--------bagian kedua dari catatan berjudul "Perlukah Saya Ikut Sertifikasi? ---------
ANGAN
Nyaris semua pekerjaan atau profesi dimulai
dari motivasi pelakunya. Bahwa ada yang direncanakan dan dipersiapkan secara
serius dalam waktu panjang, atau sekedar “kecelakaan nasib,” itu sangat jamak
terjadi. Yang jelas ada motivasi atau angan yang dikelola di sana ketika
seseorang memilih atau menjalani suatu pekerjaan atau profesi.
Sebelum kita masuk lebih jauh dalam sertifikasi
ini, baiklah kita berangan-angan atas diri kita dengan pertanyaan sederhana.
“Apa sih yang saya angankan usai ikut sertifikasi?” berbagai alternatif
jawabnya misalnya:
- Sekedar ikut trend atau dipaksa, saya tidak tahu sebenarnya untuk apa saya ikut sertifikasi. Lho.
- Supaya menaikkan nilai jual saya sebagai instruktur outbound. Honornya lebih besar khan? Apa iya?
- Saya takut provider saya ditutup pemerintah gara-gara tidak punya sertifikasi; kalau punya khan amaaaannn. Oh ya?
- Supaya tahu kualitas diri saya saja, kalau digunakannya sih nggak tahu juga. Halllah.
- Saya takut ditolak klien gara-gara tidak menyertakan salinan sertifikat saat mengajukan penawaran/ proposal. Klien khan sudah diedukasi AELI supaya pake fasel yang bersertifikat saat outbound. Takuuuttt…
- Saya sungguh-sungguh ingin mengembangkan diri dengan berprofesi sebagai seorang fasel, maka saya selalu ingin mengembangkan kemampuan diri, salah satunya dengan program sertifikasi. Ah, alangkah mulianya diriku.
Posisi fasel ada di 2 kemungkinan kuadran, yaitu E/ Employee, atau S/ Self Employed. Ketika berada di E, maka, fasel (termasuk yang bersertifikat) hanyalah seorang pekerja/ karyawan/ pegawai yang bekerja pada pihak lain (orang/ lembaga). Jika ada di kuadran S, fasel sejenis dengan profesi lainnya, misal: dokter, pengacara, arsitek, atau akuntan. Dokter, dia punya keahlian dan bisa buka praktik sendiri. Fasel punya kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat; maka sebenarnya dia bisa “buka praktik” atau menawarkan jasanya pada pihak yang akan secara langsung menggunakan kompetensinya, misalnya pada perusahaan yang hendak melakukan pelatihan berbasis experiential learning. Namun jika entah itu dokter, arsitek, penacara, juga fasel bekerja untuk sebuah institusi, maka pada saat itu mereka sedang masuk ke kuadran E/ employee. Tak perlu bingung ya, bahwa seseorang bisa masuk dalam lebih dari 1 kuadran.
Bukankah
tanpa sertifikasi, seorang instruktur outbound bisa saja masuk ke kuadran S, B,
atau I? iya bisa juga sih, tetapi yang lagi kita omongkan khan tentang sertifikasi.
Jadi, maksudnya sejauh mana atau sedekat apa sih sertifikasi itu bisa
menginspirasi angan kita dalam berkarya.
Pendeknya
begini, ketika punya sertifikat fasel, maka:
- Seorang fasel yang berada di kuadran E, akan makin dihargai oleh perusahaannya, dalam arti sempit, honor/ gajinya semestinya akan beda dengan tenaga yang belum tersertifikasi.
- Seorang fasel yang berada di kuadran S, semestinya akan makin percaya diri dalam “berpraktik,” dan semestinya juga berhonor lebih tinggi dari instruktur yang belum berlisensi.
- Seorang fasel yang berada di kuadran B, semestinya akan makin dihargai staf, kolega, dan klien, karena dia memang ternyata kompeten dalam bidang yang diusahakannya.
- Seorang fasel yang berada di kuadran I, bisa makin tenang dan diperhitungkan saat berinvestasi dalam bisnis experiential learning, kenapa? Karena sebaiknya investor memodali bisnis yang seluk beluknya dia pahami prinsipnya.
Memang semua tadi itu hitung-hitungan di atas kertas
atau di atas layar laptop, apakah kenyataannya begitu? Oh, itu tergantung pada
banyak hal, namun hal yang paling menentukan adalah bagaimana kita berpikir dan
bersikap, dan itu juga berlaku untuk semua profesi. Kompeten tetapi pasif,
tidak kreatif lagi, biasanya ya sulit berkembang. Namun jika sudah kompeten,
kreatif, aktif lagi, niscaya deh kita akan bersukacita menikmati hidup ini,
walau harus dengan kerja keras yang ditimpa kerja cerdas.
Nah, kita sekarang ada di kuadran mana? Dan angan
kita mengijinkan kita akan bagaimana? Yang jelas, jika ada yang berpikir bahwa
dengan sertifikat fasel kita bisa ujug-ujug sukses di Kuadran E, atau bahkan B,
apalagi I, bisa meraup sekian banyak rupiah dengan mudah, maka saya sarankan
langsung saja masuk ke tahap akhir formula F,A,S,E,L dengan jurusan “Lupakan.”
STANDAR
Tak masalah jika ada seorang guru, psikolog,
dosen, atau bahkan mahasiswa yang ambil
sertifikasi profesi fasel. Tak
masalah pula jika saat ini bukanlah “apa-apa” dalam sebuah profesi/ pekerjaan
tertentu. Yang berpotensi jadi masalah adalah ketika si fasel tadi tak punya
lisensi, alias surat keterangan berkarya. “Ah, itu khan urusan legalitas saja,
yang penting khan kualitasnya, nggak usah dibuat bingung lah.” Barangkali
semacam itulah pernyataan sinis dari sebagian pegiat experiential learning yang
abai dengan lisensi.
Benar, lisensi itu “hanyalah” selembar kertas
sertifikat atau kartu anggota. Namun ingat, yang kita bicarakan ini adalah
profesi lho, yang terikat dengan berbagai ketentuan yang di dalamnya juga
melibatkan peran pemerintah dan asosiasi profesi.
Apakah
fasel punya lisensi? Jelas dong. Hal inilah yang kita kenal sebagai uji
kompetensi profesi fasel. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI melalui keputusan nomor : KEP 329/MEN/XII/2011, sudah menetapkan Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia Sektor Pariwisata bidang kepemanduan outbound / fasilitator
experiential learning, menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia /
SKKNI. Inilah yang menjadi dasar penerbitan lisensi fasel. 9 kompetensi yang
diatur di dalamnya adalah:
- Merencanakan Kegiatan Program Rekreasi
- Merencanakan Kegiatan Program Pembelajaran
- Mengatur Sumber Daya Program
- Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Rekreasi
- Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Pembelajaran
- Melakukan Pemanduan Kegiatan Tali Rendah
- Melakukan Pemanduan Kegiatan Tali Tinggi
- Menganalisa Resiko dalam Kegiatan
- Menolong Korban
Sembilan
kompetensi tadi harus dikuasai oleh fasel yang berlisensi Utama, sedangkan
untuk fasel tingkat Madya, tanpa
kompetensi Merencanakan Kegiatan Program Rekreasi & Merencanakan Kegiatan Program Pembelajaran. Bagi Fasel Muda, kompetensinya dikurangi
lagi dengan Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Pembelajaran.
Nah, sebelum
kita menguji diri dengan 9 kompetensi tadi, maka AELI menetapkan standar normatif
bagi calon asesi, yaitu minimal
lulus SMA/ Sederajat, atau lulusan SMP dengan pengalaman bekerja minimal 10
tahun.
Untuk mengambil
tingkatan fasel, juga ada syaratnya, yaitu:
-
Fasel
Muda: Pengalaman 2 tahun dan 10 kegiatan.
-
Fasel
Madya: pengalaman 5 tahun dan 10 kegiatan pelatihan.
-
Fasel
Utama: pengalaman 7 tahun dan 10 kegiatan pelatihan sebagai pembuat program.
Fasel yang sudah lolos sertifikasi akan mendapat
sertifikat dari pemerintah melalui BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi),
juga kartu “ijin operasional”nya. Sertifikat ini perlu diperbaharui setiap 3
tahun.
“Sesederhana” itulah standar asesi dan kompetensi
seorang fasel. Yang jelas, jika ada yang berpikir bahwa dengan sertifikat fasel
kita bisa “mempermainkan” kualitas program experiential learning, maka saya sarankan
langsung saja masuk ke tahap akhir formula F,A,S,E,L dengan jurusan “Lupakan.”
ETIKET
Tahapan E, atau Etiket ini menjadi tahap
keempat sebelum kita mengambil keputusan di tahap akhir. Sebagaimana profesi
prestisius lainnya, fasel pun harus punya tatanan etiket yang sering disebut
sebagai kode etik. Apa itu kode etik? Kode etik adalah pedoman sikap, tingkah
laku, dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan kehidupan sehari-hari. Secara
umum, kode etik suatu profesi akan menjadi pedoman prilaku/ etiket anggotanya
supaya hidup selaras dengan keluhuran dan kemanfaatan profesinya.
Apakah fasel sudah memunyai kode etik? Tenang
saja, saat ini, AELI sedang menggodok kode etik fasel, dan saya yakin tahun
depan kode etik tersebut sudah diundangkan.
Sebagai perbandingan saja, kita bisa menengok
kode etik profesi yang mendekati karakter fasel, yaitu guru dan dosen. Saya
ngeri untuk mencupliknya di sini karena begitu luhur dan mulia kode etik
tersebut. Saya salinkan saja salah satu turunannya berupa 20 poin “tata tertib
guru mengajar,” yang dipampangkan dengan jelas di dinding sebuah sekolah. Salah
duanya berbunyi, “Bersikap dan berperilaku sebagai pendidik” dan “Tidak
diperbolehkan merokok di dalam kelas/ tatap muka.”
Saya tak tahu apakah tata tertib tersebut
berlaku secara nasional, atau hanya milik SD tersebut saja. Saya tak tahu juga
apakah kode etik guru/ dosen kerap berganti seiring pergantian menteri yang
mengurus pendidikan di negeri ini. Namun yang saya tahu, kode etik, seberapa
pun terasa berat aplikasinya, dibuat untuk dilaksanakan guna memuliakan
profesi. Sanggup nggak ya, kita nanti menjalankan kode etik fasel?
Yang jelas, jika ada yang berpikir bahwa dengan
sertifikat fasel kita bisa bertindak semaunya hantam sana sini seenak jidatnya
tanpa memedulikan kode etik, maka saya sarankan langsung saja masuk ke tahap
akhir formula F,A,S,E,L dengan jurusan “Lupakan.”
LUPAKAN! atau LANJUTKAN!
Ayo, bagi yang sedang memelihara bingungnya, makin jelas ya, bahwa ikut sertifikasi adalah gerbang menuju sebuah profesi (baru) bagi kita. Karena namanya sudah profesi, bukan sekedar “pekerjaan,” maka tentu saja ada berbagai konsekuensi atas keprofesian kita tadi. Sebagian sudah kita bahas khan, jadi janganlah berbingung ria lagi.
Setelah menimbang masak-masak 4 proses sebelumnya
dalam formula F,A,S,E,L; Fahami, Angan, Standar, dan Etiket, tibalah kita pada
tahap terakhir pemutus kebingungan kita. L. tanpa uraian, langsung saja saya
sediakan 2 pilihan akhir yang juga diawali dengan “L”, yaitu Lupakan, atau
Lanjutkan.
Aihhh…. Ternyata sudah panjang saya menorehkan
catatan hanya untuk mengobati berbagai kebingungan teman-teman saya. Sebagai penutup
catatan ini, mari kita koleksi kembali 5 tingkat kebingungan kita, dengan
pertanyaan pembingung sebagai berikut:
- Perlukah saya ikut sertifikasi?
- Apakah saya perlu ikut sertifikasi tahun 2015 ini, atau nanti tahun 2016 atau setelahnya?
- Pada level mana saya akan sertifikasi? Muda, Madya, atau Utama?
- Bagaimana saya harus memersiapkan diri untuk sertifikasi?
- Bagaimana sih jalannya sertifikasi itu?
Semoga catatan saya ini bisa menginspirasi para
pembaca yang menderita bingung level satu tadi; Sukur-sukur bisa sampai
mengobati kebingungan level 2,3,4, dan 5, siapa tahuuuuu….
Bagaimana dengan kemungkinan saya membocorkan
rahasia besar nomor lima? Ah saya jadi bingung jadinya. Daripada
bingung-bingung, mending saya akhiri catatan edisi ini.
Palembang, 16 November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar