5 minggu terakhir ini, saya “terjerumus” lagi
dalam dunia arsitektur praktis sebagai seorang arsitek; peran yang praktis saya
tinggalkan dalam 5 tahun terakhir. Lha
apa emangnya yang saya praktikkan,
sebagai seorang sarjana arsitektur dalam 5 tahun terakhir ini? Ya, praktik
sebagai seorang FASEL, alias Fasilitator Experiential Learning. Keduanya adalah
sebuah profesi, baik Arsitek maupun Fasel.
Kenapa bisa begitu? Dan apakah ada hubungan antara arsitek dan Fasel? Oh, agak panjang ceritanya, saya
ceritakan sekarang yha, eng ing engggg….
Arsitek adalah profesi yang secara umum
dipahami sebagai seorang yang merancang/ mendisain sebuah obyek arsitektur,
yang mayoritas adalah bangunan/ gedung. Obyek arsitektur selain bangunan
misalnya taman, monumen, dan bentang alam/ landscape. Apakah arsitek juga
membangun? Oh, tidak sepenuhnya
begitu, peran utama arsitek selesai ketika rancangan/ disain sudah jadi,
biasanya dalam bentuk gambar. Memang menjadi sebuah kelaziman, bahwa ketika
pembangunan, arsitek tetap dilibatkan sebagai arsitek atau pengawas disain. Khan, dia yang merancang, wajar dong jika dalam eksekusi rancangannya
dia terlibat untuk memastikan bahwa apa yang dirancang dan dituangkan dalam
bentuk gambar memang bisa dibangun sesuai yang dipikirkannya.
Dalam praktiknya, arsitek lazim bekerjasama
dengan pihak lain, misalnya insinyur sipil, kontraktor, insinyur utilitas, ahli
taman, ahli listrik, dan sebagainya.
Nah, sekarang cerita dikit tentang Fasel, profesi apa pula itu? Kita harus memahamkan
diri lebih dahulu dengan experiential
learning, sebelum mengupas tentang fasilitatornya. Experiential learning adalah metode pembelajaran menggunakan
pengalaman yang dimaknai. Konteks metode ini sering digunakan dalam suatu
pelatihan pengembangan diri. Suatu “pengalaman” biasanya dirancang sedemikian
rupa dalam jangka waktu tertentu (misalnya 5 hari 4 malam) untuk di-alam-kan
pada peserta pelatihan/ pengembangan diri. Nah,
berdasarkan pengalaman tersebut, peserta distimulus untuk mengambil nilai-nilai
dan manfaatnya untuk digunakan dalam memerbaiki kualitas hidupnya. Ituah
gambaran sederhana tentang experiential
learning, atau “belajar melalui pengalaman.”
Lalu apa itu Fasel? Fasel adalah kependekan
dari “fasilitator experiential learning,” dia adalah orang yang memfasilitasi/
memandu peserta dalam proses pelaksanaan experiential learning. Fasel terlibat
mulai dari merancang sampai melaksanakan program. Dalam tahap perancangan,
seorang Fasel membuat alur “pengalaman” apa yang akan ditimpakan pada peserta.
Apa saja contoh aktivitas yang bisa digunakan dalam experiential learning? ooo
banyak, misalnya berkemah, hiking, berlayar, mendaki gunung, berkuda,
permainan, simulasi, mencari jejak, arung jeram, mendaki gunung, dan sebagainya.
Bagaimana segala aktivitas tadi bisa memberikan
nilai lebih bagi pelakunya sehingga bisa menimba manfaat? Nah, itulah salah satu ilmu yang perlu dikuasai oleh seseorang yang
berprofesi sebagai Fasel. Dalam praktik, seorang Fasel bisa bekerjasama dengan orang
dengan keahlian/profesi lainnya, disesuaikan dengan rancangan pengalaman yang
disusunnya; misalnya dengan operator arung jeram, pemandu penyelaman, pelatih
bekuda, operator high rope, dan
sebagainya.
Saya kira cukup yha, pengantar tentang profesi Arsitek dan Fasel, kini saatnya menyandingkan
keduanya.
3 Pilar Arsitektur
Ada 3 hal yang integral berkelindan dalam dunia
arsitektur, yaitu: Fungsi, Kekuatan, dan Keindahan. 3 hal ini adalah prinsip
utama ilmu arsitektur. Segala hal mengenai arsitektur berakar dari 3 hal ini.
FUNGSI
Jelas, bahwa obyek arsitektur dirancang (dan
dibangun) untuk mewadahi fungsi tertentu. Misalnya, “rumah” dibuat untuk
mewadahi fungsi bermukim. Karena fungsi yang sudah jelas itu, maka ruang-ruang
di dalam rumah dibuat supaya bisa mewadahi aktivitas bermukim; misalnya ruang
tidur untuk tempat tidur, ruang makan untuk tempat makan, kamar mandi untuk
mandi, dan sebagainya. Karena fungsi rumah berbeda dengan, misalnya gedung olahraga,
maka tentu saja tata ruang rumah akan berbeda dengan gedung olahraga.
Arsitektur yang mengabaikan fungsi, bisa dikatakan sebagai obyek abal-abal,
misalnya disain rumah yang diperuntukkan sebagai tempat olahraga, atau disain
gedung olahraga yang justru digunakan untuk rumah sakit.
Jadi, pertama-tama arsitek akan berkarya
membuat obyek arsitektur berdasarkan fungsi yang dikehendaki pemilik rancangan.
Ada adagium terkenal tentang “fungsi” dalam dunia arsitektur, yaitu “bentuk
mengikuti fungsi.”
KEKUATAN
Sering juga disebut sebagai faktor struktur,
kekuatan fisik adalah keniscayaan dalam perancangan obyek arsitektur. Bisa
membayangkan sebuah rumah sakit 6 lantai yang dirancang tanpa menggunakan
fondasi? Hmmm…. bisa jadi, rancangan
tata ruangnya sudah memenuhi kaidah “fungsi,” sebagai rumah sakit; misalnya ada
ruang perawatan, lobby, ruang operasi, dapur umum, ruang linen, kamar mayat,
dan sebagainya. Namun tanpa ada perhitungan kekuatan, mustahillah rancangan
tersebut bisa dibangun. Pada akhirnya disain seperti itu akan jadi “sampah
arsitektur”
Contoh sebaliknya; sebuah rancangan pos
penjagaan keamanan kompleks perumahan, ukuran 2,5 x 2 meter dibangun dengan
fondasi cakar ayam dan 6 tiang dari beton bertulang ukuran 40x40 cm. Bisakah disain
semacam itu dibangun? Ooo tentu bisa,
tetapi itu khan amat sangat lebay, cenderung menuju kemustahilan. Kenapa
harus membuat struktur sedemikian “gigantik” untuk sebuah pos seluas 5 meter persegi, kalau masih bisa
menggunakan 4 tiang praktis beton bertulang seukuran 15x15 cm?
Ya, faktor kekuatan/ struktur mutlak diperlukan
supaya sebuah obyek arsitektur bisa “berdiri” dan kokoh digunakan. Sehebat apa
pun rancangan tata ruang sebuah bangunan, mestinya itu dibuat supaya bisa
berdiri/ dibangun khan?
ESTETIKA
Bisakah sebuah bangunan, didirikan hanya
berdasarkan pemenuhan faktor “fungsi” dan “struktur” saja? Pada dasarnya bisa,
namun ketika sebuah obyek arsitektur terwujud, otomatis, mau tak mau ada unsur
estetika yang mengemuka. Estetika atau keindahan merupakan pilar ketiga yang menopang
ilmu arsitektur. Sesederhana apa pun sebuah obyek arsitektur, maka sudah terpancar
unsur keindahan di sana, bahkan ketika sisi estetika tidak dipikirkan oleh
perancanganya. Nah, ketika sedari awal sisi estetika dipikirkan dalam
perancangan obyek arsitektur, hasilnya tentu lebih bernas, dan itulah proses
yang benar.
Secara kasat mata, unsur keindahan tampil
melalui gaya arsitektur; misalnya sekedar menyebut contoh, gaya tradisional,
modern, art deco, minimalis, dan sebagainya. Unsur keindahan pun terbentuk
melalui perbandingan/ skala, komposisi warna, pilihan material, dan aneka
aksesoris/ ornamen arsitektur. “Keindahan” adalah soal rasa perasaan kita
ketika melihat/ menikmati sebuah karya arsitektur. Sebagian besar orang susah
mendefinisikan bagaimana sebuah keindahan terpancar dalam suatu obyek arsitektur,
namun jauh lebih mudah merasakan apakah sebuah bangunan itu tampak indah, atau
sebaliknya, kacau.
Apakah kita mau menyekolahkan anak kita di
Taman Kanak-kanak yang bangunannya sudah fungsional, strukturnya kuat, namun
dinding kelasnya dicat hitam dengan eksyen percikan-percikan dan leleran darah,
serta aksesoris tengkorak? Hiiii….
sudah jauh dari indah, mengerikan pula, emangnya
rumah hantu? Ya, keindahan bagi sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat
belajar anak-anak usia TK, diidentikkan dengan warna-warna yang cerah, kalau
perlu warna-warni, dengan hiasan gambar-gambar yang menginsipirasi si anak.
Unsur estetika atau keindahan dalam dunia
arsitektur otomatis melekat dalam sebuah obyek arsitektur, entah itu melalui
perencanaan atau tidak. Unsur inilah yang secara kasatmata memberi nilai rasa
terhadap keberadaan obyek arsitektur.
Nah, itu tadi sekilas (banget) tentang 3 hal
yang menjadi akar dunia perarsitekturan. Dalam menilai keberhasilan sebuah
obyek arsitektur, kita cukup memilahnya dalam 3 hal tadi, apakah berfungsi
sesuai peruntukannya, apakah strukturnya mantap dan proporsional, dan terakhir
apakah keindahannya menyamankan penggunanya. Ketika ketiga hal tadi terpenuhi,
maka cukuplah bahwa obyek arsitektur itu dinyatakan baik atau berhasil.
3 Pilar Experiential Learning
Kini kita masuk ke dunia experiential learning,
yang ternyata mengandung 3 hal integral yang menopangnya, yaitu sisi: Fisik,
Intelektual,dan Emosi.
FISIK
Apa mau, kita mengikutkan karyawan kita dalam
program pelatihan peningkatan kerjasama, namun selama 4 hari hanya diisi
ceramah saja? Pelatihnya terkenal lho,
Profesor Anu, materinya sangat bagus, hasil riset tahun terakhir, kelasnya oke, dilengkapi sarana audiovisual
tercanggih. Mau? Ya terserah sih…. ,
kalau saya sih nggak mau. Kenapa?
Karena saya mengharapkan setelah pelatihan, para karyawan betul-betul bisa
meningkat kerjasamanya, bukan sekedar “pengetahuan/ ilmu bekerjasama,” dan saya
meyakini itu bisa ditempuh dengan latihan-latihan bekerjasama, bukan sekedar mendengarkan
teori dan ceramah tentang kerjasama yang baik. Contoh pelatihan tadi bukannya
jelek, namun itu bukanlah metode tertepat jika tujuannya adalah peningkatan
kerjasama.
Kegiatan fisikal, psikomotorik, atau pergerakan
adalah salah satu unsur utama dalam sebuah experiential learning. Ya, pembentuk
utama dalam experiential learning adalah pengalaman yang melibatkan fisik atau
tenaga peserta, misalnya membuat sesuatu, berjalan, berenang, berlari, menari,
berkemah, menyeberangi danau, dan sebagainya. Mengambil contoh sebelumnya, jika
bertujuan meningkatkan kerjasama, maka secara fisik, yang perlu dilakukan peserta
pelatihan adalah aktivitas yang memang bisa memerlihatkan dinamika bekerjasama
antarpeserta. Banyak, kok, permainan yang
bertujuan mengembangkan kerjasama antarpemain, dan itu menjadi salah satu
pilihan aktivitas fisiknya. Apapun hasil dari pengalaman fisik, itu bisa
dilihat, dirasa, dan dianalisis/ dinilai bersama untuk diambil maknanya. Tanpa aktivitas
fisik, experiential learning jadi absurd, dan pada akhirnya kita geser itu
bukan lagi aktivitas experiential learning.
INTELEKTUAL
Sisi intelektual merupakan pengetahuan atau
pemikiran yang ingin dipahamkan ketika seseorang mengikuti proses experiential
learning. Contoh sederhananya begini, sebuah perusahaan ingin meningkatkan kualitas
kerjasama antarkaryawannya, menggunakan pelatihan bermetode experiential
learning. Maka jelaslah bahwa maksud experiential learning dalam konteks
tersebut ditujukan untuk meningkatkan
kualitas kerjasama peserta. Dalam proses pelatihan, peserta dianimasi
sedemikian rupa sehingga konten-konten bagaimana meningkatkan kerjasama (dilakukan
dan) direnungkan/dipikirkan oleh peserta.
Proses berpikir atau mengolah pengetahuan
(baru) mutlak diperlukan dalam experiential learning karena tanpa proses ini,
susah bagi peserta untuk memaknai nilai-nilai dari pengalaman yang sudah
dilaluinya. Dalam contoh pengalaman yang dimaksudkan untuk meningkatkan
kerjasama, maka perlu dibuat sebuah dinamika/ pengalaman yang menuntut
pengolahan pengetahuan/ sisi intelektual peserta. Kita perlu membuat skenario
jika sebuah pengalaman tanpa dilandasi olah intelektual peserta, maka hasilnya bisa
beda jika menggunakan olah “pengetahuan”. Ini bukan tentang gagal atau
keberhasilan fisik semata, yha, namun
tentang memertanggungjawabkan modal pengetahuan peserta dalam mengarungi
pengalaman (baru). Bisa jadi lho,
justru peserta yang secara intelektual dipandang pandai, justru “kalah” dalam
hal bekerjasama dari peserta dari kalangan berkepintaran biasa-biasa saja.
EMOSI
Apa pun aktivitas dalam program experiential
learning; hal itu menimbulkan dampak psikologis bagi pelakunya, entah senang,
sedih, gembira, biasa-buiasa saja, membosankan, terkejut, heran, tersanjung,
tertekan, dan sebagainya. Experiential learning yang baik harus menyertakan
faktor “emosi” ini, karena tanpa unsur emosi, pengalaman akan terasa biasa
saja, datar, tanpa sensasi, dan pada akhirnya tidak membawa kesan bagi
pelakunya. Nah, kalau si pelaku
sendiri kurang atau tidak terkesan, bagaimana mau mengangkat pengalaman
tersebut sebagai sebuah pembelajaran? Berat, khan?
Sisi emosional dalam experiential learning memang
relatif tidak terlihat secara fisik, namun bisa tercermin dalam suasana selama
proses. Dengan ilmu yang bisa dipelajari saat akan menjadi fasel, maka kita
bisa memprediksi dengan aktivitas fisik tertentu, maka akan timbul emosi-emosi tertentu
dari peserta, dan itu justru yang diharapkan mendukung dalam proses pemaknaan
pengalaman. Namun, bisa jadi kekacauanlah yang terjadi gara-gara kita tak
memerhitungkan faktor emosi peserta. Kalau tidak karena tanpa greget,
sebaliknya emosi peserta tak terkendali sehingga menutup hati untuk diajak
memaknai pengalaman. Sama-sama kacau khan?
Bersanding
Itu tadi penjelasan singkat tentang dunia
arsitektur dengan experiential learning. Ternyata keduanya sama-sama didasari
tiga hal saja yang fundamental. Prinsip dasar dalam berarsitektur adalah
merancang dan membangun (hanya) dengan 3 tolok ukur saja, yaitu: Fungsi,
Kekuatan, dan Estetika. Prinsip dasar ber-experiential learning juga (hanya)
mengolah 3 unsur saja, yaitu sisi: Fisik, Intelektual, dan Emosi, sama-sama
tiga deh, mantaph… lha, gitu aja kok mantap sih. Tentu akan lebih mantap kalau bisa
kita sandingkan keenam hal tersebut, kita coba yach.
Aspek “Fungsi” dalam dunia arsitektur mirip
dengan unsur “Fisik” dalam experiential learning. Dalam arsitektur, fungsi menjelaskan
apa saja aktivitas yang hendak dilakukan, dan itu akan menurunkan apa saja
ruang-ruang yang diperlukan. Jika dalam sebuah bangunan misalnya ada ruang
lobby, kantor, dapur, dan gudang, itu sudah jelas fungsinya. Arsitek yang baik
tentu bisa mengorganisir perletakan berbagai ruang tadi sehingga membuat nyaman
penggunanya. Aktivitas “Fisik” dalam
experiential learning merupakan proses yang kasat mata, dan itu menjadi fondasi
yang jelas akan pengalaman-pengalaman si pelaku. Misalnya ada kegiatan
mendirikan tenda, berkemah, berkano, dan memancing; jelas khan apa kegiatannya?
Nah, Fasel yang baik tentu bisa mengalurkan kapan saja berbagai kegiatan tadi
dikronologiskan sehingga ketika dimaknai bisa nyambung.
Sisi “Kekuatan” dalam arsitektur, bisa
disamakan dengan sisi “intelektual” dalam experiential learning. Seefektif dan
seindah apapun rancangan bangunan, toh harus bisa didirikan, dan itu memerlukan
perhitungan struktur/ kekuatan. Mirip dengan itu, melakukan perbuatan/
pengalaman tanpa ada pemikiran, analisis, atau perhitungan, itu jauh dari
mengesankan karena dipastikan tidak akan menimbulkan “resiko” bagi pelakunya.
Tanpa pengolahan sisi intelektual, experiential learning bagaikan bangunan yang
rapuh karena strukturnya tidak kokoh. Seseorang kelihatannya sibuk menjalankan
berbagai kegiatan fisik, tetapi itu tidak berdasar pada sesuatu, dan parahnya
tidak disasarkan pada sesuatu pula, gawaaattt…
Akhirnya, sisi “Keindahan” dalam arsitektur
bolehlah dianalogikan dengan sisi “Emosi” dalam experiential learning.
Merancang bangunan agar tampak indah dan memberi sumbangan (setidaknya
kontribusi visual) bagi lingkungannya, mirip dengan sisi psikologis yang perlu
diolah sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya, dengan suasana hati yang
mendukung, muatan experiential learning bisa terserap maksimal. Fasel yang mumpuni
bisa merancang dan mengeksekusi experiential learning dari aktivitas yang
sederhana; yang tentunya bisa menyentuh sisi emosi si pelaku. Hal itu setali
tiga uang dengan seorang arsitek handal yang bisa menyiratkan aura keindahan
dari komposisi atau material bangunan yang
sederhana. Sebaliknya, Fasel yang sontoloyo bisa saja gagal menyampaikan makna
pada peserta akan sebuah aktivitas yang rumit, dan mahal; mirip arsitek yang
disainnya kurang estetis walau menggunakan material yang bagus dan mahal
harganya.
Yakin nih,
Apakah memang hanya 3 hal yang melingkupi arsitektur dan experiential learning?
Kalau halnya tentu banyak, tetapi sepengetahuan saya, semuanya bisa ditarik
dalam hanya 3 hal itu saja. Yang perlu dicamkan adalah walau semua hanya
berakar dalam 3 hal saja, namun ilmu dan kompetensi yang perlu dikuasai agar
menjadi Arsitek maupun Fasel yang lihai sangatlah banyak; percayalah. Catatan
saya edisi berikutnya akan menguak lebih lanjut bahwa dunia arsitektur itu makin
mirip dengan dunia experiential learning; seru!
Arsitektur yang baik bisa diproses oleh arsitek
yang kompeten; yang secara sederhana berhasil menggabungkan sisi fungsi,
kekuatan, dan estetika pada obyek yang dirancangnya. Demikian juga proses
experiential learning yang maksimal hanya bisa difasilitasi oleh Fasel yang
juga kompeten, yang bisa meramu sisi fisik, intelektual, dan emosional peserta
sehingga memaksimalkan proses pembelajaran.
Palembang 1 Mei 2016
Agustinus Susanta;
Arsitek sejak 1999, Fasel sejak 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar