Kejadian tragis ini terjadi sekitar sebulan lalu, di saat saya hanya bisa menjadi pengamat saja. Pahit, tragis, menjengkelkan, juga melelahkan; barangkali itu yang dirasakan oleh mereka yang terkena “musibah ini.” 40 orang dilepas dengan perbekalan seadanya untuk menempuh jarak sekitar 9 kilometer. Siang hari, terik, padahal pagi sebelumnya mereka digenjot outbound yang cukup menguras energi, huh.... Eh, gimana sih persisnya kejadian tersebut? Gini....
Saat itu diadakan sebuah training selama sehari semalam bagi karyawan sebuah perusahaan. Training, enaknya kita ganti dengan “pelatihan” saja yach.... Pelatihan tersebut diselenggarakan di sebuah rumah besar yang bisa juga disebut villa, di pedalaman sebuah kampung berjarak sekitar 17 kilometer dari pusat Kota Palembang. Walaupun berjuluk villa, namun peserta ditidurkan di lantai dengan kasur-kasur lipat sebagai alasnya. Kenapa? Karena hanya ada 2 ranjang besar di tempat tersebut yang bisa digunakan, sementara bagian rumah lainnya sangat luas.
Di villa itu makannya pasti enak, eit, tunggu dahulu. Enak nggaknya makanan itu sih relatif, karena ternyata peserta memasak sendiri makanannya. Cerita tentang tempat dan akomodasi kita cukupkan saja. Soalnya bukan hal itu yang menjadi fokus cerita saya.
Hari pertama dilalui dengan pemaparan materi diselingi dengan beberapa permainan yang mendukungnya. Memasak untuk makan siang dan makan malam dilakukan peserta sesuai jadwal. Malam hari ada acara api unggun dan pentas seni, ditutup dengan bakar sate dan jagung.... hmmm...
Hari kedua diisi dengan kegiatan outbound di luar ruangan yang diikuti dengan antusias oleh seluruh peserta. Seluruh proses dan prestasi peserta dihargai dengan sejumlah poin. Menjelang siang, kembali ada peserta yang bertugas masak untuk makan siang. Setelah makan siang, barulah peserta harus menghadapi “kenyataan pahit” yang tadi sudah disinggung di awal tulisan ini.
Fasilitator membuka toko yang “menjual” berbagai jenis minuman yang bisa dibeli oleh kelompok peserta dengan poin-poin yang diperoleh selama proses pelatihan. Hanya dijelaskan bahwa minuman yang dibeli akan digunakan sebagai perbekalan yang akan digunakan oleh kelompok peserta untuk modal/ bekal mengarungi tantangan yang lebih berat dari outbound. Tentu saja para peserta bertanya-tanya, “tantangan apa lagi yang akan kami hadapi nanti?”
Namun tidak semua kelompok menghabiskan poinnya untuk berbelanja, karena mereka masih memperhitungkan jangan-jangan sisa poin juga masih akan digunakan lagi untuk sesuatu yang mereka sendiri juga belum ketahui. Singkat cerita, proses jual beli perbekalan selesai.
Tiba saatnya per kelompok diberi tantangan terakhir, mereka diminta pulang ke Palembang berjalan kaki atau terserah gimana caranya. Dalam kondisi tanpa membawa uang serupiah pun, tantangan itu sungguh mengguncang jiwa raga (cieee.... hiperbolik nian ungkapannya). Coba bayangkan.... ayo bayangkan. Para karyawan, sebagian besar cewek, yang biasa kerja di ruang berAC, berangkat pergi kantor naik kendaraan, kini tiba-tiba harus pulang dari tempat pelatihan berjalan kaki, berkilo-kilo meter pula; Gubraxkz!!!
Fasilitator melepas perjalanan perkelompok tiap 15 menit. 1 kilometer pertama peserta menapaki jalan tanah, berdebu, bergelombang, dan sesekali berlubang tergenang air. Mobil pribadi atau motor jarang ditemui. Untunglah selepas jalan kampung tersebut, peserta berjumpa dengan jalan besar, hmfhh... lega juga. Lebih lega lagi, pada pos pertama yang ditemui, mereka mendapat petunjuk dari fasilitator untuk “hanya” menuju pos kedua yang “hanya” berjarak 8 kilometer jauhnya. Tak ada minuman, makanan, apalagi uang yang didapatkan peserta di pos transit itu. Namun minimal mereka sudah “ketemu” jalan besar yang kendaraan berbagai jenis bersliweran tak henti.
Cerita melompat ke 2 jam berikutnya ketika para peserta berdatangan di pos kedua untuk beristirahat dan berefleksi. Pos kedua adalah salah satu gedung yang dimiliki perusahaan penyelenggara pelatihan tersebut. Di tempat tersebut peserta beristirahat dan kemudian difasilitasi oleh fasilitator untuk merefleksikan apa yang baru saja mereka alami. Melalui pemaknaan peristiwa “perjalanan berat” itulah kami tahu gimana perjuangan 5 kelompok untuk sampai di sana.
Ada kelompok yang menumpang kendaraan umum. Ada kelompok yang menumpang kendaraan bak terbuka, itu pun setelah beberapa kali usaha memberhentikan kendaraan yang melaju. Ada kelompok yang sebelumnya mau nekat jalan kaki, tapi akhirnya di tengah perjalanan memilih nekat untuk menumpang kendaraan saja. Ada kelompok yang menumpang mobil pribadi, tentu saja dengan alasan yang kemudian bisa dimaklumi si pemilik mobil. Ada juga kelompok yang mampir ke salah satu kerabat anggota kelompok untuk pinjam (atau minta, ya?) uang yang digunakan untuk naik angkutan umum.
Banyak pengalaman perjuangan yang tergali dari perjalanan “horor” tersebut, yang kalau dikategorikan jadi seperti ini:
Ada pengalaman shock atau kaget berat ketika mereka “dipulangkan” dengan jalan kaki, tanpa dibekali uang untuk ongkos naik kendaraan umum. Dalam ke-shock-an tersebut tentu tiap pribadi dalam suatu kelompok punya respon masing-masing. Untunglah semua anggota kelompok akhirnya sepakat untuk menyelesaikan misi tersebut, tanpa merengek minta dikasihani fasilitator. Kemampuan mengatasi tekanan tentu sebuah semangat yang perlu terus dipelihara.
Pengalaman berikutnya adalah diskusi/ perdebatan tentang bagaimana tiap kelompok bisa menyelesaikan perjalanan. Apakah tetap jalan kaki, menumpang, jual minuman untuk ongkos, atau gimana? Tentu saja tiap pilihan punya resiko dan konsekuensi. Bahwa kemudian (entah dalam waktu singkat atau berlarut-larut) sebuah kelompok menyepakati sesuatu, tentu patut diapresiasi. Ada pengalaman keberhasilan menyepakati sesuatu untuk menyelesaikan misi bersama, sip.
Pengalaman yang tak kalah heboh, terutama bagi kelompok yang memilih menumpang kendaraan, adalah keberanian, (atau kenakatan yach?) untuk menyetop, atau dalam bahasa lain mencegat, atau memberhentikan kendaraan yang melintas kecang di jalan besar, untuk kemudian bermaksud menumpang. Ada kelompok yang setelah usaha kedelapan baru berhasil memberhentikan kendaraan. Kenapa susah yha? Barangkali karena teknik awalnya yang kurang sip. Bayangkan kita jadi pengendara, terus di depan kita, di pinggir jalan, ada 8 orang muda bersama-sama dan sangat bernafsu mengacung-acungkan tangan, sebagian besar masih memegang botol minuman, berusaha menghentikan kendaraan kita, coba apa yang ada di benak kita? Bisa jadi ngeri, hah? Gawat, mau diapakan kita ini?
Pengalaman berani tentu saja meliputi pengalaman mengatasi rasa malu. Apa yang ada di benak sebagian besar peserta adalah , “Waduh, gimana pikiran orang-orang yang melihat kami ini, masih muda cantik-cantik dan ngganteng, tapi nggak punya uang sampai harus numpang kendaraan, wah malu-maluin deh.” Namun toh para peserta berhasil mengatasi rasa malunya, sesuatu yang sangat berharga. Kalo memilih tidak mau (merasa) malu sebenarnya gampang, jalan kaki saja sepanjang 8 kilometer, aman deh. Paling-paling capek, sudah “miskin” sombong pula, kurang lebih begitu prinsipnya.
Nah, segala pengalaman tadi pada intinya membawa peserta keluar dari zona nyamannya. Bukan sebuah perumpamaan, simulai, atau bahkan teori, tapi benar-benar dikondisikan. Proses dan pengalaman keberhasilan mengatasi kondisi tak nyaman tersebut adalah pengalaman berharga yang tidak bisa ditransfer melalui kegiatan seminar atau apa pun sejenisnya. Fasilitator memandu penceritaan pengalaman dan pemaknaannya dengan memberi penegasan bahwa tiap pribadi, juga kelompok ternyata menyimpan potensi yang bisa mengatasi tantangan, yang dipandang berat sekali pun. Suka duka perjalanan hanyalah bumbu pemanis, namun fakta bahwa tiap pribadi punya pengalaman berhasil dalam mengatasi keadaan, itulah hal patut disyukuri dan diresapkan.
Usai pemaknaan perjalanan di pos kedua, seluruh peserta dipulangkan ke kota Palembang dengan menumpang bus kota, kali ini yang sudah disewa oleh fasilitator.
Cerita selesai.
Sampai saat ini saya masih meyakini bahwa salah satu cara yang efektif untuk membelajarkan seseorang adalah dengan mengkondisikannya mengatasi keadaan tidak nyaman di luar kebiasaannya. Namun perlu diingat, tiap pengalaman mesti dimaknai dengan pas sehingga proses pembelajaran memang bisa berlangsung baik.
Selamat mengondisikan peserta dalam zona tak nyaman.
Palembang 22 Desember 2011.
Salam, Agustinus Susanta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar