PELABUHAN BIRU; Tempat 7 Khasiat AELI Berawal.
Pelabuhan biru; ah, tempat yang eksotis cenderung romantis. Berada di
bibir waduk Jatiluhur dengan dermaga kayu yang kokoh, dibalut kabut tipis yang
menyelimutinya. Irama hempasan riak ombak menghempas teratur membuat suasana
tambah syahdu. Sesekali satu dua orang melintas di kekokohan dermaga kayu itu
menikmati suasana, sambil sesekali melempar pandangan pada pasangan yang duduk
berdua di teras kedai kopi sebrang jalan dermaga. Tenang, damai, namun
bertenaga. Itulah gambaran saya tentang Pelabuhan Biru. Tempat saya akan
transit sebelum menyeberang ke Tanjung Astap untuk bertemu kawan-kawan dalam
suatu acara AELI, 8 Juni 2013 lalu.
Bertolak dari Pelabuhan Biru; Serunya ya Rame-rame gini |
Usai berganti moda transportasi dari Bus Damri Bandara –Purwakarta ke
angutan desa, sampailah saya ke kompleks waduk Jatiluhur yang nan melegenda tersebut.
Ini kali pertama saya ke sana akibat “terprovokasi” undangan dari AELI untuk
obrolan tentang mengombinasikan metode experiential learning dan militer dalam
suatu pelatihan. Ya, saat itu AELI rutin menyelenggarakan seminar series yang
bertujuan pembagian pengalaman dalam berkegiatan berbasis experiential
learning.
Masuk kompleks Waduk Jatiluhur sedikit mengobati kepenasaranan saya yang
sudah lama mendengar dan membaca bahwa di lokasi tersebut menjadi pusat
perkembangan training berbasis experiential learning di Indonesia. Saya
sempatkan telpon ke Mas Ega sang sekjen AELI yang ternyata masih di perjalanan
dari Bogor, namun mengonfirmasi bahwa sudah ada beberapa teman yang menunggu di
Pelabuhan Biru. Hmmm…. Selama air waduk belum terlihat dan saya menyedokkan
airnya, belum sah rasanya kunjungan ke Waduk Jatiluhur ini.
Berkat jasa pak sopir angkutan desa yang baik, sampailah saya di suatu
perhentian tepi waduk. Ada kehebohan bak pasar malam di sana, walaupun itu
siang hari bolong. Belasan bus besar terparkir di jalanan menumpahkan para
penumpangnya yang berkegiatan di arena sekitar waduk. Suara musik organ tunggal
menggebu-gebu menyeruak pendengaran ditimpa celotehan peserta yang riuh saat
memainkan suatu dinamika kelompok. Agak maju lagi, ada arena permainan anak
yang diseliweri puluhan anak tentunya. Dan jangan ditanya, di mana ada
keramaian semacam itu, maka bapak ibu pedagang kecil pun bergerilya di sana.
Riuh, heboh, dan semarak. Ternyata, seperti itulah Pelabuhan Biru;
meleset dari ekspektasi saya sebagai pendatang sangat baru. Oh… dimana dermaga
kayunya?... Namun itu tak jadi soal, lagian
ngapain memersoalkan perasaan yang nggak signifikan tersebut. Bukankah kita
empu dari segala perasaan diri? Konyol khan
kalo kita sedih gara-gara antarperasaan kita sendiri nggak akor?
Saya menyelami kehebohan suasana di Pelabuhan Biru tersebut dengan
berjalan-jalan, melihat-lihat, namun tak tergoda untuk ikut main mobil-mobilan
yang dipasang semi permanen di bibir waduk tersebut. Yang jelas menyedok air
waduk adalah ritual yang krusial sebagai inisiasi bahwa saya sudah sampai di
waduk yang legendaris tersebut.
Berdasarkan informasi Mas Ega sang sahabat setengah lama saya,
bertemulah saya dengan beberapa penunggu acara di suatu warung. Lho kok sabahat
setengah lama, ya iya sih, dibilang
lama sekali nggak juga, dibilang baru
kenal nggak juga. Di warung tersebut
sudah ada beberapa teman yang rata-rata baru saya jumpai, namun sudah jadi
teman, hebat khan, he he he…. Ada
yang tinggi kurus, ada yang cenderung berkulit hitam, ada yang berambut gondrong,
ada juga yang berkacamata lucu. Ada yang dari Depok, Jogja, Jakarta, Solo, Surabaya,
dan ternyata saya yang paling jauh, dari Palembang.
Setelah perkenalan standar, maka bergabunglah saya dalam acara penantian
teman-teman yang lain sambil tentu saja membaurkan obrolan dengan mereka. Rupanya
beberapa orang sudah pernah bahkan sering bertemu dalam suatu program acara,
termasuk di seputaran Waduk Jatiluhur. Pantaslah, kadang mereka tergelak ketika
menceritakan kejadian lucu atau ironis yang pernah dilaluinya. Saya hanya bisa
ikut menikmati perbincangan dan perkelakaran hangat tersebut.
Singkat cerita, rombongan Mas Ega datang, dan kami dijamu di salah satu
warung sop yang katanya paling enak se Waduk Jatiluhur. Memang enak sih, panas, kemebul, dan aromanya
menyeruak menggelitik rongga hidung dan menghantam lambung yang kosong. Namun
yang lebih mengasyikkan adalah pertemuan dan perkelakaran dengan teman-teman
baru yang sungguh akrab. Padahal saya baru ketemuan belum sampai 3 jam lho,
namun kok sepertinya mereka kawan
lama saja yang baru bersua kembali. Saya menduga karena kami bergerak di bidang
yang sama, pelatihan, khususnya yang bermetodekan pengalaman/ petualangan/
permainan. Itulah yang membuat kami punya persamaan yang mendasar; sama-sama
fasilitator experiential learning. Maka, ketika ada suatu obrolan yang secara
sejarah saya tidak terlibat di dalamnya, namun secara konteks saya bisa
memahaminya. Seru khan perjumpaan
model gitu?
" Belum ke Jatiluhur kalo belum menikmati sop ini" ujar Mbak Dina. |
Sore menjelang; setelah kami berjalan-jalan di kompleks Waduk Jatiluhur,
dan tak lupa fota-foto dengan gaya narsis eksotis, maka acara penyeberangan pun
dimulai; tentu saja dari pelabuhan biru yang tenang, eh, ramai, dan ternyata tanpa dermaga
kayu. Othok othock Othok othock Othok
othock…. perahu melaju di punggung air Waduk Jatiluhur yang tenang beriak.
Sungguh suasana yang mengagumkan diberi kesempatan untuk menikmatinya, tentu
saja ditingkah cerita teman-teman baru tentang pengalaman mereka berkegiatan di
situ. Asyik.
Setelah sekitar 40 menit berperahu, sampailah kami di Batu Cikapinis, lokasi
pindahan tempat seminar series akhirnya digelar. Tim tuan rumah sudah menyambut
kami dengan mendirikan tenda sebagai tempat beracara dan bermalam. Terimakasih ya
Mas Robby Seahan, yang sudah menyiapkan itu semua.
Apa yang kami lakukan pertama kali di sana? Ya jalan-jalan lagi dengan
fokus menaklukkan batu superbesar yang teronggok manis di sekitar lokasi. Duduk
dan berbaring diatas batu mahabesar sambil memandang keluasan Waduk Jatiluhur
yang ditebari keramba-keramba dan dibingkai bukit dan gunung di sekelilingnya
sungguh pengalaman tak terbayangkan sebelumnya. Damai.
Singkat cerita, beberapa peserta seminar datang menyusul, dan setelah
ritual mandi sore dan makan, dimulailah AELI seminar series. Mas Robby sebagai
tuan rumah, dan kebetulan saat itu menjabat ketua AELI bertindak sebagai pemateri.
Didampingi oleh Mas Inong, mereka memaparkan tips konseptual maupun tips
praktis bagaimana bekerjasama dengan pihak militer dalam mengelola suatu
pelatihan. Kebetulan pula saat itu Mas Robby sedang menangani pelatihan bagi
pramuragi Garuda Indonesia selama 2 mingguan di Waduk Jatiluhur.
Batu Cikapinis nan legendaris, bikin para turis pengen narsis |
Seminar dan diskusi berlangsung seru ditingkahi tanya jawab dan
pembagian pengalaman dari peserta. Mas Arif berbagi pengalamannya dalam
memfasilitasi berbagai pelatihan di seputaran Jawa Timur. Bang Gondrong yang
dari Jogja memaparkan lika-liku kegiatan experiential learningnya. Kang Bije si
kacamata lucu lebih banyak diam, namun sebenarnya dia menyimpan banyak cerita
juga. Mas Bol yang asal Solo namun kerap bertualang di Jabodetabek tak kalah
seru memprihatinkan kondisi dunia peroutboundan Indonesia. Pokoknya gayeng.
Suasana diskusi yang bersahaja namun bernas |
Foto bareng fasel dari berbagai provinsi; hanya bisa di AELI nih. |
Usai sesi materi resmi, obrolan dilanjut ke luar tenda dengan tema yang
lebih beragam namun tetap seputaran kiprah AELI dan anggota-anggotanya. Camilan
makanan tradisional mengiringi kegayengan obrolan kami yang berasal dari
berbagai kota dan provinsi itu. Cicit serangga malam melengkapi latar belakang
kedamaian waduk malam itu.
Lewat tengah malam, karena kami membatasi diri, sepakatlah kami untuk
istirahat, zzzz… zzz…. Zzz….
Pagi hari, kami bertolak menuju Tanjung Astap, tempat Mas Robby
berkegiatan dengan para pramugarinya. Kembali kami menikmati keindahan Waduk
Jatiluhur dari atas perahu.
Di lokasi pelatihan, Mas Robby kembali seru bercerita tentang proses
pelatihan. Kami diajaknya masuk ke tempat pelatihan, sekretariat, bahkan dapur
pelatihan. Kami pun berkesempatan melihat peserta yang sedang berproses,
sekaligus ngobrol dengan bapak-bapak tentara yang menjadi fasilitator.
Terus terang, saya takjub, eh,
emangnya dalam cerita ini ada yang terus gelapkah? Ya, terus terang saya takjub
karena sebelum kenal dengan AELI, tidak membayangkan bisa dibawa masuk ke salah
satu provider terbesar di Indonesia yang bercokol di seputaran Waduk Jatiluhur
yang legendaris. Tak sekedar masuk dan melihat-lihat lokasi, namun oleh sang
pemilik malah diberi kesempatan untuk menyambangi pelatihan tingkat elite yang
sedang berlangsung. Melihat peserta, bahkan berbincang langsung dengan para
trainernya. Sungguh anugerah yang indah bagi seorang fasel dari daerah seperti
saya.
Mas Marinir, sigap mengawasi pelatihan. |
Ngopi ngopi...... ngobrol dan kelakar lagi tentunya |
Saya menyadari, hal seperti itu hanya
bisa terwujud karena saya mengenal dan terlibat dalam beberapa kegiatan
yang diselenggarakan AELI. Bagi fasel biasa, apalagi yang tidak tergabung dalam
AELI, kayaknya itu hal mustahil deh. Cerita Kejayaan dan kesaktian pelatihan di
Jatiluhur paling-paling didapat hanya dari cerita (mantan) instruktur, atau
paling banter mantan peserta. AELI bisa mewujudkan impian itu karena memang hal
yang disasar adalah pendidikan experiential learning bagi anggotanya.
Pertemuan-pertemuan yang diadakan pertama-tama ditujukan untuk mengembangkan
experiential learning sesuai dengan misi AELI.
Bagi yang belum mengenal AELI, sesuai pasal 3 Anggaran Dasarnya, asosiasi
ini bertujuan:
- Menjadi wadah dan mitra yang berkualitas bagi seluruh lembaga atau perorangan pengguna metode pelatihan berbasis pengalaman di Indonesia.
- Sebagai Asosiasi pelaku pendidikan berbasis pengalaman yang terkemuka dan bertanggung jawab terhadap pengembangan kualitas masyarakat Indonesia;
- Memasyarakatkan pelatihan berbasis pengalaman kepada masyarakat Indonesia;
- Meningkatkan kualitas pelatihan pelatihan dan pendidikan berbasis pengalaman, sehingga menjadi metode pelatihan yang efektif dan diakui di Indonesia;
- Meningkatkan kualitas pelaksana pelatihan berbasis pengalaman sehingga menjadi pelaksana pelatihan yang bertanggung jawab terhadap pengembangan manusia
Kita lanjut ceritanya yach.. Puas
menyambangi pelatihan sembari dijamu ngopi di tepi waduk oleh Mas Robby,
tibalah saatnya bagi kami untuk bertolak ke “daratan.” Ada kejadian unik yang
dialami oleh kami yang sebagian besar sudah akrab dengan pelatihan di
Jatiluhur. Saat semua peserta sudah masuk dalam perahu, spontan kami
melajukannya ke perairan. Namun ternyata sang tukang perahu yang bantu
mendorong kami dari darat malah ketinggalan. Eeeee….. masak yang punya perahu malah mau ditinggal? Ada-ada saja
kami itu.
Kami bertolak menuju markas Pelopor Adventure Camp yang juga salah satu
provider experiential learning terbesar di Indonesia. Di sana kami berkeliling
menikmati camp yang bersebelahan dengan base camp Outward Bound Indonesia.
Lepas dari PAC, kembalilah kami meluncur dan merapat ke Pelabuhan Biru
yang siang itu masih juga ramai, maklum, akhir pekan. Kami lalu “berziarah” ke
markas lama Outward Bound Indonesia yang saat itu digunakan oleh ELF; Experiential
Learning Facilitator, salah satu lembaga besar juga di kancah per-experiential
learning-an Indonesia. Di sana kami lanjutkan obrolan penuh kelakar yang berbalutkan
memori sebagian peserta akan kenangan di tempat tersebut. Seru, terimakasih Mas
Indra dan Mbak Dina.
"Ziarah" Fasel |
Menunggu diselesaikan tuh |
Tak perlu diceritakanlah ya, jamuan dari ELF yang sangat mengenyangkan
kami dengan santap siang dan kelapa mudanya. Lho ini sudah diceritakan….
Sore menjelang, tibalah bagi kami para peserta seminar dari berbagai
provinsi untuk berpisah. Dua hari yang sangat mengesankan dan penuh makna serta
manfaat. Mas Ega yang baik hati mengantar sebagian peserta keluar dari kompleks
Waduk Jatiluhur yang segera menjadi kenangan, Daaaa….
Dalam perjalanan pulang, pun sampai saat ini, saya merenung-renung bahwa
betapa beruntungnya saya berkenalan dengan Asosiasi Experiential Learning
Indonesia. Beberapa manfaat ketika kita terlibat aktif dalam kegiatannya antara
lain:
- Kita bisa belajar experiential learning dengan pengetahuan yang paten, dari sumber-sumber yang kompeten; mulai urusan yang filosofis nan konseptual sampai urusan teknis nan operasional.
- Kita bisa memerluas jaringan pertemanan akibat perjumpaan dengan teman-teman “seperjuangan” dari kota/ provinsi lain. Karena perjumpaan tersebut, maka …
- Kita, terutama yang dari daerah, bisa mendapat suntikan moral dan tambahan motivasi dalam menjalankan “bisnis” experiential learning, karena ternyata ada juga rekan yang “senasib” dengan kita. Akibat lanjutannya adalah….
- Kita bisa mendapat inspirasi, akan berbagai inovasi/ solusi dalam mengembangkan “bisnis” kepelatihan kita. Tak bisa dipungkiri, sebagian besar pendiri AELI dan generasi-generasi awal barisan DPP dan DPDnya adalah pembuat “tren” pelatihan berbasis experiential learning di Indonesia.
- Dalam era sertifkasi profesi fasel, menjadi anggota AELI berarti kita berada dalam gerbong terdepan dalam memeroleh informasi terkini terkait proses sertifikasi. Sebagai satu-satunya organisasi profesi fasilitator experiential learning di Indonesia, maka AELI pun dipercaya oleh pemerintah untuk menelurkan para asesor atau penguji uji sertifikasi fasel. Walaupun secara formal tim asesor itu tidak sama dengan AELI, namun sejarah mencatat, bahwa para asesor lahir dari rahim AELI.
- AELI bisa menjadi tempat penyaluran dan pertukaran ide/gagasan/ pemikiran kita, khususnya dalam bidang experiential learning. Contoh sederhananya gini; kita misalnya punya suatu gagasan/ konsep pelatihan berbasis petualangan. Walau menurut kita sudah bagus, cobalah “lempar” gagasan tersebut pada rekan-rekan pegiat experiential learning yang tergabung dalam AELI, niscaya kita akan mendapat umpan balik untuk memerkaya atau memerdalam konsep kita tersebut.
- AELI menyediakan sarana untuk kita belajar dan mengembangkan kemampuan berorganisasi. Struktur organisasi AELI jelas, baik yang DPP maupun DPD; ada ketua umum, sekjen, bendahara, anggota. Rekrutmen anggota juga selalu dilakukan, dan itu pasti melibatkan relasi dengan banyak pihak dan lembaga-lembaga di daerah. Sungguh suatu wadah yang sehat untuk berorganisasi, dengan tujuan yang mulia.
7 manfaat itu bukan tanpa alasan saya kemukakan; yang jelas, pengalaman
saya menyimpulkan demikian. Teman-teman yang ingin tahu lebih lanjut tentang 7
khasiat aktif di AELI, terutama dikaitkan dengan pengalaman pribadi saya
sebagai fasel, silakan ikuti tulisan saya berikutnya, “Pelabuhan Baru.”
d a m a i |
Untuk sementara kita tinggalkan Pelabuhan Biru, tempat para pioneer fasilitator
experiential learning biasa bertolak ketika membuat tren pelatihan berbasis experiential
learning di Jatiluhur. Tempat inspirasi sinergi para pegiat experiential
learning di Indonesia berawal.
Entah kini apakah sudah ada dermaga kayu nan
kokoh di sana.
Palembang, 2 November 2015.
Agustinus Susanta, Fasel Utama No. Reg. PAR.103.00649.2015, Ketua DPD
AELI Sumatera Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar