Karena Bolot berbuat salah, Jin
Tomang pun menyulapnya jadi Drakula serta mengirimnya untuk hidup dengan 2 drakula senior yang terkenal kejam. Tengah malam, mereka berkumpul di puncak bukit. Drakula
pertama pengin unjuk gigi kebengisannya. Dia terbang secepat kilat menembus
gelapnya malam dan masuk ke rumah yang lagi ada pesta. Terdengar keributan dan
teriakan-teriakan sebentar, lalu senyap. Drakula tersebut terbang kembali dengan
darah belepotan di mulutnya dan berkata, "Kalian lihat rumah yang penuh manusia tadi?". "Ya kami
lihat," jawab Bolot &
drakula kedua."Aku habisi dan hisap darah penghuninya hanya dalam 3 menit". "Hebat" puji Bolot.
Tiba-tiba drakula kedua dengan cepat terbang menghilang dan dalam 5 menit kembali lagi. Kali ini lebih banyak darah belepotan di mulutnya bahkan menetes
hingga bajunya. "Kalian lihat
desa di bawah sana itu?" "Ya kami lihat," jawab Bolot & drakula pertama. "Aku habisi seluruh penghuni desa & hisap semuanya dalam 5 menit!!" "Hebat!!!" puji Bolot & drakula pertama.
Tak mau kalah, Bolot pun unjuk kemampuan. Dia terbang cepat meninggalkan
kedua drakula tadi dan hanya dalam 2 menit sudah kembali. Darah segar memenuhi muka bahkan
hingga membasahi rambutnya. Kedua drakula senior kaget & kagum akan
kecepatannya. "Wahai Drakula Bulet! Kamu terbang dan kembali lebih cepat dari
kami, kali ini apa yang kamu lakukan?" tanya mereka. Bolot
menjawab, "Kalian lihat tiang
listrik hitam di sana itu?" "Yang di pinggir jalan itu? Ya
kami lihat!" jawab mereka serempak. "Nah itulah....AKU GAK
MELIHATNYA!!!"
Hah itu tadi secuplik postingan teman saya
Soel Winarno dalam sebuah grup facebook. Postingan yang bagi saya lucu dan menyegarkan.
Nah,
kini saya akan berbagi beberapa tips untuk berhumor pada
proses experiential learning; tentu saja konteksnya kita sebagai Fasilitator
Experiential Learning, atau nanti kita sebut fasel.
1. Memanfaatkan Hierarki
Keyakinan bahwa
pertama-tama kita sebagai Fasel sudah punya posisi lebih tinggi dari peserta
dalam hal hierarki berbicara, sehingga apapun yang kita sampaikan, mestinya peserta akan mendengarkan. Tinggal kita mau arahkan ke nuansa apa,
serius sepanjang masa, atau diselingi humor, atau penuh kekonyolan. Intinya,
ketika kita jadi fasel, sudah selangkah lebih maju dari peserta untuk melontarkan humor.
nyungsep |
2. Kreativitas
Humor yang kontekstual
lebih mudah dicari dalam proses EL, karena peserta selain berbicara, tapi juga
beraktivitas fisik; beragam pula, misalnya berjalan, lari, loncat, merayap,
menyanyi, berguling, melayang, renang, dan sebagainya. Ketika humor yang kita lontarkan terkait/
dialami oleh peserta, biasanya kadar tawa/ senyum/ konyolnya lebih tinggi.
Tidak perlu menunggu "kecelakaan" untuk jadi materi humor, misalnya
terpeleset, jatuh, kecebur, dan sebagainya. Kalo ada
hal-hal tersebut memang akan "membantu", tetapi
Fasel yang kreatif mestinya tidak harus menunggu momen
itu untuk berhumor.
3. Praktik
Kalo kita mau
mempraktikkan sesuatu sambil melontarkan humor, biasanya efeknya lebih dahsyat
daripada kita sekedar berkata-kata saja. Misalnya kita mempraktikkan ketika
seseorang berpose antik/ lucu dalam sebuah permainan. Minta yang bersangkutan
untuk mengulanginya saya rasa pilihan terakhir yang ditempuh oleh fasel yang nggak kreatif. Kalo
mau lebih "hot" yha langsung saja dipraktikkan.
4. Berpikir Lateral
atau menyamping
Humor itu tercipta
karena persepsi yang meleset antara yang mengharapkan/ menerima dengan yang
memberi, dan dalam konteks pehumor, itu disengaja, bukan karena miskomunikasi.
Untuk mengeksekusi tips ini, memang diperlukan fasel yang "cerdas" berkata-kata baik
dalam memlesetkan kata-kata, menghubung-hubungkan kata/ kejadian, atau membuat
konteks yang bertolak belakang (dari seumumnya) akan sebuah kata/ kejadian.
Walow seorang fasel berpikiran kreatif dan canggih,
namun tanpa kemampuan menyampaikannya secara pas, akan membuat humor itu
garing.
nyebrang |
Tips terakhir (untuk
kali ini)
5. Tulus
5. Tulus
Kita berhumor itu
tujuannya menyebarkan keceriaan, menyegarkan suasana sehingga memperlancar
proses EL. Kalo humor yang kita lontarkan malah
menuai kecaman, kemarahan, bahkan kebencian, lalu peserta antipati pada kita, berarti ada yang keliru tuh;
entah materinya atau cara penyampaiannya,
dan lebih parahnya kedua-duanya. Kalo di awal kita berhumor secara tulus, maka
berarti tidak ada niat untuk menjelekkan, memermalukan, bahkan menjatuhkan
orang lain. Bahwa jika kemudian ada pihak-pihak yang merasa agak malu karena humor kita, yha itu resiko. Maka, selalu minta
maaflah secara umum seusai kita menyampaikan pembicaraan/
debriefing yang diselingi dengan humor; minta ampun, eh, minta maaf kalo ada yang tersinggung dengan kata-kata kita;
karena bukan itu khan maksud kita.
Selamat berhumor,
Palembang, 14 Nopember 2012