Kisah ini merupakan catatan dari beberapa pengalaman saya sendiri, ditingkahi dengan pengalaman beberapa teman. Bukan menjadi satu-satunya petunjuk terefektif, tapi semoga dapat menginspirasi dalam pengelolaan kegiatan (semacam) pelatihan atau pengembangan diri. Fokus bahasan adalah pada acara serah terima peserta pelatihan, di mana kita (dan tim) bertindak sebagai pengelola kegiatan, atau pihak yang bertanggung jawab mengatur jalannya kegiatan. Konteksnya kita sebagai pihak pengisi/ penyelenggara kegiatan, di luar internal peserta dari perusahaan/ sekolah. Penceritaan berikut ini juga makin pas jika kegiatan yang dilaksanakan relatif lama, misalnya sampai 3 hari.
Standar yang biasa kita lalui dalam permulaan sebuah pelatihan (kepemimpinan) termasuk yang berbasis experiential learning atau outbound adalah penyerahan peserta kegiatan/ pelatihan kepada tim fasilitator. Kalau peserta adalah siswa, biasanya yang menyerahkan adalah kepala sekolah/ guru bidang kesiswaan/ guru pendamping kepada tim fasilitator. Kalau peserta adalah karyawan perusahaan, yang menyerahkan bisa direkturnya, pimpinan, atau manager HRD/ SDM atau sejenisnya. Setelah acara pembukaan dan kata pengantar dari kepala sekolah/ pimpinan perusahaan, tibalah saat serah terima. Contoh kalimat standar yang biasa disampaikan adalah, “Dengan ini kami serahkan seluruh peserta pelatihan pada pihak fasilitator untuk dilatih selama 3 hari 2 malam sehingga pada akhirnya nanti tujuan kegiatan ini dapat tercapai.”
Setelah diserahkan, maka biasanya kita juga memberi kata penyambut, misalnya, “Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan perusahaan pada kami sebagai tim fasilitator. Dengan ini kami terima peserta pelatihan untuk diproses dalam pelatihan.” Kadang kita juga memberi tambahan yang agak “menakut-nakuti peserta” seperti, “Karena sudah diserahkan sepenuhnya pada kami oleh pihak perusahaan, maka artinya kami bebas melakukan apa saja terhadap peserta, termasuk jika nanti peserta harus makan cacing,” Hiiii…. seram sekali. Nah biasanya dari pihak perusahaan/ sekolah malah tersenyum mendengarnya. Kalau pemimpinnya punya selera humor tinggi, dia bisa menambahi, “Ya, betul, terserah fasilitator, kalau perlu lebih berat lagi juga tidak apa-apa,” hah?
Setelah acara serah terima (kalau saya, selalu diiringi dengan doa pembukaan juga) maka acara sepenuhnya kita kendalikan. Perwakilan dari pihak sekolah/ perusahaan bisa tinggal di lokasi untuk mengamati, atau sebaliknya meninggalkan kami, untuk kemudian datang lagi ketika proses selesai untuk acara penutupan. Acara pertama biasanya perkenalan, ice breaking, atau sejenisnya. Baru dilanjut dengan konten pelatihan; entah ceramah, permainan, outbound, simulasi, diskusi atau apa lah. Kita tak akan cerita proses pelatihan, karena, masih ingat khan, fokus kita adalah pada acara serah terima peserta pada kita, yang biasanya berlangsung cenderung administratif, simbolis, seremonial, atau formalitas.
Dulu, saya berpikir acara serah terima atau pembukaan kegiatan pelatihan hanyalah sebuah seremonial saja. Namun seiring dengan banyaknya (refleksi) kegiatan yang saya fasilitasi, maka pemikiran tersebut kemudian berkembang sehingga acara tersebut bisa lebih bernas dimaknai oleh pihak perusahaan/ sekolah juga pada peserta, sekaligus kita sang fasilitator.
Alur pikirnya sederhana, ketika ada satu pihak mempercayai kita untuk melatih karyawan/ muridnya dalam suatu proses pelatihan pengembangan diri, maka artinya mereka percaya pada kompetensi kita untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Bagi kita, apa arti kepercayaan tersebut? jika pola pikir kita hanya “Ah, pelatihan ini seperti biasanya, sekedar aktivitas bisnis belaka; mereka butuh, kami bisa melakukannya” berarti kita masih perlu merenungkan lebih lanjut arti pembelajaran. Kita bisa berpikir ketika kita diberi kepercayaan, maka kita terpanggil untuk membalas kepercayaan tersebut dengan cara mengelola proses sebaik mungkin sehingga tujuan yang diharapkan tercapai. 9 kata terakhir tadilah yang selalu menjadi acuan saya dalam merancang skenario kegiatan pelatihan.
“Mengelola proses sebaik mungkin sehingga tujuan yang diharapkan tercapai” sebenarnya dapat dilakukan mulai saat “upacara” serah terima dan pembukaan/ pengantar pelatihan. Ada momentum ketika pihak yang menyerahkan peserta pada kita, masih berada di tempat, dalam suasana formal pula. Walau pimpinan sudah menyerahkan peserta pada kami, namun sering kami tidak langsung menerima penyerahan peserta; apa maksudnya? Inti pemikirannya adalah kami tidak otomatis menerima peserta untuk berproses, kami juga ingin tahu sejauh mana peserta siap untuk berproses. Tentu pelaksanaan di lapangan kita lakukan dengan dialog dengan peserta, maupun pimpinannya.
Hanya peserta yang siap mengikuti proses dengan sepenuh hatilah yang bisa kami terima. Jika ada peserta yang tidak siap, berarti siap-siap juga dipulangkan. Biasanya sih peserta menyatakan dirinya siap, kenapa? Karena di situ khan masih ada pimpinan/ kepala sekolahnya, mana berani mereka menyatakan belum siap berproses. Yang ada adalah siap, siap, dan siap melaksanakan seluruh proses, apa pun itu nanti. Ketika kita sudah mendengar langsung kesiapan semua peserta untuk berproses, termasuk dengan segala resiko dan konsekuensinya, barulah kita nyatakan pada pimpinan/ kepala sekolah bahwa kita menerima mereka sebagai peserta pelatihan.
Hal berikut ini bisa dilakukan ketika pimpinan/ kepala sekolah masih ada di lokasi atau (ketika kondisi tidak memungkinkan) tanpa mereka. Namun ketika kita bisa mengajak pimpinan untuk mengikuti proses ini, tentu lebih baik. Proses apa sih kok, sepertinya penting. Ah, sebut saja acara orientasi; kenapa penting? Karena kesan pertama begitu menggoda. Hal yang perlu dilakukan adalah kepastian pemosisian peserta dalam konteks kegiatan pelatihan, terutama terkait relasi antara peserta dan fasilitator. Orientasi menjadi penting karena kita ingin seluruh peserta punya persepsi yang sama, sesuai kondisi tertentu untuk memulai proses pelatihan.
Tahukah kita apa yang dipikirkan/ dirasakan peserta ketika memulai kegiatan pelatihan? Kemungkinannya bisa bermacam-macam, misal:
· Menurut cerita kakak kelas, acara latihan kepemimpinan ini menyeramkan, aku takutttt.
· Asyiiik, aku akan dilatih menjadi pemimpin selama 3 hari, aku semangat.
· Whaduuuuh, mau diapakan aku ini?
· Ah, perusahaan hanya buang-buang uang saja, ngapain juga diadakan kegiatan semacam ini, nggak ada gunanya.
· Wah, fasilitator yang itu kayaknya nantang banget, tunggu saja, akan kubikin gara-gara nanti.
· Wah, bisa nggak yha aku yang belum bisa apa-apa ini menyelesaikan latihan ini?
· Ini kali ketiga aku ikut outbound semacam ini, semua permainan sudah kukuasai, pasti membosankan deh, acara ini.
· Wah, ada tantangan baru nih, aku siap untuk berkembang!
Kita tidak bisa mencegah peserta berpikir atau merasa apa. Oh yha, saya membedakan antara “berpikir” dan “merasa”; walau keduanya beda, tapi sama-sama akan memengaruhi peserta dalam berproses. Yang bisa kita lakukan adalah kita mengondisikan (pikiran) peserta sehingga bisa berpikir dan berperasaan yang kondusif untuk menyongsong proses pelatihan.
Salah satu konsep yang sering kami sampaikan pada peserta dalam acara orientasi adalah bahwa kegiatan pelatihan (ini) punya target tertentu, yaitu tujuan yang hendak dicapai. Sebutkan atau tuliskan saja tujuannya. Maka segala sesuatu yang terjadi dalam proses adalah demi peserta mencapai tujuan tersebut. Gambarkan (di papan tulis, kalau ada) posisi peserta saat ini, misalnya di garis “start” lalu posisi “tujuan” kegiatan di garis “finish.” Lintasan antara 2 garis itu adalah proses yang harus dilalui peserta. Boleh disampaikan juga bahwa laju peserta tidak selalu lurus, namun kadang perlu belok, menanjak, tiarap, berhenti, meloncat, dan sebagainya, jadi penuh variasi. Kalau peserta diibaratkan “pelari” lalu dimana atau sebagai apa posisi fasilitator?
Fasilitator adalah pihak yang memastikan peserta akan mencapai garis finish atau mencapai tujuan pelatihan dalam waktu yang disediakan. Bisa jadi dalam proses nanti fasilitator menarik atau mendorong peserta yang dipandang perlu bantuan. Mungkin juga nanti fasilitator “menyeret” peserta yang berpotensi keluar jalur. Penegasan utamanya adalah bahwa fasilitator (dengan segala metode pelaksanaan proses) ada di pihak peserta untuk mencapai target/ tujuan kegiatan. Jadi yang perlu dipahami peserta adalah bahwa mereka didukung untuk mencapai tujuan, bukan malah “dihalang-halangi atau dihadang” untuk mencapai “finish.” Nah, untuk itu perlu ada sinergi antara fasilitator dan peserta demi ketercapaian tujuan. Apa jadinya jika hanya salah satu pihak, entah peserta atau fasilitator yang ngotot untuk mencapai tujuan? Jadinya yha nggak jadi-jadi; atau yang tercapai tujuan jadi-jadian, hiiiii… Akhirnya, ketika pemahaman ini sudah dimengerti peserta, biasanya proses akan berjalan lebih ayik dan kondusif.
Kita tanyakan pada peserta, adakah hal-hal yang bisa dilakukan peserta untuk menunjang pencapaian target? Biasanya lalu muncul hal-hal positif yang sebaiknya kita catat untuk penegasan. Ada keseriusan peserta sebagai salah satu penunjang, lalu ada keaktifan peserta dalam seluruh proses, berani bertanya, berani menjawab, berinisiatif, tolong-menolong, tepat waktu, memperhatikan materi, disiplin, proaktif, selalu maksimal dalam tiap acara, dan sebagainya. Nah, kini sudah ditemukan dari peserta hal-hal yang perlu dihayati selama proses, karena disadari itu akan mendukung peserta sendiri dalam mencapai tujuan kegiatan. Alih-alih kita membeberkan berbagai larangan, jangan ini, dilarang itu, dan sebagainya, kenapa tidak dicoba menggali hal-hal yang perlu diupayakan. Saya pikir kalimat-kalimat positif lebih “membentuk” dan menginspirasi peserta daripada larangan.
Sekarang kita cerita tentang hukuman atau sanksi. Konsep hukuman atau sanksi bagi kita yang berpikiran pendek hanyalah sebatas ketika ada peserta melanggar aturan (apalagi yang ditetapkan secara spihak oleh kita) maka perlu mendapat hukuman, titik. Ketika ditanya apa tujuan hukuman itu, tidak bisa menjelaskan, gubrak. Wah kalo hanya segitu pemikiran kita, kacian deh, kita. Memang dalam banyak hal dan kondisi (yang sebenarnya kurang sehat) kita sudah familiar dengan yang namanya hukuman atau sanksi. Namun ketika kita punya “kuasa” untuk mewarnai suatu proses pengembangan diri, maka kalau kita masih waras, sebenarnya terbuka peluang untuk mengkaji segala proses yang kita rancang, termasuk konsep hukuman. Kalau dikaitkan dengan konteks bahwa kegiatan pelatihan harus mencapai target, maka apa pun kejadian selama proses mestinya mengarah pada ketercapaian tujuan; termasuk yang mungkin kita sebut “hukuman” atau sanksi.
Dalam sebuah latihan kepemimpinan, bisa kita terapkan konsep bahwa “hukuman” (kita tidak menyebutnya hukuman) adalah perwujudan kesadaran sekaligus penyesalan seseorang karena melakukan tindakan yang bisa menghambat ketercapaian tujuan. Pada kesempatan tersebut tidak ada yang namanya fasilitator bilang, “Karena kamu sudah melanggar aturan nomor tujuh, yaitu “tidak boleh membiarkan kran air kamar mandi terbuka jika kita meninggalkan kamar” maka sebagai hukumannya kamu harus bla bla bla.” Yang ada adalah (jika diperlukan setelah diskusi sejenak dengan “pelanggar”) peserta pelanggar aturan main bilang, “Pak, karena saya tadi saya lupa mematikan kran air di kamar mandi, yang itu artinya saya kurang teliti, maka saya akan memunguti sampah dedaunan di halaman.” Setelah itu kita hanya bilang “Terima kasih atas kesadaranmu, laksanakan!”
Ada satu lagi konsep “hukuman” yang menggelitik saya, terutama dalam konteks kegiatan latihan kepemimpinan. Berawal dari penamaan “latihan kepemimpinan” yang secara harafiah diartikan peserta dilatih untuk menjadi pemimpin, tentu saja dengan paradigma dan prilaku kepemimpinan. Dalam kehidupan nyata, jika ada anak buah/ karyawan/ murid yang melanggar aturan atau membuat kesalahan, lazim untuk dihukum. Tapi ketika pemimpin yang melakukan kesalahan, siapa yang mau/ berani menghukum? Nah, hal itu menjadi menarik ketika diterapkan dalam konteks “latihan kepemimpinan.” Ketika kita memosisikan bahwa tiap peserta adalah seorang pemimpin (minimal bagi dirinya sendiri), jika dia melanggar aturan main, siapa yang paling patut memberi hukuman? kalau kita menjawab si fasilitator, itu berarti kita masih berfaham “kekuasaan” karena apa pun yang dilakukan fasilitator dianggap benar, mulai dari memberi hukuman sampai memberi hadiah. Menurut saya, yang paling patut untuk segera berubah atau memperbaiki diri adalah si pelanggar. Kita sebagai fasilitator cukuplah memfasilitasi yang bersangkutan untuk sampai pada kesadaran itu.
Sudah adakah kini gambaran yang lebih jernih tentang konsep “hukuman” dalam kisah tadi? Intinya bahwa segala pelanggaran aturan main yang berpotensi menghambat pencapaian tujuan (individu maupun kelompok) perlu disadari oleh yang bersangkutan, untuk kemudian dilakukan sebuah perwujudan penyesalannya. Wah kelihatannya idealis, memang, tapi itu memungkinkan, kok, kita lakukan. Syaratnya yha kita sebagai fasilitator punya konsep yang jernih (dan sehat) serta pengondisian aplikasi konsep tersebut pada peserta secara tepat sehingga iklim pelatihan yang terbentuk sangat kondusif, penuh kesadaran.
Orientasi atau sesi pembuka dalam suatu pelatihan, terutama yang berjangka panjang, berefek sangat menggoda. Orientasi yang baik bukanlah ajang sepihak dari fasilitator untuk menjelaskan larangan-larangan sekaligus hukumannya bagi pelanggar tata tertib. Kadang demi alasan mempercepat proses, sehingga lebih cepat juga masuk ke materi utama, kita kurang mengolah sesi orientasi ini dengan maksimal. Padahal ketika kita bisa memberi pendasaran yang tepat pada peserta terhadap konteks kegiatan, materi, dan fasilitator, itu akan sangat mempengaruhi cara pandang peserta terhadap proses, termasuk jika nanti ada metode yang dianggap aneh-aneh. Ketika peserta sudah berpandangan positif terhadap fasilitator dan aturan main yang dirumuskan bersama, maka artinya peserta dan fasilitator sudah pada jalur yang benar untuk mencapai sasaran dengan efektif dan efisien. Memang kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya, …
Selamat menggoda.
Agustinus Susanta,
Palembang, 15 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar