Dalam kegiatan outbound atau sejenisnya,
instruktur, fasilitator, game master, -atau apa pun istilah yang digunakan
untuk pemandu acara- dituntut untuk selalu menjaga suasana agar
kondusif. Nah, kadang seorang fasilitator, entah disadari atau tidak,
mengungkapkan hal-hal yang sebenarnya mengandung dusta guna “memelihara”
suasana dengan peserta tersebut. Mungkin maksudnya bikin lelucon atau untuk
menghidupkan suasana, namun dengan menyampaikan hal-hal yang lebay mengandung kedustaan.
Tulisan ini akan menyingkap 7 dusta fasilitator
lebay yang sering dikemukakan demi memelihara suasana outbound
(menurut yang bersangkutan). Apa saja 7 duta tersebut? Mari kita simak.
1.
Jam
Karet
“Ya,
waktu tinggal SEPULUH menit lagi” begitu teriak seorang fasilitator pada
rombongan peserta outbound yang sedang main games pipa bocor. Maka para peserta
pun lebih giat bermain. Eeee… lima menit kemudian, si fasilitator tersebut
kembali berkata, “Yak, waktu tinggal SATU
menit lagi!” akibatnya peserta makin giat sambil diiringi rasa panik dalam
menyelesaikan permainan.
Dusta “memermainkan” waktu atau
durasi kerap dilakukan fasilitator yang nggak punya konsep jelas dalam
pendampingan. Mungkin maksud si fasilitator adalah supaya proses lebih
dramatis, maka maka ketentuan waktu yang sudah dia ucapkan di awal,
ditengah-tengah atau di akhir proses dengan mudahnya dimanipulasi. Tak hanya
memercepat proses, memerlama proses pun juga manipulasi, misalnya dari 10 menit
yang disebutkan tersisa, setelah lewat sepuluh menit, dibilang masih ada waktu
tiga menit lagi.
Bagi sebagian peserta, waktu yang
berubah-ubah mungkin tak menjadi masalah karena fokus mereka bermain. Namun
bagi sebagian yang lain, apalagi yang kritis, ini bisa menjadi masalah karena mereka
merasa dipermainkan; walau dalam konteks sedang melakukan suatu permainan.
2.
Hadiah
Mewah, Sanksi Keji
“Ya, pemenang lomba ini akan mendapat hadiah menginap tiga malam lagi di
villa ini” demikian
papar seorang fasilitator sebelum beberapa kelompok akan lomba dalam sebuah
permainan outbound. Peserta tertawa, pun fasilitatornya, seolah itu hal yang
lucu. Padahal sang fasilitator pasti tahu itu adalah dusta, sedangkan hampir
semua peserta juga beranggapan itu juga dusta. Variasi dusta hadiah yang lain,
misalnya peserta yang menang akan mendapat hadiah mobil, dalam bentuk brosur.
Apakah pemenang memang mendapat hadiah nginep tiga malam lagi di vila tersebut?
Atau dapat brosur mobil? Ah… ada-ada saja
Bentuk pendustaan kebalikan dari
hadiah adalah hukuman atau sanksi bagi yang kelompok yang kalah, misalnya “Kelompok yang kalah dalam permainan ini
tidak akan dapat makan malam.” Atau “Kelompok
yang kalah pulang dari Puncak ke Jakarta Jalan kaki.” Apakah memang begitu
adanya? Tanyakan pada sang fasilitator yuk…
3.
Kawasan
Rawan
“Kak, sungai itu dalam ya?” tanya seorang peserta outbound pada seorang fasilitator, “Wah, dalam sekali, Dik; kira-kira 3 meter”
jawabnya dengan lagak kurang meyakinkan. Jawaban itu membuat si peserta agak
takut sambil membatin, “Wow, 3 meter,
berbahaya sekali nih.”
Padahal, sang fasilitator tahu bahwa
kolam itu hanya 1 meter dalamnya, tetapi kenapa sampai mengungkapkan kedustaan
mengenai dalam kolam? Apakah supaya peserta takut?
Ada pula fasilitator yang hobinya
menakut-nakuti peserta akan kawasan di sekitar tempat outbound, misalnya. “Di kolam itu banyak ular dan buayanya, lho,”
atau “Jangan sampai masuk hutan itu ya,
masih banyak harimau di sana, bisa diterkam nanti kamu kalau masuk ke sana.” Kalau dia tahu persis kondisinya seperti itu,
nggak apa-apa, namun kalau dia hanya ngarang-ngarang cerita, ya dusta itulah.
Padahal untuk mengungkapkan kewaspadaan peserta akan lokasi outbound, masih
bisa dengan cara yang lebih masuk akal, kok, alih-alih dusta. Emang peserta
outbound mau dijebloskan untuk perang gerilya di hutan belantara?
4.
Perbandingan
Berlebihan
“Kami sudah sering memainkan games ini, minggu lalu, ada grup dari anak-anak
SD yang menyelesaikannya ini hanya dalam waktu 15 menit. Nah apakah teman-teman
dari PT Jayabotol bisa memecahkan rekor tersebut?” Demikian penjelasan sang fasilitator pada
kelompok outbound sebelum memainkan suatu games. Sang fasilitator memang sudah
sering memainkan games tersebut, tetapi dia tahu bahwa minggu lalu dia tidak
memainkannya untuk anak SD, pun sekian bulan lalu dia pernah memainkannya untuk
anak SD, waktu penyelesaiannya 25 menit, bukan 15 menit seperti yang dipaparkan
barusan.
Kenapa dia berdusta? Mungkin karena
ingin memberi tambahan tantangan pada kelompok yang hendak main. Atau dia tidak
punya ide lain untuk lebih menyemangati peserta sebelum main, entahlah.
5.
Semua
Luar Biasa
Dalam suatu sesi penutupan outbound,
seorang fasilitator berkata di hadapan peserta, “Akhirnya kita akan mengakhiri outbound hari ini. Saya melihat semua kelompok
sudah bermain sangat bagus, walau akhirnya hanya satu yang akhirnya menjadi
pemenang, namun bagi saya, semua adalah pemenang,” peserta pun bergemuruh
dalam tepuk tangan. Lalu sang fasilitator melanjutkan, ”Dalam tiap permainan, saya melihat bahwa kerjasama sudah terjalin
dengan sangat baik, kompak. Komunikasi antar pesertapun sudah berjalan dengan efektif.
Saya juga mengamati bahwa daya juang teman-teman dalam menyelesaikan outbound sungguh
mengagumkan, luar biasa…” peserta pun kembali menenggelamkan diri dalam
tepuk tangan kebanggan. Sang fasilitator tak kalah bangganya, sehingga melanjutkan
puja pujinya pada peserta; bla bla bla….
Padahal, padahal nih, sang
fasilitator mendapati bahwa tidak semua kelompok peserta menjalin kerjasama dan
komunikasi dengan baik, bahkan beberapa kelompok malah gagal menyelesaikan
permainan. Sang fasilitator mendapati pula kelompok yang justru menyerah di
tengah permainan karena capek atau putus asa. Pendeknya, sebenarnya dinamika
outbound tersebut biasa-biasa saja, ada kelompok yang bagus, ada yang kurang
maksimal, dan ya biasa-biasa saja lah secara statistik teknis permainan.
Tetapi kenapa sang fasilitator
mengatakan bahwa semuanya sangat bagus, Luar biasa semua…? Coba tanya kenapa…
6.
Ah,
Payah
Sebenarnya, dinamika peserta dalam
suatu outbound dikategorikan standar. Ada kelompok yang pencapaiannya sangat
bagus, ada yang lumayan bagus, namun ada pula yang biasa-biasa saja. Namun,
dalam pemaknaan proses di akhir outbound, sang fasilitator berkata. “Sebenarnya permainan-permainan tadi itu
mudah sekali, tapi kenapa ya masih ada peserta yang gagal menyelesaikannya?”
peserta yang mendengarnya pun jadi senyap. “Saya
lihat, strategi teman-teman tadi kurang jitu, apalagi banyak yang kurang
kompak, malah ada beberapa yang malah berdebat terus. Pantas saja nilainya
kecil-kecil.” Peserta makin senyap sementara sang fasilitator makin
berapi-api “menistakan” pencapaian peserta. Pendek kata, yang dia bahas adalah
sebagian kecil proses yang menurutnya belum maksimal; sementara pengalaman-pengalaman
keberhasilan yang justru dialami sebagian besar peserta malah seolah diabaikan.
Dan akhirnya, ketidakobyektifan
paparannya ditutup dengan motivasi ala dia, “Nah, dalam outbound ini kita sudah belajar dari banyak kesalahan. Semoga
nanti setelah kembali ke tempat kerja, teman-teman bisa memerbaikinya sehingga
kinerjanya makin bagus.”
7.
Dukun
“Tadi ada kelompok yang sempat tercebur saat main rakit,” demikian seorang fasilitator
memberi evaluasi saat akhir suatu outbound. Lalu dia melanjutkan paparan
tentang pentingnya sebuah perhitungan dan koordinasi, khususnya dalam konteks
permainan rakit. Peserta menyimak dengan hikmat, sambil bertanya-tanya dalam
hati, “Wah, kelompok siapa nih yang tadi
kecebur?”
Sang Fasilitator lalu melanjutkan, “Dalam permainan pipa bocor, tadi ada juga
kelompok yang sangat luar biasa, bisa mengeluarkan 20 bola, hebat,” Peserta
masih menyimak dengan takjub sambil bertanya-tanya dalam hati “Wah, kelompok siapa tuh yang hebat begitu?”
sementara sang fasilitator berceramah tentang betapa kerjasama yang baik bisa
menghasilkan sesuatu yang maksimal.
Keesokan harinya, di kantor, peserta
saling bertanya, kelompok siapa yang kecebur saat main rakit, ternyata nggak
ada tuh… Diselidiki juga, kelompok mana yang bisa ngeluarkan 20 bola dalam
permainan pipa bocor; ternyata nggak ada juga, karena rata-rata hanya
mengeluarkan 7 bola. Nah, berarti si fasilitator berdusta dong. Tapi,
penjelasannya tentang pentingnya perhitungan, koordinasi, kerjasama, komunikasi
dan lain-lain itu benar dan menarik sih, bermanfaat. Tapi yang tetap menjadi
misteri itu, siapa sih yang sebenarnya kecebur? Coba tanya tuh sang
fasilitator.
Fasilitator pasti tidak melihat semua proses
peserta dalam tiap lokasi permainan, apalagi jika jaraknya berjauhan. Memang
dia sudah sering outbound dengan permainan yang sama, dan yang terjadi juga
lebih kurang sama. Tetapi menyatakan sesuatu yang tidak terjadi, tentu sebuah
kedustaan, pun itu maksudnya dijadikan pintu masuk untuk sebuah pemaknaan bagi
peserta. Emang dukun, bisa meramal atau menerawang yang nggak kelihatan?
Nah, itu tadi 7 dusta yang kadang dilakukan fasilitator
outbound demi menjaga suasana atau (seolah-olah) ketercapaian suatu proses.
Namun yang jelas, instruktur/ fasilitator outbound
itu adalah profesi yang menarik, yang menuntut penguasaan experiential learning.
Banyak hal yang perlu dipelajari dan dipraktikkan sebelum kita bisa
memfasilitasi outbound dengan elegan, tanpa harus menyampaikan sesuatu yang mengandung
dusta.
Akhirnya, jika ada yang belum yakin dengan 7
kedustaan fasilitator outbound, sebaiknya, jangan langsung percaya ya, karena
siapa tahu tulisan ini juga mengandung dusta. Nah, lo…
Palembang, 27 Nopember 2016.
Agustinus Susanta, Fasilitator Utama