Berhubung tema catatan ini adalah tentang perkembangan
experiential learning Indonesia selama tahun 2015, dan kebetuan dibuat saat
pergantian tahun 2015 ke 2016, maka saya sampaikan dahulu ucapan selamat
mengakhiri tahun 2015, dan memasuki tahun 2016.
Berdasarkan pengalaman, di berbagai media sosial
beredar ucapan penyelamatan tahun 2016 yang nadanya lebih kurang begini. “Selamat
Tahun Baru 2016; Semoga harapan kita di tahun 2016 ini bisa tercapai” Hmmm…. Ada sesuatu yang menggelitik saya
dalam ucapan tersebut. Lha emangnya
ada yang keliru dengan ucapan standar semacam itu? Ya gimana ya, ini justru yang akan saya bahas disini, yaaa secara seorang experiential learner, gitu
lho. Kita mulai yuk.
Pertama, ketika penyemogaan ucapan menyambut
tahun baru dilontarkan di media sosial untuk segala mahkluk yang bisa membaca
status tersebut, tanpa ada tujuan khusus, maka jatuhnya itu adalah ucapan yang standar
banget. Tanpa ada alamat ucapan, dan tanpa ada tendensi dibalas juga, selain
dengan balasan yang tak kalah standar juga. Masih untung jika yang (merasa)
diucapi selamat begitu tersentuh dengan ucapan tersebut sampai akhirnya
mengucapkan terima kasih pada yang membuat ucapan itu.
Jadi, apakah salah mengucapkan selamat tahun
baru dengan cara begitu? Ah tentu tidak juga khan…
Kedua, ketika ucapan tersebut dilontarkan
sebelum tahun 2016, kok dari sisi kronologis kurang pas ya. Tapi yang itu nggak
usah diperpanjang deh urusannya, bisa
nggak mutu nanti, hehehe….
Ketiga, ini yang serius nih. Yang dua pertama tadi sih edisi lebay saja. Ungkapan “Semoga
harapan kita di tahun 2016 ini bisa tercapai” bisa membuat seseorang marah atau
tersinggung besar, atau bahkan membuat stress, kenapa? Karena yang merasa diucapin
selamat ternyata TIDAK PUNYA HARAPAN untuk tahun 2016 ini. Ya, filosofi
hidupnya di tahun 2016 ini sama seperti tahun tahun sebelumnya, “mengalir
seperti air.” Alih-alih mengatakan orang tersebut tanpa harapan, sebenarnya
jika dihubungkan dengan air, maka tujuan hidupnya sebenarnya makin turun, lho. Lha
iya khan, air itu khan mengalir dari
atas menuju ke bawah.
Karena prinsipnya (apakah tepat itu disebut
sebagai sebuah prisnip?) adalah mengalir seperti air, maka jika suatu saat air
(entah air yang mana) tersebut misalnya pada bulan Februari 2016 terhenti di
got karena tersumbat sampah, ya sudah diterima saja menggenang di situ selama
10 bulan berikutnya di 2016. Makin kotor ditimpa sampah, hitam, bau, bahkan
binatang air pun bisa pingsan jika berusaha hidup di dalamnya. Lalu saat
pergantian tahun ke 2017, dia akan bilang lagi bahwa di tahun tersebut prinsip
dia tetap sama, yaitu mengalir seperti air (yang merepresentasikan tanpa
harapan tadi lho). Lha padahal di
akhir 2016, posisi si air itu kan ada di got busuk, apanya yang mengalir?
Ah, ternyata hal ketiga ini lebay juga ya, masa
menyampaikan “Semoga harapan kita di tahun 2016 ini bisa tercapai” sampai
dianalisis seekstrim itu. Tunggu dulu, temans. Itu khan jika dicapkan pada
seseorang oknum manusia yang tak punya harapan atau tujuan yang hendak dicapai
di tahun 2016 ini, dan parahnya berprinsip hidupnya mengalir seperti air. Kalau
misalnya kita mengucapkan penyelamatan dan penyemogaan yang sama pada orang
yang punya tujuan dan harapan jelas, bisa saja lain tanggapannya. Misalnya
jadi, “Wah, terimakasih bro, atas ucapan selamat tahun barunya, anda orang ke
67 lho yang menyampaikan ucapan selamat tahun baru dan mengharapkan tujuan saya
tercapai di tahun 2016 ini. Mau tahu tujuan hidup saya di tahun ini. Ah, saya
kasih tahu saja ya, soalnya anda sudah baik hati mengucapi saya. Gini, Bro.
TARGET saya di tahun 2016 ini adalah membuka 2 cabang toko lagi di Semarang dan
Pontianak. Oh ya, omong-omong APA HARAPAN KAMU di tahun ini, Bro?” …..
sunyiiiiiiii……. karena si pengucap selamat ternyata tidak tahu apa yang
sebenarnya dia harapkan di tahun ini. Dia tak ada tujuan hidup selain ya itu
tadi, “mengalir seperti air.” boro-boro punya target, lah wong tujuannya saja
nggak jelas.
Ada yang lebih seru lagi sih. Beredar Juga aplikasi di media sosial yang seolah bisa meramal
apa yang akan kita capai di 2016 ini. Kalo benar sih kira-kira berbunyi, “Apa
yang menantimu di 2016?” hi hi hi… seru saja sih. Entah dengan dasar pendekatan
apa aplikasi lucu itu meramalkan seseorang misalnya dinanti oleh/ dengan
Perjalanan ke Luar negeri, Pacar, Peran di TV, Kesehatan, Pekerjaan baru,
Promosi Jabatan, Hobi baru yang menyenangkan, Bir, Pizza, Teman baru, Kucing,
dsb yang lucu-lucu. Nah sebenarnya yang lebih lucu itu ya orang yang percaya
bahwa nasibnya ditentukan oleh ramalan lucu tersebut; tragis. Ada satu lagi
jargon lucu tentang resolusi 2016, yaitu “Melanjutkan resolusi 2015 yang belum
tercapai, yang dibuat tahun 2014, dan direncanakan tahun 2013, serta
dicita-citakan sejak 2012; itu aja” Sungguh sebuah ungkapan yang lucu.
Sudah lah,
kita akhiri saja urusan selamat tahun baru ini. Kenapa sih, hal yang sudah
sangat jamak ini laju dipersoalkan? Seperti nggak
punya kerjaan saja. Ini gara-gara experiential learning, ya, karena catatan
akhir tahun 2015 ini adalah tentang “belajar dari pengalaman” maka ya ini
sedikit contoh pengalaman tentang penyampaian ucapan selamat tahun baru yang
lalu kita kupas apa sih hakekat,
konteks, dan harapannya. Sebagai seorang fasilitator experiential learning,
bukankan kita memfasilitasi peserta untuk belajar dari pengalaman? Nah, dalam kehidupan kita senyatanya,
bukankan banyak orang yang memberi ucapan selamat tahun baru seperti itu? Tanpa
mengurusi siapa penyampai ucapan tersebut, apa sih maknanya ucapan tersebut bagi kita? Apakah kita sungguh-sungguh
punya harapan, tujuan, atau target hidup di tahun ini? Akhirnya, saya sampaikan
selamat memasuki Tahun 2016, semoga kita bisa merumuskan apa yang mestinya
perlu dan bisa dicapai di tahun ini.
Sudah, ah. Kita lanjut saja yuk.
Sertifikasi Fasel
Tahun 2016 ini, MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)
sudah berlaku, dan berbagai sektor di Indonesia terus berpacu untuk
memersiapkannya. Gaung MEA di negara-negara tetangga sudah lama berlangsung dan
disikapi pemerintahnya dengan berbagai persiapan, khususnya di bidang industri
dan perekonomian. Bagaimana dengan Indonesia? Ah, seperti biasanya, kedodoran.
Bagaimana dengan dunia experiential learning Indonesia? Sudah siapkah juga?
Entahlah….
Mencatat perkembangan experiential learning di
Indonesia pada tahun 2015, tak bisa lepas dari keberlangsungan Uji Sertifikasi
Profesi Fasilitator Experiential Learning (Fasel)/ pemandu outbound. Pemerintah,
melalui Kementerian Pariwisata, BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi), LSP
(Lembaga Sertifikasi Profesi) Pramindo,
dan AELI (Asosiasi Experiential Learning Indonesia) akhirnya berhasil bersinergi
memfasilitasi penyertifikatan para pegiat outbound/ experiential learning. Asesi
yang dinyatakan kompeten mendapat sertifikat fasilitator experiential learning
yang berlaku di seluruh wilayah ASEAN dan berdurasi 3 tahun untuk lalu bisa
diperbaharui lagi.
Salah satu alasan pemerintah membuat SKKNI (Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) bidang kepemanduan Pemandu Outbound ya
untuk menyongsong MEA ini. Hanya yang saat itu disasar ya sekedar “pemandu
outbound” saja, yang lekat dengan dunia pariwisata. Nah, untunglah dalam proses selanjutnya pihak kementerian bertemu
dengan AELI. Singkat cerita, masuklah AELI dalam gerbong penyusunan SKKNI,
sampai akhirnya pada tahun 2015 lalu bisa melaksanakan Uji Kompetensi yang
mengakomodir kepentingan kepariwisataan dan pembelajaran.
Sertifikasi Profesi fasel pertama dimulai pada 25
Maret 2015 di Cibubur, lalu selanjutnya 28 April 2015 di Pancawati Bogor, 26
Mei 2015 di Solo, 25-26 November di Denpasar, 2 Desember di Yogyakarta, dan 6-7
Desember 2015 lalu di Cibubur. Berdasarkan data website AELI, saat ini
Indonesia baru memunyai 43 Fasel Utama dan 3 Fasel Madya saja. Target 300 fasel
yang dicanangkan pemerintah pada paruh kedua 2015 belum terpenuhi. Tentu ada
beberapa kondisi yang belum memungkinkan keterjadian hal tersebut.
Sekedar memberi contoh, Rencana Uji Sertifikasi
di Batam pada 28-29 November 2015 akhirnya dibatalkan, padahal teman-teman di TUK
Kepri sudah memersiapkan tempat dan jadwal workshop persiapannya. Demikian juga
DPD Sumsel yang pada 23-24 juga sudah menyelenggarakan workshop di Palembang
guna persiapan Uji Kompetensi di Batam. Ada pula calon asesi dari DPD Sumbar
yang sedianya akan merapat ke Batam. Pembatalan tersebut tentu menimbulkan
beberapa konsekuensi yang bisa jadi berpengaruh pada “kredibilitas” AELI.
Panjang cerita lika-liku perencanaan,
persiapan, dan pelaksanaan beberapa Uji Kompetensi tersebut. Tak mungkin lah diceritakan di sini semua. Namun
baik juga kita catat beberapa hal yang bisa kita jadikan “peng-alam-an” untuk
Uji Sertifikasi selanjutnya yang lebih baik di Tahun 2016 ini.
Secara pribadi, saya bisa memahami, bahwa
bekerjasama dengan banyak pihak untuk menyelenggarakan rentetan acara besar
berskala nasional di beberapa provinsi
itu bukan hal yang sederhana, apalagi
nyaris semua pengurus asosiasi, yaitu pihak DPP (Dewan Pimpinan Pusat) dan DPD
(Dewan Pimpinan Daerah) AELI punya prioritas kerja utama sebelum “mengurus”
asosiasinya. Yang jelas, sih, perlu sinergi yang “cantik” Antara DPP AELI, DPD
AELI, LSP, Asesor, Calon Asesi, BNSP, dan TUK (Tempat Uji Kompetensi) dalam menyelenggarakan
Uji Kompetensi. Urusan jadwal, publikasi/ sosialisasi, syarat, pembiayaan,
administrasi, tempat, jumlah peserta, dan sebagainya tentu harus diformulasikan
dengan jelas oleh berbagai pihak tadi, dan kalau bisa jauh-jauh bulan
sebelumnya. Ada riak-riak penyelenggaraan Uji Kompetensi yang bisa kita
minimalisir di tahun 2016 sehingga energi bisa lebih banyak tercurahkan pada
peningkatan kompetensi faselnya itu sendiri; bukan pada bagaimana ngurus
ujiannya.
Nah, sekarang tentang urusan kualitas fasel,
“Seberapa kompetenkah para fasel Indonesia ini?” Pihak yang paling tepat
menjabarkan ini semestinya tim Asesor/ penguji, karena merekalah yang menguji
semua fasel di Indonesia. Namun, melalui pijakan SKKNI, saya yakin bahwa kompetensi
para fasel kita relatif merata sesuai standar. Lha kalau tidak sesuai khan tidak “diluluskan” dalam ujian. Atau kalau
yang memang merasa belum kompeten malah menunda ujiannya; belajar,
mengompetenkan diri dahulu.
Rumor yang berkembang tahun lampau adalah
“Apakah Asosiasi akan mengejar kuantitas/ jumlah fasel, atau mengedepankan
kualitas?” Memang sih, kalo diidealkan ya kuantitas banyak,
dengan kualitas yang yahud. Namun ternyata kondisi itu belum terjadi di 2015.
Akhirnya asosiasi mengambil kebijaksanaan bahwa dalam uji kompetensi,
prioritasnya adalah kualitas. Percuma Indonesia punya banyak fasel, tetapi kualitasnya
susah didefinisikan. Mendingan punya sedikit demi sedikit, tetapi kualitasnya
terjamin sesuai SKKNI.
Ya, kita harus memberi apresiasi akan
keberhasilan dunia experiential learning Indonesia yang sudah mengesahkan
fasilitator experiential learning sebagai sebuah profesi yang diakui oleh
pemerintah.
AELI
Cerita tentang perkembangan experiential
learning Indonesia tentu juga tak lepas dari asosiasinya, yaitu AELI. Fokus
catatan ini adalah bagaimana kiprah AELI selama tahun 2015? Harus diakui,
kepengurusan AELI periode ini penuh dinamika dan pencapaian, salah satu yang
terbesar adalah sertifikasi fasel. Bahwa dalam prosesnya masih ada hal yang
perlu diperbaiki terkait sinergi dengan pihak lain, itu bisa dimaklumi. Relasi
Antara DPP dan DPD pun penuh dinamika. Belum lagi cerita di internal DPP dan di
tiap DPD itu sendiri, seru. Tidak semua perlu dijabarkan di sini, ini khan
hanya “catatan” kecil saja.
Apakah perkembangan industri experiential
learning dalam menghadapi MEA juga sudah disiapkan oleh AELI? Tampaknya AELI
sudah berada dalam jalur rel yang benar untuk itu. Tinggal kita tunggu adalah,
sekuat apa gerbong AELI tersebut menyusur rel. Siapa lokomotif dan gerbongnya?
Ya para stakeholder experiential learning Indonesia lah, termasuk saya sebagai
salah satu komponennya. Selain saya yang hanya seorang pegiat outbound, tentu
ada stake holder lain, yaitu: AELI, baik DPP maupun DPD, para Anggota AELI,
baik yang biasa maupun luar biasa, Tim Asesor Uji Kompetensi, Lembaga
Sertifikasi Fasel, BNSP, dan Kementerian Pariwisata. Semuanya tadi perlu
bersinergi dengan cantik supaya experiential learning bisa berkembang dengan
efektif di Indonesia.
Kalau ditanya ada berapa DPD saat ini, sesuai
yang tertera di website AELI ini dia datanya: DPD Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa
Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan DPD Nusa
Tenggara Barat. Hayooo… ada berapa tuh? Bagaimana kiprah DPD, sudah
menggembirakankah? Dalam tiap tulisan (sebelum catatan ini) yang menyinggung
AELI, saya selalu merujuk pada visi dan misi asosiasi. Berdasarkan visi dan
misi itulah kita bisa menilai kinerja asosiasi.
Visi AELI adalah Menjadi wadah dan mitra yang
berkualitas bagi seluruh lembaga atau perorangan pengguna metode pelatihan
berbasis pengalaman di Indonesia dan bertanggung jawab terhadap pengembangan
kualitas manusia Indonesia. Adapun 3 misinya adalah:
- Memasyarakatkan pelatihan berbasis pengalaman kepada masyarakat Indonesia.
- Meningkatkan kualitas pelatihan dan pendidikan berbasis pengalaman, sehingga menjadi metode pelatihan yang efektif dan diakui di Indonesia.
- Meningkatkan kualitas pelaksana pelatihan berbasis pengalaman sehingga menjadi pelaksana pelatihan yang bertanggung jawab terhadap pengembangan manusia Indonesia.
Sejauh saya mengamati, AELI masih konsisten
berjuang mewujudkan visinya. Hanya memang efektivitasnya yang perlu
ditingkatkan lagi. Salah satu contohnya adalah baru sebagian DPD yang proaktif
berkegiatan, sementara masih ada DPD yang adem ayem saja.
Keaktifan (luar biasa) AELI harus diakui akibat
adanya program sertifikasi oleh pemerintah, misalnya:
- Pengurus dan anggota DPD/ DPP yang terlibat dalam aneka program pemerintah yang bertema “sertifikasi fasel”
- DPD (akhirnya) merekrut anggota AELI karena syarat ikut sertifikasi adalah menjadi anggota AELI.
- DPD secara mandiri menyelenggarakan workshop persiapan sertifikasi.
Asosiasi experiential learning Indonesia
berdiri sejak 2007, namun anggota yang mengasosiasikan diri baru definitif
tercatat baru 8 tahun kemudian, di tahun 2015 lalu. Itu gara-gara apa? Ya….
Karena sertifikasi. Saya tak mau nyinyir bilang itu sesuatu yang gimana gitu,
lha wong faktanya begitu, apalagi saya juga menjadi bagian dari asosiasi
tersebut. AELI periode saat ini sudah berjuang keras “mengimbangi” program
sertifikasi ala pemerintah. Bahwa ada kesan ketergopoh-gopohan dalam
sinergitasnya, itu kembali menjadi pelajaran bersama semua pihak yang terlibat
dalam program sertifikasi tersebut.
Saya akan meninggalkan urusan sertifikasi dan
masuk ke kinerja harian asosiasi. Bolehlah dikatakan bahwa pengurus AELI saat
ini mulai kreatif mewujudkan misi asosiasi, terutama dalam bidang peningkatan
kualitas fasel dan sosialisasi keberadaan AELI. Pergantian dan pergeseran pengurus
pusat beberapa kali terjadi. Saya tidak tahu apa alasannya, mungkin karena dipikirkan
untuk kemelesatan kinerja DPP. Namun sepemantauan saya, beberapa mantan pengurus
pusat yang terpilih saat RUA justru malah pasif dalam kegiatan keasosiasian. Semoga
hanya karena kesibukan mereka saja yang belum memungkinkan.
Masih ada agenda-agenda yang terkesan belum tereksekusi
dengan baik, misalnya tentang jurnal/ buletin AELI yang direncanakan terbit berkala,
namun sejak edisi perdana Maret 2014 sampai awal tahun 2016 tak kunjung jua ada
edisi berikutnya. AELI yearly workshop yang sebenarnya sudah direncanakan
ternyata juga belum rutin terlaksana.
Website AELI sudah diperbaharui tampilannya
jadi lebih keren, namun masih juga macet dalam pembaharuan kontennya. Sejak
pertengahan November 2015 sampai saat ini, tak ada pemberitaan baru, bahkan tentang
proses sertifikasi yang sebenarnya betul-betul menggerakkan asosiasi. Saya pernah
konfirmasi langsung ke Ketua Bidang Humas, Bendahara, sampai Sekjen untuk urusan
website ini; namun toh nihil. Entah gimana nanti nasib website asosiasi ini saya
juga tak tahu. Kenapa saya terkesan nyinyir tentang website ini? Bukan karena saya manyun sudah bikin artikel yg diminta DPP tentang kegiatan DPD, namun sudah sebulan lebih nggak nongol-nongol di website (akhirnya saya terbitkan di blog saya sendiri deh, di kompetensi itu ibarat kuda..... ) Yakinlah, website ini
salah satu media penting untuk membangun “brand image” AELI, sekaligus sarana
sosialisasi. Sayang sekali kalau tidak dipelihara.
Tantangan di depan
Bagian terakhir ini dimulai dengan menyinggung
bagian tentang ucapan ketercapaian harapan di tahun 2016 yang sudah dibahas di
awal catatan. Konteksnya adalah apa sih yang diharapkan dari gerakan experiential
learning indonesia, terlebih yang dimotori oleh AELI? Yang saya bayangkan tentang
tantangannya adalah: Setelah ada sekian kali sertifikasi dan menghasilkan
fasel, lalu pertambahan jumlah anggota AELI yang signifikan, tentu lebih banyak
hal yang saling berkelindan dalam keasosiasian. Ditambah sejarah dan prospek
kerjasama dengan stakeholder lain, maka makin lengkaplah kompleksitas upaya
pengembangan experiential learning di Indonesia. Untunglah AELI sudah punya
AD/ART yang sebenarnya tinggal diikuti saja dalam implementasi programnya.
Harapan saya sih AELI bisa jeli membaca situasi
untuk melaksanakan program yang efektif dan efisien seturut misinya. Titik.
Salam AELI, Bersatu Berjaya
Palembang, Awal 2016