatangkan money (uang) bagi kita
para pelakunya. Saya modifikasi sedikit tagline
tersebut menjadi “Dari Hobi menuju Profesi yang Merejeki,” intinya sih nyaris sama, hanya istilah rejeki
tidak langsung berkonotasi dengan uang; ya, uang hanyalah salah satu
konsekuensi yang mengikutinya saja.
Kita juga perlu membedakan antara hobi dan
pekerjaan, sehingga tulisan ini jangan dibaca seperti tutorial bekerja yang
memang ditargetkan menghasilkan sesuatu secara sistematis. Mengutip kamus,
Hobi adalah kegiatan
rekreasi yang dilakukan pada waktu luang untuk menenangkan pikiran
seseorang. Tujuan hobi adalah untuk memenuhi keinginan dan mendapatkan
kesenangan. Terdapat berbagai macam jenis hobi seperti mengumpulan sesuatu/
koleksi, membuat, memperbaiki, bermain, dan pendidikan dewasa. Jadi, makin
jelas ya, aktivitas hobi yang saya sebut-sebut di sini bukanlah aktivitas
seperti kita bekerja di perusahaan.
Bagaimana hobi para pelaku outbound—selanjutnya
saya sebut sebagai outbounder—bisa menjadi sebuah profesi, yang lalu
mendatangkan rejeki? Ternyata syaratnya hanya ada 3 SI, yaitu: Konsinstensi,
Kompetensi, dan Relasi. Saya akan memaparkan 3 SI tersebut dalam kacamata
pengalaman saya sendiri untuk menghindari kesan menggurui. Apalagi dunia
outbound itu lekat dengan experiential learning,
atau belajar dari pengalaman. Ijinkan saya berbagi pengalaman menghobii
outbound selama lebih dari 14 tahun sampai kini malah menjadi profesi yang mendatangkan
rejeki pada kehidupan dan penghidupan saya. Ceritanya agak panjang nggak apa-apa ya? Yaaa…
Konsistensi
Saya merantau ke Palembang sejak 2001, dan
bekerja sebagai dosen arsitektur di salah satu perguruan tinggi di ibu kota
provinsi Sumatera Selatan tersebut. Namanya, dosen, ya tiap hari ketemu dengan
mahasiswa, dan itu selalu menggairahkan. Yang pernah merasakan bangku kuliah
tahulah ya gimana dinamisnya kehidupan kampus, mulai dari urusan akademik
sampai aneka kegiatan kemahasiswaannya. Sebagai dosen muda yang idealis, boleh
dikatakan aneka kegiatan tridharma perguruan tinggi sudah saya lakoni, termasuk
mengadakan berbagai penelitian, sampai diseminarkan di beberapa kampus ternama
di Pulau Jawa. Saat itu pekerjaan saya sebagai dosen, dan belum ada hobi yang
spesifik selain membaca dan main sepak bola.
Saya senang mengajar, sehingga panggilan mengajar
dan mengembangkan orang lain rasanya lebih tersalurkan dengan berinteraksi di
lingkup yang lebih luas dari sekedar pagar kampus. Maka saya mulai terlibat
dalam komunitas sosial dan kerohanian.
|
Kenangan pertama "outbound" pada 28-30 Juni 2003 |
Tahun 2003 saya begabung dalam tim yang diminta
memfasilitasi pertemuan 3 hari 2 malam di Kota Curup, Bengkulu, berpeserta 250an
orang muda. Saat itu ada acara pemberian materi kerjasama, yang lalu saya rubah
formatnya menjadi lintas alam. Panitia sih
setuju-setuju saja, lha wong kita
yang diminta ngisi, kok, he he he…
survey di lokasi yang berjarak sekitar 10 jam perjalanan darat dari Palembang
tersebut dilakukan sekali. Singkat cerita, kegiatan lintas alam berlangsung sukses
dari pagi hingga sore hari. Persiapannya sungguh menguras energi; maklum itu
kegiatan pertama kali kami berformat outdoor,
atau yang lalu saya kenal dengan nama outbound.
Berbekal keberhasilan membuat “outbound” tahun
sebelumnya, pada tahun 2004, saya menggagas juga kegiatan outbound pada
pertemuan dalam skala yang lebih besar, yaitu 700an orang. Waktu outboundpun
jadi 2 hari dari total waktu 4 hari kegiatan pertemuan yang berformat kemping
tersebut. Apa hasilnya? Outbound hari pertama lumayan sukses, tetapi outbound hari
kedua berantakan karena saya keliru memerhitungkan durasi terhadap lokasi serta
aktivitasnya. Jika ada yang penasaran bagaimana berantakannya outbound tersebut,
semoga kali lain sempat saya tuliskan pengalaman serunya, he he he…
|
Salah satu pos dalam outbound tahun 2004 |
Kegiatan games komersil pertama saya dilakoki
pada akhir 2004. Disebut komersial karena saat itu sebagai fasilitator freelance
yang direkrut sebuah lembaga pembelajaran, saya mendapat honor. Lanjut, outbound
komersial saya selama 4 hari berpeserta para manager perusahaan terjadi pada tahun
2005 dengan lokasi di Sindang Jati - Rejang Lebong – Bengkulu. Dengan persiapan
matang mengusung tema “How to Survive” outbound training pun berlangsung
lancar. Di titik ini saya masih melihat bahwa outbound yang kami lakukan masih
merupakan hobi, walau sudah mendatangkan pemasukan (uang)
|
Pelatihan pertama, bahkan nulis tema pun masih keliru, hehehe... |
Sejak itu, kabar bahwa ada tim outbound di
Palembang mulai menyeruak. Satu demi dua perusahaan mulai memanggil tim
outbound kami untuk memfasilitasi aneka
outbound bagi karyawannya. Riwayat pendampingan outbound saya agak panjang, boleh
diintip di sini saja Ada yang sekedar mau fun games saja, namun ada juga yang
bersifat pelatihan, bahkan pengembangan karakter. Format keterlibatannyapun
beragam, misalnya hanya ngisi
beberapa permainan saja, ada yang sifatnya
mbantu teman dengan
“benderanya,”, ada yang atas nama kampus, namun ada juga yang tanpa nama
lembaga walau yang didampingi perusahaan. Pokoknya macem-macem lah formatnya.
Kerjasama untuk membuat lembaga outbound pun
pernah beberapa kali dilaksanakan. Ada yang bertahan dengan 2 event saja, ada
juga yang sampai belasan kali saja buat acara. Bahkan ada juga yang lembaganya
kini sudah tidak jelas karena para pendirinya punya kesibukan lain. Ada yang
sifatnya sosial/ kerohanian, namun banyak pula yang komersil. 12 September 2012
saya mulai menyeriusi dunia outbound ini dengan membuat sendiri lembaga
pembelajaran bernama Sriwijaya EdFunture. Pun begitu, saya masih sering
beroperasi dengan berbagai bendera juga. Yach, namanya juga hobi, dan saat itu
belum jadi profesi, lho. Pun pula, pekerjaan resmi saya masih sebagai dosen.
Pada tahun 2006-2009 saya juga masuk dunia
proyek dalam suatu perusahaan kontraktor, berstatus manager proyek. Jadi selain
profesi utama sebagai, dosen, ada 2 lagi kegiatan saya, yaitu outbounder dan
manager proyek. 2 tahun pertama, semua berjalan lancar, namun berikutnya, mulai
terjadi benturan-benturan, terutama urusan alokasi waktu kegiatan. Akhirnya, dunia
kontraktor saya istirahatkan, tetapi dunia outbound tetap saya geluti. Refleksi
saya sih karena dunia kontraktor itu
penuh perhitungan yang minim kreasi, sementara dunia outbound/ pelatihan bisa
mengeksplorasi kreativitas, walau tetap dengan perhitungan. Intinya, berkarya
sebagai outbounder lebih asyik daripada kontraktor, walau pemasukan dari
kontraktor saat itu lebih menjanjikan daripada sekedar hobi outbound saya.
|
Outbound Departemen Hukum dan Ham Sumsel pada 16 Mei 2009; bersama tim outbound Sekolah Tinggi Teknik Musi, tempat saya mengajar. Lokasi juga di kampus Musi. |
Tahun 2011, setelah 1 windu berkelindan dalam
dunia outbound, 2 buku tentang outbound sudah saya tulis, dan diterbitkan
secara nasional. Buku itu sebenarnya perwujudan kecintaan saya pada hobi outbound.
Begitu banyak pengalaman sebagai outbounder yang sangat sayang jika tidak bisa
dibagikan/ dicicipi oleh orang lain, apalagi yang punya hobi serupa. Niat utama
saya buat buku tersebut adalah untuk berbagi pengalaman. Dalam perjalanan beberapa
tahun berikutnya, buku kedua, ketiga, dan seterusnya juga berhasil saya tulis.
Saat saya mulai mengalami ada aliran rejeki pada
hobi saya sebagai outbounder, membuat saya justru makin haus akan kedalaman
dunia outbound. Pertanyaan yang menyeruak saat itu adalah, “Siapa sih, dedengkot outbound di Indonesia?
Saya ingin belajar darinya.” Maklumlah, saya tahu outbound secara otodidak,
coba-coba, praktik, dan lalu berkreasi lagi. Saya merasa sudah banyak
kreativitas dalam dunia outbound yang saya buat, tetapi rasanya masih ada
sesuatu yang misterius, yang lebih dahsyat dari sekedar kreasi. Apa itu? Itu
juga yang lalu saya cari-cari.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba, pada 5-7 Maret
2012 saya ikut pelatihan Training of Trainer Bidang Kefasilitatoran (outbound)
di Bogor. Saat itulah saya kenal dengan istilah experiential learning dan
ternyata ada asosiasinya, yakni AELI (Asosiasi Experiential Learning Indonesia). Kalo mau ngintip webnya ada di sini. Sungguh 3 hari yang mengesankan, ketemu
teman-teman baru dari berbagai provinsi, dan yang paling penting, belajar lebih
dalam tentang (teori) outbound dari para “pendekar”nya. Nah, pada bab
selanjutnya kita akan masuk pada
SI
yang kedua, yaitu Kompetensi.
Kompetensi
Saat pelatihan kefasilitatoran, saya terhenyak
mendapati kenyataan bahwa istilah outbound itu sebenarnya kecelakaan penyebutan
istilah segala jenis pelatihan berbasis luar ruangan. Yaaaa… saya selama itu tahunya kegiatan semacam itu ya disebut
outbound, peserta juga nggak bingung
akan istilah itu, dan yang jelas, akibat istilah outbound tersebut, rejeki
sudah mulai mengalir. Saya sih tidak
ambil pusing dengan pengistilahan outbound, apalagi jika didikotomikan dengan
istilah experiential learning. Bahwa ada kawan yang fanatik menolak istilah
outbound, ya silakan, biasanya sih mereka itu justru bukan dapat rejeki dari
situ, jadi vokalnya tinggi, he he he….
Ternyata, ilmu outbound adalah experiential learning, yang bahasa
mudahnya belajar dari pengalaman. Sekedar contoh ilmunya nih. Untuk memaknakan sebuah pengalaman, itu ada 7 cara lho. Sebelumnya, saya hanya tahu satu
saja, yaitu debriefing, atau dikenal
dengan istilah refleksi. Untuk refleksi saja itu juga ada 5 urutannya supaya hasilnya
efektif. Jadi, setelah tahu ilmu tersebut, jangan sampai deh, refleksi yang saya
lakukan langsung dimulai dengan, “Jadi, apa manfaat permainan tadi bagi Bapak
Ibu?” Apa artinya? Artinya, dalam kompetensi keilmuan experiential learning, khususnya mengenai pemaknaan pengalaman,
pertanyaan tentang manfaat permainan itu ada di pertengahan proses, bukan di
awal. Nah, sebelum saya tahu ilmunya, sepemahaman saya merefleksikan suatu permainan/
outbound itu ya hanya (langsung) tanya tentang manfaatnya.
|
Awal pengembangan kompetensi lewat TOT Kefasilitatoran |
Setelah mengenal AELI Saya makin sadar, bahwa
pemahaman saya akan tatacara outbound masih dangkal. Maka saya mulai mengikuti
beberapa pelatihannya, yang saat itu diselenggarakan di Jawa. Demi hobi, saya keluarkan investasi untuk
menambah kompetensi, aliah ilmu pengetahuan tentang experiential learning nggak masalah sih.
Apakah ada pengaruh, ketika saya makin
berkembang tatacara outboundnya? Ya, ada. Setidaknya saya tahu pendasaran
sebuah skenario pelatihan berbasis experiential learning. Mungkin yang terjadi
di lapangan hampir sama dengan masa lalu, namun setelah tahu ilmu experiential
learning, saya mendasarkannya pada pendekatan keilmuan tertentu. Saya juga
makin percaya diri dalam manjalankan hobi yang mulai mengarah pada profesi.
Semua gara-gara saya terbuka untuk meningkatkan kompetensi. Perjumpaan dengan banyak
“pendekar” outbound yang sarat ilmu dalam forum AELI, membuka wawasan bahwa outbound
bisa “dijual” dengan harga (lebih) tinggi, namun tentu saja syarat dan
ketentuan berlaku. Salah satunya ya outbound itu harus ada isinya, harus
bernas, dan itu memerlukan kompetensi penyelenggara/ fasilitatornya.
Dalam perkembangannya, pada tahun 2013
pemerintah sudah menetapkan 9 kompetensi bagi para Fasel / pemandu outbound.
Maka, siapa yang hobi bikin outbound dan tapi mau meningkatkan kompetensinya,
sudah ada panduan yang bisa diikuti. Ya, hobi yang mau merejeki dalam format
profesi tentu perlu ditunjang dengan peningkatan kompetensi. Kompetensi yang dimaksud
mencakup urusan kefasilitatoran, maupun aspek penyelenggaraannya. Pada 2015,
saya ikut Uji Kompetensi angkatan pertama dan Puji Tuhan, dapat sertifikasi
kompetensi Fasel Tingkat Utama. Keberhasilan mendapatkan sertifikasi profesi
menjadi penanda bahwa hobi yang saya seriusi sudah menjelma menjadi profesi.
Menjadi anggota AELI, bahkan jadi Ketua DPD Sumsel,
membawa saya pada perjumpaan dengan banyak pegiat experiential learning se
Indonesia. Banyak manfaat ketika saya bertambah teman dari dunia yang sama.
Inilah nanti yang menjadi SI ketiga, yaitu RELASI. Ternyata faktor relasi atau
jaringan pertemanan makin menderaskan keran rejeki hobi saya.
|
salah satu kostum tim outbound yang bersamanya saya mentransformasikan hobi jadi profesi
|
Relasi
Relasi yang dimaksud tidak sekedar hubungan dua
belah pihak, atau malah yang berkonotasi kolusi. Relasi dalam konteks outbound
adalah bagaimana kita sebagai outbounder terbuka menjalin relasi atau jaringan pertemanan
dengan sesama fasilitator maupun stake holder experiential learning yang lain.
Saya mulai merasakan kekuatan relasi ketika bergabung sebagai anggota AELI.
Awalnya, jaringan terjalin ketika sama-sama mengikuti pelatihan, lalu makin
terjalin dan meluas terutama dengan perkembangan teknologi media sosial.
Bermodalkan jaringan, ternyata ada unsur bisnis
penyelenggaraan outbound yang bisa berkembang. Sekedar contoh nih, saya saya
yang berdomisili di Palembang pernah mengadakan program pelatihan di Anyer,
Banten berpeserta 100 orang. Saya khan
asing dengan daerah Anyer, apalagi untuk bikin outbound serius di sana. Namun
karena sudah punya teman-teman baru, terutama di sekitar Jakarta, maka jaringan
merekalah yang membantu saya. Saya cukup menginformasikan konsep, lalu H min 1 saya
sendirian datang dari Palembang, sementara para “relasi” saya sudah menyiapkan
operasionalnya. Bayangkan jika saya tidak punya relasi di sekitar Jakarta, saya
harus mempesawatkan paling tidak 5 orang fasilitator untuk mendukung outbound yang
dimaksud.
Relasi juga membuat kita makin kaya akan
khazanah ragam experiential learning. Hal ini makin terasa ketika pada tahun
2016 saya gabung dengan ELpreneur bentukan AELI. Berawal dari grup WA yang
berisi para pemilik provider experiential learning/ outbound/ sejenisnya,
sampai saat ini kami sudah kopi darat 2 kali. Kebetulan saya ikut semua,
pertama di Anyer, kedua di Yogyakarta. Dalam ELPreneur, diskusi mengenai
outbound/ experiential learning memang bernuansa bisnis alias rejeki. Sinergi
adalah motto yang diusung para anggota ELP, padahal sebagian besar adalah
pebisnis dengan bidang garapan yang sama. Keyakinan kami di grup tersebut,
bahwa rejeki itu sudah diatur oleh Tuhan, namun urusan peningkatan kompetensi
dan berjejaring, itu adalah kehendak bebas para outbounder. Catatan lebih
serius tentang ELPreneur semoga bisa dinikmati di tulisan berikutnya.
|
Brosur salah satu kegiatan hasil jalinan dengan relasi baru |
Sekedar bercerita tentang manfaat saya ikut
AELI/ ELPreneur misalnya saya pernah membeli tenda dome di Kota Malang saat ada
discount besar. Bukan, bukan karena yang
jual itu sama-sama anggota AELI. Namun saat itu saya lagi kondangan dan iseng-iseng
tanya di grup WA, siapa jual tenda dome. Eh,
teman yang dari Jawa Timur malah bilang dia saat itu kebetulan ada di lokasi
pameran (hari teakhir pula) yang njual
tenda seperti saya maksud. Akhirnya
berbekal kepercayaan dan via telpon dan WA saja, teman saya tadi nalangi (maksudnya
menghutangi, hehehe..) membelikan
saya 18 tenda, sementara saya asyik makan di kondangan. Cerita setelahnya,
seusai kondangan saya langsung transfer sih dana pembeliannya. Hebat, kan, kekuatan relasi yang berlandaskan
kepercayaan?
Saya juga makin banyak menjalin relasi, tak
hanya pada sesama outbounder, namun juga stakeholder experiential learning yang
lain. Ada teman-teman dari lembaga yang biasa buat pelatihan/ seminar inhouse. Ada
juga kenalan para pemilik/ pengelola tempat yang bisa untuk main outbound. Mulai
kenal juga teman-teman marketing di beberapa hotel yang kadang pesertanya ingin
outbound. Teman-teman (eks) Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) juga mulai
diajak-ajak ketemuan ngobrolin tentang outbound. Tak lupa jaringan penyedia/
penjual perlengkapan outbound juga saya jadikan relasi. Banyak juga teman guru
dan dosen kini makin tertarik ngobrol setelah beberapa kali diajak ketemuan
untuk diskusi tentang experiential learning dalam pendampingan siswa/ kemahasiswaan.
Salah satu manfaat unik dari relasi pernah saya catat
di sini yaaa
Faktor yang membuat saya makin cepat memperluas
relasi dan jaringan adalah AELI. Dalam naungan asosiasi tersebut, outbounder bisa
lebih leluasa berwacana, mau dari sisi keilmuan, itu memang intinya, mau
ngomongin bisnisnya bisa juga, obrolan tentang alternatif pendidikan bisa juga.
Hobi yang Memprofesi, lalu
Merejeki
Saya lanjut sebentar riwayat keoutboundan saya.
Pada tahun 2011, persis 10 tahun saya jadi dosen tetap, saya mengajukan diri
menjadi dosen luar biasa/ dosen tidak tetap. Salah satu hal yang mendasarinya
adalah saya ingin lebih serius mengembangkan hobi yang sudah merupa jadi
profesi yang merejeki. Ternyata, menjadi dosen tetap yang berkewajiban “ngampus” seminggu 6 kali dari pagi ke
siang, bahkan sore, secara waktu mulai sering bentrok dengan waktu pendampingan
outbound. Walau sebagai dosen bisa saja saya mengganti jadwal kuliah, atau
memberi tugas tambahan, namun hati kecil saya bilang itu tidak bagus. Kalo
sekarang ini, ke kampus cukup satu atau dua kali seminggu hanya untuk ngajar
saja. Dan di luar waktu tersebut, saya bisa makin bereksplorasi sebagai
outbounder. Cerita selesai.
Nah, sudah saya bocorkan 3 SI yang menunjang
hobi kita supaya bisa menjadi rejeki, yaitu: Konsistensi, Kompetensi, dan
Relasi. Tiga hal tersebut mestinya saling terkait, walau mungkin tiap outbounder
tidak sekaligus waktu berkelindannya; maklum, ini kan konteksnya hobi, bukan bekerja.
Konsisten menjalankan hobi makin membuat kita sadar bahwa hobi juga perlu
dikembangkan. Kompetensi dalam aspek-aspek kehobian kita membuat selalu ada penyegaran
sekaligus peningkatan kapasitas kita sebagai pehobi. Mulai deh di titik ini, hobi bisa mulai mendatangkan rejeki alias
pemasukan (uang). Jika konsistensi berhobi dan peningkatan kompetensi tentang hobi
kita sudah dijalani, maka tak pelak, kita juga akan punya komunitas. Maka
sangatlah aneh jika orang punya hobi tapi nggak punya komunitas/ jaringan
sehobi. Inilah yang disebut dengan relasi. Semua hal terkait hobi kita akan
direlasikan sehingga akan membentuk jaringan/ komunitas yang asyik saat kita
menjalankan/ mengembangkan hobi kita, pun ketika sudah merupa jadi profesi dan
mengalirkan rejeki
|
Mengembangkan hobi dalam bingkai kompetensi dalam relasi bersama Asosiasi Experiential Learning Indonesia DPD Sumatera Selatan |
Demikianlah refleksi saya tentang hobi outbound
yang menjelma jadi profesi serta mendatangkan rejeki bagi saya, cukup dengan 3
SI. Masih ada lagi sambungan catatan tentang bagaimana rejeki dalam berprofesi
bisa makin deras mengisi pundi, yang ternyata mengandung 5 SI, yaitu: Koleksi, Variasi,
Kolaborasi, Investasi, dan Promosi. Nantikan saja tulisannya ya…
Palembang, 2 Mei 2017
Agustinus Susanta