Outbound itu Menyesatkan
Outbound
itu menyesatkan, yah, itulah judul buku tentang outbound yang pertama kali saya
beli pada tahun 2005. Saya membelinya bukan karena ingin tersesat, tetapi
karena penasaran kenapa outbound itu bisa menyesatkan. Setelah saya membacanya
dengan tuntas, dengan beberapa kali mengulang bagian yang membingungkan,
akhirnya saya menyimpulkan bahwa yang yang dimaksud menyesatkan itu adalah
ketika outbound dilaksanakan dengan sembarangan. Ketika outbound dirancang,
dilaksanakan, apalagi sampai dimaknai dengan cara yang tidak pas, bahkan
keliru, justru akan menghasilkan sesuatu yang kontraproduktif, alias
ketersesatan tersebut.
Pengalaman
yang akan saya ceritakan ini bukan menceritakan bagaimana supaya kita tidak
“tersesat,” dalam melaksanakan outbound, namun mengenai kata “outbound” yang
tampaknya sudah tersesat namun bebas berkeliaran di sekitar kita. Bagaimana
bisa begitu? Kita simak saja segera.
Ketersesatan Outbound
Pada
tahun 2010, saya mengikuti pelatihan
menjadi fasilitator experiential learning
di Ciawi, Bogor. Experiential learning
adalah metode pembelajaran yang menitikberatkan pembelajaran melalui pengalaman
yang dialami oleh peserta didik itu sendiri. Experiential learning mempunyai siklus sederhana; peserta
mengalami, menceritakan, mengambil makna pengalaman, dan terakhir peserta
menerapkan makna tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Perwujudan experiential learning sangat beragam
dalam berbagai kegiatan, misalnya melalui pendakian gunung, penjelajahan hutan,
perkemahan, permainan, simulasi, berkano mengarungi danau, menyeberangi rawa,
arung jeram, dan kegiatan lain yang bernuansa petualangan.
Suasana Training |
Saat
pelatihan tersebut saya baru mendapat pencerahan bahwa sebenarnya “outbound” tidak punya arti dan makna ada-apa.
Sungguh suatu pengetahuan baru yang mengejutkan. Sebelumnya saya memikirkan
outbound adalah semacam pelatihan di alam terbuka. Saya baca pula dalam buku
“Merancang Outbound Training Profesional” yang dengan gamblang menyebutkan
bahwa outbound adalah metode pengembangan potensi
diri melalui rangkaian kegiatan simulasi/permainan/ dinamika, yang memberi
pembelajaran melalui pengalaman langsung.
Salah satu pengertian “Outbound” yang terdapat dalam artikel kompasiana tak
kalah dahsyat; “Sesungguhnya outbound adalah kegiatan belajar yang dikemas dalam
bentuk permainan yang dilakukan di luar ruangan, dengan tujuan untuk
mengembangkan karakter dan pola pikir seseorang.”
Namun,
dalam Kamus Bahasa Indonesia “outbound” itu tidak ada pengertian atau
penjelasannya, atau dengan kata lain tidak mempunyai makna apa pun. Jika kita
menelusuri kata “outbound” dalam Bahasa Inggris pun, kata itu justru berarti istilah perjalanan
berwisata ke luar negeri. Wah, jauh sekali dengan urusan pelatihan ataupun
belajar. Benar-benar menyesatkan.
Di
luar ketersesatan saya akan definisi “outbound” ternyata yang lebih
memprihatinkan adalah banyak sekali di antara kita yang sebenarnya juga
tersesat. Mau bukti? Coba kita ketik kata outbound dalam mesin pencari konten
di internet. Sudah coba? Kalau sudah, kita lihat artikel/ tulisan yang memuat
kata outbound yang konteksnya di Indonesia hampir semuanya mengarah bahwa
outbound itu semacam kegiatan permainan di alam terbuka. Tidak sedikit pula
yang mengaitkan outbound dengan suatu pelatihan pengembangan karakter atau
kepribadian, luar biasa. Mau bukti lebih sahih? Gampang, ketika teman-teman
membaca artikel ini dan mengira “outbound” adalah semacam kegiatan permainan di
alam terbuka, maka valid sudah ketersesatan kita bersama.
Lalu,
bagaimana duduk perkara sebenarnya dari kasus kemunculan dan keberedaran kata “outbound”
ini? Ceritanya menarik.
Semua
berawal ketika pada tahun 1990an, ketika sebuah lembaga pengembangan karakter
bernama “Outward Bound International” membuka cabang di Indonesia. Lembaga ini
sudah dirintis sejak tahun 1940 dan sudah berkembang di banyak negara. Ketika
masuk ke negara kita ini, program tersebut dinamai “Outward Bound Indonesia”
atau disingkat OBI. OBI mempunyai pusat pelatihan di seputar Waduk Jatiluhur
Purwakarta. Lembaga ini mengembangkan karakter peserta didiknya melalui
rangkaian kegiatan experiential learning
yang berbasis pada petualangan di alam terbuka. Kegiatan yang sangat bagus ini
bisa berlangsung 4 hari sampai 2 minggu lamanya, tergantung program apa yang
diusung.
Pada
waktu itu masyarakat sekitar Waduk Jatiluhur yang mayoritas Suku Sunda, susah
melafalkan kata “Outward Bound” sehingga
mereka lebih mudah dan familiar menyebut outbon, outbound, otbond, outbond,
atau kata-kata sejenisnya. Karena faktor kebiasaan itulah akhirnya masyarakat
di Indonesia mengenal kosa kata “outbound” yang identik dengan pelatihan atau
kegiatan di alam terbuka. Pihak peserta pelatihan, penyedia jasa, toko
perlengkapan petualangan, perusahaan, obyek wisata, pemerintah, bahkan media
masa sudah sangat jamak menggunakan kata “outbound” untuk mengidentifikasi
kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan pelatihan di alam tersebut. Selain
mudah diucapkan, juga berkesan luar negeri; wah cocok dengan selera sebagian masyarakat
kita.
Apa yang keliru?
Lalu
apakah ada yang keliru dengan fenomena tersebut? Wah, sulit juga mengadilinya
karena kata outbound sudah demikian kuat persepsinya sehingga dianggap suatu entitas
tersendiri. Seorang teman bahkan berpendapat dengan ekstrim; “outbound” itu ibarat anak haram yang tidak diinginkan
kelahorannya, namun terlanjur sudah lahir dan kini bahkan sudah bisa berlarian
kesana kemari. Di sisi lain, tampaknya tidak ada pihak yang dirugikan dengan
penggunaan kata tersebut.
Salah satu kaos yang menggunakan termin "outbound" |
Sejauh
ini penggunaan kata “outbound” dalam masyarakat lancar-lancar saja, tidak
bermasalah secara umum. Namun, bagi sebagian teman-teman yang bergiat dalam
kegiatan experiential learning, ini
menjadi masalah prinsip. Semakin mereka tahu sejarah melegendanya kata
“outbound,” biasanya makin kritis pula menyuarakan agar kita menggunakan
istilah yang tepat. Diskusi dan perdebatan mengenai kata “outbound” tampaknya
belum akan berakhir karena tiap pihak punya argumentasi masing-masing. Saya
tahu persis dinamika ini karena kebetulan saya menjadi pengurus atau
administrator Grup Facebook “AELI/
Asosiasi Experiential Learning Indonesia”. Anggota grup ini ratusan orang dan
beragam profesi, termasuk sebagian besar para pendiri dan instruktur Outward
Bound Indonesia.
Pada
bulan Mei 2012 saya bahkan sampai mengeluarkan jajak pendapat pada teman-teman
tentang kata “outbound” ini yang dijuduli "Antara Aku dan Outbound.” Sebelum
menjawab pertanyaan, pada anggota grup disajikan 3 artikel yang menjelaskan
tentang sejarah kata “outbound.” Lebih kurang sejarahnya seperti yang sudah
saya kemukakan tadi. Pertanyaannya sederhana. “Setelah tahu sejarah kata outbound,
bagaimana pilihan sikap kita terhadap kata outbound tersebut?” Empat jawabannya
adalah:
- Berusaha menjelaskan hubungan kata “outbound” dengan experiential learning, dipilih oleh 45% suara
- Berusaha memberi makna pada kata “outbound,” dipilih oleh 32% suara
- Berusaha menghindari kata “outbound,” dipilih oleh 20% suara, dan
- Sejujurnya saya tidak peduli, dipilih oleh 2% suara
Komposisi
jawaban tersebut menggambarkan bahwa di antara teman-teman yang sudah tahu
sejarah kata outbound saja, hanya seperlimanya saja yang akan tegas berusaha
menghindari kita outbound. Sepertiganya bahkan akan “nekat” memberi makna pada
kita “outbound” padahal mereka sadar bahwa selama ini sebenarnya “outbound” itu
tidak punya definisi. Saya adalah salah
satu yang memilih opsi tersebut. Pertimbangannya sederhana, kata “outbound”
sudah terlanjur populer, bahkan saya sendiri sudah “tersesat” menulis dua buku
yang judulnya menggunakan kata “outbound.” Alih-alih masyarakat menafsirkan
sendiri apa itu “outbound” mengapa saya tidak menawarkan sebuah definisi baru?
Dan saya memilih melakukannya.
Masih
ada kisah yang lebih menarik tentang pembatalan penggunaan kata “outbon” dalam
suatu program Pemerintah Indonesia. Cerita bermula ketika Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (saat itu masih bernama Kementerian Kebudayaan
an Pariwisata) hendak membuat sertifikasi profesi bagi petugas atau pemandu
kegiatan outbound. Sertifikasi ini dianggap penting karena mulai banyak obyek
wisata yang menawarkan menu outbound atau permainan-permainan menantang di
ketinggian, atau yang kerap disebut high
rope. Karena menyangkut keselamatan peserta outbound, maka segala jenis
permainan tersebut harus dijalankan oleh operator/ petugas/ instruktur/ pemandu
yang kompeten. Sertifikasi bagi para petugas tersebut dianggap solusi yang
tepat guna mengantisipasi kecelakaan dalam berbagai kegiatan high rope di lokasi obyek wisata. High rope adalah permainan menantang
yang menggunakan media tali di ketinggian tertentu.
Bukan
sertifikasinya yang akan kita kritisi, tetapi penamaan terhadap petugas
operator high rope tadi yang menjadi
diskusi hangat. Semula, pemerintah menamai program tersebut dengan Sertifikasi
bagi “Pemandu Outbon.” Mengapa nama “outbon” menjadi pilihan pertama yang
digunakan? Tentu saja karena secara umum masyarakat berpengetahuan bahwa
kegiatan high rope itu identik dengan
outbound atau outbon. Padahal sebenarnya high
rope hanya salah satu aktivitas yang bisa digunakan dalam experiential learning.
Beruntunglah
kita karena ternyata dalam proses persiapan sertifikasi, Pihak Kementerian
menggandeng AELI untuk merumuskan konten sertifikasi tersebut. Berkat diskusi
yang intensif antara pihak pemerintah dan Asosiasi, akhirnya kata “Pemandu
Outbon” dirubah menjadi “Fasilitator Experiential learning” atau disingkat
dengan Fasel. Apa yang akan terjadi jika nama “Pemandu Outbon” terlanjur
menjadi profesi yang “diresmikan” oleh pemerintah melalui sertifikasi yang
tentu resmi adanya?
Walau
sadar akan konteks kata “outbound” dalam dunia experiential learning, saya memilih tidak mempersoalkan hal itu
sehingga tetap menggunakan kata tersebut dalam tiap kegiatan pendampingan atau
pelatihan berbasis permainan yang saya kelola.
Mengurai Ketersesatan
Namun
bulan Juni 2012 lalu saya meninjau ulang
kenekatan tersebut setelah ada teman yang memajang fotonya di depan papan
petunjuk di sebuah stasiun di Amerika. Bukan foto teman
saya yang bepergian ke Amerika yang memeranjatkan saya, tetapi tulisan di papan
petunjuk tersebut. Di situ tertulis dengan huruf besar “Track 2 Outbound” dan
menurut dia hampir di setiap pintu kereta bawah tanah
pasti ada kata “inbound” dan “outbound.”
Dia menduga yang dimaksud dengan dua
kata tersebut
adalah pintu masuk dan pintu keluar.
Komentar teman saya masih saya ingat karena
antik; begini. Coba misalnya kita kenalan dengan orang Amerika di stasiun
tersebut dan memperkenalkan diri kita sebagai “Instruktur Outbound” barangkali
dia akan heran, “Kenapa pintu keluar ada instrukturnya? Aneh sekali orang
Indonesia satu ini.” Padahal kalau dia datang ke Indonesia dan
menyadari bahwa banyak orang berprofesi sebagai instruktur atau fasilitator
outbound, tentu dia akan tambah takjub. Ketakjubannya barangkali akan berubah
menjadi keheranan jika mengetahui bahwa di Indonesia kata “outbound” itu
identik dengan pelatihan di alam.
Jika
diteruskan, tentu cerita dan diskusi ini akan tambah panjang dan belum tentu
selesai, maka akan bijaksana jika kita bisa mengambil sesuatu dari kejadian
ini. Hal ini sesuai juga dengan siklus experiential
learning yang sedang kita bicarakan ini. Setelah kita mengalami sesuatu,
kita berbagi cerita, lalu kini saatnya mengambil pemaknaan darinya, lalu nanti
kita membuat gerakan perbaikan apa.
Ketersesatan
penggunaan kata “outbound” berasal dari masuknya program pendidikan asing ke
Indonesia. Sebenarnya tidak hanya dalam dunia pendidikan, kata atau istilah
asing menghujani Indonesia, lebih banyak lagi tentu di bidang teknologi
informasi. Ada istilah atau kata-kata asing yang bisa “diindonesiakan” baik
secara resmi mau pun berdasar kesepakatan saja, namun ada pula yang memang
belum tertemukan padanannya. Nah, sialnya ada juga nama produk asing yang
kemudian bertransformasi menjadi semacam kata baku dengan pengertian yang
termodifikasi pula, salah satu contohnya ya “outbound” tadi.
Dalam
dunia pendidikan populer dan ekonomi, khususnya menyangkut kegiatan “outbound”
sebagai sebuah rekreasi atau pendidikan, sejauh ini istilah “outbound” sudah
diterima secara luas dengan persepsi yang bisa dikatakan seragam. Misalnya seorang
karyawan yang tinggal di Kota Medan bercerita pada temannya yang tinggal di
Kota Jayapura bahwa dia baru saja mengikuti pelatihan outbound, maka bisa
dipastikan yang ditangkap oleh sang teman tadi tentang “outbound” sama dengan
yang dimaksudkan oleh si orang di
Medan tadi.
Bagi
pelaku kegiatan “outbound” itu sendiri, sebagian besar asyik saja menggunakan
terminologi tersebut tanpa merasa tersesat atau menyesatkan orang lain.
Pemerintah dan media massa pun sudah ‘tersesat’ dalam menggunakan kata “outbound” baik dalam
menamai programnya maupun pemberitaannya. Pertanyaan pancingannya adalah “Kalau
di Indonesia semua merasa baik-baik saja dengan “outbound” lalu apa masalahnya?”
Masuk akal juga, di mana permasalahannya? Biarlah di Indonesia outbound
diasumsikan punya definisi tertentu, walau berbeda dengan pengertian di luar
negeri.
Dalam
bidang lain, misalnya ekonomi, kesehatan, teknologi informasi, atau kesenian,
mungkin kita akan menemukan kasus serupa. Sebuah istilah asing yang penamaannya
tidak baku, tetapi terlanjur digunakan secara massal. Pemerintah sebenarnya
sudah mengupayakan pembakuan kata-kata asing dalam bahasa Indonesia, terutama
kosa kata baru yang muncul seiring dengan perkembangan teknologi. Nah, bagi
kita yang menemui kata asing yang populer digunakan namun belum ada padanannya
dalam Bahasa Indonesia, tentu bisa menginformasikannya pada pihak terkait.
Bagi
kita yang kita sendiri yang masih galau apakah mau tetap menggunakan kata yang
populer tapi keliru, atau apakah tetap menggunakan versi aslinya, baik juga
menyimak komentar teman saya yang tadi sudah muncul dalam cerita. Masih
kelanjutan tentang kemunculan kata“outbound” pada papan petunjuk di stasiun
kereta di Amerika sana.
Sah-sah saja kita mau
menggunakan istilah apa, tapi mohon dipikirkan sejauh mana kita mau bergaul. Kalau kita dari awal membatasi
tingkat interaksi kita sekedar lokal saja, sebutan “outbond” atau “outbound”
sudah sah dan diterima. Namun kalau kita mau sedikit menerawang sejauh mana
kita mau memperlebar dimensi dan wawasan kita, misalnya referensi ilmu, koneksi
dengan fasilitator luar negeri, kerjasama lintas negara, dan lain-lain. Maka
sikap kita terhadap 'salah kaprah' “outbound” di masyarakat perlu dipikirkan lagi. Kita
bebas menentukan pilihan sekaligus menghormatinya.
Satu paragraf pendapat teman saya itu
mengakhiri tulisan ini sambil berpikir ulang sejauh mana saya akan menyesatkan
diri dalam “outbound;” sebuah aktivitas pembelajaran
populer yang menunggu istilah bakunya.
Palembang, 28 Agustus 2012
nice post... pak agustinus saya sebagai pengelola situs aelijogja.wordpress.com hendak meminta ijin untuk mengutip salah satu postingan anda di facebook grup AELI mengenai "SEJARAH AELI".... postingan tersebut akan dipublish di halaman artikel aelijogja.wordpress.com, jika berkenan boleh juga mampir di situs kami untuk bisa bertukar pikiran mengenai artikel-artikel yang ada di situs kami... terimakasih...
BalasHapusSalam Kenal....